Senin, 03 Oktober 2011

QUO VADIS PEMIKIRAN ISLAM?


Moh. Shofan


Tulisan ini lebih merupakan kegelisahan akademik, utamanya menyangkut diskursus pemikiran Islam di Indonesia. Saya concern terhadap masa depan Islam. Karenanya saya menulis rancangan disertasi yang mengangkat pemikiran Kuntowijoyo—salah satu cendekiawan Islam neo-modernis—yang tidak banyak dikaji secara akademis, tentang metode strukturalisme transendental yang saya yakini mampu menjawab kebuntuan metodologi atau pendekatan dalam studi pemikiran Islam. Dimaksudkan juga sebagai fondasi perlindungan terhadap pengaruh dogmatisasi teks-teks Islam dalam pengertiannya yang rigid.
Menurut hemat saya, pemikiran Kunto sangat relevan di tengah pemahaman Islam yang secara ideologis berimplikasi pada pemahaman Islam yang tekstual-rigiditas-a historis. Ini adalah problem, sekaligus ujian dan tantangan bagi para pemikir Islam di Indonesia. Bagaimana tidak? Pertama, Islam sekarang ini berada dalam keadaan beku, karenanya perlu dicarikan jalan keluar. Kedua, Islam memerlukan reorientasi dan ke arah mana perubahan itu diarahkan.
“Kunci untuk kemajuan Islam adalah sekularisme, liberalisme dan pluralisme”, begitu kata M. Dawam Rahardjo—guru yang sangat saya hormati. Semangat Dawam dalam menggempur konservatisme, dogmatisme, fanatisisme, baik agama maupun ilmu pengetahuan, tentu layak mendapat apresiasi yang tinggi dari lingkungan akademik. Hanya saja, sepertinya Dawam lupa, bahwa menggempur dogma dengan semata-mata melalui sekularisme, liberalisme, dan pluralisme—bukannya saya tidak setuju dengan istilah-istilah itu, malah saya mendukungnya—dan menganggapnya sebagai solusi atas semua persoalan [budaya, politik, agama, ideologi maupun ekonomi] seraya mengabaikan pendekatan-pendekatan kritis lainnya [hermeneutika, fenomenologi, semiotika, filsafat, dan lain-lain] justru cukup mengkhawatirkan karena berpotensi memunculkan dogma dalam bentuk baru.
Kesadaran akan epistemologi—begitu saya menyebutnya—baik sebagai sistem nilai maupun sistem pengetahuan selain merupakan bagian dari filsafat sistematis, juga memerlukan riset mendalam, dan menjangkau permasalahan yang membentang luas seluas jangkauan nalar yang memang tak berbatas. Betapa tidak sederhananya, seperti membalik telapak tangan. Karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions, mempunyai arti penting, khususnya perihal paradigma, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi. Saya merasa at home dengan karya tersebut, karena mengundang sikap kritis terhadap disiplin keilmuan—apapun, termasuk filsafat dan pemikiran Islam. Di sinilah pentingnya memahami bahwa apa yang kita capai hari ini bisa gugur di kemudian hari.
Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru guna mendapatkan—meminjam istilah Kuhn—discovery [penemuan baru] dan invention [penciptaan baru] yang mana keduanya saling berhubungan erat dalam penemuan ilmiah.
Fenomena krisis keilmuan yang menimpa umat Islam saat ini, misalnya, kekerasan atas nama agama, dikotomi pendidikan [pendidikan agama versus pendidikan umum], meningkatnya kecenderungan kelompok islamis-ideologis yang tak jarang memberikan stigma teologis [kafir, murtad], seharusnya menjadi perhatian sangat serius, utamanya dari kalangan akademisi. Perlu ditegaskan di sini, bahwa dalam realitas sejarah tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab dengan teks [termasuk teks agama sekalipun]. Setiap teks mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-beda oleh kepentingan yang berbeda, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pembacaan “dekonstruktif”—meminjam istilah Derrida—justru merangsang pemikiran-pemikiran agama yang kreatif. Dekonstruksi akan membawa konsekuensi serius pada ranah pemikiran, karena kecenderungan anti fondasionalisme yang tinggi.
Khaled Abou El Fadl (2005) misalnya, mengatakan bahwa fikih pada dasarnya bersifat otoriter. Akibatnya, tidak ada kritisisme. Di sana tidak ada gerakan pembebasan. Kondisi ini mungkin juga disebabkan oleh karena dunia Islam pada umumnya dijajah. Penjajahan itu mengakibatkan pembatasan kebebasan berpikir. Ada yang mengatakan hal itu disebabkan karena tasawuf yang cenderung anti-intelektualisme. Tasawuf memang punya banyak segi positif seperti adanya humanisme bahkan juga kebebasan berpikir. Tapi di samping itu, tasawuf menimbukan sifat-sifat anti-dunia, yang berujung kepada anti-kemajuan yang membelenggu kritisisme.
Islam sangat mendorong kemerdekaan dan kebebasan berpikir sebagai prasyarat bagi terciptanya sebuah peradaban yang utama. Karenanya siapa saja yang berpendapat bahwa Islam tidak mendorong kebebasan berpikir, sesungguhnya ia telah menelikung sejarah dan membajak Islam—sebagaimana sering dilakukan kelompok fundamentalis-konservatif. Para akademisi hendaknya juga berani berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan global sekarang ini. Jika Tuhan saja membebaskan seseorang untuk menjadi ateis, maka tidak ada hak bagi manusia untuk melarang ateisme. Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya.
Umar bin Khattab, adalah khalifah yang konon paling inspiratif [dibanding ketiga khalifah lainnya] dan tidak rigid dalam pengambilan hukum serta lebih menekankan semangat dan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah ketimbang teks. Dalam ijtihad Umar misalnya, posisi akal menempati tempat yang utama sehingga ia dikenal sebagai pembawa mazhab ra’yi (akal). Dalam kasus-kasus ijtihad yang dilakukan Umar, secara lahiriah keluar dari teks, tetapi secara esensial justru berpegang teguh pada esensi Al-Qur’an. Inilah juga yang dilakukan oleh Arkoun, yakni melakukan apa yang disebutnya sebagai “kritik nalar Islami”, yaitu nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu dan masih memengaruhi serta menguasai dunia Islam hingga hari ini.
Lihatlah, betapa Barat dengan kelebihannya mampu menunjukkan kepada kita bagaimana menata kehidupan sosialnya jauh lebih baik dari umat Islam. Dan untuk menata kehidupan yang lebih baik, mereka tidak perlu repot-repot menerapkan syariat Islam atau merujuk kepada Kitab Al-Qur’an, atau Injil. Sejarah membuktikan, bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir muslim yang bertolak ke Barat, ketika mencita-citakan sebuah masyarakat yang beradab, berkemajuan, serta berperadaban. Sebagai contoh, Ali Jinnah dan Mohammad Iqbal yang mendirikan negara Pakistan adalah tokoh modernis muslim par excellence, menjadikan Barat sebagai model yang tepat untuk mendapatkan ide-ide politiknya. Tantangan apa pun terhadap Islam sudah pasti juga tantangan bagi para pemeluknya. Tantangan paling penting yang harus dilakukan umat Islam adalah upaya untuk mengakhiri rasa takut dari intimidasi agama.
Untuk keperluan itu, maka kajian pemikiran Islam bisa menjadi salah satu strategi untuk melindungi masyarakat dari kekuatan pemimpin oportunis yang membajak umat dari formalisme Islam yang menghipnotis. Kajian pemikiran Islam yang mampu membuat orang merasa hadir pada ruang dan waktu tertentu. Sehubungan dengan ini, kajian pemikiran Islam harus diarahkan untuk mengartikulasikan strategi dalam menghadapi tantangan kehidupan, melihat masa depan dan menilai masa lampau. Kajian Islam di Indonesia dengan berbagai ragam coraknya, baik dari sisi pendekatan, tema, bentuk presentasi, dan bahkan juga ideologi mengandaikan bahwa Islam punya dinamikanya sendiri.
Kita bisa tidak setuju dalam berbagai level makna dan fungsi wacana, namun dalam semangat ilmiah dan kemanusiaan tidak ada alasan bagi kita untuk menghapuskannya, melarang-larang, terlebih dengan mengatasnamakan kebenaran agama yang diklaim hanya punya satu kebenaran, satu makna. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seplural mungkin. Untuk mengkaji Islam, Al-Qur’an saja belumlah cukup tanpa menggunakan seperangkat metodologi yang memadai dalam menafsir al-Qur’an. Wallahu A’lam bi al-Shawab.


Tulisan ini dimuat di Koran Tempo, 01 Oktober 2011