Selasa, 01 Mei 2012

Pluralisme Dawam Rahardjo

Moh. Shofan


M. Dawam Rahardjo (sebut saja Mas Dawam) adalah tokoh multidimensi (cendekiawan, budayawan, pemikir Islam serta pegiat LSM), dan salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia. Ide-idenya yang segar dan kontroversial—bukan hanya pada pemikiran-pemikirannya tetapi juga tercermin di dalam cerpen-cerpennya (menyebut salah satunya “Anjing Yang Masuk Surga”)—kerap membuat geram banyak orang. Rekam jejak pemikirannya seakan tak mengenal lelah menyuarakan kebebasan, dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas. Tetapi, di situlah kekuatan dan kehebatan Mas Dawam, yakni pada ide-idenya yang cemerlang. Berbagai hinaan, cercaan, sampai pada batas-batas yang paling jauh, yakni pengkafiran, pemurtadan, semuanya dihadapinya dengan tenang dan sama sekali tak membuatnya surut, apalagi takut. Mas Dawam tetap mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, terutama berkaitan dengan isu-isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Kritik Mas Dawam, terhadap golongan Islam konservatif bisa dibilang terlalu pedas. Keberaniannya membela hak-hak semacam penganut Ahmadiyah, Komunitas Eden, Kristen, membuatnya dimusuhi oleh kalangan konservatisme Islam, tetapi di sisi lain juga menempatkannya sebagai pemikir terdepan yang menentang fatwa haram MUI. Mas Dawam melalui pemikiran-pemikirannya yang progresif-liberal selalu menganjurkan kebebasan berpikir dan menjalankan pemikiran pluralisme.

Dalam suatu perbincangan saya dengan Mas Dawam di kantor LSAF, tentang masalah pluralisme, ia berpendapat, jika pluralisme itu dipahami bahwa semua agama itu benar, menurutnya, itu tidak menjadi masalah, tetapi juga tidak terlalu benar. Dikatakan tidak menjadi masalah, karena semua agama itu baik dan benar. Itulah, menurutnya, prinsip pluralisme. Keterangannya bagaimana? Kita sebagai orang Islam tentu saja mempunyai keyakinan bahwa ”sesungguhnya agama yang paling benar adalah Islam”. Hak kita untuk mengatakan itu, dan kita pun termasuk menganut kepercayaan itu. Namun, menurut Mas Dawam, hal ini hanya berlaku bagi kita sebagai muslim. Tetapi itu tidak berlaku bagi orang Kristen. Orang Kristen tidak bisa menerima pandangan semacam itu. Umat Islam tidak akan percaya bahwa Yesus Kristus atau Isa al-Masih itu disalib. Doktrin itu hanya berlaku bagi dan merupakan kepercayaan orang Kristen. Orang Budha punya kepercayaan lain. Orang Hindu juga demikian. Jadi, menurut Mas Dawam, suatu agama itu benar dan agama-agama yang lain salah, itu menurut kita, dan merupakan suatu pandangan yang subjektif. Setiap orang mengakui kebenaran agama menurut kepercayaan masing-masing.

Apa yang menjadi keyakinan Mas Dawam di atas, menurut saya, perlu ditindaklanjuti. Artinya, memahami pluralisme tidak sekadar memberikan tafsir secara kontekstual-historikal terhadap teks-teks al-Qur’an yang sejak awal turunnya sudah membawa gagasan-gagasan liberal. Menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual-liberal tidaklah cukup, manakala belum membawa implikasi pembebasan bagi kaum minoritas beragama. Mengharapkan wahyu al-Qur’an sebagai solusi dari semua persoalan kehidupan adalah mustahil jika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan ke dalam pembacaan yang subyektif. Subyektifitas dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual yang menjadikan teks diombang-ambing sesuai selera pembaca. Tentu saja teks tetap otoritatif dan pembaca menjadi otoriter, karena kebenaran hanya disajikan melalui satu pembacaan dengan mengabaikan pembacaan lainnya. Model pembacaan seperti ini bisa dikatakan kecerobohan karena telah melakukan ’pemerkosaan terhadap teks’. Sebuah pemahaman yang meyakini al-Qur’an sebagai solusi atas semua persoalan kehidupan seraya mengabaikan pendekatan dari berbagai lintas disiplin ilmu yang berkembang merupakan sebuah mitos yang harus dibongkar.

Dalam pandangan Mas Dawam, jika agama tidak ditafsir secara terus menerus, maka akan berakibat pada kematian pemikiran. Jika ahli pikirnya tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya, maka di situlah awal lonceng kematian agama dimulai. Kita harus berani mempertahankan kebebasan pada saat kebebasan sungguh-sungguh terancam. Sapere aude! “Beranilah berpikir sendiri!” Teks pendek itu terbukti menjadi soko guru dunia modern. Pencerahan—mengikuti Immanuel Kant—terjadi ketika manusia membebaskan diri dari selbst verschuldeten ummundigkeit, ketidak-dewasaan atau ketergantungan yang justru kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita.

Mas Dawam, memang sosok yang unik, selalu bangga jika disebut sebagai “intelektual liberal”, tapi ia mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia tidak mau menjadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci pada kemunafikan, pikiran plin-plan. Dawam selalu menekankan bahwa “pencerahan pemikiran” hanya bisa dicapai dengan keberanian berpikir bebas. Karenanya fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme dalam pandangan Mas Dawam, bisa diartikan sebagai pelarangan kemerdekaan berpikir, berpendapat, dan berkeyakinan, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia. Umat Islam perlu menganut paham pluralisme, yaitu paham yang didasarkan pada kenyataan tentang pluralitas yang sudah menjadi kenyataan di dunia modern. Pluralisme menghormati perbedaan dan karena itu harus ada saling menghormati. Jika tidak maka yang lahir adalah konflik yang mendorong kepada tindakan kekerasan. Tanpa filsafat pluralisme, kebebasan beragama akan terancam.

20 April yang lalu, Mas Dawam genap telah berusia 70 Tahun. Namun, di usianya yang sudah semakin tua, ia tetap produktif menulis. Nalar intelektualnya tak pernah lelah menyuarakan apa yang diyakininya sebagai kebenaran. Akhirnya, saya ucapkan selamat ulang tahun kepada Mas Dawam. Teruslah menulis, teruslah menyanyikan kebebasan di saat kebebasan benar-benar dibelenggu.

Dimuat di Koran Tempo, 28 April 2012