Kamis, 29 Januari 2009

Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...

(Tulisan ini dimuat dalam kata pengantar editor buku 'Menegakkan Pluralisme' Karya Moh. Shofan)

Ali Usman

Tak banyak orang yang mendapat kesempatan seperti Moh. Shofan, menelurkan percik pemikiran kontroversialnya dalam sebuah buku, yang kemudian dikomentari oleh teman-teman sejawatnya. Shofan, di usianya yang masih belia telah menjadi “buah bibir” banyak orang dan cukup “dikenal” bak selebritis yang sedang naik daun. Gaung pemikiran dan keterkenalan dirinya berawal dari tulisan provokatifnya di harian Surya yang berjudul ‘Natal dan Pluralisme Agama’ pada akhir Desember 2006, membuat para petinggi di jajaran kepengurusan Cabang dan Daerah Muhammadiyah serta di kampus tempat dirinya bernaung, Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) “kebakaran jenggot”. Shofan mungkin tak pernah menyangka, bahwa hanya lantaran mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani telah menyebabkan dirinya tersingkir dari jabatannya sebagai dosen.

“Ah, sungguh malang nasibmu kawan”, kataku selang beberapa hari mendengar berita mengejutkan itu. “Ya, itulah mungkin perjalanan hidup aku yang dititahkan oleh-Nya”, jawabnya menimpali. Kesanku, Shofan dalam hal ini sungguh tegar menerima “cobaan” ini. Entah waktu itu, yang saya pikirkan adalah nasib istri dan anaknya yang masih belia.

Tetapi beberapa waktu kemudian, ia kembali mengabariku, bahwa ia sedang berada di Jakarta. “Wah, kini ia berada di posisi aman”, pikirku—sambil menyamakan layaknya posisi dalam kompetisi atau pertandingan olahraga. Firasatku ternyata benar. Di Jakarta, ia lebih leluasa dapat bertemu secara intens dengan banyak tokoh dan pemikir pluralis tersohor di Tanah Air. Ia pun merapat dan berteduh di PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina dan LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang dimotori oleh M. Dawam Rahardjo dan juga Budhy Munawar-Rachman.
Alhasil, dengan terus mengamati kiprahnya sejak di Jakarta, pemikiran-pemikiran Shofan menurut saya, jauh lebih progres dan produktif bila dibandingkan ketika ia berada dalam sangkar yang memenjara kebebasan berfikirnya di UMG. Saya yakin, hal itu juga tampaknya dirasakan oleh Shofan.

Padahal kampus, menurut Shofan, mestinya akomodatif terhadap segala pemikiran yang plural dan liberal sekalipun, sekaligus menjunjung tinggi kebebasan berpikir di lingkungan akademis. Dalam artian kata, perlu dibedakan antara wilayah perguruan tinggi (Islam) dengan masyarakat umum. Sebuah perguruan tinggi menurut Munir Mulkhan, dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru. Dan Shofan menurut saya, mengupayakan hal yang demikian.

Dalam skala lebih luas, “kasus lokal” yang menimpa Shofan sebenarnya terkait erat dengan isu nasional yang sejak masa Orde Baru, pemerintah melalui MUI mengharamkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Kondisi ini kembali diperkeruh oleh “lagi-lagi” pengharaman paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sementara bagi Ormas Islam (termasuk Muhammadiyah?) seolah mengamini begitu saja fatwa MUI tersebut, tanpa penyaringan yang ketat.

Shofan adalah korban atas “kesuksesan” negara melakukan intervensi berlebih kepada warga negaranya dalam urusan beragama. Agama yang semestinya menjadi ruang privasi bagi pemeluknya, malah diangkat menjadi kepentingan negara. Mungkin inilah, tulis Hannah Arent dalam The Human Condition-nya, kegagalan modernitas yang menjadi “berhala” bagi negara-negara maju dan berkembang (termasuk Indonesia) menganggap tidak relevan lagi memisahkan antara “ruang publik” dan “ruang privat”.
Maka tak heran, bila Muhammed Yunis, seorang pemikir keagamaan Mesir, dalam al-Takfir baina al-Din wa al-Siyasah mengemukakan, bahwa pengkafiran (takfir), klaim sesat, dan sejenisnya, tak pernah lepas dari perskongkolan antara negara (politik) dan lembaga keagamaan (agama). Bagi Yunis, nuansa politis terhadap sesuatu yang menyangkut persoalan agama dalam hubungannya dengan warga di suatu negara, dipastikan ada “main mata” antara politik dan agama itu sendiri.

* * *

Saya memang tidak terlalu lama mengenal sosok pribadi Shofan. Perkenalan itu terjadi ketika saya ikut serta mencarikan penerbit di Yogyakarta untuk menerbitkan bukunya yang pertama berjudul Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (IRCiSoD, 2004). Sejak itulah, komunikasi pun terus terjalin hingga saat ini.

Shofan yang saya kenal, tidak seperti yang dicitrakan negatif oleh “musuh-musuhnya” ketika mengomentari pemecatan dirinya, baik di milis (milling list) maupun dalam kesehariannya. Sungguh itu fitnah kubra. Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh (al-fitnatu asyaddu min al-qatl)? Tetapi perlu disadari, bahwa pejuang kebenaran itu tak pernah absen dari intimidasi, penindasan, dan pengusiran. Masih beruntung Shofan sebagai salah satu dari para pejuang kebenaran hanya dipecat dari kampus. Para pejuang dari kalangan filsuf-sufi, seperti al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Suhrawardi, dan lain-lain, harus rela mati di tiang gantungan demi mempertahankan kebenaran. Begitu halnya dengan Shofan. Demi membela pluralisme dan kemanusiaan, ia berani menanggung akibat yang amat “memprihatinkan”. Orang yang tidak sepaham dengannya boleh bilang bahwa pemikiran-pemikirannya “berbahaya”, melenceng dari akidah Islam, bahkan dibilang “sesat dan menyesatkan”. Namun ketersesatan itu menurut saya, berada di jalan yang benar.

Di era kontemporer sekarang ini, banyak kalangan tiada henti-hentinya mengingatkan akan pentingnya pengakuan sebuah pluralisme, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian hidup di dunia. Dalam hal ini, terkadang saya berpikir, kok bisa-bisanya Shofan yang secara akademik ber-basic pendidikan (tarbiyah)—baik S1 maupun S2 yang ia tempuh di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)—sangat lihai dan fasih berbicara tentang pluralisme, civil society, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Mengapa ia tidak “tertarik” menyuarakan isu-isu tentang pendidikan yang humanis, pendidikan pembebasan atau kondisi pendidikan nasional di negara kita, misalnya? Hal itu menunjukkan bahwa usaha menyadarkan akan pentingnya mengakui pluralisme dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah tugas semua kalangan tanpa melihat kelas dan basic pendidikan.

Dari itu, mengacu pada kasus Shofan tersebut, menurut saya, adalah lagkah mundur bagi Muhammadiyah secara institusi. Sebuah ormas Islam yang mengaku diri sebagai salah satu kelompok pembaharu Islam di Indonesia, yang “bertitel” kaum moderat(isme). Pamor Muhammadiyah secara tidak langsung sebenarnya telah runtuh, dan memang dalam banyak hal, kini sudah mengalami pergeseran.

Secara pribadi, saya sebagai orang luar (bukan warga Muhammadiyah) yang tak tahu apa-apa dan tidak punya kepentingan apapun, turut berempati sekaligus ironi atas kondisi tersebut. Jika dahulu pada masa-masa berdirinya Muhammadiyah sempat dijuluki sebagai “kaum berdasi” karena sikap moderatnya itu, sementara ormas lain seperti NU dikatakan “kaum sarungan”, santri atau tradisional yang identik dengan sikap kolot, jumud, dan anti kemajuan. Tetapi kini, predikat itu tampaknya telah mengalami keterbalikan.

Terjadinya pemecatan seorang dosen di “kandangnya” sendiri, yang boleh jadi, tidak hanya dilatari oleh alasan teologis tetapi juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan tertentu menjadi bukti kuat adanya “sikap konservatisme” di tubuh Muhammadiyah. Di samping itu, jika mau jujur, “sikap konservatisme” yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh dan kalangan Muhammadiyah merupakan identitas aslinya, yang menurut Nur Khalik Ridwan (2005) sebagai penyeru “Islam murni” dengan berkedok gerakan Wahabi dari Timur Tengah. Karenanya, tak salah bila Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang mirip dan “sealiran” dengannya, seperti Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung dilabeli sebagai “agama borjuis”.
Kritik Nur Khalik Ridwan ini mestinya menyadarkan umat Islam Indonesia yang tanpa disadari banyak dipengaruhi kuat oleh “Islam ala Arab”, sementara “Islam berwajah asli nusantara atau Indonesia”—meminjam istilah Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islamny— tersingkiran. Tidak heran apabila pola keberagamaan umat Islam cenderung melenceng dari nilai-nilai luhur keramahan sebagai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia. Kekerasan dengan jubah atas nama agama sering terjadi di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.

Di sini, Muhammadiyah berwajah paradoks; moderatisme di satu sisi, dan di sisi lain juga menampilkan wajah konservatismenya. Misalnya, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dengan lantang dan tanpa ampun memerangi penyakit apa yang dinamai TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Lantas, apakah persoalan kebebasan berpikir dan kreativitas dalam menulis (berkarya) seperti yang ditunjukkan Shofan itu termasuk dari penyakit TBC, sehingga pantas diberantas?

Dalam bidang pendidikan, sikap konservatisme yang ditonjolkan (sebagian?) warga Muhammadiyah itu tak seirama dengan mendulangnya bangunan perguruan tinggi yang dimiliki. Lihatlah betapa canggih dan megahnya universitas-universitas Muhammadiyah yang ada; seperti di Malang (UMM), Yogyakarta (UMY), Jakarta (UMJ), Surabaya (UMS), termasuk di Gresik (UMG). Kepopulerannya itu masih menyimpan bias konservatif dalam perilaku, tindakan dan terlebih pada pemahaman keagamaannya. Hukum kausalitas tidak berlaku bagi Muhammadiyah. Bangunan pendidikannya yang semakin mewah, megah dan canggih sebagai penanda kemodernan, tak mampu merubah pola sikap dan pemahaman keagamaan warganya yang masih konservatif dan tradisional. Apalagi, luasnya bidang sosial yang digarap oleh Muhammadiyah yang dikenal dengan tiga serangkai; rumah sakit, pendidikan dan panti asuhan, menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, terutama dari sisi pembiayaan (finansial).

Mungkin seandainya KH. A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah masih hidup, niscaya ia akan menangis dan meratapi kondisi sosial ini. Pendidikan dan prasarana lembaga sosial, yang pada mulanya dicanangkan oleh A. Dahlan untuk membantu sekaligus ikut serta mencerdaskan anak bangsa—terutama bagi kaum miskin—tetapi pada kenyataannya tidak semua lapisan masyarakat menjangkau biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga Muhammadiyah.

* * *

Berawal dari provokasi saya kepada Shofan, bagaimana jika seandainya dia mengumpulkan ragam tulisan-tulisannya yang berserakan, baik yang sudah dimuat di media massa maupun dalam bentuk makalah, yang ia presentasikan di banyak tempat. Tak dinyana, Shofan menyambutnya dengan sangat antusias, sehingga lahirlah percik pemikiran-pemikirannya dalam buku ini, yang ia tulis kurang lebih dua tahun pascatragedi pemecatan itu.
Beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari provokasi tersebut—seolah tak mau kalah—Shofan kembali menghubungi saya dengan langsung melemparkan tanggung jawab penyuntingan kepada saya. Dan apa boleh buat, atas nama persahabatan, saya menerimanya dengan senang hati. Apalagi, daya tarik buku ini dilengkapi dengan tanggapan yang berisi pro-kontra atas diri Shofan dan gagasan pluralisme yang ia usung. Saya tidak menganggap kehadiran buku ini sebagai counter dan pembelaan Shofan terhadap oknum yang terlibat “konspirasi” atas pemecatan Shofan yang hanya lantaran mengucapkan selamat Natal. Tetapi lebih dari itu, merupakan sebagai “dokumentasi akademik”, agar di kemudian hari menjadi cerminan untuk generasi intelektual berikutnya. Biarlah publik dan anak cucu kita kelak tahu yang sebenarnya, bahwa ada yang “tidak beres” dengan Ormas Islam yang menamakan diri Muhammadiyah ini. Shofan hanyalah menjadi “tumbal” atas konservatisme di perguruan tinggi—yang mengklaim diri sebagai gerakan pembaharu Islam Indonesia.

Selain itu, belajar dari kasus Shofan, persinggungan dan pertarungan antar kelompok di Muhammadiyah—yang selama ini banyak diragukan, dan bahkan ditutup-tutupi oleh sebagai kalangan—semakin tampak jelas dan tersingkap. Bahwa saat ini, pertentangan antara kelompok progresif-liberal versus kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah benar-benar berwujud nyata.
Fakta ini juga diperkuat oleh temuan mutakhir Pradana Boy dalam tesisnya berjudul ”In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah”, yang ia pertahankan di Australian National University (ANU). Tidak hanya kasus Shofan, Boy juga mensinyalir tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah, dan M. Munir Mulkhan dari kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemenangan Din Syamsuddin sebagai ketua di Muktamar Malang 2004 menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah, yang perlahan-lahan tapi pasti bakal membuang jauh-jauh kelompok progresif-liberal.

Jadi untuk mengetahui perkembangan arah gerakan Muhammadiyah mutaakhir, boleh jadi penelitian Boy tersebut adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—acuan yang wajib dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Shofan dan kawan-kawan lain yang “sealiran” dengannya, hemat saya, menjadi apa yang oleh Gayatri Spivak (1985) disebut sebagai “subaltern”, yaitu subjek tertindas dan kelas inferior (Gramscian). Kelompok ini dalam banyak kasus, memang selalu mengalami kekalahan dalam perebutan “kuasa makna” (dalam pengertian Foucault).

Karena itu secara sadar, Shofan mengaku siap dan berani menghadapi resiko atas konsekuensi terbitnya buku ini, yang dipastikan membuka “luka lama” di tubuh Muhammadiyah. Shofan hendak membuktikan, bahwa “subaltern” mampu berbicara, mengangkat bendera “perlawanan” demi mempertahankan kebenaran. Pluralisme dalam pandangan Shofan, tidak hanya berkutat pada persoalan ide, tapi sejatinya dapat ditegakkan di muka bumi.

Sebagai kata pamungkas, saya ingin mendedahkan ungkapan Roland Barthes dalam artikel yang terkenal, The Death of Author dalam berkreativitas melahirkan sebuah karya. Menulis, kata Barthes, adalah kedalamannya subjek melarikan diri, hitam putih dan semua identitas hilang, mulai dengan identitas tubuh pengarang (Heraty, 2000). Itu sebabnya, Dee (Dewi Lestari) juga menyadari hal yang sama. Bahwa menurutnya, “menulis adalah perjalanan menuju suatu kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran. Ia dapat tertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada yang dapat menghitung berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan di sana. Ia hanya akan bisa mengalir... sebisanya”. Baik Barthes maupun Dee di atas hendak mendengungkan bahwa pengarang (author) sebenarnya telah “mati” bilamana teks yang ia gubah itu telah menyeruak ke publik. Di sini, otonomi pembaca sangatlah ditekankan. Sapere aude!

Fatwa MUI tentang Rokok Tak Efektif

Fatwa MUI tentang Rokok Tak Efektif

Moh. Shofan

Negeri Indonesia adalah surga bagi para pecandu rokok karena orang Indonesia sudah terbiasa menghisap rokok tanpa ada larangan. Tiba-tiba, kita dikejutkan dengan munculnya fatwa MUI tentang haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, serta merokok di tempat umum. Selain ketiga itu hukum merokok jatuh pada makruh. Saya sendiri shock begitu mendengar fatwa MUI tentang haramnya merokok, hampir-hampir saja pingsan. Bukan karena apa-apa, tetapi geli mendengarnya. Bagaimana tidak? Bagi pecandu rokok, –seperti halnya saya– menghisap rokok tak ubahnya seperti kebutuhan pokok. Sehari tak merokok, badan seperti sakit semua, pikiran tak mampu bekerja dan sulit sekali untuk kosentrasi. Saya sendiri rela mengganti sarapan pagi hanya dengan sebatang rokok dan segelas kopi.

Merokok bagi saya membuahkan kenikmatan yang tiada tandingannya. Karena itu siapapun yang melarang saya agar berhenti merokok tidak akan mampu mengubah pendirian saya. Sepanjang saya masih bisa merokok, maka sampai kapan pun aktifitas merokok tidak akan berhenti. Saya berhenti merokok hanya pada saat tertentu, misalnya pada saat sedang istirahat (tidur) atau di tempat-tempat tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merokok. Saya merokok di mana saja sepanjang tidak mengganggu orang lain. Dan jika sekiranya mengganggu orang lain tentu saya akan mencari tempat yang aman buat merokok. Di tempat-tempat tertentu, misalnya di Air Port, tersedia ruangan area smoking. Saya bisa langsung masuk dan merokok sambil menunggu pesawat take off (lepas landas) – demikian juga di sejumlah tempat lain, baik di kantor, di jalan, di mall, di kafe, di rumah makan, di kos, bahkan (maaf) di WC pun terkadang merokok (daripada bengong) sambil menunggu sampai hajat selesai.

Bagi saya, hukum merokok itu mubah (artinya dibolehkan) dan bukan makruh, karena makruh menunjukkan ketidakkonsistenan hukum itu sendiri. Untuk menghukumi mubah saya juga tidak perlu meminta fatwa kepada seorang kyai. Hukum rokok tidak bisa menjadi haram hanya karena kesepakatan MUI. Kitab-kitab kuning telah sejak lama menjelaskan hal ini. Lalu bagaimana fatwa MUI yang mengharamkan rokok bagi anak-anak usia remaja, ibu hamil atau larangan merokok di tempat umum. Bagi saya, agar anak-anak, pelajar, dan ibu hamil tidak merokok menjadi tugas orang tua, guru maupun suami. Orang tua harus mendidik anaknya dengan baik. Jika anaknya masih belum dewasa, jangan disuruh membeli rokok karena mereka akan coba-coba.

Fatwa MUI yang mengharamkan rokok tentu saja sangat meresahkan masyarakat karena rokok menjadi jantung perekonomian masyarakat. Hampir seluruh sektor perekonomian tergantung pada industri rokok, seperti masyarakat Kudus. Karenanya begitu keluar fatwa MUI tentang haramnya merokok, spontanitas masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Forum Pengusaha Rokok Kudus (FPRK), Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perguruan tinggi di Kudus, dan LSM melakukan resistensi terhadap fatwa MUI yang tidak dipertimbangkan secara bijaksana ini.

Resistensi itu saya kira wajar saja, karena keberadaan rokok di Kudus ada sejak 100 tahun yang lalu. Kudus menjadi cikal bakal berdirinya sejumlah industri rokok, hingga kini menjadi jantung perekonomian masyarakat di Kudus. Hampir seluruh sektor perekonomian yang ada di Kudus tergantung pada sektor industri rokok. Keberadaan industri rokok di Kudus juga tidak dapat dipisahkan dari pemasukan APBN pada penerimaan cukai rokok yang mencapai jumlah triliunan rupiah. Di sisi lain, fatwa haram merokok juga mengancam ratusan ribu karyawan, belum lagi, sektor industri kertas sebagai pemasok, sehingga akan semakin menambah jumlah pekerja yang terancam menganggur. Itu baru di satu kabupaten saja, lalu bagaimana perusahaan rokok Djarum dan Nojorono di Kudus, Sampoerna di Surabaya, Gudang Garam di Kediri, dan Bentoel di Malang.

Diakui atau tidak, jutaan masyarakat kita hidupnya tergantung pada industri ini. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Muslim. Industri tembakau ini melibatkan petani tembakau hingga hilirnya tenaga kerja. Sebanyak 6,1 juta orang tenaga kerja terlibat langsung dalam industri ini. Bila masing-masing tenaga kerja menghidupi empat orang, berarti tak kurang dari 30,5 juta jiwa penghidupannya menggantungkan diri dari lancarnya industri ini. Dengan demikian, keputusan fatwa MUI tentang haramnya rokok tidak mempertimbangkan sama sekali kemaslahatan umat. Padahal, konon, ulama-ulama yang tergabung di MUI sangatlah paham agama. Namun kenyataannya MUI terlalu gegabah dalam membuat fatwa.

Berdasarkan mudharat yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaatnya, maka tidak semua ulama sepakat terhadap fatwa MUI tersebut. Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdusshomad Bukhari, menilai fatwa haram rokok justru lebih besar mudharatnya. Salah satunya adalah akan membengkaknya jumlah angka pengangguran menyusul ribuan anggota masyarakat yang bekerja pada sektor yang terkait dengan industri rokok, seperti di Jawa Timur. Respon yang sama dating dari KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU. Menurutnya, PBNU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa bahaya rokok relatif dan tidak bisa dibandingkan dengan minuman keras.

Terang sekali, bahwa dampak fatwa MUI tersebut bisa merusak perekonomian Indonesia. Bukankah Al-Qur’an mengingatkan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak peduli orang-orang miskin? Karena fatwa MUI terasa sangat problematik dan terkesan asal-asalan tanpa mempertimbangkan lebih jauh dampak dari fatwa yang dihasilkannya. Bagaimana pula dengan pemerintah yang banyak diuntungkan oleh industri rokok, akankah mendukung fatwa MUI? Sementara korupsi yang menjadi penyakit sosial bangsa dan jelas-jelas merugikan Negara senilai trilyunan rupiah tak pernah kena sasaran fatwa. Akankah MUI sudah kehilangan kepekaan sosial? Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Rabu, 28 Januari 2009

Islam Agama Hanif

Islam Agama Hanif

Moh. Shofan

Istilah hanif atau al-hanafiyah (agama hanif) tidak begitu popular di lingkungan umat Islam di Indonesia. Sehingga ketika disebut agama hanif (agama yang condong kepada kelurusan atau kebenaran) masih terasa asing. Kata hanafa telah dikenal dalam bahasa yang berlaku ketika itu di lingkungan masyarakat Arab. Sebagian orientalis berpendapat “sesungguhnya kata tersebut berasal dari bahasa ibrani, yaitu tahniyus atau dari kata hanafa yang berarti at-Tahannus (beribadah dalam waktu beberapa malam). Di kalangan orang arab dan suryani kata hanafa dimaksudkan Shaba’a yang berarti condong dan terpengaruh oleh sesuatu. Al-Qur’an juga berbicara tentang al-Hunafa’. Kata Hanifan diulang sepuluh kali dalam Al-Qur’an, sedangkan kata Hunafa’ diulang 2 kali.

Gerakan al-Hanafiyyah, di lingkungan masyarakat Arab belum mendapatkan kajian dan penelitian yang memadai dari para peneliti modern. Letak penting gerakan ini lebih pada titik penemuan (halaqah) dalam masa transisi dari masa pra-islam menuju masa islam. Penyebaran al-Hanifiyyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, cerdik-cendikia, orang-orang yang tercerahkan dan para penyair, merupakan sesuatu yang baru sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Fenomena para hunafa’ ini muncul sebagai suatu realitas sejarah yang tidak bisa dihindari. Bahkan kondisi masyarakat mengharuskan demikian, karena kekuatan-kekuatan produktif terus berkembang, seiring dengan bertambahnya produksi pertanian dan produksi perindustrian. Perkampungan kecil berubah menjadi kota-kota yang maju, aktifitas perdagangan yang semakin giat dan proses tukar menukar barang telah mempercepat perubahannya.

Al-Hunafa’ dengan demikian, adalah kumpulan orang-orang dengan segenap keistimewaan yang ada pada dirinya, seperti kecerdasan akal dan pengetahuannya yang luas, pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap problematika kehidupan. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar. Mereka menolak menyembah berhala karena dipandang sia-sia, dan mengajak kepada ketauhidan. Mereka menjauhkan diri dari menyembah berhala dan tidak condong kepada agama Yahudi dan Nasrani, melainkan mereka menyuarakan ke-Esaan Allah. Demikian pula mereka mempunyai kelebihan dalam tingkah laku dan moralitas sehingga mereka menolak segala kehinaan yang tersebar di masyarakatnya, seperti zina, minum khamer, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan ajakan demi tersebarnya agama hanif sebagai pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional.

Semua faktor-faktor tersebut telah berinteraksi sehingga berkembang dan melahirkan fenomena agama hanif dan tersebar diseluruh penjuru, khususnya di kota-kota atau pusat-pusat kebudayaan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa fenomena al-Hunafa’ tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya ‘kesadaran’ dalam berIslam dan juga kesadaran dalam membangun peradaban. Mereka hidup dalam peradaban yang tinggi secara relatif. Hal itu karena kebanyakan mereka telah mempelajari kitab suci kedua agama Semit (Yahudi dan Nasrani). Sebagian telah menguasai bahasa yang lain selain bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani. Semua itu dimaksudkan untuk mencari agama Nabi Ibrahim, sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sebutan hanif yang dalam bahasa teologi Islam justru termuat dalam paham tawhid, yang akan membawa kepada siapa saja yang mempercayainya kepada suatu sikap pasrah kepada Tuhan sebagai suatu bentuk ketundukan. Sejalan dengan pengertian “Islam” itu sendiri, sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”.

Dan pada dasarnya agama yang sah tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Tak ada agama tanpa sikap pasrah. Berdasarkan teologi ini, maka semua agama yang benar, adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, yakni mengajarkan al-Islam. Sebab agama para nabi terdahulu, semuanya adalah Islam. Agama Islam tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-Islam yang lain. Walaupun dalam kenyataannya, agama-agama lain itu, tidak disebut dengan nama Islam.

Perlu diuraikan juga di sini bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islâm), dan agama kaum Muslim (Islâm) adalah kelanjutan, pembetulan, dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh Tuhan kepada semua Nabi. Karena itu, sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu.

Begitu tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhîd, monoteisme. Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan (balance). Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik.

Ada kisah yang terkait dengan ajaran Islam yang hanif atau al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang. Diceritakan, ada seorang sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.

Terkait dengan hadis di atas, Muhammad Asad juga menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Ajaran tentang formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal, menurut Nurcholish Madjid, akan sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Dalam Islam, kebahagiaan hidup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama mengatakan bahwa Islam sama dengan Yahudi, yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal saleh. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Kamis, 22 Januari 2009

Anak-anak Muda Tentang Cak Nur

Anak-anak Muda tentang Cak Nur


Judul Buku : All You Need is Love Cak Nur di Mata Anak-anak Muda
Editor : Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando
Penerbit : Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 208 halaman


Moh. Shofan

Prof. Dr. Nurcholish Madjid (yang biasa disapa Cak Nur) dikenal sebagai tokoh intelektual yang tajam, terbuka, dan pluralis. Gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Cak Nur berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya. Komitmennya pada pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan yang bersifat niscaya membuat ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda.

Buku ‘All You Need is Love!’ yang berisi tentang pandangan anak-anak muda mengenai Cak Nur menjadi bukti empirik bahwa pikiran-pikiran bernasnya mampu menginspirasi, mempengaruhi, bahkan menjadi spirit bagi anak-anak muda untuk melampauinya. Menyebut salah satu contoh, Husni Mubarok –seorang intelektual muda pengagum Cak Nur– mengatakan, bahwa gagasan Cak Nur mengenai tauhid sekular sangatlah penting. Gagasan ini menurutnya, perlu didakwahkan bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di lingkungan pemerintah agar terwujud pemerintahan yang adil dalam berbangsa dan bernegara. (h. 103-104) Dalam buku ini, anak-anak muda merekam apa makna Cak Nur bagi pembentukan dan perkembangan diri mereka sendiri, baik pikirannya, bukunya, wawancaranya di media massa, selebritasnya, caranya menjawab kritik, khotbah Jumatnya, dan lainnya. Kiprah Cak Nur selama hayatnya beresonansi di kalangan anak-anak muda Indonesia kontemporer, satu lapisan generasi yang jelas bukan generasi yang menjadi sasaran utama “kampanye”-nya ketika dia pertama kali menarik gerbong pembaharuannya. (h. 6)

Buku yang ditulis oleh anak-anak muda ini merupakan kumpulan hasil sayembara penulisan esai yang diselenggarakan Yayasan Wakaf Paramadina dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya Cak Nur. Cak Nur, di mata anak-anak muda cukup dikagumi. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris. Cak Nur juga dianggap sebagai sosok ideolog dan leader yang mampu melakukan pencerahan di saat umat Islam sedang mengalami krisis kepemimpinan dan arah gerakan. Dan, Cak Nur, adalah seorang penulis dan pembicara yang baik.

Begitu luasnya pengetahuan Cak Nur, mengenai Islam dan dunia kemodernan, sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Cak Nur, menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H. Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Cak Nur adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-19. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ kelahiran Jombang, Jawa Timur ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis.

Posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Cak Nur, memang pantas menyandang ‘Mahkota Intelektual’ Indonesia, karena wawasannya yang luas dan sangat ensiklopedis. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan bahwa Cak Nur tidak hanya milik bangsa, tetapi juga milik dunia. Dalam konteks dunia Islam, saya kira, sangatlah layak jika Cak Nur disejajarkan dengan M. Abid Al-Jabiri, Mohamed Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan gurunya sendiri Fazlur Rahman.

Sebagai seorang pembaharu Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran Neo-Modernis, pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Kurzman ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang ciri-cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancaman, tapi justru reinventing Islam untuk ‘meluruskan’ modernitas Barat; membuka peluang bagi bentuk tertentu ‘otonomi duniawi’ dalam berbangsa dan bernegara, dan; cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif. Cak Nur, menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Inilah dasar-dasar paling penting dari pemikiran sosial kemodernan Islam yang ditanamkan Cak Nur dalam keterlibatan Islam membangun Islam modern.

Buku ini terdiri dari tiga bab. Bagian pertama mengungkap apa yang dikenang mereka dari Cak Nur, apa yang mereka anggap menginspirasikan, untuk perkembangan pribadi mereka sendiri. Bagian kedua lebih terkait langsung dengan substansi pembaharuan Cak Nur. Dan, pada bagian terakhir buku ini mendiskusikan nasib pembaharuan Islam sesudah Cak Nur. Kini, Cak Nur telah tiada. Namun, buku ini menjadi saksi sejarah bahwa pikiran-pikiran bernas Cak Nur, Sang lokomotif pembaharu ini mengakar kuat di benak anak-anak muda sebagai pelaku dan penerus pembaharuan di masa yang akan datang.


Dimuat di Surabaya Post, 25 Januari 2009

Asal-Muasal Bangsa Yahudi

Asal-Muasal Bangsa Yahudi

Moh. Shofan


Bani Israil adalah anak keturunan Israil, yaitu anak keturunan Nabi Ya’qub, cucu Nabi Ibrahim dari Nabi Ishaq. Tuhan, melalui Ishaq, menjanjikan kepada Ibrahim akan tampil banyak Nabi dan Rasul. Ishaq beranakkan Ya‘qub yang bergelar Israil (Isra El, hamba Allah). Israil mempunyai dua belas anak, sepuluh dari istri pertama dan dua dari istri kedua. Yusuf, salah seorang diantaranya, menjadi sasaran kecemburuan dan pengkhianatan saudara-saudaranya. Karena ulah saudara-saudaranya, Yusuf akhirnya terdampar di Mesir, mula-mula sebagai budak, kemudian bebas namun lalu masuk penjara, dan akhirnya menjadi menteri urusan pangan kerajaan. Ya‘qub yang hidup di Kanaan selalu merindukan Yusuf, yang ia yakini masih hidup. Maka diperintahkan anak-anaknya untuk mencari Yusuf dengan cara, tidak masuk dari satu pintu saja melainkan masuk dari berbagai pintu yang berbeda-beda (Q., 12: 67). Akhirnya diketemukanlah Yusuf yang telah menjadi menteri tersebut. Dengan kedudukannya yang baik itu, Yusuf mampu memboyong seluruh keluarga ayahnya untuk menetap di Mesir. Maka mereka pun beranak-pinak, dan lahirlah di Mesir suatu kelompok masyarakat yang dikenali sebagai Bani Israil (anak keturunan Israil, yakni Nabi Ya‘qub), asal-muasal bangsa Yahudi sekarang ini.

Allah mendudukkan mereka pada tempat yang tinggi, sebagaimana dalam firman-Nya dan Kami utamakan mereka di atas bangsa-bangsa (Q., 45: 16). Janji Tuhan sebagaimana dalam firman-Nya tersebut, dengan syarat bahwa mereka berpegang kepada ajaran Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, janji Tuhan tersebut sama dengan ketika menunjuk Ibrahim sebagai pemimpin umat manusia. ...Ia berfirman, “akan Kujadikan engkau seorang Imam umat manusia kepada Ibrahim, sesungguhnya Aku telah mengangkat engkau sebagai pemimpin umat manusia”. Ia bermohon, “Dan juga (imam-imam) dari keturunan¬ku?” Ia berfirman, “Janji-Ku tak berlaku bagi orang-orang zalim” (Q., 2: 124).

Indikasi bahwa orang Yahudi sekarang hebat di Amerika, karena mereka adalah pekerja keras. Mentalitas minoritas yang tantangannya just how to survive, membuat mereka menjadi pekerja keras. Nah, kerja keras inilah, menurut Nurcholish, yang menjadi kunci kehebatan orang Yahudi di Amerika. Keunggulan orang Yahudi dalam arti lebih luas, apalagi spiritual, sebagian memang benar. Al-Quran mengatakan, Mereka tidak sama: di antara Ahl al-Kitab ada segolongan yang berlaku jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dan mereka pun bersujud. (Q., 3: 113-115). Ayat ini, merupakan gambaran bahwa di antara orang Yahudi itu ada yang baik. Seperti dalam masalah Israel, banyak sekali orang Yahudi Amerika yang tidak setuju dengan Israel. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya, terkadang mereka membuat iklan satu halaman penuh menentang Israel di New York Times. Tidak terlalu mengherankan jika, Palestina di bawah pimpinan Yasser Arafat tidak pernah anti-Yahudi, melainkan anti-Israel dan anti-Zionisme. Israel ditentang karena merupakan sebuah negara yang dipaksakan, dan Zionisme ditentang karena kezalimannya yang hendak mengambil hak-hak orang-orang Arab yang sah.

Namun, keberadaan orang-orang Yahudi juga tidak semua sama seperti yang digambarkan di atas. Ketika orang Yahudi dikutuk Tuhan karena menolak Nabi Isa dan menuduh Maryam sebagai pezina, kota Yerusalem dihancurleburkan melalui tangan Titus. Orang Yahudi kemudian dilarang tinggal di Palestina dan mengalami Diaspora, yaitu hidup mengembara di seluruh muka bumi tanpa tanah air. Ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, (Q., 3: 112). Pada waktu itu, orang Yahudi nista sekali, sehingga istilah ghetto, daerah kumuh di perkotaan, diasosiasikan kepada mereka.

Nurcholish, menceritakan, dalam riwayat mengenai Al-Masjid Al-Aqsha, ada hal yang sangat penting, yaitu Bani Israil ditakdirkan membuat dua kali kerusakan di bumi. Bani Israil telah berbuat keru¬sakan yang pertama dan dihancurkan oleh Tuhan. (Q., 17: 4-7). Penjelasan Nurcholish yang cukup panjang mengenai hal ini, sebagai berikut:

"Menurut tafsir Baidhawi, al-Kasysyâf, Al-Thabari dan Ibn Katsir kemudian digabung dengan Muqaddimmah-nya Ibn Khaldun, Bani Israil membuat kerusakan pertama pada 700 tahun sebelum Masehi atau 200 tahun setelah Nabi Sulaiman. Pada saat itu Palestina diserang oleh Babilon di bawah Nebukadnezar; Al-Masjid Al-Aqsha dihancurkan dan Bani Israil dibawa ke Babilon untuk dijadikan budak. Keterpurukan Bani Israil ditolong oleh bangsa Parsi yang mengalahkan Babilon, dan diizinkan kembali ke Yerusalem dengan pimpinan Nabi ‘Uzeir (Ezra). Di bawah pimpinan ‘Uzeir, Al-Masjid Al-Aqsha dibangun kembali secara sederhana, sesuai kehendak penguasa Parsi. Keadaan ini berlangsung sampai sekitar setengah abad sebelum kelahiran Isa Al-Masih, yaitu ketika Herodus tampil sebagai raja Yahudi. Herodus inilah yang membangun kembali Al-Masjid Al-Aqsha dengan luar biasa megahnya konon katanya lebih megah dari bangunan Nabi Sulaiman. Bangunan Al-Masjid Al-Aqsha yang begitu indah ini seolah hanyalah sebagai proyek mercusuar, karena di dalamnya tidak ada isinya. Karena itu ketika Isa Al-Masih diutus Allah sebagai rasul, ia menutupnya. Isa Al-Masih dilukiskan pernah menendangi bangku-bangku lintah darat sambil mengutuk, “kalau begini terus masjid ini bakal dihancurkan lagi oleh Allah dan kamu akan tetap menjadi bangsa yang terkutuk”. Kutukan Isa ini menjadi kenyataan sekitar tahun 70 Masehi, ketika Yerusalem diserbu Romawi di bawah pimpinan Titus. Untuk kesekian kalinya Al-Masjid Al-Aqsha hancur, dan inilah yang dimaksudkan dengan, Maka jika peringatan kedua sudah lalu (Kami mengizinkan musuh-musuhmu) akan merusak wajah-wajahmu, dan mereka memasuki kuil sebagaimana telah mereka masuki pertama kali, dan mereka mem¬binasakan segala yang berada di bawah kekuasaan mereka. Mudah-mudahan Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi jika kamu kembali (melakukan kejahatan), Kami pun kembali (menjatuhkan azab). Dan Kami jadikan jahanam kurungan orang tak beriman (Q., 17: 7-8)."

Demikianlah, di hadapan Titus, Bani Israil menjadi bangsa yang terhina dan tidak diperbolehkan untuk tinggal di Palestina. Dari sini muncul apa yang dikenal dengan istilah Diaspora, yaitu mengembara ke seluruh muka bumi karena tidak memiliki tanah air. Di mana pun mereka dihina dan dibenci oleh bangsa-bangsa tempat mereka tinggal. Dan inilah pengalaman paling pahit Bani Israil. Puncaknya adalah Genocide atau Holocaust (pembantaian secara sistematik) yang dilakukan Jerman Nazi. Tetapi tampaknya inilah yang dimaksud oleh firman Allah, Mereka selalu diliputi kehinaan (seperti kemah) di mana pun mereka berada (Q., 3: 112).

Tentang Bangsa Yahudi dan Konflik Palestina-Israel

Tentang bangsa Yahudi dan konflik Palestina-Israel

Ulil Abshar Abdalla

Saya kadang-kadang berpikir, jangan-jangan konflik Palestina-Israel tidak akan selesai "ila yaum al-qiyamah", sampai hari kiamat. Satu-satunya harapan adalah jika kedua belah pihak lelah dan bosan perang, lalu dengan "sadar" meletakkan senjata dan saling jabat tangan. Tetapi titik-lelah itu belum kelihatan hingga sekarang. Kita harus siap untuk melihat jatuhnya korban terus-menerus di waktu-waktu mendatang. Sudah berkali-kali usaha untuk mendamaikan kedua belah pihak dilakukan oleh komunitas internasional, tetapi gagal terus.

Masing-masing pihak mempunyai versinya masing-masing kenapa usaha diplomatik itu gagal. Pihak Israel sudah tentu menyalahkan pihak Palestina, sejak zaman PLO di bawah Arafat hingga sekarang ini di mana Hamas muncul ke permukaan menggantikan popularitas PLO. Pihak Palestina dan negara-negara Arab, kemudian diamini juga oleh dunia Islam, tentu menyalahkan pihak Israel sebagai biang kegagalan usaha diplomatik itu.

Saat perang atas terorisme dikumandangkan oleh Presiden Bush dari Washington, semua negara makin punya alasan untuk menjadikan momen ini untuk meningkatkan aksi-aksi militer mereka, tentu dengan alasan untuk memerangi terorisme. Rusia dan Cina telah melakukan itu. Kini Israel, sebelum Bush lengser beberasa saat lagi, seperti "kejar tayang" untuk menyelesaikan "masalah Hamas" dengan melakukan agresi besar-besaran. Seperti sudah bisa kita duga, aksi Israel ini didukung "tanpa syarat" oleh Presiden Bush.

Mari kita lihat konflik ini dalam perspektif yang lebih luas sehingga kita bisa lebih "tenang" memahaminya. Tak ada dalam sejarah manusia di mana sebuah bangsa dibenci secara sistematis, menjadi sasaran prasangka buruk, stereo-type, rasialisme, dan persekusi seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Itulah sebabnya di Eropa di mana bangsa Yahudi mengalami banyak persekusi dan diskriminasi selama berabad-abad dikenal istilah "Jewish question", masalah Yahudi. Debat menganai "Jewish question" ini berlangsung lama sekali di Eropa dan baru tuntas pada pertengahan abad ke-20.

Secara kuantitas, bangsa Yahudi tidaklah besar jumlahnya. Total jumlah orang Yahudi di seluruh dunia saat ini mungkin tak lebih dari 15 juta orang. Sebagian besar mereka tinggal di Israel dan Amerika. Selebihnya mereka terserak-serak sebagai koloni kecil-kecil di berbagai belahan dunia, mulai dari Eropa, Amerika Latin, Asia, termasuk di negeri-negeri Arab sendiri. Tetapi bangsa yang kecil jumlahnya ini menjadi sasaran prasangka buruk dan kebencian oleh banyak pihak sejak zaman dahulu.

Pertama-tama yang layak kita sebut adalah pihak Kristen. Selama beradad-abad, bangsa Yahudi menjadi sasaran diskriminasi dari pihak Kristen. Konflik antara Kristen dan Yahudi sudah berlangsung sejak awal, bahkan sejak kelahiran agama Kristen itu sendiri. Pertikaian antara orang-orang Yahudi dan Kristen bukan sekedar pertikaian politik biasa, tetapi juga pertikaian yang dijustifikasi secara teologis melalui ajaran agama.

Lalu datang Islam. Sejak awal, pertikaian antara Islam dan Yahudi sama sekali tak terhindarkan. Pada saat Nabi Muhammad datang di Madinah, ada sejumlah koloni orang-orang Yahudi di sekitar Madinah. Karena konflik dengan Nabi dan umat Islam saat itu, orang-orang Yahudi ditumpas habis dan sebagian lagi diusir secara total dari kawasan itu. Pada saat Islam berjaya sebagai kekuatan politik di kawasan Arab pada rentang antara abad 8 hingga abad 15 Masehi, bangsa Yahudi sebetulnya menikmati suasana yang lebih bersahabat di dunia Islam ketimbang di dunia Kristen.

Tetapi, kebencian pada Yahudi sebagai sebuah agama tetap bertahan secara endemik dalam Islam. Bangsa Yahudi digambarkan sangat negatif dalam beberapa ayat di Quran, dan kemudian disokong pula dengan sejumlah hadis. Contoh kecil saja: sebuah hadis terkenal menyebutkan bahwa pada akhir zaman nanti Nabi Isa (atau Yesus) akan turun kembali ke bumi (persis dengan keyakinan dalam Kristen). Menurut hadis itu, tugas Nabi Isa pada saat itu, antara lain, adalah untuk menghancurkan salib dan membunuhi orang-orang Yahudi.

Sebuah hadis lain menyebutkan bahwa dua frasa di ujung Surah al-Fatihah (bab pembuka dalam Quran) merujuk kepada orang Kristen dan Yahudi. Dua frasa itu adalah: "al-maghdub 'alaihim" (orang-orang yang dibenci oleh Tuhan) dan "al-dallin" (orang-orang yang sesat). Orang yang dibenci Tuhan maksudnya, sebagaimana dijelaskan oleh hadis itu, adalah orang Yahudi, sementara orang-orang yang sesat adalah orang-orang Kristen. Karena pengaruh Kitab Suci sangat mendalam pada umatnya, kita bisa membayangkan bagaimana dua frasa yang diulang-ulang setiap salat oleh seluruh umat Islam ini memiliki pengaruh dalam membentuk prasangka buruk terhadap bangsa Yahudi.

Baik agama Kristen atau Islam mengandung unsur-unsur ajaran yang bisa membiakkan kebencian pada bangsa Yahudi. Ini bukan kebencian biasa, tetapi kebencian yang dijustifikasi oleh firman dan ajaran Tuhan sehingga pengaruhnya sangat mendalami. Tak heran sekali jika kebencian pada agama dan bangsa Yahudi bertahan selama berabad-abad. Kalau kita baca sejarah, tidak ada bangsa yang mengalami korban sebagai sasaran kebencian selama dan seserius seperti dialami oleh bangsa Yahudi. Yang mengherankan, jumlah mereka sangat kecil sekali, tetapi kebencian pada mereka sungguh tak sebanding dengan jumlah itu. Atau justru karena mereka kecil lah dengan mudah menjadi "kambing hitam" di mana-mana. Persis seperti dialami oleh kaum minoritas di manapun yang cenderung dijadikan sasaran demonisasi dan pengambing-hitaman.

Kalau kita baca sejarah Amerika, hingga pertengahan abad 20, diskriminasi dan perlakuan yang tak menyenangkan dialami oleh bangsa Yahudi secara konsisten. Seorang profesor Yahudi yang pernah belajar di Universitas Harvard dan sekarang sudah pensiun pernah bercerita pada saya bahwa hingga tahun 60an, orang-orang Yahudi mendapat kesulitan untuk memperoleh posisi sebagai profesor di Universitas Harvard. Menurut dia, seorang ekonom Yahudi yang sangat kondang dan pernah memenangkan hadiah Nobel, Paul Samuelson, ditolak lamarannya sebagai profesor di Universitas Harvard pada tahun 40an. Menurutnya, Samuelson ditolak terutama karena keyahudiannya. Akhirnya, MIT (Massachusetts Institute of Technology) menampung dia. Saat di MIT itulah Samuelson mendapatkan hadiah Nobel. Saya kira, Universitas Harvard malu dengan kejadian ini.

Di dunia Islam, jelas orang-orang Yahudi saat ini merasa kurang nyaman. Oleh karena itu, sejak berdirinya negara Israel pada tahun 1948, jumlah orang Yahudi yang tinggal di kawasan Arab merosot tajam. Mereka kurang merasa nyaman tinggal di lingkungan yang kurang bersahabat dengan mereka. Dalam periode pra-modern, memang dunia Islam memperlakukan bangsa Yahudi jauh lebih baik ketimbang dunia Kristen di Eropa. Tetapi secara umum, kondisi orang-orang Yahudi di dunia Islam pun pada zaman dahulu tetap menjadi sasaran diskriminasi dan kebencian. Sebagaimana sudah saya sebut, kebencian pada Yahudi dalam Islam tertanam melalui ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana juga dalam Kristen. Kebencian itu mendalam sekali karena dijustifikasi dengan ajaran agama.

Sekarang ini, di dunia Islam, terutama di Indonesia, istilah "antek Yahudi" adalah kata-kata kotor yang dipakai untuk menyerang siapa saja yang dianggap "memusushi" Islam -- sama kotornya dengan istilah "antek PKI". Dulu, almarhum Prof. Nurcholish Madjid pernah dijuluki oleh sebuah media kalangan Islam fundamentalis di Jakarta sebagai "antek Yahudi". Majalah itu menggambarkan Cak Nur melalui sebuah karikatur yang menarik: nama Cak Nur dibelit oleh ular yang membentuk bintang David. Kita tahu apa maksud karikatur itu: Cak Nur adalah antek Yahudi yang terperangkap dalam belitan "ular" Yahudi.

Hingga saat ini, bahkan di Amerika sekalipun, kita menyaksikan beredarnya sebuah teori konspirasi tentang "rencana Yahudi" untuk menguasai dunia. Buku "Protocols of Zion", misalnya, yang merupakan karangan palsu dinas rahasia Rusia beredar luas di Eropa, Amerika, dan meluber pula sampai ke dunia Islam. Buku itu sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab dan basaha-bahasa lain itu dunia Islam. Buku itu juga dipercayai oleh banyak kalangan sebagai dokumen otentik yang didasarkan pada fakta-fakta sejarah tentang rencana bangsa Yahudi untuk menguasai dan menghancurkan dunia. Buku semacam ini jelas dengan gampang menyebarkan rasa kebencian pada bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu.

Tak hanya itu. Henry Ford, pendiri perusahaan mobil Ford yang terkenal itu menulis buku yang sangat anti-Yahudi berjudul "The Jews". Beberapa tahun yang lalu, saat usai memberikan ceramah di Malaysia, seorang audiens memberikan saya buku itu seraya berkata, "Bapak harus membaca buku ini". Hingga sekarang, sentimen anti-Yahudi masih bertahan di banyak kalangan di Amerika.

Poin yang ingin saya sampaikan adalah bahwa bangsa Yahudi yang kecil jumlahnya itu menjadi sasaran kebencian dari banyak pihak. Anda bisa bayangkan, bagaimana perasaan sebuah bangsa kecil yang dibenci oleh dua agama besar selama berabad-abad, yaitu Kristen dan Islam. Sekarang ini, jumlah pengikut kedua agama itu boleh jadi lebih dari 2,5 milyar. Dari jumlah sebanyak itu, ada persentasi yang cukup besar, sekurang-kurangnya dari sebagian kalangan Islam, yang sangat membenci, atau minimal kurang bersahabat, dengan bangsa Yahudi. Tentu keadaan semacam ini menciptakan rasa yang sangat tidak aman bagi orang-orang Yahudi.

Bagaimana mungkin orang Yahudi yang hanya berjumlah tak lebih dari 15 juta itu bisa merasa aman di tengah-tengah bangsa-bangsa yang membenci dan mempunyai stereo-type negatif mengenai mereka? Jangan lupa, kebencian ini sudah berlangsung berabad-abad, dan karena itu sudah merasuk ke dalam psyche bangsa-bangsa yang membenci orang-orang Yahudi itu. Ini yang menjelaskan kenapa bangsa Yahudi, terutama di Israel, mempunyai instink yang sangat kuat untuk membangun pertahanan diri, kadang-kadang instink itu bekerja secara berlebihan, meskipun hal itu bisa kita pahami. Sebab bangsa Yahudi mempunyai memori yang sangat buruk mengenai masa lalu mereka. Jika mereka kehilangan negara Israel yang sudah berhasil mereka dirikan dengan susah payah itu, mereka khawatir akan kembali kepada "zaman kegelapan" yang berlangsung sejak berabad-abad sebelumnya.

Ini yang menjelaskan kenapa Israel bersikap tanpa kompromi pada Hamas sebab kelompok ini memiliki misi khusus untuk menghancurkan negara Israel. Di mata Israel, Hamas jelas semacam mimpi-buruk yang menghantui mereka. Bangsa Yahudi jelas tak mau jatuh ke masa silam yang buruk, ke zaman pogrom dan holocaust.

Tetapi justru di sini letak kelemahan bangsa Yahudi di Israel dan di manapun saat ini. Karena terlalu dihantui oleh masa lampau yang pahit, reaksi mereka terhadap ancaman saat ini terlalu berlebihan. Yang menjadi korban adalah bangsa Palestina. Sebagai sebuah negara, Israel, negara Yahudi itu, saat ini sudah cukup kuat dan sangat makmur. Memang kita bisa paham kenapa Israel selalu merasa tidak was-was dan tidak aman selama ini, sebab ia dikepung oleh tetangga-tetangga yang sangat membenci keberadaannya.

Kalau di awal tulisan ini saya mengtakan bahwa konflik Palestina-Israel boleh jadi tak akan pernah selesai, di ujung tulisan ini saya ingin mengemukakan sebuah harapan. Salah satu harapan itu adalah jika pihak bangsa Yahudi dan bangsa Arab, terutama Palestina, bisa mengatasi "masa lalu" mereka masing-masing. Bangsa Yahudi harus melepaskan diri dari "mentalitas diaspora" yang membuat mereka merasa terancam terus dan selalu mencurigai tetangga-tetangganya. Jika mentalitas ini tak bisa diatasi, maka negara Israel akan terus mencari musuh dengan tetangga-tetangga dekatnya seperti kita saksikan sekarang ini.

Dari pihak bangsa Arab, tantangan terbesar adalah mengatasi "rasa superioritas" mereka sebagai bangsa yang pernah berjaya selama berabad-abad di kawasan Arab dan sekitarnya, dan merasa bahwa bangsa Yahudi tak punya hak untuk mendirikan negara di tanah Palestina, sebab hal itu akan melukai rasa superioritas itu.

Dari pihak umat Islam sendiri secara keseluruhan juga ada tantangan yang sangat berat jika mereka benar-benar ingin ikut menyelesaikan masalah Palestina-Israel ini. Selama ini, kita semua tahu, ajaran yang membenci bangsa Yahudi diajarkan terus di sekolah-sekolah agama di seluruh dunia Islam, sejak zaman klasik hingga sekarang. Waktu saya di pesantren dulu, setiap guru saya menerangkan ayat-ayat dalam Quran yang membenci bangsa Yahudi, maka mereka memahaminya dengan tidak kritis, sehingga secara tak sengaja, mereka mengajarkan kebencian turun-temurun terhadap bangsa Yahudi. Bagaimana mungkin dunia Islam mau menyelesaikan masalah Palestina-Israel jika ajaran-ajaran yang membenci bangsa Yahudi ini terus ditularkan dari satu generasi ke generasi berikutnya?

Menurut saya, harus ada reinterpretasi ulang atas sejumlah ayat dan hadis yang membenci bangsa Yahudi dan selama ini diajarkan di lembaga-lembaga Islam. Jika tidak, maka selamanya akan terjadi kebencian dan permusuhan antara umat Islam dan bangsa Yahudi. Saya tak percaya bahwa umat Islam akan berhenti membenci bangsa Yahudi seandainya pun yang terakhir itu, misalnya, dengan sukarela membubarkan negara Israel lalu pergi dari tanah Palestina. Menurut saya, masalahnya lebih serius dari sekedar masalah "tanah". Yang bermasalah adalah doktrin dalam agama itu sendiri.

Apa yang saya tulis ini jelas tak populer di kalangan Islam saat ini. Boleh jadi, tulisan ini dianggap sebagai bagian dari konspirasi Yahudi pula. Silahkan saja. Dengan terus terang saya katakan, saya bukan "fan" atau pendukung ringan, apalagi berat, negara Israel. Saya benci dan jengkel pada tindakan dan kebijakan pemerintah Israel selama ini terhadap bangsa Palestina. Tetapi kita juga harus jujur melakukan otokritik pada diri kita sendiri. Ada sikap-sikap yang salah dan tak tepat juga di kalangan umat Islam terhadap bangsa Yahudi yang jumlahnya sangat kecil itu. Sikap-sikap yang berdasarkan pada doktrin agama itu harus dikritik jika umat Islam memang benar-benar ingin menegakkan perdamaian di bumi Palestina.[] Wallahu a'lam bissawab

Fakta dan sejarah konflik Arab-Israel

Fakta dan sejarah konflik Arab-Israel

Agama Islam mengajarkan bahwa kezaliman yang ditimpakan kepada kita tidak boleh membuat kita berpaling dari bersikap dan berpandangan adil. Dalam memandang konflik Arab-Israel selama ini sudahkah kita bersikap adil? Kita juga diajarkan kalau terjadi pertikaian antara seorang muslim dan non muslim, kita dilarang membela salah satu fihak berdasarkan kesamaan agamanya tanpa melihat fakta dan permasalahannya.

Agar kita tidak jatuh dalam penghakiman yang tidak berdasarkan sejarah dan fakta, saya mengajak saudara semua untuk membaca dan mempelajari sejarah konflik Arab-Israel sebelum mengucapkan komentar-komentar yang ternyata justru merupakan komentar yang zalim.

Saya mengajak saudara-saudara semua untuk melihat sejarah konflik tersebut dengan hati-hati. Pendapat dan keputusan setelah mempelajari fakta-fakta yang terjadi Insya Allah membuat kita terhindar dari penghakiman dan komentar yang zalim terhadap masing-masing fihak. Sedikit kronologi yang saya tulis di bawah ini tentu saja tidak lengkap dan detail. Untuk menuliskan sejarah dan fakta secara detail dan lengkap atas konflik Arab-Palestina akan menghabiskan ribuan halaman dan menghabiskan sangat banyak waktu untuk melakukan riset. Oleh karena itu, selain membaca kronologi singkat yang saya rangkum di bawah ini saya sangat menganjurkan para pembaca untuk juga membaca sumber-sumber lain mengenai konflik Arab-Palestina.

Migrasi Bani Israel Ke wilayah Palestina
Wilayah Israel dan palestina serta seluruh timur tengah ada dibawah kekuasaan Turki Usmani selama kurang lebih 500 tahun ( perlu diingat bahwa kekuasaan Turki Usmani atas wilayah Arab dianggap sebagai penjajahan oleh orang-orang Arab). Pada perang dunia pertama, orang-orang arab dan yahudi di wilayah tersebut mendukung sekutu karena dijanjikan kemerdekaan dari "penjajahan" Turki Usmani. Setelah perang dunia pertama wilayah ini ada di bawah kekuasaan Inggris dan disebut sebagai British Mandate of Palestine (termasuk di dalamnya Jordan dan Israel sekarang).

Pada akhir 1800-an di bawah bendera zionisme orang-orang kaya Yahudi dari Eropa mulai membeli tanah di wilayah Palestina dari para penguasa Turki. Theodore Herzl, sang pemimpin gerakan, merayu para penguasa Turki dengan alasan bahwa mereka ingin memberdayakan lahan-lahan yang tidak produktif dan menjadikannya kota-kota baru sehingga akan meningkatkan pendapatan pajak bagi penguasa Turki.

Pada saat itu Jerusalem hanyalah kota kecil dikelilingi tembok yang dihuni oleh beberapa puluh ribu penduduk. Dibawah para pendatang yahudi Eropa, lahan-lahan pertanian besar dibuka (disebut dengan kibbutzim) dan Kota-kota didirikan – termasuk Tel Aviv. Dengan masuknya modal dari Yahudi Eropa, meningkatnya standar hidup, pendidikan dan lapangan pekerjaan, orang-orang arab pada mulanya menyambut baik kedatangan para imigran tersebut.

Meskipun jumlah pendatang Yahudi tidak sebanyak orang arab, namun perekonomian, tanah, modal dan alat produksi praktis dikuasai oleh mereka. Pada 1931 jumlah yahudi hanya 17 persen dibandingkan dengan arab. Ketika Nazi berkuasa di Jerman, semakin banyak pendatang yahudi dari Eropa sehingga jumlah mereka menjadi berlipat.

Seiring dengan semakin majunya wilayah tersebut dibawah modal kaum yahudi, para pendatang arab maupun yahudi dari negara sekitar mulai banyak berdatangan. Dengan banyaknya modal yang masuk bersamaan dengan meningkatnya pendatang yahudi dari Eropa, tanah yang dibeli dan dikuasai oleh Yahudipun semakin luas. Konflik berskala kecil mulai terjadi ketika para juragan dan tuan tanah Yahudi lebih memilih mempekerjakan orang-orang yahudi ketimbang arab muslim.

Arab muslim mulai merasa terancam eksistensi dan identitasnya sebagai "pribumi". Penduduk arab semakin marah ketika para juragan Yahudi melarang orang-orang arab bekerja di pabrik dan lahan pertanian mereka. Pada tahun 1920 penduduk arab melakukan demonstrasi atas ketidak adilan yang mereka rasakan. Kemarahan ini berlanjut kepada pembantaian. Pada tahun 1929 arab muslim membunuh 67 orang yahudi. Ketegangan berlanjut hingga menyebabkan terjadinya pemberontakan arab 1936-1939 di Palestina.

Two State Solution
Protes dan tekanan dari fihak arab muslim membuat penguasa Inggris memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah pendatang yahudi ke palestina (pelarangan imigran yahudi memasuki palestina oleh Inggris ini menyebabkan kongres Amerika Serikat menunda pengucuran bantuan hutang kepada pemerintah Inggris). Peraturan baru dibuat untuk membatasi pembelian tanah oleh para imigran Yahudi. Namun ketika mandat Inggris berakhir bertepatan dengan terjadinya holocaust oleh nazi, kedatangan imigran Yahudi secara illegal ke palestina tak dapat dibendung.

Inggris yang tak mampu lagi mengendalikan situasi dan menghentikan kerusuhan meminta bantuan dari PBB yang baru saja dibentuk (dalam periode ini Inggris mengalami kesulitan keuangan dan tak mampu lagi membiayai keberadaan tentaranya di wilayah tersebut yang mencapai 100.000 orang). Pada tanggal 15 Mei 1947 PBB membentuk sebuah komite dengan nama UNSCOP. Setelah lima minggu melakukan pembicaraan dan penelitian, komite merekomendasikan pembagian Palestina menjadi wilayah arab dan yahudi. "Two state solution" diterima dengan keluarnya resolusi 181 majlis umum PBB pada november 1947 dengan dukungan suara 33 dan menentang 13 serta abstain 10.

Dalam pembagian wilayah tersebut ditentukan bahwa jerusalem yang merupakan kota suci bagi tiga agama besar dunia menjadi wilayah internasional agar keamanan dan stabilitasnya bisa dijaga bersama-sama. Pembagian wilayah yang didasarkan pada jumlah penduduk dari kedua belah pihak dan kepemilikan tanah ini ditentang oleh negara-negara arab yang tergabung dalam liga arab. Sementara di lapangan kerusuhan terus berlanjut antara kedua belah pihak.

Lihat peta di bawah ini.

Peta I
Pada peta I apat dilihat daerah dengan arsiran hijau merupakan tanah dan kota yang dimiliki dan dibangun oleh warga yahudi serta diperuntukkan untuk berdirinya negara Israel. Daerah dengan arsiran jingga adalah wilayah yang masih dikuasai oleh arab muslim yang seharusnya menjadi negara Palestina merdeka. Adapun Jerusalem yang
berada di dalam wilayah arab dijadikan wilayah internasional.

Kelompok yahudi menerima pembagian wilayah seperti yang tertuang dalam resolusi 181 tahun 1947. Resolusi yang dikeluarkan sebagai dasar untuk berdirinya dua negara Israel dan Plestina yang merdeka ini ditolak oleh negara-negara arab. Negara-negara arab menolak berdirinya negara israel karena mereka beragama yahudi. Karena mereka bani israil. Mereka menganggap bani israil tidak berhak tinggal di sana, meskipun dalam kenyataanya jumlah populasi dan penguasaan yahudi atas tanah di wilayah itu tak bisa dipungkiri (yahudi menguasai tanah-tanah tersebut dengan membelinya dari penguasa turki dan orang-orang arab muslim palestina).

Mesir juga tidak menyetujui berdirinya negara palestina karena menginginkan wilayah barat dalam pembagian tersebut masuk sebagai wilayah Mesir (termasuk wilayah gaza saat ini). Jordan juga menolak berdirinya negara palestina ataupun Israel dan menginginkan wilayah sebelah timur untuk menjadi bagian dari Jordan.

Pada tanggal 14 Mei 1948, satu hari sebelum berakhirnya mandat Inggris, Israel mendeklarasikan kemerdekaan atas wilayah yang diperuntukkan bagi mereka dalam resolusi 181 dan menjadi negara Israel merdeka. Keesokan harinya liga arab melayangkan protes resmi ke PBB atas berdirinya negara Israel. Alih-alih segera melakukan kosolidasi untuk mendirikan negara palestina merdeka, tentara Mesir,
Jordan, Syria dan Irak justru menginvasi wilayah yang diperuntukkan untuk negara palestina oleh UNSCOP. Invasi inilah yang memicu perang Arab-Israel 1948 karena dengan menduduki wilayah yang diperuntukkan bagi negara palestina merdeka berarti tentara koalisi arab telah mengepung dan mengancam eksisteni negara Israel yagn baru saja berdiri.

Tapi sayang pasukan koalisi arab ternyata kalah dalam perang tersebut. Pasukan Israel berhasil memukul mundur tentara koalisi arab dan berhasil menguasai wilayah yang diduduki tersebut. Kemenangan Israel membuat mereka menguasai sebagian besar wilayah yang seharusnya diperuntukkan bagi negara palestina merdeka yang sempat diduki oleh tentara koalisi arab. Hanya tersisa sedikit wilayah di bagian barat daya (Gaza) yang akhirnya dikuasai oleh Mesir. Adapun wilayah yang tersisa di bagian timur (Nablus, sebagian Jerusalem dan Hebron yang disebut West Bank) dikuasai oleh Jordan. Sejak mulainya konflik ini, orang Palestina tidak pernah berkuasa atas kedaulatannya sendiri.

Dalam perang tersebut sekitar 711.000 rakyat palestina meninggalkan wilayah yang berhasil dikuasai oleh Israel dan menjadi pengungsi (sebagian dari pengungsi ini meninggalkan tanahnya karena instruksi dari tentara koalisi arab, sebagian mengikuti fatwa dari grand mufti, sebagian lagi karena takut akan kerusakan yang ditimbulkan
oleh tentara Israel).

Penduduk arab muslim yang tidak meninggalkan wilayah yang dikuasai Israel akhirnya menjadi warga Negara Israel hingga sekarang dan merupakan minoritas terbesar di dalam Negara yahudi tersebut dengan jumlah hampir 20 persen dari total penduduk Israel.

Perang akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya gencatan senjata antara Israel dan Negara-negara arab tetangganya pada tahun 1949. Dalam perjanjian tersebut juga disepakati batas baru wilayah Negara Israel (green line) yang diakui secara internasional. Batas baru Negara Israel yang disepakati ini termasuk wilayah yang berhasil dikuasai Israel daram perang 1948 (sebagian wilayah yang tadinya diperuntukkan sebagai Negara palestina merdeka).

Lihat peta di bawah ini

Peta II
Dalam peta II ini dapat dilihat wilayah Israel menjadi semakin luas akibat invasi arab ke wilayah palestina berhasil dipukul mundur oleh Israel. Dalam gencatan senjata 1949 koalisi arab mengakui batas baru wilayah Israel seperti terlihat dalam peta.

Perlu diketahui bahwa setelah berdirinya Negara Israel, sebagian yahudi yang tinggal di Negara-negara arab mendapat perlakuan diskriminatif sehingga menimbulkan kerusuhan di Yaman dan Syria. Orang-orang yahudi di Libya dihapus kewarganegaraanya, beberapa yahudi di Irak dirampas hartanya. Antara tahun 1948 sampai 1952 sekitar 285.000 orang yahudi bermigrasi dari Negara-negara arab ke Israel yang baru berdiri. Menurut catatan resmi dari negara-negara Arab, pada awal 1970-an sekitar 850.000 orang yahudi meninggalkan negara-negara arab menuju Israel. Kebanyakan dari mereka terpaksa meningalkan kekayaannya ketika hijrah ke Israel. Keturunan yahudi dari negara-negara arab ini merupakan 41 persen penduduk Israel saat ini.

Perseteruan Arab Israel Babak Berikutnya
Meskipun Mesir menandatangani gencatan senjata dengan Israel, pada tahun 1956 Mesir melarang kapal-kapal Israel melintasi perairan Tiran dan memblokade teluk aqaba. Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap konvensi konstantinopel tahun 1888 dan mencederai gencatan senjata 1949 dengan Israel. Pada tanggal 26 Juli
1956 Mesir menasionalisasi terusan suez dan melarang kapal-kapal Israel melintas.

Pada tanggal 29 Oktober 1956, Israel yang merasa bahwa Mesir mencederai perjanjian 1949 dan berusaha membunuh perekonomian Israel meminta bantuan dari Inggris dan Perancis (yang sakit hati atas nasionalisasi terusan suez) untuk mengeroyok Mesir. Dalam koflik terusan suez ini Israel berhasil menduduki Gaza (yang dalam perjanjian 49 merupakan wilayah Mesir) dan Sinai.

PBB dan Amerika Serikat turun tangan untuk menghentikan konflik yang terjadi. Israel bersedia mundur dari wilayah Mesir yang baru diduduki. Mesir mengijinkan kembali kapal-kapal Israel melintasi terusan suez dan membuka blokade aqaba serta melakukan demiliterisasi di wilayah Sinai. Pasukan internasional PBB dengan nama UNEF dibentuk untuk mengawasi wilayah demiliterisasi.

Namun pada tanggal 19 Mei 1967 Mesir mengusir pasukan internasional dan menggelar 100.000 pasukan di semenanjung Sinai serta kembali melakukan blokade dan pelarangan atas kapal-kapal Israel untuk melintasi Tiran straits. Mesir mengembalikan keadaan seperti tahun 1956 ketika Israel diblokade.

Tahun 1966-1967 pemimpin Mesir Gamal Abd Nasser melakukan kampanye mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria. Dengan persenjataan modern dari Soviet, Mesir melakukan mobilisasi pasukan di Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati (setelah mengusir pasukan PBB) dan mendekati perbatasan selatan Israel.

Pada saat bersamaan pasukan Jordan, Syria dan Lebanon mulai mengepung Israel dari arah timur dan utara. Pada tanggal 5 Juni 1967 Israel merespon dengan mengerahkan semua kekuatan udaranya menggempur Mesir. Angkatan udara Israel berhasil melumpuhkan hampir semua kekuatan udara Mesir dalam sebuah serangan mendadak. Kekuatan udara Israel lalu menuju ke timur untuk menyerang kekuatan Syria, Jordan dan Irak.

Dalam perang yang terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut Israel berhasil mengalahkan negara-negara arab tetangganya yang mengepungnya. Ketika perang berakhir, Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang tadinya dikuasai Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran tinggi Golan.

Pada tahun 1969 mesir kembali memulai perang dengan tujuan melemahkan kekuatan Israel di Sinai. Namun perang ini berakhir dengan kematian Nasser. Pada 6 Oktober 1973 Mesir dibawah pemimpin baru Anwar Sadat dan Syria melakukan serangan mendadak dan berhasil mengalahkan Israel. Mesir berhasil menguasai kembali sinai yang sempat dicaplok Israel.

Ketika pasukan Mesir hendak masuk Israel, Israel meminta bantuan dari Amerika Serikat (meskipun sejak awal Amerika Serikat merupakan backing kekuatan Israel). Soviet yang menjadi backing kekuatan Mesir mengancam akan melakukan intervensi militer jika Amerika terlibat. Karena khawatir akan terjadinya perang nuklir, Amerika Serikat akhirnya memprakarsai gencatan senjata pada 25 Oktober 1973.

Pada bulan Maret 1979 Mesir dan Israel akhirnya melakukan perjanjian damai. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa Sinai kembali menjadi wilayah kekuasaan Mesir, adapun Gaza tetap berada dibawah kontrol Israel dan masuk dalam rencana masa depan Palestina. Pada bulan Oktober 1994, Jordan juga akhirnya melakukan perjanjian damai dengan Israel. Mesir dan Jordan menjadi dua Negara arab yang mengakui eksistensi Negara Israel dan memiliki hubungan diplomatik dengannya.

Tapi sayang, kelompok garis keras arab memandang perjanjian damai dengan Israel sebagai sebuah pengkhianatan dan Anwar Sadatpun akhirnya ditembak mati oleh kelompok ekstrimis tersebut.

Usaha Merdeka dari Rakyat Palestina
Pada pertemuan tahun 1964 di Cairo liga arab berininsiatif untuk membentuk sebuah organisasi yang mewakili kepentingan rakyat Palestina. Majelis Nasional palestina lalu mengadakan pertemuan di Jerusalem pada 29 Mei 1964. Dari pertemuan ini akhirnya PLO terbentuk pada 2 juni pada tahun yang sama.

Meskipun liga arab mendukung terbentuknya PLO dan berdirinya negara palestina merdeka namun mereka (terutama Mesir dan Jordan) tetap tidak memberikan hak kedaulatan kepada rakyat Palestina atas wilayah Gaza dan Westbank. Yang dimaksud negara palestina merdeka oleh Mesir dan Jordan pada saat itu adalah berdirinya negara Arab Palestina di wilayah Israel, bukan Gaza (yang tetap dianggap oleh Mesir sebagai wilayah kekuasaanya) atau West Bank (yang dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Jordan). Baru pada 1988 raja Hussein, pemimpin Jordan melepaskan West Bank dan memberikan kedaulatan kepada rakyat Palestina.

Pada awal berdirinya, PLO adalah sebuah organisasi pembebasan Palestina yang menggunakan perlawanan bersenjata terhadap Israel sebagai kebijakannya. Sebuah piagam PLO yang dikeluarkan pada 2 Mei 1964 menyatakan bahwa Palestina dengan batas wilayah sebagaimana termaktub dalam mandat Inggris adalah sebuah kesatuan regional dan melarang aktifitas zionis dalam bentuk apapun. Dengan demikian piagam ini menyatakan bahwa PLO tidak mengakui adanya negara Israel. PLO pada awalnya juga mempunyai kebijakan untuk menghancurkan Israel.

Baru setelah sekitar 30 tahun kemudian PLO mengadopsi kebijakan "two state solution" dengan Israel dan Palestina hidup berdampingan dan mensyaratkan Jerusalem timur sebagai ibukota Palestina. Yasser Arafat pada 1993 melalui surat resminya kepada perdana menteri Israel Yitzak Rabin mengakui keberadaan negara Israel. Sebagai respon atas pengakuan tersebut, Israel mengakui PLO sebagai satu-satunya organisasi yang berhak mewakili rakyat palestina.

Keanggotaan PLO terdiri dari beberapa faksi dan organisasi, meskipun tidak semua aktivis PLO adalah anggota dari faksi-faksi yang ada. Banyak delegasi majlis nasional palestina merupakan anggota independen.

Faksi di dalam tubuh PLO saat ini adalah:

- Fatah, faksi terbesar, sayap kiri/nasionalis.
- PFLP, terbesar kedua, berhaluan radikal militan, komunis.
- DFLP, terbesar ketiga, komunis.
- PPP, eks komunis, non militan.
- PLF, sayap kiri dengan suara kecil.
- ALF, faksi kecil yagn berafiliasi kepada partai Baath Irak.
- As Saiqa, faksi kecil berafiliasi kepada partai baath Syria.
- Fida, beraliran kiri non militan.
- PPSF, beraliran kiri.
- PAF, faksi terkecil.

PLO Dibawah Yasser Arafat
Kekalahan aliansi arab dalam perang enam hari melawan Israel membuat pengaruh Nasserisme dengan ideologi pan-Arab nya melemah. Pemimpin Fatah Yasser Arafat dengan divisi militer fedayeen yang mengadopsi metode gerilya berhasil menjadi pemimpin PLO dan menjadikannya sebagai organisasi yang independen. Dari markasnya di Jordan PLO melancarkan perang dengan Israel dengan bantuan finansial dan persenjataan dari Jordan. Brigade fedayeen gencar melancarkan serangan terhadap rakyat sipil Israel. Serangan terhadap rakyat sipil inilah yang menjadikan Israel dan barat menganggap PLO sebagai organisasi teroris. Label teroris atas PLO baru dicabut ketika PLO akhirnya mengakui keberadaan negara Israel dan bersedia berunding dengan Israel serta menghentikan serangan-serangan terhadap rakyat sipil.

Namun dukungan atas PLO dari pemerintah Jordan akhirnya berbalik arah pada akhir tahun 1960-an ketika PLO menjadi arogan dan seolah-olah telah mendirikan sebuah negara di dalam negara. Sejak kemenangan pasukan Yasser arafat pada pertempuran melawan Israel di daerah Karamah, gerilyawan Palestina tersebut merasa berkuasa dan melakukan pemungutan pajak secara illegal di dalam wilayah Jordan yang menjadi basis kekuatannya. Mereka membuat blokade jalan, mengambil alih kekuasaan dan melecehkan polisi Jordan. Pelecehan terhadap wanita-wanita lokal juga terjadi dalam masa tersebut.

Raja Hussein menjadi berang dan memberlakukan hukum darurat perang. Pasukan Jordan menyerang PLO dan berhasil mengalahkan mereka. Sekitar 3500 gerilyawan dan rakyat sipil Palestina tewas dalam kejadian tersebut (kejadian ini terkenal dengan insiden Black September). Dua hari kemudian Arafat dan Hussein setuju untuk melakukan gencatan senjata. Sekitar 2000 gerilyawan Palestina akhirnya berhasil masuk Syria dan menyeberang ke Libanon untuk bergabung dengan pejuang Fatah yang ada di negara tersebut dan mendirikan markas baru.

Selama periode 70-an Fatah melancarkan serangan terhadap militer dan sipil Israel. Yang paling terkenal adalah serangan 11 Maret 1978. Beberapa pejuang Fatah mendaratkan perahu di pantai antara Haifa dan Tel Aviv-Yafo kemudian membajak sebuah bus dan menembaki penumpangnya serta setiap kendaraan yang lewat. 37 rakyat sipil Israel menjadi korban. Pasukan Israel kemudian merespon dengan menyerang Basis PLO di bagian selatan Lebanon. Israel berhasil menguasai wilayah tersebut dan PLO mundur ke Beirut.

Selain itu PLO juga melakukan serangan terhadap kepentingan Israel di Eropa maupun Timur Tengah serta melakukan pembajakan pesawat. Fatah juga memberikan pelatihan perang terhadap milisi dari Timur Tengah, Eropa, Asia dan Afrika dan mendapatkan bantuan persenjataan dari Soviet, Eropa Timur dan Cina.

PLO dan Perang sipil Libanon
Selama di Lebanon PLO juga terlibat perang sipil yang menghancurkan Lebanon hingga saat ini. Dengan desakan dari faksi PFLP, DFLP dan FLP di dalam tubuh PLO, Fatah akhrinya beraliansi dengan kelompok komunis dan gerakan nasional lebanon beraliran Nasserisme (LNM) untuk melawan Pemerintah Lebanon. Presiden Syria Hafez Al Assad yang tadinya mendukung Fatah akhirnya justru mengirim tentaranya bersama dengan faksi palestina dukungan Syria As-Saiqah dan PFLP-GC pimpinan Ahmad Jibril untuk bertempur membantu pasukan kristen sayap kanan Lebanon melawan PLO dan LNM.

Komponen utama milisi kristen sayap kanan ini adalah kelompok Maronite Phalangist yang loyal terhadap presiden Lebanon Camille Chamoun. Kelompok Phalangist ini juga yang melakukan pembantaian di kamp Al Zaatar. Mulanya pada April 1975, milisi Phalangist dalam perang sipil yang berlangsung di Lebanon membunuh 26 milisi Fatah dalam sebuah bus. Pada 1976 aliansi milisi kristen dengan dukungan tentara Lebanon mengepung kamp Al Zaatar. PLO dan LNM balas dendam dan menyerang Damour, benteng kekuatan Phalangist. 300 orang dari kelompok Phalangist tewas dan lainya luka-luka.

Phalangist balas dendam dan melakukan pembantaian terhadap milisi dan pengungsi palestina di kamp Tel Al-Zaatar setelah melakukan pengepungan selama enam bulan. Ribuan orang palestina menjadi korban.

Milisi kristen ekstrim ini juga yang melakukan pembantaian sabra dan shatila pada 16-18 September 1982 atas sepengetahuan Israel. Pembantain tersebut dipicu balas dendam atas pembunuhan terhadap pemimpin Phalangist yang juga calon kuat presiden mereka Bachir Gemayel dua hari sebelumnya. Lagi-lagi ribuan pengungsi Palestina menjadi korban pembantaian.

Dunia internasional menyalahkan Israel yang membiarkan pembantaian tersebut terjadi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Ariel Sharon akhirnya terpaksa mengundurkan diri dari jabatan menteri pertahanan atas insiden tersebut.

Keberadaan PLO yang melancarkan serangan mortir ke wilayah sipil Israel dari Lebanon menjadi alasan utama Israel menginvasi Lebanon. Israel yang masuk Lebanon selatan pada 1978 dan berhasil memukul mundul PLO ke Beirut akhirnya meninggalkan wilayah tersebut atas desakan dunia internasional pada bulan Juni 1978 dan digantikan oleh UNIFIL. Namun keberadaan UNIFIL di wilayah tersebut tidak berhasil menghentikan serangan-serangan gerilyawan Palestina atas wilayah-wilayah sipil Israel. Aksi saling melintasi perbatasan dan saling serbu terus berlanjut antara Israel dan milisi Palestina di wilayah selatan Lebanon setelah 1978. Rakyat sipil di kedua belah pihak dan personil UNIFIL menjadi korban.

Israel meningkatan bantuan persenjataan dan keuangan kepada milisi radikal kristen untuk memerangi PLO. Namun dalam serangan-serangan yang dilakukan oleh kristen radikal di bawah komando Mayor Saad Haddad terhadap PLO rakyat sipil seringkali menjadi korban. Pada Bulan Juli 1981 Pemerintah Reagan mengutus Philip Habib Ke Lebanon untuk menjadi penengah dan memulai gencatan senjata di wilayah selatan. Namun sejak diumumkannya gencatan senjata pada 24 Juli 1981 berkali-kali PLO melanggar perjanjian. Dalam sebelas bulan berikutnya tercatat 270 pelanggaran dan aksi teror dilakukan oleh PLO di dalam wilayah Israel, West Bank, Gaza dan sepanjang perbatasan Lebanon-Jordan.

Pada 3 Juni 1982 sayap militan Fatah di bawah komando Abu Nidal (pesaing Arafat), menembak duta besar Israel untuk Inggris Shlomo Argov di London. Shlomo mengalami luka tembak di kepala dan menderita kelumpuhan. Atas kejadian tersebut serta berlanjutnya serangan-serangan PLO dan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata dan pembangunan instalasi militer oleh PLO di wilayah selatan Lebanon yang dipersiapkan untuk menyerang Israel, pada 4-5 Juni 1982 akhirnya Israel mebombardir basis PLO di Beirut dan wilayah lainnya. PLO merespon dengan melakukan serangan mortir besar-besaran atas Galilee, wilayah sipil israel. Israel akhirnya menginvasi Lebanon pada 6 Juni 1982. Kota Beirut berada dalam kepungan Israel.

Selama perang sipil di Lebanon, PLO bertempur melawan Milisi sayap kanan Kristen Lebanon, Milisi Palestina As Saiqah, milisi Palestina PFLP-GC, Tentara Israel dan akhirnya milisi Amal dukungan Syria. Selama masa 1985-1988 Milisi Amal dan beberapa kelompok milisi pro Syria mengepung kamp pengungsian Palestina untuk mengusir pendukung Arafat. Ribuan pengungsi Palestina lagi-lagi tewas menjadi korban kekerasan dan kelaparan. Setelah pengepungan berakhir, terjadi kesepakatan antara kelompok milisi Palestina untuk tidak saling memerangi.

Keberadaan PLO di Lebanon ini mirip dengan keberadaan Hizbullah. Keduanya tidak disukai pemerintah Lebanon dan keduanya mengundang masuknya tentara Israel untuk menyerang Lebanon. Perang Lebanon kedua pada Juli 2006 dipicu oleh serangan Hizbullah atas patroli Israel di wilayah utara negeri Zionis tersebut.

Perdamaian Hampir tercapai
Setelah invasi enam bulan Israel ke Lebanon, kepemimpinan PLO akhirnya pindah markas ke Tunisia. Pada 1 Oktober 1985 pasukan udara Israel membombardir markas PLO di Tunisia dan menewaskan 60 orang. Kepemimpinan lokal di dalam Palestina mulai muncul. Pada tahun 1987 intifada pertama pecah di wilayah pendudukan palestina. Para pemimpin PLO di luar negeri terkejut. Mereka hanya memiliki pengaruh tak langsung dalam intifadah ini. Sementara kepemimpinan lokal yang tergabung dalam UNLU dan merupakan gabungan dari beberapa faksi di dalam Palestina semakin kuat.

Setelah raja Hussein menyatakan melepas wilayah West Bank dari kekuasaan jordan pada 1988, majelis nasional Palestina menyatakan kemerdeaan Palestina di Al Jazair pada 15 November 1988. Meskipun lebih dari 100 negara mengakui kemerdekaan Palestina (kebanyakan merupakan negara-negara GNB dan Blok Timur), namun PBB dan negara-
negara barat serta Israel tidak mengakuinya. Tidak adanya pengakuan tersebut dikarenakan proklamasi kemerdekaan Palestina tidak mencantumkan pengakuan atas Resolusi PBB 242 dan 338.

Resolusi dewan keamanan 242 (S/RES/242) disetujui secara sepakat pada 22 November 1967 setelah berakhirnya perang enam hari. Resolusi tersebut menyerukan tercapainya sebuah perdamaian yang langgeng di kawasan tersebut dengan mengimplementasikan dua butir kesepakatan berikut:

1. Penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang diduduki pada konflik 1967.

2. Penghapusan klaim-klaim wilayah oleh kedua belah pihak (Israel dan Arab) dalam masa konflik, serta menghormati hak keberadaan setiap negara di kawasan tersebut dengan mengakui batas wilayah yang telah disepakati bersama.

Mesir, Jordan dan Israel menyetujui resolusi 242 ini. Syria yang pada mulanya tidak mau tunduk atas resolusi ini akhirnya mengakuinya pada tahun 1972. Resolusi dewan keamanan 338 (S/RES/338) disahkan pada 22 Oktober 1973 dan disetujui oleh 15 anggota dewan keamanan dengan Cina abstain dalam pemungutan suara. Resolusi yang diusulkan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat tersebut menyepakati gencatan senjata antara Koalisi Arab dan Israel setelah perang Yom Kippur yang jika tidak dihentikan ditakutkan akan memicu perang nuklir antara dua negara adikuasa.

Resolusi 242 dan 338 yang telah disepakati bersama tidak diakui oleh Palestina dalam deklarasi kemerdekaanya. Ini berarti Palestina yang baru menyatakan kemerdekaanya tersebut tidak mengakui keberadaan negara Israel yang telah disepakati koalisi Arab. Tidak adanya pengakuan Majelis nasional palestina atas resolusi 242 dan 338 tersebut juga berarti tidak jelas wilayah mana yang disebut oleh Majelis nasional palestina sebagai negara Palestina merdeka yang baru dideklarasikan tersebut. PBB tidak mungkin bisa mengakui kemerdekaan Palestina jika yang disebut negara Palestina merdeka itu tidak jelas wilayahnya yang mana. Apalagi negara yang baru dideklarasikan tersebut juga tidak mengakui keberadaan negara Israel di sebelahnya.

Pada tahun 1993 PLO diam-diam mengadakan perundingan dengan Israel di Oslo. Hasil perjanjian disepakati pada tanggal 20 Agustus 1993. Yasser Arafat dan Yitzak Rabin diundang oleh gedung putih untuk merayakan kesepakatan tersebut. Dan pada 9 September 1993 Yasser Arafat menyatakan bahwa PLO mengakui keberadaan negara Israel. Yasser Arafat dan PLO juga menyetujui penghapusan klausul pada Piagam Nasional Palestina (garis perjuangan PLO) yang menyatakan bahwa feda'yee (semacam pasukan berani mati) merupakan inti dari perang pembebasarn Palestina. Klausul yang juga disetujui untuk dihapus adalah butir-butir yang menyatakan bahwa berdirinya negara Israel adalah tidak sah karena dilakukan dengan paksaan. Butir-butir tersebut selama ini digunakan sebagai pijakan PLO untuk menghancurkan Israel.

Kesepakatan Oslo menyetujui pemerintahan mandiri rakyat Palestina atas wilayah Gaza, Jericho dan Tepi Barat melalui pembentukan Otoritas Palestina. Yasser Arafat ditunjuk sebagai pemimpin Otoritas Palestina dan pemilihan umum dipersiapkan hingga akhirnya Yasser Rafat dipilih menjadi Presiden Otoritas Palestina pada tahun 1996. Sejak itu pemerintahan otoritas Palestina menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah dan diakui dunia internasional sebagai pemerintahan rakyat Palestina. Pembentukan Otoritas Palestina ini dengan demikian juga menafikan deklarasi kemerdekaan Palestina pada tahun 1988 di Al Jazair yang tidak pernah diakui oleh PBB tersebut.

Meskipun PLO tidak punya hubungan formal dengan Otoritas Palestina, para anggota PLO praktis menguasai pemerintahan yang baru dibentuk tersebut. Markas PLO akhirnya pindah ke Ramallah di Tepi Barat.

Kendatipun banyak dari pemimpin PLO dan Otoritas Palestina, termasuk Yasser Arafat sendiri mengakui secara terbuka keberadaan negara Israel dan mengharapkan perjanjian damai dengan Israel sebagai perdamaian yang permanen, namun selama intifada kedua banyak faksi di dalam PLO yang terus melakukan penyerangan dan teror terhadap tentara dan rakyat sipil Israel.

Mayoritas rakyat Israel dalam polling setelah perjanjian Oslo menyatakan bahwa rakyat Palestina harus diberi hak untuk berdaulat dan membentuk sebuah negara yang merdeka agar bisa hidup berdampingan dan saling menghormati hingga perdamaian bisa tercapai di kawasan tersebut. Seiring dengan melunaknya PLO yang mulai bersikap realistis dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan cara damai serta keinginan dari mayoritas rakyat Israel yang menghendaki terbentuknya negara Palestina agar tercapai perdamaian yang permanen, Kaum konservatif yahudi di dalam Israel mulai bangkit juga.

Kaum yahudi ekstrim yang kebanyakan merupakan imigran dari Eropa Timur ini tidak bisa menerima pembagian Jerusalem untuk Palestina dan Israel. Mereka memandang Jerusalem adalah kota suci Yahudi yang harus dikuasai Israel dan menjadi ibu kotanya. Kelompok ini menentang perjanjian Oslo. Yigal Amir, aktivis radikal sayap kanan yahudi ortodoks menembak mati Yitzak Rabin pada 4 November 1995. Shimon Perez, menteri luar negeri Israel pada saat itu ditunjuk menggantikan Rabin.

Dengan kematian Rabin masa depan Palestina yang hampir menemui titik terang kembali suram. Netanyahu yang kemudian terpilih menjadi perdana Menteri Israel dengan dukungan dari partai sayap kanan radikal berusaha menggagalkan dan menggerogoti isi kesepakatan Oslo serta menghalangi berdirinya negara Palestina merdeka. Bill Clinton akhirnya turun tangan dan mempertemukan kedua belah pihak hingga disepakatinya memorandum Wye River yang berisi langkah-langkah yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak dalam meneruskan proses perdamaian.

Arafat lalu meneruskan perundingan dengan pengganti Netanyahu yaitu Ehud Barack yang berasal dari partai buruh. Barack dengan aliran politik kiri moderat dan dengan desakan dari Bill Clinton akhirnya menawarkan kepada Arafat kemerdekaan Palestina atas wilayah Gaza dan Tepi barat/West Bank dengan Jerusalem timur sebagai ibukotanya. Selain itu Barack juga mengijinkan kembalinya sebagian pengungsi palestina dan sisanya diberikan kompensasi. Meskipun permintaan lain tidak bisa dikabulkan oleh Barack, ini merupakan sebuah tawaran yang sangat bagus dan tidak pernah diberikan oleh pemimpin Israel lainya.

Arafat membuat keputusan kontroversial dengan menolak tawaran dari Barack tersebut. Pupuslah harapan rakyat Palestina untuk merdeka sampai sekarang. Ketegangan kembali terjadi ketika Ariel Sharon, perdana menteri Israel berikutnya melakukan provokasi dengan mengunjungi masjid Al Aqsa. Intifadah kedua pecah pada tahun 2000.

27 Februari 1996 Perez menyatakan perang atas Hamas setelah dua bom bunuh diri yang menewaskan 27 orang. Perez bersumpah akan melakukan perang metodis dan habis-habisan melawan militan Hamas.

Setelah Tahun 2000
Sejak intifadah kedua, Arafat kembali menempuh jalan kekerasan untuk mengintimidasi Israel. Meskipun tidak secara terang-terangan PLO maupun Fatah melancarkan teror dan serangan, namun banyak pengamat mengatakan Arafat sengaja membiarkan terjadinya Teror oleh Hamas dan beberapa faksi militan dalam tubuh Fatah (brigade al aqsha) terhadap Israel. Beberapa pemgamat baik yang pro Israel maupun Independen bahkan mengatakan bahwa Arafat menyetujui dan mendanai gerakan-gerakan teror tersebut.

Untuk menghentikan intifadah, Israel melakukan sweeping dan penggerebekan di wilayah tepi barat pada tahun 2002. Kekerasan merebak di seluruh wilayah tersebut. Pada tahun yang sama negara-negara Arab menawarkan kepada Israel pengakuan eksistensi negara Israel dan menandatangani perdamaian. Sebagai gantinya Israel diminta menyerahkan kembali wilayah yang dikuasainya ketika perang enam hari dan memberikan kemerdekaan kepada Palestina (mereka memberikan tawaran yang pada akhir 70-an dianggap sebagai sebuah pengkhianatan dan kekufuran sehingga Anwar Sadat ditembak mati karenanya). Tawaran dari negara-negara Arab ini bersamaan dengan gencaranya serangan-serangan teror (beberapa diantaranya dilakukan oleh sayap militan Fatah) dan menewaskan 50 orang Israel.

Tawaran yang sebenarnya dianggap baik oleh Israel tersebut tidak mungkin direalisasikan saat itu karena Faksi berkuasa di dalam Palestina sendiri justru gencar melakukan aksi-aksi teror dan tidak peduli dengan usaha negara-negara Arab untuk membantu kemerdekaan Palestina. Negara-negara Arab yang memberikan tawaran tersebut tentu saja tidak bisa menjamin dan menghentikan aksi teror dari kelompok-kelompok militan Palestina terhadap Israel. Untuk kesekian kalinya momentum kemerdekaan Palestina disia-siakan.

Sharon berkali-kali mendesak Arafat sebagai pemimpin Otoritas Palestina untuk menyerukan kepada faksi-faksi radikal di dalam tubuh PLO agar menghentikan serangan dan mencegah berlanjutnya teror. Arafat yang tetap membiarkan terjadinya serangan ke Israel membuat Sharon menyatakan bahwa Arafat membantu dan mendanai serangan-serangan tersebut dan dengan sengaja memposisikan diri sebagai musuh Israel. Dengan demikian Arafat tidak bisa dianggap memenuhi sarat untuk melanjutkan pembicaraan damai dengan Israel.

Namun Israel tidak dapat menemukan pemimpin Palestina lain yang bisa diterima oleh rakyat Palestina maupun Israel sebagai tokoh baru yang memenuhi sarat untuk melanjutkan pembicaraan damai. Arafat berhasil bermain cantik di dalam negeri dan mendapat dukungan dari berbagai fihak. Bahkan fihak yang selama ini menjadi musuh bebuyutan Arafat di dalam Palestinapun mendukungnya. Selanjutnya Israel memasuki West Bank dalam sebuah operasi bernama Operation Defensive Shield. Kantor Arafat dikepung dengan tujuan mengisolasi Arafat. Dan setiap kali Israel melakukan operasi di wilayah Palestina, pelanggaran HAM selalu terjadi dan ratusan bahkan ribuan rakyat palestina selalu menjadi korban.

Pada tanggal 3 Mei 2002 Akhirnya Arafat diizinkan meninggalkan wilayah pengepungan setelah negosiasi yang alot. Dalam negosiasi tersebut Israel meminta Arafat menyerahkan enam buronan Israel yang disembunyikan Arafat di dalam kompleks yang dikepung. Arafat setuju mereka ditahan, tapi tidak di Israel. Mereka akhirnya ditahan di Jericho. Syarat lainnya adalah agar Arafat (sebagaimana diminta Sharon sebelumnya) menyerukan kepada semua faksi di Palestina agar menghentikan aksi teror terhadap Israel. Arafat setuju dan menyeru semua militan Palestina untuk menghentikan teror. Tapi seruan itu tidak pernah ditaati, bahkan oleh Fatah pimpinan Arafat sendiri.

Operation Defensive Shield ini memang berhasil menurunkan angka teror bom bunuh diri sampai 46 persen pada tahun 2002 dan menurun dari 56 kali pemboman pada tahun sebelumnya menjadi 25 pada tahun 2003 serta 184 usaha teror bom bunuh diri yang dapat digagalkan. Namun operasi tersebut juga menelan ribuan korban di pihak Palestina dan mengakibatkan kerugian mencapai jutaan dollar.

Pada tahun 2003 Sharon mulai melakukan penarikan mundur pasukannya dari Gaza dan mengakhiri pendudukan atas wilayah tersebut. penarikan pasukan secara menyeluruh selesai pada tahun 2005. Dengan ditariknya pasukan Israel ini berarti Otoritas Palestina berkuasa penuh atas wilayah Gaza (dalam perjanjian 1979 disepakati bahwa Gaza berada di bawah kontrol Israel). Penarikan pasukan Israel ini merupakan sebuah keputusan unilateral, keputusan Israel sendiri tanpa permintaan dari fihak Arab. Dalam masa pemerintahannya Sharon juga memaksa penduduk Israel yang tinggal di pemukiman yahudi yang masih dalam status sengketa. Warga yang menolak pindah diseret paksa oleh tentara Israel. Insiden tersebut mendapat perlawanan keras dan demonstrasi dari kaum konservatif yahudi.

Hamas, (setelah menang dalam pemilu parlemen Januari 2006) melakukan serangan terhadap Fatah. Ratusan orang menjadi korban. Kedua belah fihak melakukan pelanggaran HAM dan etika perang dalam perang saudara tersebut. Diantara insiden yang terkenal dalam perang tersebut adalah ketika tentara Hamas menangkap salah satu pemimpin Fatah dan melemparkannya dari atas gedung serta melakukan serangan dengan menyamar menggunakan mobil yang memasang logo sebuah stasiun TV. Hamas akhirnya berkuasa total atas Gaza. Hanya tersisa kekuatan kecil Fatah di wilayah tersebut. Pasukan Israel juga seluruhnya telah ditarik dari Gaza.

Hamas (Harakah al muqawamah al Islamiyah) adalah sebuah organisasi politik beraliran militan. Hamas didirikan pada 1987 oleh Syaikh Muhammad Yasin, Abdul Aziz Al Rantissi dan Mohammad Toha dari sayap Al Ikhwan Al Muslimuun palestina. Selain terkenal dengan aksi-aksi bom bunuh diri, Hamas juga mendapat simpati dari rakyat Palestina atas kerja-kerja sosial yang dilakukannya. Hamas membangun rumah sakit, pusat pendidikan, perpustakaan dan melakukan kegiatan sosial lain di tepi barat dan Gaza.

Diantara garis kebijakan resmi organisasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Piagam Hamas adalah Penghancuran Israel. Piagam Hamas menyerukan untuk menguasai kembali seluruh wilayah Israel dan Palestina dan mendirikan sebuah negara palestina merdeka serta menghapus Israel dari peta dunia. Kebijakan Hamas yang tak pernah
berubah sampai saat ini serta aksi-aksi teror yang terus dilancarkannya terhadap israel membuat Israel dan negara-negara barat mencapnya sebagai organisasi teroris. Israel tidak mau melibatkan Hamas dalam perundingan perdamaian dengan Palestina
selama Organisasi tersebut tetap tidak mengakui negara Israel dan bersumpah menghancurkannya.

Dengan munculnya Hamas, Kekuatan Palestina semakin terpecah. Hamas akhirnya memiliki kontrol penuh atas wilayah Gaza, adapun Tepi Barat dikuasai oleh Fatah. Dengan berkuasanya Hamas atas wilayah Gaza ini Israel menghentikan kerjasama dan bantuan ke wilayah tersebut. Israel juga mengurangi suplai listrik dari Israel ke Gaza. Sebelum Gaza dikuasai Hamas, Otoritas Palestina di wilayah Gaza menjalankan pemerintahan dengan dana bantuan dari Eropa, Amerika serikat, dan negara-negara lain. Setelah Hamas berkuasa, negara-negara donor menghentikan bantuannya ke wilayah Gaza. Israel juga menghentikan aliran dana yang selama ini didistribusikan dari Israel.

Ketika menguasai Gaza, Hamas semakin leluasa mengorganisasikan kekuatan militernya. Hamas juga rajin melakukan serangan ke wilayah Israel sampai akhirnya disepakati gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 19 Juni 2008. 14 November 2008 Hamas melancarkan serangan roket ke wilayah selatan Israel sebagai tanggapan atas tewasnya 11 militan Hamas. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata. 19 Desember 2008 Hamas secara resmi menyatakan gencatan senjata berakhir karena menganggap Israel tidak bisa memenuhi sarat dan kewajiban mendasar.

Akhir desember 2008 Israel melakukan serangan udara ke wilayah Gaza dalam upaya melumpuhkan kekuatan Hamas dan dilanjutkan dengan serangan darat. Perang masih terus berlanjut dan ribuan korban telah jatuh.

Menyikapi konflik terakhir di wilayah gaza, negara-negara Arab berencana mengadakan konferensi darurat di Doha. Pertemuan ditujukan untuk menyatukan suara negara-negara Arab dalam menyikapi konflik yang terjadi. Namun Mesir dan Saudi memboikot pertemuan tersebut karena kehadiran Iran dan Syria (pendukung Hamas). Mesir dan Saudi takut pertemuan itu dimanfaatkan oleh Hamas dan dua pendukungnya (Iran dan Syria) untuk menyampaikan posisi garis keras yang akhirnya menghalangi langkah Mesir untuk melakukan upaya damai.

Penutup
Begitu banyak orang-orang Islam yang berpandangan bahwa ketika seseorang itu beragama yahudi berarti dia itu salah. Dalam hal apapun orang yahudi itu pasti salah. kalau ada persengketaan antara orang yahudi dan orang Islam, maka orang yahudi tersebut pasti salah. Tidak perlu dilihat permasalahan dan faktanya, pokoknya yahudi itu pasti salah dan jahat.

Pandangan seperti ini membuat kita tidak pernah bisa bersikap adil. Ketika kita selalu membela salah satu fihak tanpa mau mengetahui duduk permasalahan sebuah pertikaian, berarti kita adalah orang yang zalim. Dalam konflik Arab-Israel sudah pasti ada kesalahan dan kebenaran pada masing-masing fihak. Dimana letak salah dan benarnya tidak mungkin kita ketahui jika kita tidak mau membaca dan mempelajarinya dengan hati-hati.

Pandangan yang zalim dan salah dalam hal ini bukan melulu milik orang-orang Islam yang tak berpendidikan. Kaum terpelajar bahkan sampai para pejabat di kalangan orang-orang Islampun banyak yang tidak tahu bahwa di Palestina ada begitu banyak faksi dan kepentingan. Mereka juga tidak pernah tahu bahwa mayoritas penduduk Israel menginginkan berdirinya negara palestina merdeka yang hidup ebrdampingan secara damai.

Berapa banyak saudara kita yang tidak tahu bahwa di antara faksi-faksi pejuang Palestina itu adalah komunis. Bahwa hampir 20 persen penduduk Israel itu adalah orang arab beragama Islam. bahwa kekayaan dan omset PLO di seluruh dunia mencapai 50 milyar dollar. Bahwa yang sejak pertama tidak menginginkan berdirinya negara Palestina dalah
orang-orang Arab. Berapa banyak saudara kita (juga saya) yang tidak tahu fakta-fakta yang lain lagi.

Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, apa yang saya tulis di sini tidaklah lengkap dan detail dan saya juga bukan orang yang sangat mengerti dan ahli dalam konflik Arab-Palestina beserta segala permasalahannya. Saya hanya mengajak diri saya dan beberapa dari saudara kita menyadari bahwa begitu banyak yang kita tidak ketahui mengenai konflik Arab-Palestina ini dan karena itu kita wajib mencari tahu agar kita terhindar dari pernyataan-pernyataan yang zalim.

Akhirnya, mari kita doakan agar konflik segera berakhir dan semoga perdamaian segera tercipta demi masa depan anak-anak Palestina.