Selasa, 18 November 2008

Jalan Berliku Pluralisme

Jalan Berliku Pluralisme


Judul Buku: Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah
Penulis: Moh. Shofan
Penerbit: LSAF Jakarta dan Ar-Ruzz Media Jogjakarta
Cetakan: Pertama, September 2008
Tebal: 484 Halaman

Muh Kholid A.S.
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)


Sangat provokatif! Dua kata singkat itu tampaknya cukup mewakili pembaca saat mengamati visualisasi buku Menegakkan Pluralisme. Bagaimana tidak, dilihat judulnya saja, buku karya Moh. Shofan dan kawan-kawan ini jelas menjadi antitesa dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama sejak 2005. Ditambah dua sosok ''penantang'' otoritas mutlak MUI, M. Dawam Rahardjo dan Ulil Abshar Abdalla dalam pengantar dan penutupnya, maka semakin sempurnalah status buku ini sebagai ''provokator'' yang menohok ruang keberimanan.

Kehadiran buku ini tidak lepas dari rangkaian sejarah mihnah yang menimpa Moh. Shofan. Tragedi yang sedikit mirip dengan kejadian di era Khalifah al-Ma'mun dari Daulah Abbasiyah itu bermula ketika Shofan menulis sebuah artikel tentang kemubahan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Oleh pimpinan Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) tempatnya mengajar, tulisan yang dimuat di harian lokal Surabaya pada 25 Desember 2006 itu dianggap telah melenceng dari akidah Islam. ''Palu'' pengadilan UMG menjatuhkan vonis berupa larangan mengajar (dipecat) terhitung sejak 6 Februari 2007.

Pengalaman pahit itu justru membukakan pintu gerbang bagi alumnus S-1 dan S-2 Universitas Muhammadiyah Malang itu untuk ''berhijrah'' ke pusat ''kekuasaan'' Jakarta. Sengsara justru menjadi titik awal baginya meraih popularitas. Berawal dari kasus itu juga, dia mampu menelorkan berbagai pemikiran yang yang jauh lebih produktif dan progres daripada saat masih berstatus sebagai dosen UMG.

Fakta menunjukkan bahwa kasus yang menimpa Shofan itu memang bersifat lokal. Tetapi, banyak pihak yang menilainya sebagai cerminan dari pertarungan wacana keislaman di (Muhammadiyah) tingkat nasional. Meminjam istilah Muhadjir Effendy, pemikiran di Muhammadiyah ''dipaksa'' menjadi dua kesebelasan yang berhadapan, dan ada keharusan untuk memilih salah satunya. Pertandingan inilah yang menghasilkan perang labelisasi dan stigma dalam mempersepsi diri dan menilai pihak lain tanpa tabayyun (klarifikasi) yang memadai.

Kesenjangan ini secara nyata tampak dari perdebatan tentang ''pluralisme'' dalam Muhammadiyah. Oleh beberapa pihak, pluralisme masih diposisikan sebagai musuh bersama atas nama ''agama'' yang harus dilenyapkan karena dipandang sebagai paham yang mengarah pada penghancuran batas-batas agama. Padahal, di pihak lain, pluralisme dipandang sebagai paham yang mengakui eksistensi agama-agama, tanpa mencampuradukkannya menjadi agama baru atau menganggap semuanya sama benar.

Paham pluralisme adalah ruang yang memberi peluang kepada siapa saja untuk meyakini agamanya sebagai nilai yang mengandung kebenaran mutlak, tetapi hak serupa juga harus diberikan kepada penganut agama lain untuk memegang prinsip yang sama. Masing-masing pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara damai. Adalah tindakan yang tidak relevan ketika menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal.

Buku yang didedah oleh 28 penulis ini secara umum terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama berisi tentang pemikiran Shofan tentang urgensi penegakan pluralisme untuk kemaslahatan umat, disusul gugatannya tentang fundamentalisme-konservatif di Muhammadiyah, serta upaya mewujudkan cita-cita pluralisme sebagai landasan hidup. Barulah pada bagian keempat memuat tanggapan beberapa ''kawan atau lawan'' terhadap gagasan pluralisme dengan becermin pada kasus yang menimpa Shofan, serta sorotan media atas kasus itu di bab lima.

Rangkaian tulisan Shofan yang dilengkapi dengan komentar beberapa sahabatnya ini tentu menjadi catatan sejarah yang tidak boleh dinafikan. Bukan berarti membuka ''luka lama'', tetapi kehadirannya harus dimaknai sebagai titik awal bagi terjadinya dialog konstruktif di antara beragam ''aliran'' dalam Muhammadiyah, dan umat Islam pada umumnya. Sudah saatnya umat mulai mewacanakan secara cerdas masalah pluralisme beserta variannya dalam suasana jernih, bukan dalam konstruksi monolitik dan memicu perseteruan dan stigma yang memvonis.

Lebih daripada itu, merupakan preseden yang tidak elok jika penyelesaian perbedaan pendapat, lebih-lebih dalam organisasi semodern Muhammadiyah, justru disusupi dengan tendensi ideologis-politis. Adalah peristiwa yang tidak progresif jika perbedaan pandang justru diselesaikan dengan aksi yang semena-mena, termasuk menggunakan cara-cara kurang elegan. Biarlah perbedaan itu harus saling mengapresiasi sebagai komponen komplementer untuk saling ber-fastabiq al-khairat dalam menyongsong zamannya.

Terlepas dari kekurangan buku yang sarat ''labelisasi'' dan ''stigmatisasi'', yang jelas, Muhammadiyah sangat diuntungkan dengan kehadiran catatan ''kelam'' sejarah pertarungan (dinamika?) pemikiran ini. Meski terasa tidak enak di mata dan hati, buku Menegakkan Pluralisme ini setidaknya bisa dijadikan pijakan untuk membangun masa depan yang harmonis tanpa menafikan masa kekinian dan kesejarahan masa lampau. Sebab, buku ini adalah akumulasi pengalaman umat pada eranya sendiri sebagai warisan yang harus dipelajari oleh generasi mendatang. (*)

Dimuat di Jawa Pos Oktober 2008

Senin, 17 November 2008

Mencari Format Baru Pluralisme: Dari Moral Defensif ke Moral Ofensif

Mencari Format Baru Pluralisme:
Dari Moral Defensif ke Moral Ofensif


Moh. Shofan

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pluralisme merupakan faham tentang kemajemukan. Pengertian ini ingin menegaskan bahwa pluralistik dapat dikondisikan ketika seseorang berkeyakinan tentang sesuatu ‘yang bercorak banyak’ sebagai anugerah. Pandangan ini juga ingin menunjukkan adanya ketulusan hati bagi setiap manusia dalam menerima keanekaragaman. Akan tetapi, menurut hemat saya, pluralisme bukan hal yang mudah begitu saja, karena dalam realitas empiriknya, pluralisme selalu menjadi problem dari zaman dahulu hingga sekarang—setidaknya dalam lima tahun terakhir ini—baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama.
Kenapa pluralisme selalu menjadi problem? Pengalaman akan hubungan antaragama yang pernah terjadi sekian tahun ke belakang, kiranya patut menjadi sebuah acuan. Di Indonesia, terjadinya perpecahan dan konflik yang berlatarbelakang keagamaan sangat mudah terjadi dan kadangkala hanya karena persoalan sepele. Bahkan, boleh dikatakan, hampir setiap tahun terjadi ketegangan, kadang kerusuhan, akibat dari sentimen antarumat beragama. Maka, perlu kiranya untuk merenungkan kembali konsep pluralisme agama guna mencari input positif bagi keberagamaan di Indonesia.
Untuk menanggapi konsep pluralisme agama, kiranya memang tidak semua orang sependapat, karena ada yang setuju dan menaruh harapan akan pluralisme, dan ada pula yang merasa khawatir dan curiga terhadap pluralisme itu sendiri. Oleh karena itu, isu pluralisme menjadi sangat penting sekali untuk diapresiasi lebih jauh guna merespons kehidupan keberagamaan dewasa ini.

Pemetaan Islam: ”kanan” versus ”kiri”

Nyatanya, cara kita berislam, dengan demikian, belum sepenuhnya mendapat apresiasi positif dari kalangan kelompok umat Islam lain yang berbeda pandangan dengan Islam yang kita yakini sepenuhnya. Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli kebenaran Islam seperti itu, menurut Gus Dur (2006) bertentangan dengan semangat demokrasi. Akibatnya, konsekuensi penafsiran mereka yang (sudah) terbiasa dengan formalisasi, akan terikat pada upaya-upaya untuk mewujudkan ‘sistem Islami’ secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat.
Hal demikian, tentu saja menjadikan Islam berwatak ideologis dari pada kultural. Semangat yang dibawa Islam kultural adalah semangat dinamisme-historis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain. Sedangkan semangat yang dibawa oleh Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Atau bisa dibalik demikian: ideologi Islam adalah ideologi yang bersumber pada paham hidup yang berasaskan Islam. Paradigma ini mendorong umat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai ‘alternatif’ terhadap sistem-sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Dalam diskursus pemikiran Islam pertentangan antara Islam ideologis dan Islam kultural atau Islam literal versus Islam liberal, kelihatannya menjadi catatan sejarah sepanjang zaman. Uniknya, baik yang literal maupun yang liberal sama-sama ada dalam tubuh Muhammadiyah dan NU. Jadi, ada Muhammadiyah literal yang identik dengan ‘kanan’ dan ada Muhammadiyah Liberal yang identik dengan ‘kiri’. Begitu juga di NU: Ada NU ‘kanan’ dan NU ‘kiri’. Walaupun pemetaan tersebut belum sepenuhnya bisa diterima, namun secara sosiologis kenyataan seperti itu sulit dihindari.
Hal ini berbeda, misalnya, dengan kelompok yang menamakan dirinya MMI, FPI, HTI, Ikhwanul Muslimin. Saya mengidentifikasikan beberapa kelompok yang saya sebut terakhir ini sebagai Islam ‘kanan’. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi dan termotivasi kuat secara ideologis untuk meneguhkan dirinya sebagai pelurus terhadap praktik-praktik keagamaan yang dianggap ‘tidak Islami’, sehingga melahirkan ekslusivisme dan sektarianisme yang militan. Karena itu kelompok ini juga sangat sensitif terhadap pemikiran yang diindikasikan sebagai pembawa paham sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.
Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini seringkali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter.
Ketegangan kreatif yang ditimbulkan pluralisme tersebut tentu saja merupakan tantangan tersendiri bagi kita. Tantangan ini merupakan suatu krisis sekaligus peluang untuk perkembangan rohani. Dikatakan krisis karena tidak menutup kemungkinan akan berimplikasi pada suasana chaos, karena minimnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agamanya. Di sisi lain, ini justru menjadi peluang, karena menuntut tanggung jawab para agamawan, intelektual untuk merumuskan dan menafsirkan kembali secara tepat perihal pesan Tuhan dalam keseluruhan maknanya. Inilah yang juga menjadi kekhawatiran Fathi Osman (2007), akan masa depan agama-agama.
Menguatnya kelompok konservatisme di tubuh umat Islam tentu saja menjadi ancaman yang sangat serius bagi tegaknya pluralisme, liberalisme dan sekulerisme. Dalam kacamata Zuhairi Misrawi (2004), ketegangan tersebut kerapkali terjadi, karena dua hal. Pertama, problem diskursus pluralisme. Pada komunitas agamawan, pluralisme masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan, bahkan pada titik itu diharamkan. Kenyataan ini disebabkan tidak adanya kehendak teologis (theological will) dari elite agamawan, pendeta, pastor, ulama, dan kiai untuk mensosialisasikan dan mendakwahkan diskursus pluralisme kepada jamaahnya.
Kedua, problem struktural atau lebih tepat disebut problem kebijakan publik. Dalam aroma demokratisasi dan civil society seperti sekarang, pemerintah sering menjadi ”faktor penyoal”, ”bukan faktor penjawab”. Artinya, tujuan untuk mewujudkan pluralisme tersandung kebijakan publik yang tidak pluralis.
Hal yang sama juga dikatakan oleh M. Dawam Rahardjo (2007), bahwa terjadinya krisis keberagamaan yang ditunjukkan oleh terjadinya konflik horizontal berlatar belakang kesukuan dan agama disebabkan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak sipil. Menurut Dawam, kunci dari penegakan hak-hak sipil adalah pluralisme dan sekulerisme yang menghargai semua agama seutuhnya. Pemihakan terhadap satu agama saja merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan maupun kebebasan beragama. Dan dalam kenyataannya, hanya ada 5 dan kemudian 6 agama yang secara de facto ‘diakui’ oleh negara karena hanya mereka yang dilayani oleh Departemen Agama. Penganut di luar agama-agama itu tidak memiliki sejumlah hak-hak sipil.
Karenanya menarik mengikuti pendapat Swindler, bahwa agama menurutnya terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu creed atau akidah, cult atau peribadahan, code atau kode etika dan community structure atau susunan masyarakat. Dawam menyempurnakan menjadi 5 yaitu culture atau civilization, membangun peradaban. Bahkan Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat) menggeser titik tekan keberagamaan dari 2C yang pertama, yaitu creed atau akidah dan cult atau ibadah kepada akhlaq. Hanya saja, isi dan substansi dari setiap C itu berbeda-beda. Karena itulah dikatakan, agama-agama itu ide dasarnya sama, tetapi berbeda isi dan eksperasinya. (Rahmat, 2006)
Munculnya fanatisme dan eksklusifisme di kalangan umat Islam adalah keberagamaan yang menitikberatkan kepada 2C yang pertama, yaitu creed dan cult. Keberagamaan semacam ini perlu dicairkan dengan proses liberalisasi pemikiran. Dalam bahasa lain, jika ditempuh melalui pendekatan pluralis yang liberal, privatisasi hanya terjadi secara parsial, yaitu di bidang akidah dan ibadah. Di bidang moral, kebudayaan dan peradaban agama akan bangkit menjadi wacana publik berdasarkan penalaran moral (moral reasoning) dan penalaran publik (public reasoning).

Mengaplikasikan pluralisme
Kang Jalal, seraya mengutip Muthahhari, mendedahkan bahwa Islam yang dianut sebagai agama resmi lebih banyak pengertiannya sebagai ”Islam geografis”, Islam yang diperoleh karena lingkungan. Karenanya, atas dasar itu pula saya meyakini bahwa munculnya konflik yang mengatasnamakan agama maupun Tuhan, kiranya lebih banyak disebabkan kurangnya pemahaman mengenai agama. Mereka pada umumnya memahami agama sebatas yang mereka dengar dari para khotib-khotib—meminjam istilah Ulil—yang hanya hafal satu dua ayat dengan volume yang meledak-ledak, seraya memukul-mukulkan tangannya di atas mimbar.
Nah, umumnya, dari kelompok merekalah konflik itu muncul. Sehingga, untuk membangun kesadaran beragama dengan menerima ragam perbedaan dalam bingkai civil society, demokrasi dan peradaban, agaknya (masih) dibutuhkan waktu yang lama. Untuk mewujudkan pluralisme sebagai ikatan sejati di tengah ragam kemajemukan dalam tali keadaban, relativisme internal menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap warga harus saling memahami dan menyongsong yang lain, tanpa emosi ikatan primordial.
Pengakuan terhadap pluralisme budaya dan agama memerlukan pengembangan demokrasi lebih lanjut. Tidak mungkin ada demokrasi yang maju tanpa kebebasan seluruh kelompok. Muhammad Syahrur (2003) mengatakan, bahwa inti dasar kehidupan adalah kebebasan yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap orang adalah manusia bebas dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Tidak ada satu otoritas pun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang.
Sistem kehidupan individu dan sosial harus dibangun untuk memelihara kebebasan setiap orang, menghindari retriksi (tekanan) atas manusia. Karena selama ini, masalah eksploitasi manusia oleh manusia menjadi tema yang diusung oleh setiap agama, ideologi, pemikiran dengan klaim bahwa mereka membawa misi keselamatan bagi manusia menuju kebebasan yang menjadi mitra manusia.
Tanggung jawab terbesar seseorang adalah mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan tersebut supaya tidak dicederai oleh manusia sendiri. Jadi, kebebasan bukanlah sebuah potensi ‘yang semaunya’, tetapi memiliki dasar-dasar yang dilekatkan pada tanggung jawab setiap orang untuk menciptakan kehidupan yang manusiawi.
Dari situlah, saya kira, untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan tersebut diperlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang partikular. Kuntowijoyo (1991) pernah menawarkan bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke obyektif. Dalam kerangka berfikir obyektif ini menurut Kunto, tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain.
Dengan demikian, seperti dikatakan Kunto, agama-agama lain tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin eksistensinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat Islam. Bahwa agama lain ada secara obyektif, cukuplah bagi umat Islam. Umat tidak perlu repot-repot berfikir tentang kedudukan teologis agama lain dalam Islam. Perubahan cara berfikir subyektif ke obyektif di sini berarti pengakuan sepenuhnya bahwa agama yang ada di luar itu ada secara obyektif. Bagi Kunto, konstruksi pengetahuan itu (harus) dibangun oleh al-Qur’an, dengan tujuan agar kita memiliki hikmah, yang atas dasar itu bisa dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral, maupun sosial.
Usaha-usaha semacam itu diperlukan usaha untuk mengangkat teks al-Qur’an ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya. Kuntowijoyo biasa menyebutnya dengan mentransendensikan al-Qur’an (melepaskan diri dari bias-bias penafsiran yang terbatas pada situasi historis itu, atau mengembalikan makna teks) yang sering merupakan respons terhadap realitas historis kepada pesan universal dan makna transendentalnya. Sedemikian rupa, usaha-usaha untuk menafsirkan dan mentransformasikan realitas tidak terbelenggu oleh paradigma usang masa lalu yang mempunyai bias berbeda dengan kondisi sosio-historis masa kini. Dan inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi eksistensi bersama, dasar bagi pluralisme agama-agama.
Kecenderungan berfikir seperti Kunto di atas, agaknya belakangan ini diikuti oleh Kang Jalal. Kang Jalal menawarkan istilah baru yang disebutnya sebagai agama madani, sebagai agama warga negara yang referensi subyektifnya didasarkan pada doktrin agama masing-masing kelompok agama, tetapi kemudian ditarik nilai-nilai obyektifnya sebagai seperangkat norma universal yang bisa di share bersama. Dengan kata lain, agama sipil atau agama madani merupakan titik temu universal agama-agama, dari mana norma-norma etis yang bersifat general yang berasal dari ajaran masing-masing agama, dirumuskan bersama sebagai common denominator.
Dalam kerangka seperti ini, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai dan bersekutu untuk memperjuangkannya di tingkat publik–meminjam istilah Dawam–berdasarkan penalaran moral (moral reasoning) dan penalaran publik (public reasoning). Dengan demikian ruang agama dapat dipetakan menjadi dua, yaitu wilayah privat (bidang agama dan ibadah) dan wilayah publik (moral, kebudayaan dan peradaban).
Penting juga diingat, bahwa dalam melihat pluralisme seyogianya harus dibedakan dua tataran: deskriptif dan normatif-preskriptif. Deskriptif yang sekadar mengakui (acknowledging) keragaman. Ini yang saya sebut dengan pluralisme defensif. Yang kedua, dengan normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan (advocating) keragaman. Ini yang saya sebut dengan pluralisme ofensif.
Pada tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Namun, ketika kita berbicara pada tataran normatif-preskriptif, ketiga matra berikut perlu diperhatikan secara serius, yaitu keragaman pada matra konteks budaya (contextual pluralism), matra asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan matra sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism). Penjernihan dan distingsi-distingsi di atas sangat dibutuhkan dalam membaca pluralisme (Trisno Sutanto, 2006)
Karena itu, kita harus tetap menghargai agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak perlu terjebak pada anggapan “menyamakan semua agama”. Orang yang menghormati jati diri masing-masing agama pasti tidak akan mengatakan, semua agama adalah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan. Masing-masing agama mempunyai pemahaman dan konsepsi sendiri-sendiri mengenai siapa yang mereka sembah. Seperti dikatakan dalam kaidah ushul: al-ashl fi al-‘ibadah al-ittiba’. Tapi dalam hal yang berkaitan dengan etika dan moral, seperti kasih sayang, toleransi, perdamaian, keadilan, keseteraan dan persamaan hak merupakan ajaran yang diutamakan oleh semua agama.
Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dari sini kita berharap semoga masa depan umat manusia bisa lebih menjanjikan bagi datangnya era-baru yang sejahtera, damai, dan tanpa prasangka, dengan berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual yang mengikat dalam etika global.

Makalah ini dipresentasikan di acara Workshop Pluralisme di Bogor, Juli 2007 kerjasama PSIK Univ. Paramadina dan LSAF Jakarta

Moh. Shofan: Struggling to introduce pluralism to education

The Jakarta Post, 29 Juli 2007

Moh. Shofan: Struggling to introduce pluralism to education

Aulia Rachmat and Herdi Sahrasad

The role of pluralism is very significant in a democratic country. Religious tolerance is an essential element of pluralism and therefore it is important that everyone respect each other’s beliefs. Correspondingly, when a Muslim says “Merry Christmas” to a Christian or a Christian “Happy Idul Fitri” to a Muslim, it is a paying of respect that symbolizes religious tolerance. To young intellectual Moh. Shofan, ironically, his religious tolerance has ruined his career, leading to a long struggle. "I will never forget the day I was dismissed as a full-time lecturer at Muhammadiyah University of Gresik (UMG) because I taught pluralism to my students and wrote an article about it in a regional newspaper,” Shofan told The Jakarta Post.
In December 2006 the UMG rector decided to remove Shofan from his position, mainly because of the content of his article, which said Muslims should be allowed to give Christians a Christmas greeting as a means of building religious tolerance. “I was very shocked at my dismissal. I thought I would have received some appreciation for what I did,” said Shofan, who was born and raised in Gresik, East Java, and now lives in Jakarta. The dismissal was unfair, said the Muhammadiyah activist. It is not surprised that the 32 year-old intellectual became disheartened at the reality, as his career was being torn apart by the dismissal.
The toil of Shofan’s low-income parents was the only financial resource for meeting his education expenses; they hoped that their son could become the backbone to supporting them and his family after finishing his education. Seeing him as a full-time lecturer at UMG was indeed a blessing. The hopes of Shofan’'s parents and his family have faded, but Shofan believes this is still a blessing. “It was so grim that I was fired because I was teaching and spreading pluralism. But it was also the dawn of my struggle; I believe that bitter life experience can be a trigger for becoming a better person,” the former principal of Muhammadiyah Primary School 2 in Malang, East Java, asserted.
He acknowledged that his dismissal was the reason of his moving to Jakarta. But for a man brought up in an education environment, Shofan’s devotion to education will not fade, as he said that he would continue to educate the community on the importance of pluralism to building a harmonious society. He added, “being fired from my job for spreading the word of pluralism is a the price to bear, but I will never give up struggling to stand for I believe in. “I will continue to write about pluralism as a means of educating the community. Our people need to have a better awareness of the importance of living in mutual tolerance within our pluralistic community,” said Shofan, who has four published books and a number of articles to his name.

Tolerance and brotherhood
During his first few months in Jakarta, he met a number of young Islamic intellectuals such as Zuhairi Mizrawi of Nahdatul Ulama (NU), M. Dawam Rahardjo and Budhy Munawar-Rachman, who share the same mind-set with regard to the meaning of religious harmony and mutual tolerance. “Not only do we have the same mind-set; they have really supported my struggle to promote pluralism. Together, we have engaged in interfaith dialog with Christian and Catholic priests, as well as with other religious leaders,” said Shofan, who greatly admires the late Ahmad Dahlan (founder of Muhammadiyah, Indonesia's second-largest Islamic organization) and the late Nurcholis Madjid (a prominent, moderate Islamic intellectual and founder of Paramadina University). Dahlan was a Muslim intellectual who was very open in understanding other people's beliefs. “He will not hesitate to take on board the values of other religions if he thinks they are positive and do not contradict his own beliefs,” Shofan said vehemently.
Shofan added that Islam, like other religions, promotes pluralism.
The writer of The third way of Islamic thought said, “If a prophet emphasized his followers should respect other religions, I'm convinced that giving a Christmas greeting is not only paying respect to our Christian brothers and sisters in the archipelago, but also a courtesy. I believe Islam promotes such positive behavior. This is part of religious tolerance.”
Islam, says Shofan, has a long history of engaging with pluralistic societies. He said that Muslims should start perceiving today’s world in a different way. “We live within the pluralism of globalization; Muslims should be able to work shoulder to shoulder with other people regardless of what religion they embrace. “Together, both Muslims and non-Muslims should be able to build a strong brotherhood to make a better Indonesia; that way we can be better prepared to face today's globalization.”
Indonesia still faces the problem of religious tolerance. Since the fall of the Soeharto regime, Islamic radicalization has emerged strongly. Radicalism is the engine of Islamic fundamentalism, and its followers often segregate themselves from others who are not of the same religious belief and doctrine. “This ideology has the potential to endanger religious harmony and mutual tolerance within a plural Indonesian society, “Shofan remarked. It is important, therefore, that society be aware of the essential meaning of “pluralism.” “Pluralism is not just relativism; it is the language that is needed by all mankind -- regardless of religion, ethnicity, culture and color of skin,” Shofan affirmed. “Indonesian people need more education on pluralism. ‘There is no compulsion in choosing a religion’ should become the nation’s philosophy for building a better democratic nation.
“Therefore, an open-minded and moderate form of Islam is what over 190 million Indonesian Muslims should follow,” advised Shofan, who has one daughter.

Minggu, 16 November 2008

Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!

Jawa Pos, April 2007

Wawancara Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dan Moh. Shofan, M. Ag.
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!

Salah satu esensi perguruan tinggi adalah bagaimana menyuburkan pola berpikir kritis. Dengan begitu, ilmu pengetahuan akan berkembang. Namum semua itu memerlukan iklim kebebasan akademis. Seperti apa kebebasan akademis di kampus perguruan tinggi Islam? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Moh. Shofan, mantan dosen Universitas Muhammadiyah Gresik dan Abdul Munir Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta, Kamis lalu (15/3) di KBR 68H Jakarta.

Mas Shofan, bagaimana kisah pemecatan Anda dari status dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik?

MS: Ini bermula dari artikel saya tentang Islam yang dimuat di harian Surya dan beberapa media-media lain. Sebelum itu, sebetulnya saya sudah sangat konsen terhadap pemikiran-pemikiran keislaman yang progresif-liberal. Buktinya saya sudah menulis sejumlah buku yang dianggap oleh beberapa orang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang murni. Misalnya, buku saya Jalan Ketiga Pemikiran Islam. Namun begitu, buku yang sudah diterbitkan penerbit Ircisod sejak tahun 2006 itu tidak membawa dampak apa-apa terhadap karir saya.
Puncaknya masalahnya barangkali baru saya rasakan pada bulan Desember 2006, ketika saya menulis artikel tentang Natal dan Pluralisme di harian Surya. Inti dari tulisan saya itu adalah pernyataan pentingnya makna mengucapkan selamat Natal bagi teman-teman kita yang Kristen. Di artikel itu saya juga sertakan bukti-bukti sejarah bahwa sesungguhnya di dalam tradisi Islam sendiri banyak juga pengalaman yang menunjukkan bahwa doktrin Islam mampu menjalin hubungan harmonis dengan agama-agama lain. Misalnya terhadap agama Yahudi, Kristen, dan Shabean.
Karena itu, bagi saya sekadar mengucapkan Natal terhadap umat Kristen ketika mereka bergembira merayakannya tidak ada persoalan. Hanya saja, artikel itu memicu polemik di kalangan Muhamadiyah sendiri, lebih spesifik di kalangan Muhamadiyah Gresik. Sebagian besar warga Muhamadiyah Gresik belum bisa menerima isi tulisan itu. Mereka menganggap artikel itu sebagai bentuk tulisan yang meresahkan keluarga besar Muhamadiyah.

Apa yang dimaksud dengan kalimat ”meresahkan warga Muhamadiyah” di situ?

MS: Menurut mereka, apa yang saya tuliskan itu sudah menyalahi akidah murni Muhamadiyah. Sebab mengucapkan selamat Natal sudah difatwa haram oleh Muhamadiyah. Mereka juga mengatakan bahwa itu juga sudah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Diterangkan juga, di tubuh Muhamadiyah sendiri, tindakan mengucap selamat Natal juga masih kontroversial dan tabu.

Apakah Majelis Tarjih Muhamadiyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa seperti itu?

MS: Maaf, saya kurang tahu persis. Tetapi yang perlu kita pahami dan itu yang membuat saya yakin dengan pendapat seperti itu, ada banyak contoh dari para petinggi Muhamadiyah sendiri tentang bagaimana cara menjalin hubungan baik dengan warga non-Muslim. Itu dapat kita lihat dari sikap tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Amien Rais, Prof. Dr. Syafi’i Maarif, bahkan Ketua PP Muhammadiyah sendiri, Prof. Dr. Din Syamsuddin. Saya ingat, satu tahun lalu, Pak Din bahkan berupaya meyediakan fasilitas amal usaha Muhamadiyah untuk dijadikan tempat ibadah Natal bagi umat Kristen karena adanya beberapa kesulitan yang mereka alami dalam beberapa tahun belakangan ini.

Bagaimana Anda merasakan iklim kebebasan akademik di perguruan tinggi Islam selama ini?

MS: Di beberapa tempat di IAIN atau UIN, saya tahu ada banyak sekali dosen yang berpikiran progesif dan sangat terbuka. Memang terkadang kasusnya sangat individual. Artinya, paradigma berpikir mereka yang dianggap progresif-liberal itu tak sampai menjadi gejala umum di tataran mahasiswa dan dosen. Indikasi itu misalnya bisa kita lihat dengan mudahnya kelompok-kelompok konservatif memasuki sejumlah perguruan tinggi Islam. Kalau para mahasiswa punya pandangan yang progresif dan kritis, orang-orang itu tidak akan gampang menyebar pengaruhnya di perguruan tinggi.

Pak Munir, bagaimana Anda menilai tingkat kebebasan akademis di pelbagai perguruan tinggi Islam selama ini?

AMM: pertama-tama perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya sebuah perguruan tinggi dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Ketika membuat skripsi, tesis, apalagi disertasi, para mahasiswa diharuskan berpikir kritis. Kalau tidak kritis, karyanya tidak akan jadi. Karena itu, bagi saya, salah satu esensi dari perguruan tinggi adalah bagaimana pengembangan pola berpikir kritis.
Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru. Pandangan dan teori baru itu seringkali tampak berbeda dengan apa yang sudah ada selama ini. Nah, seharusnya norma perguruan tinggi itu, ya seperti itu. Cuma memang, terkadang dalam beberapa kasus, ada saja persoalan komunikasi; soal bagaimana seharusnya sebuah institusi mengelola lembaga bernama perguruan tinggi. Bahwa sebuah organisasi punya ideologi tertentu, tentu saja iya. Perguruan tinggi juga punya tradisi, itu juga harus tetap dihormati.
Itulah yang selama ini barangkali kurang disadari banyak pihak. Akibatnya, pihak tertentu merasa boleh berbuat apa saja sesuai dengan kewenangan yang ia punya, seperti yang menimpa Mas Shofan saat ini.

Anda dikenal sebagai penulis buku-buku yang kritis dan tidak maintream, seperti soal Syekh Siti Jenar, pemikiran-pemikiran Islam pinggiran, dan lain-lain. Bagaimana Anda bisa bertahan dalam sebuah perguruan tinggi Islam dengan trade mark seperti itu?

Pertama, seorang intelektual, kalau boleh saya menyebut begitu, harus tetap sadar akan tanggung jawabnya dan sadar juga akan resiko yang akan dia hadapi. Kesadaran itulah nantinya yang akan membentuk sikapnya dalam merespons dan menjawab reaksi-reaksi yang muncul di masyarakat. Sayangnya, bukan hanya di Muhamadiyah, tapi di lingkungan perguruan tinggi Islam umumnya, apalagi yang negeri, sikap seperti itu tidak tumbuh dengan baik.
Untuk kasus saya, mungkin karena sudah dianggap super senior, sehingga tidak terlalu banyak yang mempersoalkan saya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, pada awal-awalnya, saya dulu juga mengalami hal yang sama dengan Mas Shofan. Tapi saya selalu berprinsip, kalau dosen tak punya sikap kritis, ya, sesungguhnya wujûduhu ka`adamihi (wujudnya seperti tidak berwujud, Red), he-he... Sebab, seorang dosen kan harus melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jadi, bagi saya, kasus Mas Shofan itu harus mendorong banyak pihak untuk merumuskan kembali bagaimana sesungguhnya hubungan antara perguruan tinggi Islam swasta dengan pihak pemilik perguruan tinggi. Kalau tidak, kasus-kasus seperti ini nanti akan semakin banyak. Kita tahu, teknologi informasi saat ini semakin terbuka, dan globalisasi membuat orang bisa memerkaya informasi untuk dirinya lebih banyak dari pemilik perguruan tinggi. Nah, kalau ini tidak diantisipasi, dosen akan berlari cepat, sementara pemilik perguruan tinggi jalan santai. Kan nggak nyambung?!

Bagaimana Anda melihat hubungan antara menguatnya kelompok puritan dengan tingkat kebebasan akademis di dunia kampus?

Saya agak berbeda dalam melihat persoalan ini. Menurut saya, kelompok yang puritan itu bukannya menguat. Hanya saja, sekarang media berekspresi semakin terbuka. Menguat? Menurut saya, tidak. Kalau di tahun 1970-an, orang seperti saya, M. Amin Abdullah, atau Ulil Abshar-Abdalla, itu bisa mati-kutu beneran. Sekarang kan tidak?! Untuk kasus Mas Shofan, mungkin itu terjadi karena dia masih kecil; jadi gampang dipecat. Karena itu, yang beda saat ini adalah semakin bebasnya media dan dengan begitu orang makin terbuka dalam mengekspresikan sikap dan pandangannya di alam demokrasi. Kini, orang lebih gampang menampakkan sikap-sikapnya yang dulu dipendam.
Karena itu, bagi saya harus dibuat aturan tentang bagaimana caranya mengatasi perbedaan pendapat. Kalau tidak, ya, kita akan terus bertempur setiap harinya. Akibatnya, kita lupa akan rakyat yang harus makan nasi aking dan segenap kesulitan lainnya. Jadi menurut saya, sekali lagi, ini adalah pelajaran berharga bagi kita untuk menghayati kode etik atau etika berperguruan tinggi.
Bagi saya, ketika ada orang menulis buku Ada Pemurtadan di IAIN itu bagus-bagus saja. Hanya sayangnya, si penulis tidak pernah bertanya ke orang-orang yang disudutkannya di bukunya itu. Nah, saya kira proses tabayun itu menjadi salah satu poin penting dari etika intelektual.

Menurut amatan Anda, apakah perguruan tinggi Islam bisa dikatakan bebas, setengah bebas, atau tidak bebas?

Saya belum sampai pada kesimpulan ke sana. Tapi saya meragukan perguruan-perguruan tinggi Islam benar-benar menyadari apa fungsi sebuah perguruan tinggi. Karena itu, saya sering mempertanyakan apakah UIN Jogja sini misalnya, atau UIN umumnya benar-benar sebuah perguruan tinggi. Jangan-jangan, ini hanya lembaga penataran. Karena itu, suasana berpikir kritis itu hanya milik satu dua orang, dan suasana akademik belum lagi tumbuh.
Jadi, memang perlu disadari bahwa sebuah perguruan tinggi itu harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan menumbuh-kembangkan tradisi berpikir kritis. Itu memang kewajiban perguruan tinggi. Kalau bukan seperti itu, ya, jadi lembaga kursus saja! []

Pencekalan Nasr Hamid Abu Zayd Ancam kebebasan Berfikir

Pencekalan Nasr Hamid Abu Zayd
Ancam Kebebasan Berfikir


Moh. Shofan

Senin sore 26 November 2007 pukul 16.00 WIB di The Wahid Institute, saya berkesempatan hadir bersama Mas Dawam (Prof Dr Dawam Rahardjo) dalam acara konferensi pers terbuka bersama Prof Nasr Hamid Abu Zayd, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), dan sejumlah intelektual lainnya, seperti Moeslim Abdurrahman, Musda Mulia, dan Syafi’i Anwar.
Konferensi pers tersebut dimaksudkan untuk menyikapi pelarangan Abu Zayd menjadi pembicara atas perintah Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni dalam acara International Conference di Malang, Jawa Timur. Pelarangan itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya.
Abu Zayd juga batal memaparkan pemikirannya pada acara Konferensi Tahunan Studi Islam Ke-7 (Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII) yang tahun ini diselenggarakan di UIN Riau. MUI Riau mempersoalkan mengapa dalam acara tersebut akan diundang Nasr Hamid Abu Zayd, ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh mahkamah di Mesir karena pemikiran-pemikirannya dan juga berbagai karyanya dinilai melecehkan Alquran.

Ancaman kebebasan berpikir
Bisakah keyakinan atau pemikiran seseorang atau kelompok terhadap agamanya dihukumi sesat? Tentu saja, jawabannya “tidak bisa”. Keyakinan apa pun tidak bisa dihukum oleh manusia karena itu adalah hak prerogatif Tuhan. Yang bisa dihukumi oleh manusia adalah ketika orang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan atas dasar apa saja.
Dalam fatwanya, sangat terasa MUI melalui kriteria sesatnya masih menggunakan mental dogmatisme dengan menekankan tingkat keterkaitan mental dogmatisme dengan sistem ideologi tertentu. MUI memandang mental dogmatis berpusat pada dikotomi ekstrem antara—meminjam istilah Rokeach—sistem iman atau akidah (system de croyances) dengan sistem noniman atau nonakidah.
Dengan kata lain, mental dogmatis berkaitan dengan keketatannya yang kuat berpegang kepada seperangkat prinsip akidah dan menolak dengan keras perangkat lain yang di luarnya dan dianggap tidak berarti atau tidak berguna. Prinsip-prinsip akidah itu merupakan kawasan terlarang bagi pemikiran rasional atau bahkan mustahil dirasionalkan. Mental dogmatisme selalu diarahkan pada mercusuar masa lalu.
Melalui fatwa-fatwanya, MUI punya prinsip menginginkan kehidupan masa kini wajib dibentuk sesuai dengan kehidupan masa lalu yang ideal. Ajaran agama yang semula diserap langsung oleh pemeluknya melalui pengalaman praktis tiba-tiba berubah menjadi teks. Pembacaan seperti itulah yang dikritik Abu Zayd dalam Naqd al-Khitab al-Dini (dalam edisi bahasa Indonesia Kritik Wacana Keagamaan) sebagai pembacaan yang tendensius ideologis. Yakni pembacaan yang hanya berhenti pada level tafsir. Berhenti pada pen-talwin-an (pengideologian). Dan tentu saja jauh dari tahap ta’wil yang diharapkan mampu menguak makna terdalam yang terkandung dalam teks yang oleh Abu Zayd disebut al-magza (signifikansi).
Karena itu, dalam pandangan Abu Zayd, penafsiran terhadap teks yang hanya berhenti pada level talwin (ideologi) akan memasung kebebasan berpikir. Tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks sehingga makna yang dihasilkannya tidak melalui mekanisme penafsiran.
Baginya, corak penafsiran itu lebih menonjolkan unsur ideologi daripada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peran penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi, maupun politik. Kalangan pemasung penafsiran itu senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi (al-Islam huwa al-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif-orisinal (mukawwin jawhari ashil) dalam pembentukan umat.
Tak heran jika standar yang dipakai MUI melalui kriteria sesatnya akan menjadi ancaman serius bagi dunia intelektual dan kebebasan berpikir. MUI seharusnya merumuskan dan mengkaji ulang fatwa-fatwa yang menjerumuskan masyarakat pada pemahaman agama yang tidak mendewasakan. Karena itu, kesediaan MUI untuk menerima diri sebagai lembaga keagamaan yang tidak luput dari kesalahan dan kegagalan sehingga merasa perlu selalu membuka diri untuk dikritik dan dikoreksi merupakan suatu hal yang niscaya.

Peran negara
Hal lain yang perlu dipertanyakan ialah peran negara. Negara yang semestinya memberikan perlindungan kepada warga negara justru ikut-ikutan mengintervensi. Pelarangan menteri agama (Maftuh Basyni) terhadap Abu Zayd, bisa dibaca sebagai intervensi pemerintah yang seharusnya bersikap netral terhadap agama, memberikan kebebasan berpikir. Bukan menghalangi kebebasan dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya.
Agama atau keyakinan apa pun adalah persoalan individu, bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman. Bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara.
Biarlah masing-masing meyakini kebenaran yang diyakininya serta kendaraan yang digunakannya, dengan tetap menghargai keyakinan orang lain. Untuk hal seperti itu, kita mempunyai istilah yang menarik, yaitu Bhineka Tunggal Ika: berbeda tapi bersatu bersatu dalam perbedaan. Rumusan pluralisme ada dalam kebhinekaan itu, yang mengandaikan adanya keharusan toleransi pemahaman, keterbukaan, dan saling menghargai.

Dimuat di Jawa Pos, Nopember 2007

Islam dan Paham Kemajuan Mengenang Seribu Hari Wafatnya Nurcholish Madjid

Islam dan Paham Kemajuan
Mengenang Seribu Hari Wafatnya Nurcholish Madjid


Moh. Shofan

Dalam dunia akademis, tak diragukan lagi bahwa Nurcholish Madjid (biasa dipanggil Cak Nur) adalah sosok pembaharu pemikiran Islam yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Cak Nur adalah sosok pemikir hebat yang pengetahuannya sangat luas, utamanya persoalan-persoalan keislaman di dunia modern. Setidaknya–kalau boleh dikatakan–ada 6 isu paling kontroversial dalam pemikiran Islam dewasa ini, yaitu isu melawan ide-ide teokrasi, keadilan gender, mempromosikan demokrasi, pluralisme, kebebasan berfikir dan mempercayai ide-ide progresif (kemajuan) sebagai cara terbaik perkembangan kemanusiaan. Dari keenam isu paling kontroversial tersebut Cak Nur boleh dikatakan telah mengembangkan seluruhnya. Karena itu tidak terlalu mengherankan jika dikatakan bahwa Cak Nur adalah seorang ensiklopedis.
Di dunia akademis, jika seorang profesor disebut ‘ensiklopedis,’ berarti ia seorang profesor yang pengetahuannya sangat luas. Keluasannya di bidang ilmu pengetahuan, membuat ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia.
Cak Nur tidak hanya milik Bangsa, tetapi juga milik dunia. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis. Bahkan dengan nada menyanjung dan penuh kekaguman, majalah Tempo pernah menjulukinya sebagai “lokomotif” gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Tentu saja banyak argumen mengapa Cak Nur ditempatkan pada kedudukan yang sangat terhormat dan istimewa dalam setting gerakan modernisme Islam itu.
Sebagai cendekiawan muslim yang paling berpengaruh, Cak Nur mampu mengolah isu-isu keislaman dan kemodernan dengan sangat apik dan bisa mengkaitkan keahliannya dengan berbagai disiplin keilmuan mutakhir. Pemikiran-pemikiran Cak Nur sepanjang hidupnya adalah bagaimana Islam menyambut modernitas tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang muslim.
Cak Nur sangat piawai dalam mengelola doktrin Islam, analisisnya tajam dan sarat nuktah-nuktah progresif. Cak Nur mampu mempertemukan visi teosentris yang terselubung dibalik ritual-formal seluruh agama. Sehingga kajian keislaman tidak lagi terbatas pada persoalan normatif keagamaan, tetapi juga pemikiran yang mengaitkan ajaran Islam dengan berbagai persoalan sosial kontemporer dan kemanusiaan. Islam dihadirkan dengan wajahnya yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang dan tidak membelenggu jiwa)”.
Sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni, menurut Cak Nur, adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan yang tidak bersifat palliative seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Harapan kepada agama yang bersemangat kebenaran yang lapang dan terbuka itu sungguh besar untuk menolong manusia mengatasi persoalan di zaman modern.
Sebagai seorang pembaharu Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran neo-modernis (Barton: 1995), pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas pandangan teologi yang oleh Kurzman (2000) ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang salah satu cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas). Cak Nur selalu menegaskan bahwa kekuatan Islam itu justru ada pada kemodernannya. Karenanya, dengan tanpa halangan mental apa pun, Cak Nur mampu mengelaborasi al-Qur’an, sunnah dan tradisi Islam untuk menjelaskan segala isu Islam modern. Keyakinan ini membuat Cak Nur menganut suatu paham liberal syariah. Bahwa pada dasarnya agama Islam itu sangat mendukung ide-ide paling baik dari kemajuan zaman.
Seperti yang kita lihat dalam berbagai pemikiran dan karya-karyanya, Cak Nur berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Untuk itu, Cak Nur merasa perlu untuk mengkontekstualisasikan doktrin keislaman untuk masyarakat Indonesia yang plural. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya.
Menurut Cak Nur (1993), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Gagasannya tentang pluralisme ini telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Sebagai penerus pemikiran gurunya, Fazlur Rahman, Cak Nur, seolah menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Apa yang telah dilakukannya tentang pemikiran Islam, semuanya ditegakkan di atas landasan akademik yang berkualitas tinggi. Cak Nur telah melakukan jihad intelektual dalam masa yang cukup panjang.
Kapasitas intelektual Cak Nur memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern (baca: Barat), sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Karenanya, dialektika keislaman, kemodernan dan keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam.
Akhirnya, di tengah karut-marut paham kebangsaan dan kenegaraan yang sudah sangat rapuh, karena tergilas dengan kuatnya dorongan untuk melanggengkan dan mengukuhkan ontologi agama, yang mengingkari otherness, diversity, dan pluralism, yang menjadi bagian dari Indonesia, saya kira pemikiran Cak Nur akan masih sangat relevan untuk kita teruskan. Dan terus terang, saya meyakini bahwa masa depan Islam ada pada Islam liberal.

Beyond Pemikiran Islam Nurcholish Madjid

Beyond Pemikiran Islam Nurcholish Madjid
Moh. Shofan

“Cak Nur sudah menjadi ensiklopedis”, begitu kata Budhy Munawar-Rachman, dalam berbagai kesempatan. Ungkapan itu diulang-ulang dalam berbagai seminar ‘Nurcholis Madjid Memorial Lecter’, yang diselenggarakan di sejumlah kampus di Indonesia. Dan memang, pemikiran-pemikiran Cak Nur yang tercecer selama hidupnya dikumpulkan dan disunting oleh murid setianya, Budhy Munawar-Rachman itu diberi judul ‘Ensiklopedi Nurcholish Madjid’.
Ensiklopedia itu bukan hanya mengutip kembali pandangan Nurcholish, tetapi lebih jauh merupakan interpretasi Budhy sebagai pemikir muda terhadap “Nurcholisisme”. Sudah tentu interpretasi ini mengandung subyektivitas, tetapi landasan ontologisnya adalah obyektivitas. Budhy menyebut buku itu sebagai mimpi lama yang terwujud. Pasalnya, sejak 1996 dia merancang untuk merangkum pemikiran gurunya itu. Buku tersebut, menurut Budhy merupakan transkrip dari kuliah Cak Nur pada dua ratus kelas selama empat ratus jam. Atas jasanya yang luar biasa itu, Budhy—sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan muslim, Dawam Rahardjo—berperan seperti filsuf muslim Ibn Rusyd terhadap pemikiran Aristoteles.
Cak Nur yang wafat di usianya yang tidak terlalu tua, 66 tahun, dikenal sebagai tokoh intelektual yang tajam, terbuka, dan pluralis. Tidak heran jika ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda. Cak Nur tidak hanya milik Bangsa, tetapi juga milik dunia. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ kelahiran Jombang, Jawa Timur ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis.
Tentu kita masih ingat sekitar tahun 70-an umat Islam Indonesia disuguhi debat menarik dan “menggairahkan” di dunia intelektual akademis keislaman. Pokok-pokok pandangan Cak Nur dalam makalah yang ditulis tahun 70-an itu adalah tentang perlunya cara pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang lebih maju dengan jalan tidak terjebak dalam tradisionalisasi, yakni dengan konsep sekularisasi yang menurut penjelasannya bukan mengarah ke sekulerisme; perlunya kebebasan berpikir, dan idea of progress dan sikap terbuka. Cak Nur mengharapkan umat mampu ‘diliberalkan’ dari absolutisme dan munculnya otoritas keagamaan. Berangkat dari itu Cak Nur menyodorkan keislaman yang inklusif, semangat al-hanafiyah al-samhah.
Dalam konteks dunia Islam, Cak Nur layak disejajarkan dengan pemikir asal Maroko, M. Abid Al-Jabiri (yang dikenal dengan proyek Kritik Nalar Arab), Mohamed Arkoun pemikir asal Al-Jazair (yang dikenal dengan Kritik Nalar Islam), Hasan Hanafi pemikir asal Mesir (yang dikenal dengan Kiri Islam), dan Nasr Hamid Abu Zayd (yang dikenal dengan Kritik Wacana Keagamaan). Pemikiran mereka tidak hanya menjadi rujukan penting di dalam negara mereka sendiri, melainkan memberikan inspirasi bagi segenap dunia Islam. Mereka kritis terhadap Barat, tetapi upaya untuk mengambil sisi positif dari Barat merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Saya kira, figur seperti Cak Nur itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Figur yang menginsyafi sepenuhnya realitas kemajemukan masyarakat, yang tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaan dan politiknya yang sangat terbuka, toleran, dan demokratis. Bagi Cak Nur, di bumi Indonesia, setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, atau agama. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini bahkan melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam. Cak Nur tetaplah seorang muslim yang taat.

Pemikiran Islam pasca-Cak Nur
Dari itulah, tak terbantahkan lagi, proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur. Gagasan-gagasannya tentang keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.
Mewabahnya instansi keintelektualan seperti Paramadina, JIL, JIE, JIMM, P3M menurut asasinya adalah imbas emanasi peran intelektual Cak Nur. Cak Nur memiliki kredibilitas khazanah keislaman klasik yang menyatu erat bersama wawasan modernitas. Cak Nur mempunyai spesifikasi menarik untuk ditiru kalangan pembaharu muda abad ini. Cak Nur adalah reinkarnasi adagium: al-muhafadzah ‘ala al-qadimi al-shaleh wa al-akhdu bi al-jadidi al-aslah.
Meskipun demikian, menurut hemat saya, ide-ide yang dilontarkan oleh Cak Nur, walaupun pada masa itu cukup menggegerkan dunia akademik, namun Cak Nur masih membatasi diri pada istilah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Cak Nur menganjurkan sekularisasi dan menolak sekulerisme. Cak Nur masih tidak setuju dengan istilah itu (sekulerisme) dan menggantinya dengan istilah sekularisasi. Tetapi generasi sekarang seperti Ulil Abshar dan kawan-kawan jelas-jelas mendukung dan menghendaki, bahkan memperjuangkan sekularisme.
Demikian juga di dalam pemikiran liberal, Cak Nur masih tetap setia pada teks, masih merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadis. Tetapi, anak-anak muda progresif bersikap kritis kepada teks. Bahkan al-Qur’an pun dikritik. Artinya, mereka tidak selalu bertolak pada teks, tetapi lebih dari sekadar itu, mereka bertolak pada persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dengan kata lain, anak-anak muda ini lebih empiris dibandingkan, misalnya pada masa generasi Cak Nur. Cak Nur masih berada pada taraf inklusif dan belum pada tahapan pluralis. Saya katakan demikian, karena Cak Nur belum pernah melakukan pandangan-pandangan yang positif mengenai agama-agama lain, bahkan sering kali melontarkan kritik terhadap agama-agama lain, khususnya agama Kristen.
Sementara anak-anak muda NU maupun Muhammadiyah telah melakukan upaya dekonstruksi terhadap teks-teks al-Qur’an yang oleh sebagian besar kalangan umat Islam dianggap sebagai ayat-ayat yang bersifat taken for granted, utamanya yang menyangkut persoalan hukum dan aspek-aspek sosial-kemasyarakatan. Hanya saja persoalan bahasa kadang-kadang menjadi persoalan tersendiri bagi kalangan masyarakat yang secara intelektual belum cukup memadai. Sehingga tidak jarang berbagai ide-ide progresif yang muncul di berbagai media massa, menuai kritik tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, apapun kritikan itu haruslah diapresiasi secara sehat dan santun. Indonesia, membutuhkan intelektual-intelektual yang genuine dengan ide-ide baru yang brilian serta mampu memberikan tawaran solutif atas berbagai persoalan bangsa.


Dimuat di harian Suara Pembaharuan, 2007

Rabu, 12 November 2008

Radikalisme Atas Nama Agama Bukan Perjuangan Islam

Radikalisme Atas Nama Agama Bukan Perjuangan Islam

Moh. Shofan

Selang beberapa waktu pasca ekskusi terpidana mati kasus bom Bali I, saya mendapat SMS (Short Message Service) dari seseorang yang tidak saya kenal. Bunyi SMS tersebut demikian “Innalillahi wa inna ilaihi rajiun telah berpulang ke rahmatullah tiga pejuang Islam, Amrozi, Imam Samudra dan Imam Mukhlas, semoga amal baiknya diterima di sisi-Nya. Amin”. SMS itu buat saya cukup mengejutkan. Bagaimana mungkin seseorang yang melakukan tindakan kekerasan atas nama Islam bisa disebut sebagai pejuang Islam? Apalagi memandang non-Muslim sebagai ”kafir”, suatu label yang memiliki beban pejoratif. Nalar saya sulit menerima apalagi membenarkan tindakan membunuh banyak orang yang tidak berdosa. Argumentasi Amrozi dkk. dalam tragedi bom Bali jelas menyiratkan ”arogansi teologis”. Atas nama Tuhan mengoyak harkat kemanusiaan. Atas nama kebenaran menebar teror terhadap masyarakat Barat yang tak berdosa.
Dus, Saya tidak menjawab SMS itu, karena saya termasuk orang yang tidak setuju dengan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalisme Islam. Radikalisme Islam dengan serangkaian aksinya yang penuh kekerasan adalah gambaran masa depan yang suram. Namun, di ruang terbatas ini, saya hendak mengajak pembaca untuk melihat kembali bahwa faktor munculnya radikalisme ekstrim bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh faktor tunggal, yakni faktor teologis. Sungguhpun radikalisme bertentangan dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan, dan pada umumnya juga selalu berujung dengan kegagalan, namun adalah sebuah kenaifan mengkritisi fenomena radikalisme tanpa mencermati dan memahami situasi dan kondisi di seputar kemunculannya.
Ketidakadilan, kemiskinan, keterpinggiran politik, tampaknya menjadi alasan utama kemunculannya. Usaha-usaha kolektif yang dilakukan oleh radikalisme Islam ini sebagai bentuk respon dari ketegangan-ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik. Dalam analisis ketegangan struktural (structural strain) sebagaimana dikembangkan TR Gurr (1970), bahwa suatu gerakan sosial terjadi ditandai dengan adanya kemarahan sedemikian rupa yang disebabkan oleh adanya ketegangan sosial pada level makro dalam masyarakat. Gerakan sosial muncul dari bawah (masyarakat) ketika volume keluhan, ketidakpuasan, dan kekecewaan rakyat melampaui ambang batas tertentu. Kemunculan suatu gerakan sosial seperti halnya gerakan-gerakan keagamaan tidak lepas dari kondisi struktur sosial yang lebih luas yang melingkupinya, baik itu struktur kehidupan masyarakat maupun negara. Ketika kondisi ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang repretif, tidak sedikit manusia yang mengambil jalan 'pintas' yang mengatasnamakan agama.
Asumsi bahwa penyebab radikalisme adalah karena faktor ekonomi diakui politisi Barat, seperti Martin Indyk, seorang diplomat AS. Ia memperingatkan bahwa siapa pun yang ingin mengurangi bahaya Muslim militan harus terlebih dahulu memecahkan masalah ekonomi, sosial dan politik yang menyebabkan gerakan itu menjamur. Amien Rais juga mengakui, permasalahan mendasar munculnya radikalisme ini adalah terbatasnya akses ekonomi dan pendidikan pada kelompok masyarakat, terutama kelompok minoritas. Sampai saat ini pemerintah Indonesia belum sadar, pemiskinan ekonomi menyebabkan munculnya radikalisme.
Kasus radikalisme keagamaan menunjukkan bahwa kemunculannya senantiasa berhadapan dengan rezim yang dianggap sekuler, kapitalisme yang dipandang eksploitatif, yang berdampak pada kesengsaraan rakyat akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kaum marginal. Karenanya, ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi dan menghukum para koruptor kelas kakap, serta menganganya jurang ketidakadilan telah mempertajam ketegangan dan benturan politik-ideologis yang menghambat perkembangan kesadaran kebangsaan. Belum lagi minimnya basis kultural bagi terbentuknya civil society modern dalam masyarakat. Selama bangsa Indonesia yang kita cintai ini dibangun berdasarkan perekat politik ketimbang perekat budaya, maka, tidak terlalu mengherankan jika yang terjadi kemudian adalah munculnya ‘ledakan-ledakan sosial’. Negara dalam hal ini demikian memonopoli penciptaan idiom-idiom "identias nasional" tanpa memberi ruang bagi budaya dan entitas lokal untuk memaknai kebangsaannya.
Hal terpenting, pelaksanaan demokrasi, yang menjunjung tinggi, antara lain, prinsip keadilan, persamaan hak, adanya partisipasi rakyat dan perlindungan HAM hanya menjadi slogan hampa tanpa makna. Demokrasi Indonesia, saya kira masih sangat lemah, jika tidak mau dikatakan rapuh. Pemerataan dan keadilan sosial masih menjadi mimpi sampai sekarang. Jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan, maka, tidak menutup kemungkinan ancaman demi ancaman akan muncul sebagai respon dari akumulasi masif kegagalan pemerintah menangani persoalan bangsa. Dan, saya kira, radikalisme adalah salah satu bentuk paling ekstrim dalam melawan kegagalan Negara.


Dimuat di Jawa Pos, 11 Nopember 2008

Jumat, 07 November 2008

Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah

Merekonstruksi Kembali Gerakan Salafiyyah

[Catatan: Esei berikut ini saya tulis sebagai kata pengantar pendek untuk buku M. Shofan, seorang intelektual Muhammadiyah, berjudul “Menegakkan Pluralisme Fundamentalisme Konservatif di Tubuh Muhammadiyah)

Ulil Abshar Abdalla

MELALUI buku ini, M. Shofan, seorang intelektual Muhammadiyah, berusaha mendialogkan Islam dengan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, terutama di Indonesia. Masalah yang menjadi pemikiran dan pergulatan intelektual dia adalah soal pluralisme. Ini adalah masalah yang menjadi perdebatan bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia Islam yang lain. Setiap zaman memiliki tantangannya masing-masing, dan setiap generasi Islam tentu ditantang untuk merumuskan jawaban yang tepat untuk tantangan yang mereka hadapi itu. Pada masa klasik, masalah yang menjadi bahan perdebatan yang sangat panas adalah soal-soal “teologis” seperti apakah seorang pendosa besar akan masuk neraka, sorga, atau berada di tengah-tengah antara keduanya (manzilah bain al-manzilatain), apakah manusia berkehendak bebas atau tidak, apakah seorang khalifah/imam ditentukan melalui “dekrit” dari Nabi (bi al-ta’yin) atau dipilih oleh rakyat melalui kontrak yang disebut bai’at (bi al-ikhtiyar). Isu itu menjadi bahan perdebatan yang sengit di masa lampau dan telah menimbulkan banyak sekali “isme”, aliran atau firqah yang berbeda-beda, seperti bisa dibaca melalui buku-buku doksografi (buku tentang sejarah aliran) semacam al-Milal wa al-Nihal dan sejenisnya.

Masalah yang dihadapi oleh umat Islam saat ini jelas sama sekali berbeda, dan karena itu membutuhkan jawaban yang berbeda pula. Jawaban yang dirumuskan oleh ulama di masa lampau belum tentu tepat untuk zaman sekarang, meskipun tidak harus diabaikan sama sekali. Dalam buku ini, M. Shofan mencoba merumuskan suatu jawaban yang tepat untuk masalah penting yang dihadapi oleh umat Islam saat ini, yaitu soal pluralisme.

Saya tidak akan membahas masalah pluralisme itu sendiri, sebab Sdr. Shofan sudah mengulas dengan amat baik isu tersebut dalam buku ini. Dalam buku ini, kita bisa melihat posisi intelektual M. Shofan sebagi seorang Muslim yang bisa menerima dengan positif ide tentang pluralisme. Ia tidak saja menerima gagasan pluralisme itu sebagai sesuatu yang datang dari luar, tetapi mencoba mendialogkannya dengan iman dia sebagai seorang Muslim. Karena posisi intelektual yang ia ambil ini, M. Shofan menanggung resiko yang lumayan berat, yaitu dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik. Ini tentu menyedihkan dan patut disayangkan. Muhammadiyah yang lahir pertama-tama sebagai gerakan pembaharuan justru “menutup pintu” bagi kadernya sendiri yang ingin melaksanakan semangat itu. Saya tentu menaruh respek yang besar pada M. Shofan yang berani mengambil suatu posisi intelektual tertentu tanpa takut menghadapi resiko yang muncul dari sana. Dalam hal ini, M. Shofan hadir di hadapan kita sebagai seorang pemikir yang memiliki integritas.

Masalah yang ingin saya tanggapi dalam tulisan pendek ini adalah salah satu aspek yang juga disinggung oleh M. Shofan dalam buku ini, yaitu mengenai gejala baru dalam tubuh Muhammadiyah di mana ada kecenderungan untuk bergerak dari etos puritanisme yang menjadi ciri ormas itu selama ini kepada etos fundamentalisme. Dalam pandangan Shofan, semboyan Muhammadiyah untuk kembali kepada Quran dan sunnah (ruju’ ila al-Quran wa al-sunnah) justru membawa kepada akibat yang tak diduga-duga dari awal, yaitu meredupnya apa yang ia sebut sebagai intellectual exercise. Pada awalnya, dengan semboyan itu Muhammadiyah melahirkan semangat pembaharuan yang membuka diri dan cukup liberal. Tetapi semangat pembaharuan itu pelan-pelan meredup, bahkan hilang sama sekali, digantikan oleh sikap lain yang lebih ‘rigid‘ dan kaku dalam menghadapi perubahan sosial. Etos puritan berujung pada semangat fundamentalistik yang tertutup dan mengeras ke dalam.

Observasi Shofan ini, menurut saya, sangat tepat sekali. Hal serupa sebetulnya pernah dikemukakan oleh Prof. Khaled Abou El Fadl dalam buku dia yang terakhir, The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists (2005). Dalam buku itu, Prof. Khaled mengemukakan observasi mengenai gerakan salafiyah yang dirintis oleh Muhammad Abduh dan Rashid Rida di Mesir. Pada fase awal, yakni fase Muhammad Abduh, gerakan salafiyah yang ingin kembali kepada semangat Islam yang murni itu justru memiliki etos pencerahan, reformasi, dan liberal. Pada fase Muhammad Abduh, etos yang tampak kuat di permukaan adalah semangat untuk menjawab tantangan modern, semangat untuk membuktikan bahwa Islam tidak anti-modernitas, bahwa Islam tidak anti sains modern (seperti kita baca dalam risalah Muhammad Abduh yang terkenal, Al-Islam wa al-Nashraniyyah ma’a al-’Ilm wa al-Madaniyyah). Semangat pembaharuan Muhammad Abduh tidak semata-mata ingin kembali kepada ajaran Islam yang masih murni seperti tertuang dalam Quran dan hadis yang sahih, tetapi juga semangat untuk menyesuaikan Islam dengan konteks modern – semangat aggiornamento (untuk meminjam istilah yang dulu dikenal di lingkungan Katolik pada waktu Konsili Vatikan II). Menurut Prof. Khaled, etos ini, pada fase belakangan, terutama setelah Rashid Rida, pelan-pelan menjadi pudar. Gerakan salafiyah cenderung menjadi sangat puritan dan kehilangan etos pencerahan serta semangat liberal.

DENGAN seluruh kekurangan yang ada, gerakan salafiyyah, saya kira, meninggalkan warisan yang sangat penting, yaitu kehendak ingin kembali kepada ajaran Islam yang murni, kembali kepada Quran dan sunnah. Sumbangan penting gerakan salafiyyah adalah menyadarkan kembali umat Islam tentang pentingnya Quran dan sunnah sebagai landasan berpikir dan aksi. Sebelum gerakan salafiyyah muncul, tradisi berpikir yang dominan di kalangan umat Islam ditandai, antara lain, oleh keterikatan yang fanatik dan tanpa sikap cadangan terhadap mazhab. Bagi banyak kalangan dalam Islam saat itu, pendapat seorang imam mazhab dianggap lebih penting ketimbang Quran dan sunnah. Kritik kaum salafiyyah terhadap fanatisme mazhab ini, menurut saya, ada benarnya. Pesan-pesan Islam yang membebaskan dan mengandung etos terbuka sebagaimana tertera dalam Quran dan sunnah sering dikaburkan oleh tradisi bermazhab. Umat Islam cenderung memahami pesan kedua sumber itu melalui sebuah prisma dogmatik bernama mazhab. Apa yang terjadi dalam Islam sebelum gerakan salafiyyah muncul adalah persis dengan keadaan yang ada dalam agama Kristen di mana lembaga dan tradisi agama memiliki kedudukan yang jauh lebih penting ketimbang Kitab Suci. Akses masyarakat kepada Kitab Suci sengaja dihambat dengan alasan bahwa mereka tak memiliki kemampuan untuk memahami langsung teks-teks fondasional yang suci itu. Hanya seorang mujtahid muthlaq (sarjana yang memiliki kompetensi yang komplet untuk melakukan ijtihad) yang memenuhi syarat-syarat yang rumit dan ketat yang diperbolehkan untuk melakukan penafsiran atas dua sumber utama itu.

Sebagaimana kaum Protestan dalam agama Kristen, gerakan salafiyyah ingin mendobrak kebuntuan ini. Bagi mereka, siapa saja boleh menafsirkan Quran dan sunnah. Semangat mereka nyaris sejajar dengan semboyan kaum Protestan di Eropa pada zaman reformasi, yaitu sola scriptura. Umat Islam justru harus didorong untuk membaca Kitab Suci secara langsung. Pendapat-pendapat ulama mazhab harus ditelaah kembali berdasarkan teks-teks dalam Quran dan sunnah. Di sini, gerakan salafiyyah melakukan suatu dobrakan yang membebaskan. Kedudukan Quran dan sunnah diletakkan pada posisi sentral mengatasi korpus mazhab yang mereka anggap sebagai tradisi yang kadang-kadang malah mengaburkan pesan murni dalam dua sumber itu. Hingga sekarang, semangat antipati atau minimal netral terhadap mazhab sangat kuat mencirikan gerakan salafiyyah. Gerakan ini melahirkan model fikih baru yang sama sekali tak terikat dengan mazhab tertentu. Spektrum gerakan salafiyyah tentu sangat luas dan bermacam-macam. Ada kecenderungan yang anti sama sekali tradisi mazhab, seperti kita lihat pada kasus Nasiruddin al-Albani, seorang sarjana hadis modern yang dikenal dengan proyeknya yang sangat ambisius untuk membersihkan seluruh literatur fikih mazhab dari hadis-hadis yang dia anggap lemah atau palsu. Tetapi ada pula kecenderungan lain yang lebih simpatik pada mazhab, meskipun tidak terikat secara ketat dengan mazhab tertentu (‘adam al-taqayyud bi mazhabin mu’ayyan). Contoh yang baik adalah dua ulama penting, yaitu alm. Sayyid Sabiq yang mengarang buku fikih populer non-mazbah berjudul Fiqh al-Sunnah dan Yusuf Qardawi, seorang sarjana fikih dan sekaligus aktivis gerakan Ikhwanul Muslimin yang sekarang dianggap sebagai otoritas penting dalam bidang hukum Islam. Dua sarjana ini sama sekali tidak terikat pada mazhab tertentu, tetapi juga tidak anti sama sekali pada tradisi mazhab. Keduanya boleh kita sebut sebagai seorang salafi moderat.

Pada perkembangan belakangan, semangat puritanisasi itu mulai memperlihatkan kelemahan mendasar, yakni terjebak pada sikap tekstualistik yang kaku. Gerakan salafiyyah cenderung mengembangkan pemahaman yang unik tetapi juga sekaligus “aneh”. Mereka berpandangan bahwa kebenaran final ada dalam teks, yakni Quran dan sunnah. Sepanjang ada teks yang jelas dalam dua sumber utama itu, kita tak boleh lagi melakukan penafsiran, sebab teks sudah memberikan jawaban. Semangat yang dikedepankan di sana dapat diwakili dengan sangat baik oleh suatu slogan yang konon berasal dari Imam Syafi’i (w. 819 M), iza sahha al-hadith fahuwa mazhabi, jika sebuah hadis terbukti valid dan sahih dari segi mata rantai transmisi (sanad), maka itulah mazhabku. Dengan kata lain, kata putus terakhir dalam menentukan sesuatu ada pada teks. Jika teks Quran dan sunnah sudah dengan tegas-tegas mengatakan A, maka tak ada lagi ruang terbuka untuk diskusi. Gerakan salafiyyah terjebak dalam kaidah yang terkenal, la ijtihada fi mahall al-nass, tak ada ijtihad apapun dalam kasus-kasus di mana teks agama sudah memberikan jawaban yang jelas. Di sinilah persis terletak jebakan ideologi salafiyyah, yaitu menganggap bahwa kebenaran telah selesai dalam teks agama. Teks menjadi kata putus akhir. Teks agama berubah menjadi –meminjam istilah yang terkenal dari filosof pragmatis Amerika, Richard Rorty– “conversation stopper”, penghenti percakapan publik. Begitu teks agama dikutip dalam sebuah diskusi, maka diandaikan diskusi itu harus berhenti, sebab “Tuhan sudah berfiman”.


Semangat gerakan salafiyyah pada fase terakhir ini akhirnya menutup sama sekali olah intelektual (intellectual exercise). Tak heran, Prof. Khaled menengarai sikap-sikap anti intelektual dalam perkembangan gerakan salafiyyah paska-Abduh. Inilah gerakan salafiyyah yang secara anekdotal tergambar dalam penampilan fisik para pengikutnya, seperti memanjangkan jenggot, memakai celana ‘cingkrang’ (celana yang mulutnya dipotong agak tinggi di atas mata kaki), menolak jabat tangan dengan perempuan, dan sebagainya. Karena kebenaran final ada pada teks, sementara teks mengajarkan bahwa jenggot harus dipanjangkan sebagaimana ditunjukkan dalam sebuah hadis terkenal (a’fu al-liha wa qash-shu al-syawarib), mereka mengambil kesimpulan: memelihara jenggot adalah wajib. Inilah mind-set yang mencirikan gerakan salafiyyah paska-Abduh. Di sana, sudah tak ada lagi semangat ‘memodernisir’ Islam. Yang ada malah kembali ke masa lampau.

MENURUT saya, gerakan salafiyyah yang dogamtik ini sudah mentok pada jalan buntu. Tanpa mengalami proses “overhaul”, gerakan ini hanya akan menimbulkan masalah internal yang besar bagi umat Islam. Seperti pernah dikatakan oleh Prof. Fazlur Rahman, guru dari Prof. Syafii Maarif, gerakan salafiyyah ini telah menyebabkan proses pemiskinan intelektual. Di mata saya, tak ada gunanya kembali kepada Quran dan sunnah jika hasil akhirnya justru membelenggu kegiatan berpikir. Sikap-sikap kelompok fundamentalis Islam yang keras akhir-akhir ini adalah merupakan salah satu cerminan dari mind-set salafiyyah itu. Mereka menolak reinterpretasi atas sejumlah ayat dan hadis yang tak lagi relevan dengan perkembangan zaman, karena hal itu dianggap sebagai pembangkangan atas otoritas teks. Esensi Islam, bagi mereka, adalah tunduk dan menyerah. Terjemahan etos menyerah dan tunduk itu adalah kerelaan untuk mengikuti kebenaran final yang ada dalam teks-teks agama tanpa mempersoalkannya lebih jauh. Kaum salafiyyah mencurigai segala bentuk usaha untuk reinterpretasi. Semangat ini sekarang meluber ke mana-mana, salah satu manifestasinya adalah kecurigaan terhadap usaha sebagian intelektual Muslim untuk memperkenalkan metode penafsiran teks yang berasal dari luar tradisi Islam (misalnya metode hermeneutika), karena hal itu mereka khawatirkan akan menggerogoti otoritas teks.

Oleh karena itu, gerakan salafiyyah mau tak mau harus direkonstruksi ulang. Seperti saya katakan di atas, gerakan ini mengandung semangat yang baik, yaitu kembali kepada etos Islam yang murni. Tetapi gerakan ini juga sekaligus menderita kekurangan yang akut pada aspek lain, yaitu melihat konteks saat ini. Gerakan salafiyyah yang telah menjadi kaku dan dogamtis itu cenderung melihat masa lalu dalam teks, tetapi melupakan dimensi waktu sekarang. Mereka menolak reinterpretasi atas teks agar relevan dengan keadaan saat ini. Seorang intelektual Muhammadiyah pernah berkata pada saya dalam sebuah diskusi bahwa yang dibutuhkan bukan reinterpretasi teks agar relevan dengan perubahan sosial, sebab teks sudah final dan tak bisa diutak-utik lagi. Ruang untuk ijtihad yang masih tersisa adalah sebatas mencari cara-cara yang efektif untuk melaksanakan pesan dan isi teks itu. Ijtihad yang diperlukan hanyalah ijtihad tathbiqi, yakni ijtihad pada level operasionalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Sementara isi ajaran itu sendiri sudah selesai.

Yang kita perlukan saat ini adalah gerakan salafiyyah plus. Semangat dalam gerakan ini untuk kembali kepada Quran dan sunnah, menurut saya, masih tetap relevan. Tetapi semangat ini harus dilengkapi dengan dua etos lain. Pertama, semangat historisitas yang saya maknai sebagai kesadaran tentang pentingnya mempertimbangkan konteks historis di mana Quran dan sunnah muncul sebagai sebuah teks fondasional. Dua sumber itu dibentuk oleh keadaan sosial tertentu, dan jawaban-jawaban yang diberikan di sana juga dibentuk oleh konteks itu. Kembali kepada teks Quran dan sunnah tetapi mengabaikan aspek historis dari dua teks itu pada akhirnya malah akan menimbulkan kemiskinan intelektual, sebab kebenaran tekstual sudah dianggap final. Kreativitas menjadi berhenti. Kesadaran historis juga berarti bahwa kita menyadari tentang perjalanan panjang Quran dan sunnah sebagai sebuah teks yang muncul pada abad ke-7 melewati rentang waktu ratusan tahun hingga akhirnya hadir di hadapan kita saat ini. Dalam perjalanan panjang itu, teks Quran dan sunnah melahirkan tradisi penafsiran yang amat kaya dan kreatif, antara lain tercermin dalam tradisi eksegetik dan bermazhab. Untuk memahami teks itu dengan tepat, kita juga perlu mempertimbangkan dengan serius tradisi penafsiran itu, meskipun tanpa harus terikat secara fanatis pada tradisi tersebut. Membaca tradisi penafsiran yang ada sangat penting bukan semata-mata karena kita hendak merawat tradisi, tetapi –lebih penting lagi—untuk menanamkan kesadaran pada diri kita bahwa teks agama mengandung banyak kemungkinan tafsir sebagaimana kita lihat pada tradisi penafsiran yang kaya dalam sejarah intelektual Islam itu. Gerakan salafiyyah yang sudah menjadi dogmatis itu mencoba mengabaikan aspek historisitas ini dengan tujuan untuk menciptakan kesan bahwa hanya ada satu jalan penasiran saja yang benar. Jalan yang lain adalah sesat.

Semangat kedua yang perlu diinjeksi ke dalam gerakan salafiyyah adalah semangat kontekstualitas. Semboyan yang lebih relevan untuk kita sekarang adalah kembali kepada Quran dan sunnah, sekaligus menengok kepada konteks zaman sekarang. Teks Quran dan sunnah harus dibaca dalam konteks tantangan yang dihadapi oleh umat Islam sekarang. Jika ada ajaran dan doktrin dalam kedua sumber itu yang tak relevan dengan keadaan sekarang, maka kita tak boleh segan-segan untuk melakukan penafsiran ulang. Slogan kaum salafiyyah, bahwa tak ada ijtihad jika sudah ada jawaban yang eksplisit dalam teks agama (la ijtihada fi mahall al-nass), menjadi tak relevan. Ijtihad justru dan tetap diperlukan walaupun sudah ada teks yang jelas. Tantangan yang kita hadapi adalah menjawab pertanyaan pokok: apakah teks yang ada itu masih relevan dengan keadaan sekarang atau tidak. Karena pengaruh semangat salafiyyah dogmatis yang berkembang di masyarakat sekarang, pertanyaan semacam itu menjadi susah diangkat ke permukaan. Perkembangan pemikiran Islam seperti ditunjukkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhir-akhir ini, misalnya, justru cenderung ke arah penutupan diri, closure, dan mendisiplinkan pendapat-pendapat yang ‘kritis’ dengan cara menyematkan label ’sesat’ padanya. Masyarakat kita saat ini tampaknya sedang hidup dalam era taklid baru. Dulu semangat yang menonjol dalam gerakan salafiyyah adalah mendobrak tradisi bermazhab dengan cara mengkritik praktek taklid. Saat ini, kita menyaksikan praktek taklid baru yang jauh lebih ‘menakutkan’, sebab taklid di sana dilakukan atas nama kembali kepada Quran dan sunnah sehingga seolah-olah memiliki wibawa suci yang kedap atas kritik.

Buku M. Shofan ini, di mata saya, adalah cerminan dari etos-etos baru yang dibutuhkan untuk mervitalisasi gerakan salafiyyah itu, yakni etos pencerahan, pikiran terbuka, sadar akan konteks kekinian, dan pentingnya dimensi historisitas dalam memahami Quran dan sunnah. Walaupun ada gejala ke arah fundamentalisme dalam tubuh Muhammadiyah seperti dikatakan oleh Shofan, tetapi juga ada arus ke arah sebaliknya, yaitu menghidupkan kembali semangat salafiyyah yang lama yang ‘reform-minded‘ dan liberal seperti kita lihat pada Muhammad Abduh. M. Shofan dan sejumlah anak-anak muda Muhammadiyah yang lain adalah wakil dari semangat terakhir ini. Saya berharap Muhammadiyah bisa menjadi perintis terdepan untuk merevitalisasi gerakan salafiyyah kembali, meneruskan semangat Muhammad Abduh yang lebih rasional dan liberal, berhadapan dengan arus salafiyyyah ala Wahabi yang datang dari tanah Saudi Arabia dan sejumlah negeri-negeri Arab teluk.[]


Boston, 23 Agustus 2008

Melihat Sejarah Islam dengan "Kaca Mata" Farag Fouda

Melihat Sejarah Islam dengan “Kaca Mata” Farag Fouda
Catatan Kritis Buat Kaum Islamis[1]

Moh. Shofan

Farag Fouda adalah sedikit di antara pemikir Islam yang secara jujur dan sangat berani membongkar sejarah kelam praktik politik di kalangan kaum Muslim pada masa klasik. Fouda menengok dari sudut yang buram, berdasarkan sumber-sumber Arab, seperti Ibn Katsir, al-Thabari, Ibn Atsir, al-Mas'udi, al-Suyuthi, al-Syaristani, al-Dinuri, dan banyak yang lain. Kejujurannya dalam mengungkap sejarah sisi-sisi gelap sejarah Arab muslim di masa lampau itulah yang telah mengantarkannya pada ‘gerbang’ kematian. Fouda dianggap telah menghujat agama dan keluar dari Islam. Fouda ditembak mati di Madinat al-Nasr, Kairo, oleh pengikut kelompok radikal akibat fatwa kafir dan murtad oleh Ulama Mesir. Sebuah fatwa yang secara sewenang-wenang menyebut individu, sebagai "sesat", "kafir", dan "murtad" merupakan tindakan pembunuhan karakter (character assassination) dalam ranah teologis, yang seringkali diikuti dengan pembunuhan fisik.
Pemikiran Fouda tentang sejarah buram umat Islam atau lebih tepatnya, agama dan negara, tertuang dalam bukunya yang paling terkenal, al-Haqîqah al-Ghâibah (Kebenaran yang Hilang). Sebuah buku yang mampu membuat kalangan Islamis ‘kalang kabut’ karena merasa Islamnya (baca: agamanya) terancam. Bagaimana tidak? Dalam buku itu sangat jelas disebutkan kebobrokan yang muncul kembali setelah wafatnya Muhammad SAW. Untuk menyebut beberapa contoh, Khalifah ketiga Islam, Usman bin Affan, dibunuh oleh orang Islam sendiri dan mayatnya harus bertahan dua malam karena tidak dapat dikuburkan. Ketika disemayamkan untuk dishalatkan, datanglah sekelompok orang Anshar yang melarang mereka untuk menyalatkannya dan menolak dimakamkan di pekuburan orang Islam. Lalu mereka memakamkannya di sebuah areal pekuburan Yahudi. Tidak cukup sampai di situ, tatkala berada di sebuah pintu, mayat Usman diludahi dan dipatahkan salah satu persendiannya. Dan saat prosesi penguburannya berlangsung orang-orang Islam melempari mayatnya dengan batu. Sungguh sial nasib sang sahabat ini.
Begitupun dengan Muawiyah bin Abu Sofyan yang dengan segala kelicikannya melawan Khalifah Ali bin Abi Thalib, menebarkan segala kebusukan untuk merusak persatuan umat Islam saat itu, dalam sejarah disebut tahun fitnah besar. Atau seorang Yazid bin Muawiyah bin Abu Sofyan yang menolak bertanggung jawab atas terjadinya tragedi Karbala, Irak, yang mengakibatkan syahidnya salah satu cucu kesayangan Nabi SAW, Husain bin Ali bin Abi Thalib. Juga seorang Abu Abbas As-Saffah, pendiri Daulah Abbasiyah, yang sangat mendendam dan dengan seenak perutnya menjagal puluhan anggota keluarga Umayyah sambil makan malam. As-Saffah sendiri artinya ‘Tulisan Berdarah’, atau bisa juga diartikan ‘Sang Penjagal’. Khalifah Abbasiyah, al-Walid bin Yazid juga sangat dikenal soal kegilaannya, kegemaran mabuknya, homoseksualitasnya dan yang lebih gila lagi, hobinya membidik al-Qur’an dengan panah.
Peristiwa di atas merupakan sebuah ungkapan yang sangat terang bahwa para khalifah adalah manusia biasa yang bisa salah dan bisa benar. Seorang pemimpin umat tidak pernah punya klaim kekebalan dan kesakralan yang membuatnya lebih tinggi derajatnya dari kaum muslim lainnya. Peristiwa berdarah saling membunuh dalam sejarah Islam tentu saja tidak mengganggu kesucian Islam. Sejarah Islam juga tidak perlu disakralkan. Sejarah adalah sejarah. Namun demikian, teks-teks sejarah tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja mati dan maknanya terjebak pada waktu yang lampau. Teks tidak hanya memberi makna pada masa lalu, tapi juga pada masa sekarang dan masa depan. Sebab bagaimanapun teks sosial tersebut berasal dari masa lampau, sudah berjarak waktu sangat jauh, sudah ada sejak ribuan tahun.

Masalah dalam Khilafah
Melihat kenyataan sejarah umat Islam yang menggambarkan kondisi tak ideal seperti yang telah ditunjukkan dengan sangat baik oleh Fouda tersebut, maka sejatinya gagasan tentang sistem khilafah yang katanya dapat menjadi solusi bagi tegaknya pemerintahan yang bebas dari korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral tak lebih hanyalah slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada otoritarianisme moral. Pemerintahan Islam, bagi Fouda, justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal yang disebutkannya tersebut. Buku Kebenaran yang Hilang merekam secara jelas upaya Fouda dalam menelanjangi borok praktik pemerintahan khilafah yang berjalan dari masa Khulafa al-Rasyidun sampai dinasti Abbasiyah, dan coba kembali digulirkan oleh kelompok Islamis pada abad sekarang ini. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah) seperti dalam keyakinan kaum islamis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya Khalifah.
Khilafah yang dianggap sebagai konsep “negara Islam” penuh cacat di mata Fouda. Ia tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap, selalu berbeda dari Khalifah satu ke yang lainnya. Rakyat tidak pernah mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “kedaulatan Tuhan”. Khilafah juga tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa. Tak heran kalau Khalifah kerap melakukan tindakan yang jauh melampaui batas kewenangannya. Parahnya lagi, khilafah yang murni persoalan politik itu luput dari agenda kongkrit politik seperti sistem dan tata-cara pemerintahan, agenda reformasi politik, ekonomi dan budaya, perbaikan sistem pendidikan, perumahan dan lainnya.
Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika kita melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam memahami realitas kekinian. Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan. Islam di mata kalangan Islamis seakan-akan hidup dalam alienasi dan kolonialisasi. Islam dianggap sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif. Tentu saja, seperti ini menimbulkan pelbagai problematika serius. Pertama, munculnya klaim kebenaran. Gerakan islamisme menimbulkan kecenderungan untuk menentukan ukuran kebenaran. Persis pada tataran ini, agama menjadi “pulau-pulau kebenaran” yang dialami komunitas tertentu. Akibatnya, Islam dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.
Kedua, munculnya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan lahirnya sakralisasi terhadap tafsir keagamaan. Apa yang diproduksi agamawan (ulama) sepanjang sejarah peradaban Islam merupakan sejarah yang bersifat reproduktif dan regresif, yaitu sejarah yang selalu kembali kepada masa lalu. Selain itu, monopoli tafsir juga diregulasi oleh kepentingan politik tertentu. Salah satu pemandangan yang menyejarah adalah kolaborasi antara produk pemikiran dengan kepentingan penguasa dalam setiap zamanya. Diakui atau tidak, kenyataan ini telah mengukuhkan singgasana tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik.
Ketiga, munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dampak yang pertama dan kedua merupakan karakter dari sakralisasi terhadap doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan kekerasan dan radikalitas merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu. Kenyataan tersebut telah memberikan angin segar bagi kalangan tertentu untuk melakukan kekerasan yang seakan-akan mendapatkan justifikasi dari agama. Doktrin jihad dalam tradisi Islam sering kali dijustifikasi oleh sebagian kelompok dan sekte untuk mengabsahkan kekerasan. Jihad disakralkan sebagai pengorbanan untuk Tuhan, kendatipun dengan menggunakan kekerasan.
Oleh karenanya, ambisi kaum islamis untuk mendirikan khilafah Islam adalah sesuatu hal yang mustahil dan hanya membuang waktu untuk mengejar mimpi yang tak kunjung terwujud. Penyatuan wilayah di bawah satu naungan khilafah adalah mitos. Tidak terbukti dalam catatan sejarah. Melalui khilafah mereka berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, untuk merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikkan tangan. Asumsi-asumsi di atas, tentu menurut keyakinan penulis tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan.
Slogan-slogan yang mereka kampanyekan seperti ‘Islam Way of Life, Islam adalah cahaya, demokrasi adalah kegelapan’ pada prakteknya hanyalah alat kampanye belaka untuk mengais dukungan publik Muslim yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar legitimasi untuk menindas atas nama Islam. Akibatnya, Islam hanya menjadi tameng bagi watak politis upaya-upaya tersebut. Alih-alih ingin menjadikan agama sebagai alat pembebasan, yang muncul justru klaim kebenaran agama yang berujung pada pembebasan kepada agama tanpa reserve. Akibatnya, agama menjadi dogma-dogma ekslusif.
Akan terwujudkah keinginan dan cita-cita mereka untuk menegakkan syariah Islam atau pemerintahan Islam? Dengan tegas saya jawab: Tidak Mungkin! Faktanya: pemberlakuan syariat Islam yang konon secara ‘kaffah’ itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi. Apa yang terjadi di Sudan sebetulnya cukup menjadi bukti betapa riskannya memulai sesuatu dengan paras Islam yang sanksional. Mereka segera menerapkan sanksi hudud di tengah masyarakat yang terancam kelaparan. Dus, dengan berkedok agama, mereka (kaum islamis) sesungguhnya menunjukkan kemalasan, kebekuan serta ketidakmampuannya dalam merespon makna zaman.

Sekularisme: Pilihan Paling Tepat
Keberanian Fouda untuk menentang arus dan mau melihat keburukan sisi kelam sejarah sendiri patutlah mendapat apresiasi yang mendalam. Saya amat sangat yakin, apa yang ditulisnya merupakan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim yang memaparkan data-data sejarah secara obyektif dalam rangka melihat masa kini dan membangun harapan di masa depan. Fouda tidak bermaksud menggembosi ghirah kalangan islamis dalam menegakkan khilafah, tetapi sebaliknya, justru mengingatkan kita untuk tidak terjebak dalam lubang yang sama dari noktah-noktah gelap sejarah sendiri. Islamisme yang cenderung menafikan pluralisme, demokrasi, civil society, dan HAM pada akhirnya membangkitkan mitos sistem Khilafah Islamiyah yang lebih merupakan mitos yang bukan saja bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri, akan tetapi juga secara sosial politik tidak mendapat dukungan yang luas. Bahkan lebih dari itu pengandaian ini memunculkan berbagai macam paradoks yang belum terselesaikan.
Karenanya menjadi sekuler adalah pilihan paling tepat. Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran tentang perlunya sekularisasi dalam pengertian “pemisahan”. Yakni upaya pemisahan antara wilayah agama atau keyakinan dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan). Dalam konteks ini, Fouda sepenuhnya sekularis. Menurutnya, Islam adalah agama non-negara. Lebih dari itu, negara yang disematkan pada Islam selalu menjadi beban dan mengebiri Islam sebagai agama. Islam negara, bagi Fouda, selalu mereduksi Islam agama.
Sejarah membuktikan, kebebasan berfikir di dunia Islam telah mengisi ruang-ruang peradaban dunia. Karenanya, gerakan liberalisasi, sekularisasi yang sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak eksklusif menjadi sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar. Bagaimanapun, kritik teks, baik sejarah maupun teks-teks suci adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap “murtad,” “kafir,” “zindiq,” atau istilah-istilah lain yang sejenis.
Sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut peneliti bukan sekedar mereproduksi teks-teks tersebut, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Sejarah, akan memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Di samping kritik teks sejarah, kita harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler.
Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Bahkan jika perlu dilenyapkan eksistensinya untuk memperoleh makna baru atau signifikansi (al-magza)—meminjam istlah Nasr Hamid Abu Zayd. Saya sadar, untuk melakukan itu, diperlukan keberanian dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah. Karenanya—tidak bisa tidak— seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, di sini wajib kita gunakan. Alat-alat yang saya maksud adalah: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.


[1] Dimuat di Majalah MADINA, Yayasan Paramadina, Nopember 2008

Kamis, 06 November 2008

Tiga Model Paradigma Islam

Tiga Model Paradigma Pemikiran Islam [1]
Moh. Shofan

Belum lama ini saya berbincang dengan Mas Budhy (Budhy Munawar-Rachman)—seorang cendekiawan muda Muslim yang sangat berjasa menyunting buku besar ‘Ensiklopedi Nurcholish Madjid’ terdiri dari empat jilid yang merekam secara komprehensif pikiran-pikiran Cak Nur—di sebuah rumah di Bintaro, Jakarta. Dalam perbincangan itu, Mas Budhy mengatakan kepada saya, bahwa sudah saatnya kita (harus) menafsir al-Qur’an (baca: Islam) dengan wajahnya yang plural, egaliter, terbuka, inklusif tanpa harus menggali (kembali) kekayaan khazanah Islam klasik. Mengapa? Menurutnya, hal itu hanya akan cenderung mengulang-ulang sejarah. Secara puitis, bertafsir seperti itu dia ibaratkan seperti mencari mutiara dalam lumpur.
Pada kesempatan lain, Mas Moqsith (Abd. Moqsith Ghazali)—seorang intelektual muda NU yang ahli fiqh—di sela-sela acara diskusi di LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), sebuah lembaga yang dipimpin Mas Dawam (Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo), di mana saya menjadi moderatornya, mengatakan pada saya, bahwa persoalan-persoalan krusial yang menyangkut urusan negara dan agama tidak cukup diselesaikan dengan cara memberi tafsir baru terhadap syariah, seliberal apapun penafsiran itu.
Karenanya, Moqsith termasuk orang yang sangat skeptis-apriori terhadap pemikiran-pemikiran Abdullahi Ahmed an-Na’im—pemikir liberal terkemuka kelahiran Sudan—yang karya-karyanya banyak diminati kalangan luas pemikir Islam di Indonesia, karena perhatiannya yang besar terhadap isu-isu tentang Islam dan politik serta apresiasi positif mengenai syariah yang menurutnya memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Walaupun secara tegas, An-Naim menolak penerapan syariah yang dipaksakan oleh tangan-tangan negara.
Saya kira, apa yang menjadi pemikiran—saya menyebutnya ‘kegelisahan intelektual’—Budhy dan Moqsith di atas cukup beralasan, mengingat selama ini diskursus pemikiran Islam yang sudah berjalan selama empat belas abad lamanya, tidak banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Alih-alih mengalami perkembangan, malah seringkali berputar-putar pada ranah teks dan tradisi—kalau tidak mau dibilang monoton. Banyak intelektual Muslim dalam karya-karyanya sulit melepaskan kajian ilmiahnya dari dua hal (teks dan tradisi) tersebut. Untuk menyebut beberapa nama dimaksud, misalnya, Nasr Hamid Abu Zayd (yang dikenal dengan ‘Kritik Wacana Keagamaan’), Abid al-Jabiri (yang dikenal denagn proyek ‘Kritik Nalar Arab’), Hasan Hanafi (yang dikenal dengan ‘Kiri Islam’nya), Abdullahi Ahmed An-Naim (yang dikenal dengan ‘Dekonstruksi Syari’ah’nya) atau Adonis (yang dikenal dengan ‘Yang Tetap dan Yang Berubah’) dan masih banyak yang lainnya.
Menurut saya, di antara pemikir-pemikir tersebut, yang disebut belakangan (Adonis) yang agak sedikit lebih maju gagasan-gagasannya di banding yang lain. Adonis yang punya nama asli Ali Ahmad Said ini mampu menghadirkan keseluruhan arkeologi pemikiran Islam Arab dengan cukup memukau—edisi terjemahan Indonesia sudah diterbitkan. Namun demikian, dalam keseluruhan pembahasannya masih terpaku pada kekuatan tradisi.
Karena itu, saya kira diperlukan alternatif model pembacaan atau penafsiran terhadap teks-teks al-Qur’an. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dari mana kita mesti memulai kerja intelektual untuk menghadirkan Islam yang plural, kontekstual, dan inklusif di masa depan? Langsung dari al-Qur’an dengan tanpa menggali tradisi Islam klasik sebagaimana pendapat Budhy atau seperti yang dikumandangkan Moqsith, yakni berpaling dari syariah yang dinilainya tidak memberikan tawaran solutif itu?

Tiga model paradigma
Melalui tulisan yang terbatas ini, saya hendak ingin menawarkan sebuah model paradigma—setidaknya untuk meramaikan discourse pemikiran Islam—sedikitnya tiga model. Pertama, dalam mengkaji persoalan-persoalan kontemporer, kekinian dan kedisinian, sejatinya kita harus membatasi diri mulai dari sekarang. Artinya, kita harus berani melampaui tradisi masa lalu. Tradisi kita tinggalkan untuk memperoleh pemahaman baru mengenai Islam. Kita harus berani mengatakan the end of tradition sembari menyongsong realitas dan (mulai) merajut kembali tradisi dengan semangat baru.
Semangat baru tersebut akan kita peroleh dengan cara menganggap dan memperlakukan al-Qur’an, seolah-olah ia baru saja diwahyukan kepada nurani setiap mukmin. Dengan demikian, proses penafsiran melibatkan masa kini dan masa yang akan datang tanpa ada ikatan sama sekali dengan tradisi lama.
Kedua, kita perlu menggali secara optimal pesan-pesan moral dalam al-Qur’an. Karena elan dasar al-Qur’an adalah moral. Kegiatan bertafsir merupakan kerja pencarian untuk menemukan pesan-pesan moral universal dengan cara memperlihatkan kondisi obyektif masa kini sebagai lokus di mana teks itu lahir atau diturunkan. Pesan-pesan moral universal al-Qur’an tersebut dapat dijadikan sebagai landasan obyektif semua umat manusia tanpa terkecuali.
Dalam al-Qur’an, misalnya, dijumpai banyak doktrin yang berkaitan dengan persoalan keragaman (baca: pluralisme) dan etika sosial yang perlu dikembangkan lebih jauh. Dalam surat al-Hujurat ayat 11-13, al-Qur’an memberikan kritik keras terhadap etnosentrisme, stereotip, prejudice, dan konflik, karena alasan perbedaan. Pada surat al-Mumtahanah, ayat 7-9, al-Qur’an bahkan memberikan penyadaran tentang arti pentingnya sikap kasih sayang dan bekerja sama dengan pihak lain meskipun berbeda agama. Misi tersebut akan dapat mengarahkan orientasi keberagamaan pada tujuan yang lebih universal.
Ketiga, kita harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler. Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Bahkan jika perlu dilenyapkan eksistensinya untuk memperoleh makna baru atau signifikansi (al-magza)—meminjam istlah Nasr Hamid Abu Zayd. Saya sadar, untuk melakukan itu, diperlukan keberanian dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah.
Dengan tiga model di atas, tulisan ini diharapkan dapat menambah kekayaan wacana pemikiran Islam yang mensyaratkan kajian secara kritis-akademis-metodologis-ilmiah. Bagaimanapun sebuah metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia merupakan syarat yang sangat penting bagi setiap komunitas manusia, apalagi masyarakat kita yang plural, baik dari segi agama, ras, etnis, suku maupun budaya. Karenanya—tidak bisa tidak— seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, di sini wajib kita gunakan. Alat-alat yang saya maksud adalah: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.

[1] Dimuat di harian Seputar Indonesia, 9 November 2007