Minggu, 26 April 2009

Mewaspadai Fundamentalisme Politik

Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina, Jakarta

Istilah fundamentalisme, sering kali kita dengar berkaitan dengan isu-isu yang menyangkut soal agama, identik dengan kekerasan atas nama Tuhan. Tidak jarang gerakan fundamentalisme agama ini gagal sebelum mencapai tujuan. Namun, sebagai anak bangsa yang diikat dalam wadah kebhinekaan, sering kali kita lupa, bahwa fenomena fundamentalisme politik yang hanya mengejar kekuasaan semata, juga menjadi ancaman yang serius dan tentu saja berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Umumnya, kebanyakan masyarakat tidak begitu peka terhadap gejala yang terakhir ini. Seolah munculnya fundamentalisme politik dianggap sebagai gejala biasa yang tidak mempunyai implikasi apa-apa.

Jika fundamentalisme agama lebih berurusan dengan modalitas kepercayaan daripada dengan isi ajaran agama itu sendiri. Maka, fundamentalisme politik merupakan suatu samaran untuk motif-motif politis-pragmatis. Para pelaku kelompok ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip "fundamentalisme". Ruang kehidupan yang dibangun berdasarkan "eksklusivisme", di mana setiap kelompok di dalamnya ( politik, ekonomi, sosial, kultural, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial (ontological security). Dan, fundamentalisme politik dalam bentuknya yang paling ekstrem adalah merebut kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk kudeta.

Namun, siapakah kaum fundamentalis itu? pertanyaan ini, secara retoris akan memunculkan beragam jawaban. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme. Lebih dari sekadar itu, ia menggiring pada situasi "ketakmungkinan aturan bersama" (incommensurability), dalam pengertian aturan formal sebuah kelompok tidak mungkin digunakan sebagai aturan kelompok lain yang berbeda.

Saya amat meyakini bahwa premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik. Pendekatan seperti ini akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya. Jika pada demokrasi membuka partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat, mengandaikan kebersamaan, kolektivitas bukan individualitas absolut yang berbeda dengan fundamentalisme yang egoistis.
Contoh yang tepat untuk menggambarkan kondisi dimaksud adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam ruang politik, sikap keberagamaan PKS yang sebenarnya eksklusif dan fundamentalis menjadi tidak kentara. Mereka selalu menutupi sejumlah agenda (hidden agenda) politik yang sangat mungkin bertentangan dengan tujuan umum. Mereka sangat memperhitungkan sekali bilamana simbol dan identitas keagamaan dipakai dalam momen-momem politik, maka eksistensi mereka kian terus dicurigai sebagai partai Islam yang fundamentalis. Namun, agaknya sulit dihindari, jika mereka berkesempatan memenangkan pemilu, mereka memiliki otoritas dan keyakinan lalu membangun kekuatan dan mengklaim dirinya satu-satunya tradisi dan peradaban yang mampu menawarkan kesejahteraan umat manusia.

Fundamentalisme, seperti dikatakan oleh Lefort, muncul sebelum demokrasi, masyarakat memang diorganisasi menurut logika politik teologis, di mana masyarakat dipikirkan sebagai sebuah tubuh dan berhierarki, yang anggota-anggotanya dijejerkan di bawah prinsip-prinsip tatanan yang tanpa syarat. Sementara dalam demokrasi, referensi kepada penjamin transendental lenyap bersama-sama dengan lenyapnya representasi dari kesatuan substansial dari masyarakat. Lefort mengatakan, "The locus of power is an empty place, it cannot be occupied--it is such that no individual and no group can be cosubstantial with it--and cannot be represented."
Dengan demikian, menjadi suatu keharusan pemerintah dan civil society, meletakkan “demokrasi” sebagai “catch word” dalam suatu program politik akan memberi inspirasi kepada kita dan mengingatkan kita untuk selalu berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik dari keadaan sekarang. Hal ini menuntut adanya pengawasan dan pengimbangan secara berkelanjutan. Sebab, tidak menutup adanya kemungkinan, dalam kondisi di mana negara dan demokrasi masih dalam tahap belajar, memungkinkan civil society yang tumbuh sering berjalan tanpa civility. Dari situ demokrasi memang lahir, namun oleh karena belum kuatnya fondasi dan tatanan hukum, maka civil society tumbuh tanpa disertai kelengkapan sikap kewargaan untuk menghargai dan memelihara demokrasi.

Rapuhnya demokrasi rentan terhadap munculnya fundamentalisme politik yang mencoba menyeragamkan masyarakat melalui kaedah-kaedah moral, normalisasi melalui pakaian, peribadatan dan penunggalan gaya hidup serta ancaman dan kekerasan. Dan, secara esensial telah mengancam secara serius hak asasi manusia dan masa depan demokrasi di Indonesia. Bukan hanya itu, secara lebih jauh, juga menolak segi-segi terpenting Pancasila sebagai pondasi pendirian negara bangsa modern di Indonesia.
Maka, waspadalah terhadap munculnya fundamentalisme politik…

Membaca Manuver Politik Amien Rais

Moh. Shofan
Peneliti Muda Yayasan Paramadina

Gerakan Ketua MPP PAN Amien Rais, akhir-akhir ini memicu tafsir politik yang tidak tunggal, terutama di lingkungan parta-partai politik. Gerakan itu dinilai sebagai upaya bargaining untuk menjadi cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gerakan Amien ini cukup mengejutkan, pasalnya beberapa saat lalu, Amien masih terlihat ‘keras’ terhadap pemerintahan SBY. Masyarakat masih belum lupa, bahwa saat Amien berorasi dalam kampanye terbuka PAN di Alun-alun Selatan Yogyakarta, banyak melontarkan kritik terhadap pemerintahan SBY yang dinilainya gagal mengemban amanat menyejahterakan rakyat. Amien berharap akan ada tokoh yang mengusung perubahan sebenar-benarnya. Amien mengatakan ketika dirinya mendapat kapasitas itu, maka akan melakukan perubahan.

Namun, seperti banyak diberitakan oleh sejumlah media, Amien telah melakukan pertemuan dengan SBY di sebuah tempat di Jakarta beberapa hari pasca pemilu. Pertemuan itu kabarnya telah menghasilkan “deal” yang cukup penting. Manuver Amien ini semakin mendapat sorotan tajam, ketika beberapa waktu lalu, mengundang 33 Ketua DPW PAN se-Indonesia di kediamannya Pandean Sari, Condongcatur, Depok, Sleman,Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dihadiri sebanyak 28 DPW PAN, Amien memastikan bahwa parpol yang didirikannya itu akan bergabung dalam koalisi Partai Demokrat dan mendukung pencapresan SBY dan menempatkan Hatta Rajasa sebagai wapresnya. Menarik sekali, karena dalam pertemuan itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir tidak tampak hadir. Langkah Amien tersebut menyiratkan bahwa memang ada perbedaan sikap politik dengan Soetrisno Bachir dalam menentukan koalisi pilpres mendatang. Di sini, tampak sekali bahwa langkah Amien ini dinilai sebagai langkah kontra produktif dalam mencitrakan PAN sebagai partai yang solid.

Memang, Amien dikenal sebagai tokoh yang piawai sekaligus kontroversial. Kepiawaiannya dalam menggalang kekuatan politik tidak diragukan lagi. Amien juga kontroversial dalam setiap pernyataannya soal masalah Tambang di Busang juga Freeport, (1997). Dengan angka-angka yang amat gamblang Amien membongkar ketidakadilan kontrak-karya di Busang dan Freeport. Sikap kritis Amien yang pro rakyat dan sebaliknya dengan berani menghantam rezim Soeharto, telah melambungkan nama Amien menjadi pahlawan baru. Berbagai manuver politik Amien bisa mendorong terjadinya pergeseran arus besar perjalanan politik nasional. Strategi Amien yang “masuk ke tengah, lalu turun ke bawah dan menyebar” adalah ancaman bagi lawan politiknya. Amien tidak sekadar menjadi tokoh perkotaan, tetapi juga dikenal di lapisan bawah pedesaaan. Sosok Amien di mata rakyat Indonesia dipandang dengan berbagai persepsi. Ada yang memandang dirinya sebagai sosok yang ambisius, tetapi ada juga yang memandangnya sebagai sosok yang berani, sehingga dengan keberaniannya itu, ia mendapat julukan "Orang Solo yang berwatak Batak". Namun, harus diakui bahwa betapa pun kontraversialnya, sosok Amien Rais akan turut menentukan arah bangsa Indonesia.

Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya, hanya mendapat tujuh persen suara pada Pemilu 1999, Amien mampu menjadi king maker pentas politik nasional dan menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan nyaris pula jadi presiden pada SU-MPR 1. Kini, Amien menyadari bahwa perolehan suara PAN pada Pemilu 2009, ternyata di luar perhitungan banyak pihak. Hasil rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Minggu (19/4), menempatkan PAN pada posisi kelima dengan raihan 6,27% total suara. Perolehan ini masih jauh lebih baik ketimbang PKB, PPP, dan PBB yang melorot drastis. Perolehan jumlah suara PAN yang tidak signifikan tersebut, telah mendorong Amien berkoalisi dengan Demokrat. Boleh jadi bahwa Amien meyakini SBY akan memilih politisi PAN sebagai cawapresnya. Bagi Amien, PAN harus lebih jeli dalam membangun arah koalisi. Keputusan yang diambil harus tepat dan pas demi kepentingan PAN ke depannya. Inilah langkah Amien, di saat PAN terlena dengan koalisi antar partai, dia justru mengingatkan agar PAN tidak berkoalisi dengan partai yang sebelumnya pernah jadi antek-antek Orde Baru. Amien menjadi bayang-bayang yang siap menjadi ancaman dari partai yang berbau Orde Baru. Tak susah menebak ke mana arah tudingan Amien: Prabowo dan Wiranto. Namun, sebagai sebuah partai yang memiliki identitas, langkah Amien tentu juga bisa merugikan PAN yang mestinya lebih mengedepankan kepentingan ideologi, platform, ketimbang kepentingan realistik pragmatis.

Pertanyaannya adalah apakah manuver Amien akan membuahkan hasil maksimal, tentu akan sangat bergantung pada SBY yang saat ini sedang jauh di atas angin. SBY tanpa kesulitan mencari figur cawapres dengan tingkat dukungan yang bersifat komplementer. Dan, itu bisa dengan siapa saja, termasuk dengan Amien. Peluang Amien sendiri untuk menjadi cawapres SBY akan semakin terbuka lebar pasca perceraian Partai Demokrat dan Partai Golkar. Terlebih Partai Demokrat, menegaskan tak akan memilih kader Golkar sebagai wapres untuk menghindari komplikasi politik. Sikap Demokrat itu sekaligus menjawab peluang Akbar Tanjung yang semula dianggap kuat untuk dipasangkan dengan SBY justru dengan sendirinya pupus. Melihat peta politik yang semakin tak menentu, Amien dengan cepat menangkap itu sebagai peluang. Bagaimana langkah Amien memanfaatkan peluang? Akankah ijtihad politiknya, langkah politiknya mampu menjadi magnet bagi partai lain? Atau, menjelma menjadi kuda hitam yang membahayakan posisi lawan?

Menyalakan Masa Depan

Judul : The Extreme Future
Pengarang : James Canton
Penerbit : Alvabet Jakarta
Tahun Terbit : Januari 2009
Tebal : 468 halaman
Peresensi : Moh. Shofan


Buku yang hadir di hadapan pembaca ini berkisah tentang masa depan yang memaparkan secara detail tren-tren utama yang mengubah masyarakat dan pasar. Dia begitu inspiratif, memiliki pandangan yang jelas, menakjubkan dan juga mengejutkan. Pemahaman baru tentang masa depan yang memancing perdebatan dalam rangka mewujudkan masa depan yang dicita-citakan adalah salah satu tujuan penulis buku ini, James Canton –seorang futuris global, ilmuwan sosial, penulis dan penasehat masa depan bisnis yang amat terkenal dan juga penasehat di tiga bagian administrasi Gedung Putih.

Masa depan Extrem sebagaimana judul buku ini adalah jenis masa depan yang penuh dinamika, kegamangan dan multi dimensional. Sebagai sebuah masyarakat, kita sedang diserbu dan dibanjiri perubahan-perubahan teknologi dan sosial, akibatnya, akan lahir kondisi-kondisi frustasi dan disorientasi yang disebut future shock. Dalam arti lebih luas, kebanyakan orang mengalami kesulitan dalam menghadapi rapatnya perubahan yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Tentu saja, ini mengingatkan kepada kita bahwa kita tidak serius memikirkan masa depan. Dengan demikian memikirkan masa depan adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditunda. Masa depan merupakan pengalaman sejarah paling pahit bagi orang-orang yang mengalami kegagalan dalam mencapai kesuksesan.

Melihat masa depan dengan segala kompleksitasnya bukanlah ramalan, dalam pengertian merapal mantra atau melihat bola Kristal, tetapi berdasarkan pengetahuan yang rasional dengan cara melakukan identifikasi dan menganalisis berbagai inovasi dan kecenderungan-kecenderungan yang akan memengaruhi masa depan. Menolak untuk meyakini masa depan adalah jaminan bagi meningkatnya risiko. Orang-orang yang sepanjang hidupnya jadi korban sikap reaktif terhadap masa depan sering kali lupa bahwa masa depan bisa diubah dengan pertama-tama mengubah cara pandang tentang masa depan itu sendiri: apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.

Buku ini, dilatarbelakangi –setidaknya menurut penulisnya– oleh sejumlah kekhawatiran Amerika dalam menghadapi persoalan-persoalan krusial, khususnya pasca tragedi 9/11, terkait dengan terorisme global, ancaman ekonomi, dan pertarungan politik. Sebagaimana kita tahu bahwa dalam The Clash Of Civilization, Samuel P.Hungtinton membuat tesis tentang terjadinya benturan peradaban antara Barat dan Tinur (baca: Timur vs Barat). Ini menunjukkan bahwa ada pertarungan antar ideologi-ideologi dunia. Serangan teroris 9/11 telah mengubah cara pandang Amerika terhadap masa depan, karena serangan itu memperkenalkan ketidakpastian dan mungkin ketakutan ke dalam kebudayaan Amerika selama beberapa generasi.

Keadaan-keadaan di atas, secara tidak langsung membawa Amerika dalam mengubah cara pandang masa depan akibat dari perubahan yang begitu cepat. Keadaan juga membawa Amerika bersiap-siap menghadapi perang talenta. Inilah tren masa depan extrem terpenting yang akan memengaruhi generasi warga negara dan perusahaan-perusahaan serta pengaruhnya di tengah percaturan dunia. Untuk hal itu, dalam menghadapi tantangan dan isu-isu bisnis dunia modern, kemampuan inovasi yang tinggi, kesadaran multikultural, penguasaan bahasa adalah modal yang bersifat niscaya dan merupakan aset berharga di dunia yang makin kompleks, penuh chaos dan ketidakpastian. Hal yang tidak kalah penting adalah dibutuhkan usaha secara sungguh-sungguh guna menangani perbedaan serta kemajemukan di tengah-tengah warga dunia. Semua itu akan bisa dicapai oleh para pemburu masa depan yang punya ambisi dan cara pandang positif terhadap masa depan.Kemampuan mereka untuk meraih kesuksesan sangatlah tinggi.


Strategi memikirkan masa depan adalah pilihan tepat untuk meyakinkan diri ke mana akan melangkah. Seperti dikatakan Yogi Berra, “Anda harus ekstra hati-hati jika tidak tahu sedang melangkah ke mana, karena bisa jadi anda tidak akan sampai ke mana-mana.” (h.27) Pernyataan tersebut bukannya tanpa alasan, sebab hampir setiap tindakan dan keputusan penting terkait dengan harapan atau cita-cita yang akan berdampak baik bagi kehidupan di masa yang akan datang. Ini adalah langkah awal untuk memahami, bukan hanya masa depan, tapi juga bagaimana masa depan itu bisa muncul dan lahir bahkan bagaimana ia bisa diwujudkan, merupakan jalan yang akan menjadi panduan untuk memperbaiki kemampuan dalam meramalkan dan membuat keputusan.


Pemetaan masa depan –meminjam istilah Leonardo Da Vinci, adalah proses yang akan memperlihatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia bagi seorang individu, sebuah organisasi, industri, pasar, bangsa, atau bahkan peradaban. Dengan memvisualisasikan masa depan kita akan mampu membuat pilihan-pilihan cerdas mengenai bisnis atau strategi personal menuju masa depan yang diinginkan. Membaca buku ini, sangat dianjurkan bagi mereka yang peduli terhadap masa depan. Buku ini secara panjang lebar menjelaskan tentang masa depan extrem, yang akan membantu Anda mempersiapkan diri dengan baik dan mendorong Anda untuk beradaptasi, meraih kesempatan dan menghindari risiko-risiko yang ada. Sekali lagi, buku ini sangat penting dibaca untuk memahami dampak revolusioner bagi bisnis dan lain-lain.

Dimuat di Surabaya Post, Pebruari 2009

Demokrasi Sebuah Perjalanan Panjang

Judul : Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis : Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina
Tahun : Mei 2009
Tebal : xvi + 100 halaman
Peresensi : Moh. Shofan


Dalam prakteknya, demokrasi lebih sering berhenti dalam ‘pelembagaan formal’ dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas. Melihat betapa korupnya para anggota DPR, tak jelasnya lagi alasan hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi, membuat Goenawan Mohamad (GM) sempat berpikir bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Pernyataan Albert Camus, yang amat terkenal, “All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is is not sufficient”, kiranya sangat relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa saat ini.

Memang, demokrasi bukanlah ideal terbaik untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi adalah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga Negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Dalam buku ini (Demokrasi dan Kekecewaan), GM dalam tulisannya berjudul “Demokrasi dan Disilusi”, yang kemudian ditanggapi oleh para koleganya, –R. William Liddle, Rocky Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi –, masih menaruh harapan pada demokrasi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique). Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk menang. Jalan yang akan ditempuh pun memerlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai.

Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena bangsa kita masih dalam tahap belajar dalam demokrasi, seperti dikatakan Samsu Rizal Panggabean (h. 29) Masyarakat demokrasi, dalam dirinya menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Karena dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Demokrasi sebagai sikap hidup yang menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak menuntut suasana yang memung¬kinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba sempurna. Karenanya, perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu. Sebab perfeksionisme mengimplikasikan pandangan yang serba mutlak, dan demokrasi menuntut adanya pandangan kenisbian sampai batas yang cukup jauh.

Di sisi lain, demokrasi adalah sebagai sebuah kenyataan yang bersifat universal, namun demikian, dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam institusinya yang menyang¬kut masalah struktural dan prose¬dural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi. Hampir semua bangsa yang mem¬praktik¬kannya mempunyai pandangan, pengertian dan cara-cara pelaksa¬naannya sendiri yang khas. Selain tuntutan kekhususan budaya yang bersangkutan, hal itu juga karena perbe¬daan tingkat perkembangan atau kemajuan sebuah bangsa di bidang-bidang lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Maka dengan alasan kenyataan itu, demokrasi bukan suatu sistem sosial politik dengan konsep yang tunggal. Karenanya bangsa Indonesia dapat dibe¬narkan untuk mengaku mem¬punyai pengertian dan cara pelaksanaan sendiri tentang demo¬krasi. Belajar dari berbagai Negara tersebut, yang terpenting adalah seperti dikatakan oleh Ihsan Ali Fauzi (h. 65), menelusuri sejauh mana dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana mempersempit jaraknya, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi demokrasi kita.

Demokrasi juga dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil ber¬jalan, melalui improvisasi ber¬dasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Sebab justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang mampu, me¬lalui dinamika intern-nya sendiri, untuk menga¬da¬kan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasar¬¬kan prinsip keterbukaan dan ke¬sempatan untuk bereksperimen.
Persoalan¬nya ialah seberapa jauh unsur-unsur perkembangan positif itu dapat didorong dan ditumbuhkan ke arah yang terus lebih baik, dan bagaimana agar tidak membentur dinding-dinding kultur politik “asli” yang tidak kondusif bagi pandangan-pandangan yang lebih kosmopolit, terbuka, dan berwawasan masa depan. Kalau benturan ini terjadi atau sengaja diarahkan ke sana oleh orang atau kelompok dengan vested interest-nya yang terancam, maka optimisme tersebut berbalik menjadi pesimisme dan yang jelas bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu tesis GM, yang mengatakan bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya, tentu tak terbantahkan.

Buku ini memuat perdebatan yang mutakhir, substantif, dan kredibel tentang mengapa kita bisa kecewa kepada demokrasi dan mengapa pula kita bisa, dan harus tetap, berharap kepadanya. Dilengkapi komentar balik Goenawan, buku ini sangat menggugah kesadaran kita bahwa demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar ta¬ta¬nan peme¬rin¬tah¬an. Ia harus dipandang sebagai sa¬lah satu hasil akhir yang ber¬si¬fat formal dan struktural.

Dimuat di Jawa Pos, 26 April 2009