Kamis, 13 Agustus 2009

Abu Bakar Baasyir, Al-Chaidar dan Terorisme

Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta



Membaca surat kabar Jawa Pos/Indo Pos (Jumat, 14 Agustus 2009), tentang pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono—dua tersangka yang diduga terlibat jaringan Noordin M. Top—di Sragen, Jawa Tengah, di mana Ustadz Abu Bakar Baasyir selaku pemimpin doa, di tengah-tengah pengiring jenazah. Di halaman yang sama Al-Chaidar, yang dikenal sebagai pengamat terorisme, dan mengaku pernah menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9 (KW 9), dan juga pengagum berat Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ini mengakui bahwa Noordin saat ini berada di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Hanya saja, Chaidar tidak bisa membeberkan lokasi secara detail meskipun dia memiliki akses informasi hingga ring terakhir orang-orang di sekitar Noordin. “Jika diberitahukan secara detail, itu sama saja sebagai penghianat”, kata Chaidar.

Dua hal di atas, bagi saya penting untuk dicermati. Mengapa? Pertama, kehadiran Abu Bakar Baasyir—pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah—ke tempat pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono, secara tidak langsung bisa diasumsikan memberikan dukungan moral kepada pelaku pengeboman, atau bisa juga diartikan memberikan dukungan terhadap aksi yang dilakukannya. Mengingat Abu Bakar Baasyir sendiri adalah dikenal sebagai seorang pejuang dan simbol islamis-radikal yang getol ingin menegakkan syariat islam. Maka, jika pihak pemerintah memberikan stigma teroris bagi Air dan Eko, tidak demikian dengan kelompok Muslim radikal yang menganggapnya sebagai 'jihadis'. Hal inilah yang menurut saya mengapa akar-akar terorisme sulit di basmi di bumi Indonesia yang kita cintai ini.

Ba'asyir mengatakan dirinya tetap mendoakan Air dan Eko mendapat pahala dan ampunan dari Allah SWT. Dan menganggap mereka tetap pejuang Islam, karena memperjuangkan syariat Islam. Doa Baa’syir itu 'sarat makna' simbolis dan ideologis, karena tetap menyebut kedua teroris itu menjalankan perintah agama yakni demi tegaknya syariat islam. Satu statemen yang menurut saya, sulit untuk dinalar.

Kedua, pengakuan Al-Chaidar bahwa dirinya mengetahui persembunyian Noordin M. Top, perlu diklarifikasi oleh pihak kepolisian. Jika memang benar ia mengetahui, maka harus segera melaporkannya, agar polisi cepat bergerak dan menangkap gembong teroris yang paling diburu itu. Jika tidak, tentu Al-Chaidar, bisa dikenai tuduhan menyembunyikan teroris. Sungguh, merupakan hal yang aneh, jika dirinya tidak mau mengungkapkan secara detail persembunyian Noordin, hanya karena dirinya tidak mau dianggap sebagai penghianat. Mana yang lebih penting? Keselamatan warga Negara atau Noordin M. Top?

Dalam wawancara di sebuah TV swasta, Hendropriyono mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa gerakan organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, mestinya menjadi perhatian serius. (inilah.com) Ungkapan Hendropriyono tersebut seharusnya diapresiasi oleh semua pihak, utamanya pihak kepolisian. Namun, kenyataannya, alih-alih mengantisipasi gerakan islam-radikal, simbol-simbol jihad yang dikobarkan oleh para jihadis seperti “Jihad still continu” justru tidak membuat sensitifitas nalar polisi tergerak. Ini sama saja dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk tumbuh menjadi sebuah gerakan dalam bentuknya yang lebih besar.

Karenanya, jika polisi lambat dalam mengantisipasi persoalan terorisme yang merobek-robek sisi kemanusiaan dan martabat bangsa ini, maka tidaklah terlalu mengherankan jika isu seputar terorisme dan radikalisme di tahun-tahun mendatang masih menjadi isu sentral yang menyita perhatian di banyak negara. Radikalisme yang tidak jarang melakukan penghakiman terhadap siapa saja (the other) yang dianggap tidak sejalan dengan kelompoknya adalah fenomena diskursif dan tantangan besar—kalau bukan satu-satunya—di penghujung abad ini. Inilah penemuan terpenting Karen Armstrong dalam buku The Battle for God yang diterjemahkan menjadi ‘Berperang Demi Tuhan’. Tak ada peperangan tanpa menyertakan Tuhan. Dan banyak manusia bertuhan dengan cara berperang.

Agaknya tesis Ahmad Wahib (1981) yang memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran agama Islam dalam suatu program pencapaian menjadi suatu kenyataan. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini, menyebabkan umat Islam selalu mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik. Inilah yang Wahib sebut sebagai ‘sikap berfikir yang salah’ terhadap Islam.

Dalam kata pengantar buku The Essence of Christianity karya Ludwig Feuerbach, tertulis: “Certainly, my work is negative, destructive; but, be it observed, only in relayion to the unhuman, not to the human elements of religion”. Kalimat itu bukan sekadar kritik atau bukan asal kritik. Ungkapan tersebut berusaha meruntuhkan pemaknaan-pemaknaan agama yang tidak manusiawi, pemaknaan agama yang menjadikan sesuatu di luar manusia sebagai tujuan agama.

Tindakan kekerasan oleh kelompok garis keras sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap fenomena globalisasi yang cenderung menyeret nilai-nilai transendensi dalam kehidupan ini semakin meneguhkan eksistensi radikalisme. Setidaknya, hingga saat ini perbincangan tentang radikalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme, terutama di kalangan Barat, yang sewaktu-waktu bisa bertindak mengejutkan.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politis, umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasinya tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri.

Beragama seperti model di atas, adalah beragama tanpa bekal ilmu pengetahuan. Dan itu sangatlah berbahaya. Dikatakan berbahaya, karena akan menjadi ‘benalu’ peradaban. Jika tidak segera diatasi, maka ‘citra’ agama akan semakin kehilangan relevansi maknanya. Saya kira, beragama, tidaklah cukup hanya dengan niat baik. Niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan ‘orang-orang baik’ ini ialah model keberagamaan yang hanya berjamaah saat beribadat, namun dalam kehidupan sosio-historis, mereka adalah pesaing dan musuh.

Model keberagamaan yang hanya mementingkan dimensi ritual-vertikal (sholat, puasa, haji, dan lainnya) tanpa disertai kesadaran historisitasnya, tentu tidak bermakna apa-apa di depan Tuhan. Saya berpendapat bahwa dimensi historisitas jauh lebih penting dari sekadar ritualisme. Agama tidak bisa dipahami dengan pemahaman sesempit itu. Pemahaman seperti itu tentu saja menempatkan agama pada tempat yang rendah dan semakin mengokohkan ego sebagai sentrum tujuan hidup, bukan kebersamaan dan persahabatan. Tuhan disembah sekaligus didesak-desak agar segera memenuhi keinginan-keinginan. Akankah negeri ini membiarkan dirinya dicap sebagai negeri teroris? Wallahu A’lam bi al-Shawab


Jakarta, 14 agustus 2009

Minggu, 09 Agustus 2009

Surat Terbuka Buat Noordin M. Top

Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta


Saudara Noordin M. Top, di mana pun Anda berada, sempatkanlah membaca surat ini...

Sampai hari ini—setidaknya pasca penangkapan teroris di Temanggung beberapa waktu lalu yang diduga itu adalah Anda—saya amat sangat tidak yakin bahwa yang tewas itu adalah Anda. Karena apa? sederhana saja alasan saya: pertama, Anda dikenal sebagai orang yang licin, taktis, tidak mudah menyerah kepada siapapun, apalagi berhadapan dengan aparat kepolisian. Kedua, cara Anda yang sangat khas: membawa rompi disertai bom bunuh diri sebagai antisipasi sewaktu-waktu Anda tertangkap, kerap ditemani oleh ajudan Anda, sehingga hampir pasti ke mana-mana Anda tidak pernah sendirian.

Saya menduga orang yang tewas dalam peristiwa Temanggung, karena berondongan tembakan polisi itu, adalah teman Anda. Pengakuan teman Anda bahwa dirinya adalah Noordin M. Top, menurut saya adalah bagian dari strategi Anda untuk mengelabuhi polisi bahwa di dalam rumah itu memang benar-benar Noordin. Sehingga dengan demikian, harapan Anda bisa aman dari kejaran polisi bisa tercapai, dan karenanya Anda dengan leluasa melakukan sejumlah agenda, merakit bom, mencari sasaran, di mana bom akan diledakkan.

Saya meyakini, Anda di tempat persembunyian yang sempat menyaksikan peristiwa Temanggung itu, tentu saja tersenyum lepas melihat adegan tembak-tembakan yang mirip adegan film itu. Bedanya, kalau film, paling lama durasinya 3 jam (film India), sementara film-film indonesia rata-rata 2 jam. Sementara, di Temanggung, pengepungan membutuhkan waktu 18 jam, waktu yang sangat lama, sekadar untuk melumpuhkan satu orang. 1 versus banyak (200 personel, bisa lebih). Saya berfikir, seandainya di rumah itu adalah Anda sendiri, mungkin dengan bom yang Anda bawa dengan daya ledak tinggi, diperkirakan akan memakan korban, bukan hanya Anda sendiri, tetapi juga dari pihak polisi yang sedang mengintai Anda, atau bisa juga warga sekitar. Dan, sekali lagi, seandainya yang dikepung itu Anda, tentu, sangat mungkin, polisi bisa memakan waktu berhari-hari untuk melumpuhkan seorang Noordin M. Top.

Dari pemberitaan sejumlah media, saya mengetahui bahwa Anda dikenal sebagai seorang retoris yang hebat, persuasif, sekali memberikan taushiyah kader yang direkrut lansung loyal (Jawa Pos, 10/8/09). Andah lihai memilih calon pengantin—istilah di lingkungan jaringan Anda—sehingga mungkin tidak terlalu sulit bagi Anda melebarkan jaringan di sejumlah daerah yang Anda yakini strategis, mulai dari Sumatra, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta.

Sayang, potensi Anda yang luar biasa hebat itu, ditambah lagi dengan sejumlah pengalaman yang Anda miliki, Anda gunakan untuk mengoyak dan mencabik-cabik kemanusiaan. Jika saya dalam tulisan ini menyarankan Anda untuk menyerah, tentu saran saya Anda anggap sebagai saran yang 'ngawur', 'tolol' mungkin juga saran 'gila', karena itu sama saja artinya dengan bunuh diri, mati sia-sia di tangan 'orang-orang kafir' atau polisi-polisi 'kafir'.

Lalu, mengapa saya harus menyarankan Anda untuk menyerah. Sedikitnya ada 4 alasan:

Pertama, ideologi yang tertanam pada diri Anda--saya menyebutnya 'ideologi maut'--adalah ideologi yang sama sekali tidak ada landasan normatifnya, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Saya tidak habis pikir bagaimana Kitab Suci Al-Qur'an—saya menyebutnya Al-Qur’an karena Anda beragama Islam—yang banyak mengajarkan kedamaian, kasih sayang, toleransi, tiba-tiba di tangan Anda menjelma menjadi Kitab Suci yang 'menyeramkan', otoriter, fanatis yang siap menghancurkan siapapun yang Anda anggap berbeda dengan keyakinan Anda. Pemahaman seperti ini tentu saja keliru—untuk tidak mengatakan keblinger.

Kedua, Anda (jelas) menempatkan ‘ideologi Islam’ atau ‘Islam sebagai ideologi’ lebih tinggi di atas segala-galanya, termasuk di sini agama. Ini berbahaya sekali. Mengapa? Anda mungkin tidak sadar bahwa agama (islam) yang membawa kebenaran, ketika sudah masuk dalam wilayah yang menghistoris itu, menjadi sangat multi tafsir. Jelasnya, 'kebenaran' yang Anda yakini benar, belum tentu benar menurut keyakinan kelompok lain. Itu baru pada wilayah agama yang sama. Belum lagi ketika bersinggungan dengan agama-agama yang lain. Keyakinan adalah wilayah privasi, yang tidak perlu dipublikasikan, apalagi untuk memengaruhi orang yang sudah punya keyakinan. Lebih parah, jika sampai berpandangan bahwa mereka yang berada di luar keyakinannya harus dibunuh, dihancurkan, dimusnahkan, dibumihanguskan, dengan alasan yang sangat teologis.

Anda tentu berkeyakinan bahwa, kebenaran bukan milik semua agama, suku dan ras, melainkan dipersepsikan dan dibatasi oleh dan untuk kalangan Anda saja. Akibatnya, Islam Anda persepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam Anda persepsikan sebagai kebenaran tunggal. Sampai di sini, Anda harus menimbang ulang pemikiran Anda.

Ketiga, Anda punya tanggungjawab yang jauh lebih mulia, misalnya mendidik anak-anak dan istri Anda, membesarkannya, menyekolahkannya, peduli terhadap masa depannya. Bukankah yang saya sebut itu juga bagian dari jihad. Ya, jihad, dalam pengertian bersungguh-sungguh, berupaya sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik. Misalnya, menjadi Ayah yang bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, menjadi suami yang baik terhadap istri-istrinya. Saya kira itu jauh lebih penting dari pada Anda menyia-nyiakan waktu Anda untuk suatu hal yang tidak membawa manfaat, bahkan sebaliknya membawa madharat bagi kemaslahatan umat. Anda harus menyadari bahwa apa yang selama ini Anda lakukan bukanlah Jihad di jalan Allah. Tapi sebaliknya, Anda justru berjihad—mungkin istilahnya bukan jihad, lebih pasnya bersekutu—di jalan Syaitan. Karena Syaitan pekerjaanya merusak tatanan, aturan atau norma.

Keempat, Dari ketiga alasan di atas, coba Anda renungkan apa yang selama ini sudah Anda lakukan; mengobarkan jihad dengan jalan kekerasan, membunuh sebanyak-banyak orang yang tidak berdosa, menyebabkan sebanyak-banyak orang mengalami cacat permanen, menghancurkan masa depan mereka… Pernahkah Anda membayangkan bagaimana perasaan Anda, seandainya keluarga Anda berada di suatu tempat di mana di situ bom diledakkan, lalu kemudian keluarga Anda meninggal atau mengalami cacat seumur hidup? Tidakkah Anda marah, bahkan mengutuk pelakunya? atau Anda hanya diam tanpa melakukan perlawanan, meskipun sekadar cacian: terkutuk !!, jahannam !!, kurang ajar !!, jangkrik !!, dst. Seribu persen, hati nurani saya mengatakan: Anda pasti tidak rela bahkan mengutuk, pelaku peledakan bom yang menimpa keluarga Anda.

Berangkat dari sejumlah alasan di atas, saya berharap Anda menyerah.... hukuman yang Anda terima, seberat dan sepedih apapun di dunia ini, masih jauh lebih pedih dibandingkan kelak di akhirat.. Wallahu A'lam bi al-Shawab



Jakarta, 10 Agustus 2009

Menuju Pesta Demokrasi yang Demokratis

Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina

Pemilihan Umum tinggal dalam hitungan jam. Namun hiruk pikuk politik terasa semakin panas, menyusul adanya kekisruhan di DPT. Ada yang mengusulkan pemilu ditunda sampai KPU menyelesaikan daftar nama pemilih ganda atau yang belum terdaftar di TPS. Bahkan, Din Syamsudin, Ketua PP. Muhammadiyah meminta agar permasalahan DPT bisa diselesaikan dengan memperbolehkan warga bisa menyontreng dengan menunjukkan KTP saja. Ada yang bilang permasalahan DPT terlalu mengada-ada dan karenanya tidak harus dibesar-besarkan. Semuanya beragumen sesuai dengan kepentingan politiknya.

Maka, berkenaan dengan hal ini diperlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main dalam musyawarah, yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai hak menyatakan pendapat dengan bebas dan mempunyai kewajiban mendengar pendapat orang lain dengan penuh pengertian dan rasa hormat. Karena itu, dari setiap orang diharapkan adanya kerendahan hati secukupnya untuk dapat melihat dirinya berpeluang salah dan orang lain berkemungkinan benar. Saya kira, suatu masyarakat yang tegas, demokratis diharapkan menyediakan dan menjaga adanya ruang yang lebar untuk menyatakan pendapat dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Ini berarti bahwa seseorang atau suatu kelompok tidak bersikap serba mutlak dalam tuntutan pelaksanaan suatu ide yang mereka anggap baik, melainkan harus belajar untuk menerima pelaksanaan sebagian daripadanya, tanpa perfeksionisme. Suatu ide baik yang tidak sepenuhnya terlaksana tidaklah berarti harus ditinggalkan sama sekali, demikian sebuah dalil dalam prinsip yurisprudensi.

Demokrasi yang sehat tetap mengharuskan penghargaan kepada semua golongan, meskipun minoritas yang “kalah”. Jika tidak, maka terdapat kemungkinan suatu demokrasi menjadi sumber ketidakadilan, yaitu kalau memberi jalan bagi timbulnya “tirani mayoritas” seperti menjadi pengamatan Alexis de Tocqueville tentang demokrasi di Amerika pada abad yang lalu. Karena itu, musyawarah dalam semangat tukar pikiran demi kebaikan bersama, bukan demi sekadar memenangkan suatu kelompok dan mengalahkan kelompok lain atas dasar prasangka, takut, atau semata-mata nafsu untuk unggul belaka merupakan suatu hal yang niscaya. Jika itu bisa dijalankan, maka tertib sosial akan terwujud dan terpelihara. Jika tidak, maka konflik sosial akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap elit penguasa sangat mungkin akan terjadi.

Pemilu yang demokratis memang diharapkan bukan hanya oleh kita, tetapi juga oleh dunia internasional. Terseleng¬garanya Pemilu yang jujur dan adil, pemilu yang benar-benar berlangsung secara demokratis adalah tujuan kita bersama. Dengan Pemilu ini kita memasuki cita-cita menjadi bangsa baru, bangsa yang demokratis dan bermartabat. Banyak negara mengalami proses demokrasi, atau memasuki ambang pelaksanaan demokrasi yang lebih maju dan kompleks. Seperti dikatakan Samuel P. Huntington, “demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi”.

Karena itu, sekalipun tendensi ke arah demokratisasi merupakan sesuatu yang objektif dan alamiah sama sekali tidak berarti bahwa hal itu pasti berlangsung terus secara konsisten menurut garis logikanya sendiri. Tendensi dan proses itu dapat dicegat, ditangguhkan, bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokritik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan. Karena yang esensial adalah proses, maka beberapa ahli, seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis, karena nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik dibanding dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Eichler melihat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus-menerus, secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Maka, dari sudut penglihatan Eichler, negeri kita ini harus dipandang sebagai sebuah negeri demokratis, karena tetap dan terus bergerak menuju kepada keadaan yang lebih baik, dan lebih baik lagi.

Debat calon presiden yang kita saksikan beberapa hari lalu—meskipun ada yang bilang bahwa itu hanya basa basi demokrasi—tetapi saya melihat, sebagai langkah positif bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia sedang dan akan terus berbenah diri menuju kematangan dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Melalui debat seperti ini, publik bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang visi dan misi masing-masing kandidat, sehingga mereka bisa menentukan pilihan secara lebih rasional. Acara seperti ini diharapkan menjadi sarana bagi para calon kepala Negara untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengelola Negara melalui program-programnya. Ajang debat ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dan pendidikan politik yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Terpenting di sini adalah bahwa modal utama untuk mewujud¬kan demokrasi di negeri kita ialah Pancasila. Dasar negara itu melengkapi kita dengan prasyarat asasi untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial-politik yang mem¬bawa pada kebaikan untuk semua.

Merujuk pada Nurcholish Madjid, prasyarat asasi itu ialah: pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilai­nilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama (tidak menyerahkan atau mempertaruhkan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat semata-mata pada kemauan seorang tokoh, betapapun iktikad baiknya, tetapi pada mekanisme pengawasan umum dalam tatanan sosial politik yang partisipatif). Keempat, pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri pribadi. Kelima, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara bangsa.

Akhirnya, pemilihan umum yang diadakan lima tahun sekali ini diharapkan mampu memberi energi baru untuk perbaikan demokrasi. Masyarakat pemilih haruslah diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya. Tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Sebaliknya, tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat dipan¬dang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of conscience, kebebasan nurani.

Seseorang juga disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksaan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu orang yang demikian tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Demokrasi menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Juli 2009

Menakar Peluang Tiga Pasangan

Moh. Shofan

TIGA pasangan bakal bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009. Majunya tiga pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009 itu semakin menambah pilihan publik terhadap alternatif calon pemimpin bangsa. Dengan demikian, publik juga dapat membedakan satu kandidat dengan kandidat lain, baik dari kualitas, kapabilitas, dan integritas pasangan masing-masing.

Ada duet Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Boediono, dan Megawati-Prabowo. Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut sama-sama dari latar belakang nasionalis-sekuler, meski sipil-militer masih berlaku di tiga kandidat.

Boediono, gubernur Bank Indonesia -yang juga dikenal sebagai ahli ekonomi- ternyata lebih menarik perhatian SBY daripada Hatta Rajasa. Tidak dipilihnya Hatta sebagai wakil oleh SBY, selain akan memunculkan friksi di antara peserta koalisi, juga menimbulkan kesan SBY bisa didikte Amien Rais.

Memilih Boediono jelas telah dipertimbangkan secara matang oleh SBY dan Partai Demokrat. Meski, faktanya, jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada Boediono mengagetkan banyak pihak, terutama pihak yang terlibat dalam koalisi mendukung SBY.

Boediono yang pernah menjabat menteri keuangan di era Megawati itu dikenal sebagai motor privatisasi perusahaan nasional. Bahkan, Boediono dinilai sebagai simbol neoliberalisme yang membawa keterpurukan ekonomi bangsa. Banyak pengamat mengatakan, pilihan SBY kepada Boediono lebih karena "selera internasional''.

Namun, benar atau tidaknya, yang jelas bahwa isyarat awal ketidaknyamanan tersebut terbukti dengan protesnya partai peserta koalisi, seperti PKS, PAN, dan PPP. Proses jatuhnya pilihan SBY kepada Boediono dinilai tanpa komunikasi sama sekali dengan parta-partai yang berada dalam koalisi.

Belum lagi jika dikaitkan mitos Jawa-luar Jawa, pasangan SBY-Boediono tidak terlalu diminati karena sama-sama dari Jawa. Untuk masalah yang satu ini, SBY tidak sejeli Jusuf Kalla (JK). JK memikirkan mitos yang diyakini orang Jawa sudah mendarah daging ini. Karena itu, JK memilih Wiranto, yang notabene orang Jawa, sebagai cawapres pendampingnya.

Memang dari segi elektabilitas, SBY lebih baik daripada JK dilihat dari popularitas selama menjabat presiden. Namun, peluang JK-Win tidak tertutup sama sekali, sekalipun yang dihadapi adalah capres incumbent. Di sini usaha keras adalah kuncinya.

Lalu bagaimana pasangan Megawati-Prabowo? Saya kira, ini pilihan politik yang cukup mengejutkan. Prabowo yang semula bersikukuh ingin menjadi capres Partai Gerindra dan berharap diusung partai koalisi, justru menurunkan tawaran politiknya dengan hanya menjadi cawapres Megawati. Mungkin, bagi Prabowo ini pilihan sulit, sekaligus pilihan yang memungkinkan, dengan harapan 2014 bisa melambungkan citra politiknya untuk mencalonkan diri sebagai capres.

Munculnya Prabowo sebagai pendatang baru dalam kontestasi Pemilu 2009, membuat banyak kejutan. Melalui Partai Gerindra, kendaraan politiknya dalam pemilu legislatif berhasil memperoleh suara 5,36 persen suara, menggeser partai-partai lama, semisal PBR atau PBB. Bahkan, Gerindra masuk dalam urutan sepuluh besar. Demikian juga dalam survei beberapa lembaga, Prabowo mengalami kenaikan popularitas dan elektabilitas yang signifikan.

Bahkan, menurut hasil survei Prof Dr Iberamsjah, direktur operasional Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, tingkat elektabilitas SBY bulan ini 31 persen, menurun dari periode sebelumnya yang mencapai 51 persen. Sementara elektabilitas Prabowo menanjak mencapai 23,95 persen dan Megawati masih stagnan pada 15,8 persen. Lalu JK mencapai 13,85 persen dan Wiranto 8,1 persen.

Namun, popularitas Prabowo bisa saja menurun drastis, mengingat perannya yang hanya sebagai cawapres Megawati, yang notabene tokoh lama. Megawati bukanlah tipe orator yang mampu memengaruhi psikologi massa, terlebih program-program politiknya tidak berdampak pada masyarakat bawah. Bisa diduga pasangan Megawati-Prabowo sulit mendongkrak suara pemilih. Tetapi, ibarat bola yang menggelinding tak tentu arah, peta perpolitikan kita saat ini bagaikan bola liar. Politik bisa merajut ketidakmungkinan menjadi mungkin. Saya kira di sini semuanya sangat bergantung pada manuver Megawati-Prabowo sendiri.

Namun, karakteristik basis massa Megawati-Prabowo masih lebih baik dibanding JK-Win. Megawati memiliki basis pendukung yang loyal. Sedangakn karakter basis massa belum terlihat pada JK-Win. Tanpa karakter massa yang kuat, ada problem JK-Win dalam mengelola massa pada saat pemilih presiden nanti. Sebab, yang dihadapi adalah pasangan kuat seperti SBY dan Megawati.

Jika Megawati-Prabowo pandai memainkan isu politik dan meyakinkan masyarakat pemilih, tidak mustahil keduanya lebih unggul daripada JK-Win. Dengan demikian, peluang Mega-Prabowo maju ke putaran kedua akan lebih besar dibanding pasangan JK-Win. Dengan demikian, pertemuan SBY-Boediono dengan Mega-Prabowo di putaran kedua menjadi sangat mungkin.

Memang, tidaklah bisa dimungkiri bahwa masyarakat pemilih di Indonesia masih sangat bergantung pada figur (baca: performance) calon presiden. Kebijakan adalah urutan selanjutnya. Meski begitu, bukan berarti pengalaman Indonesia yang sudah berganti presiden beberapa kali, dengan berbagai pola kebijakan yang menyertainya, masyarakat tidak menilainya sama sekali.

Program pemerintahan incumbent tentang BLT dan penurunan harga BBM, misalnya, dinilai masyarakat sangat menguntungkan. Bahasa masyarakat jauh lebih tajam daripada bahasa politik. Karena itu, jika pasangan capres-cawapres tidak jeli mengamati ini, sangat mungkin SBY-Boediono masih mengungguli lawan-lawannya. Bahkan, kemungkinan mereka menang dalam sekali putaran sangat besar.

Pada akhirnya, siapakah di antara ketiga pasangan capres-cawapres yang akan menjadi "jawara"? Kita lihat saja. (*)

Jawa Pos, Selasa, 19 Mei 2009

Menunggu Kearifan Politik Megawati

Menunggu Kearifan Politik Megawati

Moh. Shofan


Beberapa waktu lalu, saya bersama Andrinof A. Chaniago –Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Cyrus Surveyor Group dari Universitas Indonesia– diminta menjadi pembicara dalam diskusi Menguji Kenegarawanan Megawati: Prospek Prabowo-Rizal Ramli versus SBY di RM Ayam Goreng Suharti, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, saya mengatakan bahwa PDIP harus melakukan kompromi politik bersama parpol lain mencapai kesepakatan politik.

Salah satu komprominya adalah mencalonkan pasangan capres yang bisa diterima di lingkaran partai tersebut. Mengingat, seperti dikatakan Andrinof Chaniago, Indonesia saat ini sedang paceklik calon pemimpin nasional. Seperti diketahui, pasca hasil pemilihan umum legislatif, menunjukkan anjloknya suara sejumlah partai politik. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat menginginkan perubahan dan berharap munculnya pemimpin atau tokoh baru. Kerinduan masyarakat terhadap sosok baru itu haruslah berpotensi besar dapat menandingi SBY dalam pemilihan presiden mendatang.

Akibat tidak adanya parpol yang menang mutlak dalam pemilu legislatif, maka pilihannya adalah dengan melakukan koalisi antar partai. Koalisi dibutuhkan bukan sekadar untuk mencapai persyaratan suara dalam proses pemilu presiden, tetapi sasaran terpenting dari koalisi seharusnya berorientasi pada kepentingan bangsa yaitu meningkatkan perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Kalau bangsa ini mau serius, seharusnya pemilu 2009 tidak berhenti pada sekadar ritual sirkulasi elite dan power sharing kekuasaan, tetapi lebih dari itu dapat memberi pesan penting bahwa demokrasi bekerja untuk perbaikan kesejahteraan bangsa. Demikian pula dalam koalisi, yang harus dibangun adalah untuk melahirkan pemimpin baru yang bisa mengonsolidasikan demokrasi dan kemajuan bangsa.

Koalisi merupakan praktek politik yang umum berlaku di negara demokrasi. Maka yang terpenting disini adalah komitmen dan kriteria koalisi untuk membangun pemerintahan yang efektif menjadi sebuah keharusan untuk melawan kecenderungan pragmatisme politik. Karenanya koalisi yang dibangun PDIP, Gerindra dan sejumlah partai lain, hanya akan efektif jika semua pihak bersedia menurunkan ambisi masing-masing untuk tidak lagi ngotot mengajukan jago sendiri.

Koalisi yang tidak total dan cenderung setengah hati mengandung resiko yang amat besar. Meski SBY memiliki modal awal berupa tingginya tingkat popularitas, tetapi, peluang bagi lawan-lawan politik untuk mengalahkannya masih sangat terbuka lebar, jika lawan politik SBY dalam pilpres mendatang mampu melahirkan tokoh baru.


Prabowo-Rizal Ramli, Pilihan Paling Memungkinkan
Untuk mencari tokoh baru, maka pilihan realistis bagi Megawati adalah memberikan kesempatan kepada generasi baru untuk maju sebagai capres dari partainya. Mengenai figur yang bisa menggantikan Megawati, saya kira, sosok Prabowo Subianto-Rizal Ramli, adalah pasangan yang tepat untuk menandingi popularitas SBY. Diusungnya pasangan Prabowo-Rizal, selain mencerminkan perubahan, pasangan tersebut merupakan duet ideal yang saling melengkapi.

Prabowo, punya latar belakang militer sehingga bisa berpikir strategis dan cepat. Sementara Rizal, seorang intelektual yang punya gagasan besar untuk memajukan bangsa. Kedua tokoh itu mengusung ideologi ekonomi kerakyatan untuk menghadapi neoliberalisme yang diusung pemerintahan SBY-JK. Prabowo-Rizal juga menawarkan perubahan dan jalan baru dalam paradigma pembangunan. Dalam konteks ini Prabowo mewakili Gerindra, dan Rizal mewakili PDIP. Untuk mengikat Rizal, maka harus ada kontrak politik yang mengikat dengan PDIP. Dengan demikian, keberadaannya di dalam duet itu mewakili PDIP.

Namun, jika PDIP tetap bersikukuh mengusung Megawati sebagai capres, maka akan kesulitan menghadapi SBY. Dan itu sama artinya PDIP mempersiapkan kegagalan yang ketiga kalinya sampai pemilu dan Pilpres 2014. Maka, alangkah bijaknya jika Megawati memposisikan diri menjadi seorang Negarawan ataupun king maker, karena sulit baginya untuk menjadi the real king. Toh, menjadi seorang king maker atau Negarawan lebih terhormat dibandingkan menjadi Capres.

Menjadi Negarawan akan dengan sendirinya menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan emosional di atas rata-rata. Sebagaimana dikatakan Filosof Aristoteles, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Sejarah akan mencatat dengan tinta emas, jikalau Megawati tidak lagi maju sebagai capres PDIP dan menyerahkannya kepada tokoh yang lebih muda. Tindakan seperti itu, akan menjadikan Megawati layak disebut sebagai “Ibu Bangsa”. Kita menunggu kearifan politik Megawati. Dan, masa depan PDIP ada di tangan kearifan Megawati.


Surabaya Post, Mei 2009

Minggu, 26 April 2009

Mewaspadai Fundamentalisme Politik

Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina, Jakarta

Istilah fundamentalisme, sering kali kita dengar berkaitan dengan isu-isu yang menyangkut soal agama, identik dengan kekerasan atas nama Tuhan. Tidak jarang gerakan fundamentalisme agama ini gagal sebelum mencapai tujuan. Namun, sebagai anak bangsa yang diikat dalam wadah kebhinekaan, sering kali kita lupa, bahwa fenomena fundamentalisme politik yang hanya mengejar kekuasaan semata, juga menjadi ancaman yang serius dan tentu saja berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Umumnya, kebanyakan masyarakat tidak begitu peka terhadap gejala yang terakhir ini. Seolah munculnya fundamentalisme politik dianggap sebagai gejala biasa yang tidak mempunyai implikasi apa-apa.

Jika fundamentalisme agama lebih berurusan dengan modalitas kepercayaan daripada dengan isi ajaran agama itu sendiri. Maka, fundamentalisme politik merupakan suatu samaran untuk motif-motif politis-pragmatis. Para pelaku kelompok ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip "fundamentalisme". Ruang kehidupan yang dibangun berdasarkan "eksklusivisme", di mana setiap kelompok di dalamnya ( politik, ekonomi, sosial, kultural, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial (ontological security). Dan, fundamentalisme politik dalam bentuknya yang paling ekstrem adalah merebut kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk kudeta.

Namun, siapakah kaum fundamentalis itu? pertanyaan ini, secara retoris akan memunculkan beragam jawaban. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme. Lebih dari sekadar itu, ia menggiring pada situasi "ketakmungkinan aturan bersama" (incommensurability), dalam pengertian aturan formal sebuah kelompok tidak mungkin digunakan sebagai aturan kelompok lain yang berbeda.

Saya amat meyakini bahwa premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik. Pendekatan seperti ini akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya. Jika pada demokrasi membuka partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat, mengandaikan kebersamaan, kolektivitas bukan individualitas absolut yang berbeda dengan fundamentalisme yang egoistis.
Contoh yang tepat untuk menggambarkan kondisi dimaksud adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam ruang politik, sikap keberagamaan PKS yang sebenarnya eksklusif dan fundamentalis menjadi tidak kentara. Mereka selalu menutupi sejumlah agenda (hidden agenda) politik yang sangat mungkin bertentangan dengan tujuan umum. Mereka sangat memperhitungkan sekali bilamana simbol dan identitas keagamaan dipakai dalam momen-momem politik, maka eksistensi mereka kian terus dicurigai sebagai partai Islam yang fundamentalis. Namun, agaknya sulit dihindari, jika mereka berkesempatan memenangkan pemilu, mereka memiliki otoritas dan keyakinan lalu membangun kekuatan dan mengklaim dirinya satu-satunya tradisi dan peradaban yang mampu menawarkan kesejahteraan umat manusia.

Fundamentalisme, seperti dikatakan oleh Lefort, muncul sebelum demokrasi, masyarakat memang diorganisasi menurut logika politik teologis, di mana masyarakat dipikirkan sebagai sebuah tubuh dan berhierarki, yang anggota-anggotanya dijejerkan di bawah prinsip-prinsip tatanan yang tanpa syarat. Sementara dalam demokrasi, referensi kepada penjamin transendental lenyap bersama-sama dengan lenyapnya representasi dari kesatuan substansial dari masyarakat. Lefort mengatakan, "The locus of power is an empty place, it cannot be occupied--it is such that no individual and no group can be cosubstantial with it--and cannot be represented."
Dengan demikian, menjadi suatu keharusan pemerintah dan civil society, meletakkan “demokrasi” sebagai “catch word” dalam suatu program politik akan memberi inspirasi kepada kita dan mengingatkan kita untuk selalu berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik dari keadaan sekarang. Hal ini menuntut adanya pengawasan dan pengimbangan secara berkelanjutan. Sebab, tidak menutup adanya kemungkinan, dalam kondisi di mana negara dan demokrasi masih dalam tahap belajar, memungkinkan civil society yang tumbuh sering berjalan tanpa civility. Dari situ demokrasi memang lahir, namun oleh karena belum kuatnya fondasi dan tatanan hukum, maka civil society tumbuh tanpa disertai kelengkapan sikap kewargaan untuk menghargai dan memelihara demokrasi.

Rapuhnya demokrasi rentan terhadap munculnya fundamentalisme politik yang mencoba menyeragamkan masyarakat melalui kaedah-kaedah moral, normalisasi melalui pakaian, peribadatan dan penunggalan gaya hidup serta ancaman dan kekerasan. Dan, secara esensial telah mengancam secara serius hak asasi manusia dan masa depan demokrasi di Indonesia. Bukan hanya itu, secara lebih jauh, juga menolak segi-segi terpenting Pancasila sebagai pondasi pendirian negara bangsa modern di Indonesia.
Maka, waspadalah terhadap munculnya fundamentalisme politik…

Membaca Manuver Politik Amien Rais

Moh. Shofan
Peneliti Muda Yayasan Paramadina

Gerakan Ketua MPP PAN Amien Rais, akhir-akhir ini memicu tafsir politik yang tidak tunggal, terutama di lingkungan parta-partai politik. Gerakan itu dinilai sebagai upaya bargaining untuk menjadi cawapres Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Gerakan Amien ini cukup mengejutkan, pasalnya beberapa saat lalu, Amien masih terlihat ‘keras’ terhadap pemerintahan SBY. Masyarakat masih belum lupa, bahwa saat Amien berorasi dalam kampanye terbuka PAN di Alun-alun Selatan Yogyakarta, banyak melontarkan kritik terhadap pemerintahan SBY yang dinilainya gagal mengemban amanat menyejahterakan rakyat. Amien berharap akan ada tokoh yang mengusung perubahan sebenar-benarnya. Amien mengatakan ketika dirinya mendapat kapasitas itu, maka akan melakukan perubahan.

Namun, seperti banyak diberitakan oleh sejumlah media, Amien telah melakukan pertemuan dengan SBY di sebuah tempat di Jakarta beberapa hari pasca pemilu. Pertemuan itu kabarnya telah menghasilkan “deal” yang cukup penting. Manuver Amien ini semakin mendapat sorotan tajam, ketika beberapa waktu lalu, mengundang 33 Ketua DPW PAN se-Indonesia di kediamannya Pandean Sari, Condongcatur, Depok, Sleman,Yogyakarta. Dalam pertemuan yang dihadiri sebanyak 28 DPW PAN, Amien memastikan bahwa parpol yang didirikannya itu akan bergabung dalam koalisi Partai Demokrat dan mendukung pencapresan SBY dan menempatkan Hatta Rajasa sebagai wapresnya. Menarik sekali, karena dalam pertemuan itu Ketua Umum PAN Soetrisno Bachir tidak tampak hadir. Langkah Amien tersebut menyiratkan bahwa memang ada perbedaan sikap politik dengan Soetrisno Bachir dalam menentukan koalisi pilpres mendatang. Di sini, tampak sekali bahwa langkah Amien ini dinilai sebagai langkah kontra produktif dalam mencitrakan PAN sebagai partai yang solid.

Memang, Amien dikenal sebagai tokoh yang piawai sekaligus kontroversial. Kepiawaiannya dalam menggalang kekuatan politik tidak diragukan lagi. Amien juga kontroversial dalam setiap pernyataannya soal masalah Tambang di Busang juga Freeport, (1997). Dengan angka-angka yang amat gamblang Amien membongkar ketidakadilan kontrak-karya di Busang dan Freeport. Sikap kritis Amien yang pro rakyat dan sebaliknya dengan berani menghantam rezim Soeharto, telah melambungkan nama Amien menjadi pahlawan baru. Berbagai manuver politik Amien bisa mendorong terjadinya pergeseran arus besar perjalanan politik nasional. Strategi Amien yang “masuk ke tengah, lalu turun ke bawah dan menyebar” adalah ancaman bagi lawan politiknya. Amien tidak sekadar menjadi tokoh perkotaan, tetapi juga dikenal di lapisan bawah pedesaaan. Sosok Amien di mata rakyat Indonesia dipandang dengan berbagai persepsi. Ada yang memandang dirinya sebagai sosok yang ambisius, tetapi ada juga yang memandangnya sebagai sosok yang berani, sehingga dengan keberaniannya itu, ia mendapat julukan "Orang Solo yang berwatak Batak". Namun, harus diakui bahwa betapa pun kontraversialnya, sosok Amien Rais akan turut menentukan arah bangsa Indonesia.

Ketika Partai Amanat Nasional (PAN) yang dipimpinnya, hanya mendapat tujuh persen suara pada Pemilu 1999, Amien mampu menjadi king maker pentas politik nasional dan menjadi Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bahkan nyaris pula jadi presiden pada SU-MPR 1. Kini, Amien menyadari bahwa perolehan suara PAN pada Pemilu 2009, ternyata di luar perhitungan banyak pihak. Hasil rekapitulasi suara Komisi Pemilihan Umum (KPU), hingga Minggu (19/4), menempatkan PAN pada posisi kelima dengan raihan 6,27% total suara. Perolehan ini masih jauh lebih baik ketimbang PKB, PPP, dan PBB yang melorot drastis. Perolehan jumlah suara PAN yang tidak signifikan tersebut, telah mendorong Amien berkoalisi dengan Demokrat. Boleh jadi bahwa Amien meyakini SBY akan memilih politisi PAN sebagai cawapresnya. Bagi Amien, PAN harus lebih jeli dalam membangun arah koalisi. Keputusan yang diambil harus tepat dan pas demi kepentingan PAN ke depannya. Inilah langkah Amien, di saat PAN terlena dengan koalisi antar partai, dia justru mengingatkan agar PAN tidak berkoalisi dengan partai yang sebelumnya pernah jadi antek-antek Orde Baru. Amien menjadi bayang-bayang yang siap menjadi ancaman dari partai yang berbau Orde Baru. Tak susah menebak ke mana arah tudingan Amien: Prabowo dan Wiranto. Namun, sebagai sebuah partai yang memiliki identitas, langkah Amien tentu juga bisa merugikan PAN yang mestinya lebih mengedepankan kepentingan ideologi, platform, ketimbang kepentingan realistik pragmatis.

Pertanyaannya adalah apakah manuver Amien akan membuahkan hasil maksimal, tentu akan sangat bergantung pada SBY yang saat ini sedang jauh di atas angin. SBY tanpa kesulitan mencari figur cawapres dengan tingkat dukungan yang bersifat komplementer. Dan, itu bisa dengan siapa saja, termasuk dengan Amien. Peluang Amien sendiri untuk menjadi cawapres SBY akan semakin terbuka lebar pasca perceraian Partai Demokrat dan Partai Golkar. Terlebih Partai Demokrat, menegaskan tak akan memilih kader Golkar sebagai wapres untuk menghindari komplikasi politik. Sikap Demokrat itu sekaligus menjawab peluang Akbar Tanjung yang semula dianggap kuat untuk dipasangkan dengan SBY justru dengan sendirinya pupus. Melihat peta politik yang semakin tak menentu, Amien dengan cepat menangkap itu sebagai peluang. Bagaimana langkah Amien memanfaatkan peluang? Akankah ijtihad politiknya, langkah politiknya mampu menjadi magnet bagi partai lain? Atau, menjelma menjadi kuda hitam yang membahayakan posisi lawan?

Menyalakan Masa Depan

Judul : The Extreme Future
Pengarang : James Canton
Penerbit : Alvabet Jakarta
Tahun Terbit : Januari 2009
Tebal : 468 halaman
Peresensi : Moh. Shofan


Buku yang hadir di hadapan pembaca ini berkisah tentang masa depan yang memaparkan secara detail tren-tren utama yang mengubah masyarakat dan pasar. Dia begitu inspiratif, memiliki pandangan yang jelas, menakjubkan dan juga mengejutkan. Pemahaman baru tentang masa depan yang memancing perdebatan dalam rangka mewujudkan masa depan yang dicita-citakan adalah salah satu tujuan penulis buku ini, James Canton –seorang futuris global, ilmuwan sosial, penulis dan penasehat masa depan bisnis yang amat terkenal dan juga penasehat di tiga bagian administrasi Gedung Putih.

Masa depan Extrem sebagaimana judul buku ini adalah jenis masa depan yang penuh dinamika, kegamangan dan multi dimensional. Sebagai sebuah masyarakat, kita sedang diserbu dan dibanjiri perubahan-perubahan teknologi dan sosial, akibatnya, akan lahir kondisi-kondisi frustasi dan disorientasi yang disebut future shock. Dalam arti lebih luas, kebanyakan orang mengalami kesulitan dalam menghadapi rapatnya perubahan yang menjadi ciri khas masyarakat modern. Tentu saja, ini mengingatkan kepada kita bahwa kita tidak serius memikirkan masa depan. Dengan demikian memikirkan masa depan adalah sesuatu hal yang tidak bisa ditunda. Masa depan merupakan pengalaman sejarah paling pahit bagi orang-orang yang mengalami kegagalan dalam mencapai kesuksesan.

Melihat masa depan dengan segala kompleksitasnya bukanlah ramalan, dalam pengertian merapal mantra atau melihat bola Kristal, tetapi berdasarkan pengetahuan yang rasional dengan cara melakukan identifikasi dan menganalisis berbagai inovasi dan kecenderungan-kecenderungan yang akan memengaruhi masa depan. Menolak untuk meyakini masa depan adalah jaminan bagi meningkatnya risiko. Orang-orang yang sepanjang hidupnya jadi korban sikap reaktif terhadap masa depan sering kali lupa bahwa masa depan bisa diubah dengan pertama-tama mengubah cara pandang tentang masa depan itu sendiri: apa yang mungkin dan apa yang tidak mungkin.

Buku ini, dilatarbelakangi –setidaknya menurut penulisnya– oleh sejumlah kekhawatiran Amerika dalam menghadapi persoalan-persoalan krusial, khususnya pasca tragedi 9/11, terkait dengan terorisme global, ancaman ekonomi, dan pertarungan politik. Sebagaimana kita tahu bahwa dalam The Clash Of Civilization, Samuel P.Hungtinton membuat tesis tentang terjadinya benturan peradaban antara Barat dan Tinur (baca: Timur vs Barat). Ini menunjukkan bahwa ada pertarungan antar ideologi-ideologi dunia. Serangan teroris 9/11 telah mengubah cara pandang Amerika terhadap masa depan, karena serangan itu memperkenalkan ketidakpastian dan mungkin ketakutan ke dalam kebudayaan Amerika selama beberapa generasi.

Keadaan-keadaan di atas, secara tidak langsung membawa Amerika dalam mengubah cara pandang masa depan akibat dari perubahan yang begitu cepat. Keadaan juga membawa Amerika bersiap-siap menghadapi perang talenta. Inilah tren masa depan extrem terpenting yang akan memengaruhi generasi warga negara dan perusahaan-perusahaan serta pengaruhnya di tengah percaturan dunia. Untuk hal itu, dalam menghadapi tantangan dan isu-isu bisnis dunia modern, kemampuan inovasi yang tinggi, kesadaran multikultural, penguasaan bahasa adalah modal yang bersifat niscaya dan merupakan aset berharga di dunia yang makin kompleks, penuh chaos dan ketidakpastian. Hal yang tidak kalah penting adalah dibutuhkan usaha secara sungguh-sungguh guna menangani perbedaan serta kemajemukan di tengah-tengah warga dunia. Semua itu akan bisa dicapai oleh para pemburu masa depan yang punya ambisi dan cara pandang positif terhadap masa depan.Kemampuan mereka untuk meraih kesuksesan sangatlah tinggi.


Strategi memikirkan masa depan adalah pilihan tepat untuk meyakinkan diri ke mana akan melangkah. Seperti dikatakan Yogi Berra, “Anda harus ekstra hati-hati jika tidak tahu sedang melangkah ke mana, karena bisa jadi anda tidak akan sampai ke mana-mana.” (h.27) Pernyataan tersebut bukannya tanpa alasan, sebab hampir setiap tindakan dan keputusan penting terkait dengan harapan atau cita-cita yang akan berdampak baik bagi kehidupan di masa yang akan datang. Ini adalah langkah awal untuk memahami, bukan hanya masa depan, tapi juga bagaimana masa depan itu bisa muncul dan lahir bahkan bagaimana ia bisa diwujudkan, merupakan jalan yang akan menjadi panduan untuk memperbaiki kemampuan dalam meramalkan dan membuat keputusan.


Pemetaan masa depan –meminjam istilah Leonardo Da Vinci, adalah proses yang akan memperlihatkan kesempatan-kesempatan yang tersedia bagi seorang individu, sebuah organisasi, industri, pasar, bangsa, atau bahkan peradaban. Dengan memvisualisasikan masa depan kita akan mampu membuat pilihan-pilihan cerdas mengenai bisnis atau strategi personal menuju masa depan yang diinginkan. Membaca buku ini, sangat dianjurkan bagi mereka yang peduli terhadap masa depan. Buku ini secara panjang lebar menjelaskan tentang masa depan extrem, yang akan membantu Anda mempersiapkan diri dengan baik dan mendorong Anda untuk beradaptasi, meraih kesempatan dan menghindari risiko-risiko yang ada. Sekali lagi, buku ini sangat penting dibaca untuk memahami dampak revolusioner bagi bisnis dan lain-lain.

Dimuat di Surabaya Post, Pebruari 2009

Demokrasi Sebuah Perjalanan Panjang

Judul : Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis : Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina
Tahun : Mei 2009
Tebal : xvi + 100 halaman
Peresensi : Moh. Shofan


Dalam prakteknya, demokrasi lebih sering berhenti dalam ‘pelembagaan formal’ dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas. Melihat betapa korupnya para anggota DPR, tak jelasnya lagi alasan hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi, membuat Goenawan Mohamad (GM) sempat berpikir bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Pernyataan Albert Camus, yang amat terkenal, “All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is is not sufficient”, kiranya sangat relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa saat ini.

Memang, demokrasi bukanlah ideal terbaik untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi adalah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga Negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Dalam buku ini (Demokrasi dan Kekecewaan), GM dalam tulisannya berjudul “Demokrasi dan Disilusi”, yang kemudian ditanggapi oleh para koleganya, –R. William Liddle, Rocky Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi –, masih menaruh harapan pada demokrasi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique). Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk menang. Jalan yang akan ditempuh pun memerlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai.

Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena bangsa kita masih dalam tahap belajar dalam demokrasi, seperti dikatakan Samsu Rizal Panggabean (h. 29) Masyarakat demokrasi, dalam dirinya menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Karena dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Demokrasi sebagai sikap hidup yang menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak menuntut suasana yang memung¬kinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba sempurna. Karenanya, perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu. Sebab perfeksionisme mengimplikasikan pandangan yang serba mutlak, dan demokrasi menuntut adanya pandangan kenisbian sampai batas yang cukup jauh.

Di sisi lain, demokrasi adalah sebagai sebuah kenyataan yang bersifat universal, namun demikian, dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam institusinya yang menyang¬kut masalah struktural dan prose¬dural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi. Hampir semua bangsa yang mem¬praktik¬kannya mempunyai pandangan, pengertian dan cara-cara pelaksa¬naannya sendiri yang khas. Selain tuntutan kekhususan budaya yang bersangkutan, hal itu juga karena perbe¬daan tingkat perkembangan atau kemajuan sebuah bangsa di bidang-bidang lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Maka dengan alasan kenyataan itu, demokrasi bukan suatu sistem sosial politik dengan konsep yang tunggal. Karenanya bangsa Indonesia dapat dibe¬narkan untuk mengaku mem¬punyai pengertian dan cara pelaksanaan sendiri tentang demo¬krasi. Belajar dari berbagai Negara tersebut, yang terpenting adalah seperti dikatakan oleh Ihsan Ali Fauzi (h. 65), menelusuri sejauh mana dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana mempersempit jaraknya, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi demokrasi kita.

Demokrasi juga dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil ber¬jalan, melalui improvisasi ber¬dasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Sebab justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang mampu, me¬lalui dinamika intern-nya sendiri, untuk menga¬da¬kan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasar¬¬kan prinsip keterbukaan dan ke¬sempatan untuk bereksperimen.
Persoalan¬nya ialah seberapa jauh unsur-unsur perkembangan positif itu dapat didorong dan ditumbuhkan ke arah yang terus lebih baik, dan bagaimana agar tidak membentur dinding-dinding kultur politik “asli” yang tidak kondusif bagi pandangan-pandangan yang lebih kosmopolit, terbuka, dan berwawasan masa depan. Kalau benturan ini terjadi atau sengaja diarahkan ke sana oleh orang atau kelompok dengan vested interest-nya yang terancam, maka optimisme tersebut berbalik menjadi pesimisme dan yang jelas bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu tesis GM, yang mengatakan bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya, tentu tak terbantahkan.

Buku ini memuat perdebatan yang mutakhir, substantif, dan kredibel tentang mengapa kita bisa kecewa kepada demokrasi dan mengapa pula kita bisa, dan harus tetap, berharap kepadanya. Dilengkapi komentar balik Goenawan, buku ini sangat menggugah kesadaran kita bahwa demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar ta¬ta¬nan peme¬rin¬tah¬an. Ia harus dipandang sebagai sa¬lah satu hasil akhir yang ber¬si¬fat formal dan struktural.

Dimuat di Jawa Pos, 26 April 2009

Kamis, 19 Maret 2009

Demokrasi dan Keindonesiaan Refleksi Buat Partai-partai

Moh. Shofan


Beberapa hari yang lalu, saya berbincang dengan Prof. Dr. Donald K. Emmerson – pengajar di Stanford University, Amerika – di ruang perpustakaan milik Fadli Zon(wakil ketua umum Gerindra) di Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Emmerson, mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa betul-betul dilaksanakan tanpa ada keberpihakan kepada masyarakat yang lemah. Ia melihat kebanyakan partai-partai politik berkiblat ke Jakarta, Surabaya atau Medan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah kecil yang menyangkut masyarakat bawah. Di Muangthai, misalnya, Mantan Perdana Menteri, Thaksin Shinawatra sangat populer di kalangan petani. Ia mendapat dukungan yang sangat besar dari masyarakat petani untuk melanjutkan program-program populisnya. Begitu juga Amerika Serikat bisa bertahan dari ancaman disintegrasi bukan karena faktor agama atau yang lainnya. Tetapi demokrasi yang jadi perekatnya. Nah, apakah sesungguhnya yang kira-kira bisa menjadi akar perekat Indonesia zaman ini, Pancasila, demokrasi atau nusantara?

Jika kita amati ke belakang, sesungguhnya konsep kenegaraan Indonesia dan budaya keindonesiaan itu sendiri dibuat berdasarkan semangat budaya pola pesisir yang lebih demokratis, dengan alasan kecenderungan kemanusiaan universal (global) dewasa ini, melalui apa yang disebut budaya modern, mengarah kepada nilai-nilai yang lebih egaliter, kosmopolit, terbuka, dan demokratis. Itulah sebabnya demokrasi memerlukan adanya ideologi terbuka. Seorang cendekiawan A.S. Jeane Kirkpatrick, mengatakan, “Pemilihan demokrasi bukan sekadar lam-bang...tetapi pemilihan yang kompetitif, berkala, inklusif, dan definitif, di mana para pengambil keputusan utama dalam pemerintah¬an dipilih oleh warga negara yang menikmati kebebasan luas untuk mengkritik pemerintah, menerbitkan kritik mereka dan menawarkan alternatif.” Ini, menegaskan bahwa demokrasi selalu bersifat dinamis.

Bila suatu masyarakat berhenti berproses menuju kepada yang lebih baik, maka masyarakat itu tidak lagi demokratis! Demokrasi yang dirumuskan “sekali untuk selamanya” bukanlah demokrasi, melainkan sebuah kediktatoran. Demokrasi memerlukan ideologi terbuka, yaitu ideologi yang membuka lebar pintu bagi adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama. Karena itu faktor eksperimentasi, dengan coba dan salah, trial and error adalah bagian integral dari gagasan demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus, dalam format dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) oleh masyarakat itu sendiri.

Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua pemeran serta (partisipan), dan tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada keinginan pribadi. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi, apa pun dan bagaimanapun caranya, dan tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian mendominasi keseluruhan.

Tidak Berhadapan
Berpijak dari pikiran tersebut, maka, meskipun, Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, dan bangsa Indonesia adalah bangsa Muslim, namun, keislaman bangsa Indonesia tidaklah harus diperhadapkan dengan ide bahwa negara kita berdasarkan Pancasila. Sebab Pancasila adalah sebuah ideologi bersama (common platform), yang dari sudut penglihatan kaum Muslim Indonesia merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara warga negara Muslim Indonesia dengan warga negara non-Muslim untuk mendukung Republik Indonesia. Mekanisme inilah yang membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya merupakan “tirani mayoritas”. Demokrasi itu mayoritas yang dibuktikan melalui Pemilu. Karenanya, umat Islam tidak bisa apriori dengan alasan mayoritas, sehingga mereka harus berkuasa. Di Itali juga ada Kristen Demokrat, tapi tidak ada cara berpikir orang Kristen harus berkuasa secara apriori. Mayoritas-minoritas politik harus ditentukan melalui Pemilu. Karena itu salah satu hikmah Pemilu ialah membuktikan klaim-klaim. Setiap pengekangan kebebasan dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Maka prinsip “partial functioning of ideals” harus benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh.

Oleh karena itu tidak adanya civility (keadaban) akan menimbulkan sikap ragu tentang prospek jangka pendek demokrasi dalam suatu negara. Maka, di sini peningkatan civil society akan menjadi bermakna lebih daripada sekadar menciptakan dasar-dasar demokrasi. Ia sendiri menjadi milieu bagi kehidupan sosial yang sehat. Semua itu menuntut Negara untuk mampu menangani civil society sebegitu rupa sehingga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Sebaliknya, kalangan civil society harus senantiasa menyadari bahwa demokrasi masyarakat tidak dapat dibina melalui kekuasaan negara. Civil society adalah bagian organik demokrasi, dan ia menurut definisinya sendiri adalah lawan rezim-rezim absolutis. Karenanya, kita juga perlu pada ruang bagi adanya ikatan antara negara dan civil society baik yang sejalan maupun yang bersimpangan jalan. Kita berharap agar civil society menjadi rumah untuk proses demokrasi itu.

Akhirnya, demokrasi dipilih dengan harapan bahwa perbaikan dapat dilakukan terus-menerus. Sekali lagi, suatu negara dapat disebut demokratis jika padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asa¬si dan dalam memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial. Kita berharap pesta demokrasi yang akan berlangsung ke depan menjadi kunci kematangan budaya politik demokrasi. Pemilu yang masih jauh dari substansi demokrasi harus disadari sebagai proses pendewasaan demokrasi. Kian matang demokrasi kita, kian beradab dan bermutu pemilu yang kita selenggarakan. Semoga pelaksanaan pemilu di tahun 2009 mendatang berjalan sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yakni dapat menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu A’lam bi al-Shawab


dimuat di Jawa Pos/Indo Pos, 18 Maret 2009

Jumat, 06 Maret 2009

Wajah Pluralisme di Indonesia

Wajah Pluralisme di Indonesia
Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Judul : Menegakan Pluralisme

Penulis : Mohamad Shofan

Penerbit : LSAF dan Ar-Ruzz Media

Cetakan : I, Desember 2008

Tebal : 484 Halaman


Dalam sejarah agama-agama, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir keagamaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Ironisnya, pertikaian yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam, khusunya, dan agama-agama lainya, pada umumnya, tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik.

Fenomena tersebut pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya, menurut Adonis (Ali Ahmad Said), sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia selalu menjegal segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.

Hingga saat ini, antara ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) selalu berebut peran dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Di Indonesia, dalam bidang politik misalnya, terdapat kelompok yang menginginkan terbentuknya negara berdasarkan demokrasi. Namun pada sisi lain, ada kelomok yang menginginkan terbentuknya sebuah negara Islam, yang berlandaskan pada syariat Islam atau khlafah.

Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) oleh Adonis sesungguhnya ia ingin memetakan watak nalar masyarakat Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan. Parahnya lagi tak jarang menimbulkan perang dan bentrok fisik lainya.

Melalui pemetaan nalar ke dalam nalar inklusif dan ekslusif di atas, dapat kita katakan, kasus pemecatan yang menimpa Moh. Shofan, Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik—sebagaimana diuangkapkan dalam buku “Menegakan Pluralisme” ini—pada awal Februari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media cetak, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan ke dalam nalar ekslusif atau nalar inklusif.

Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan ini merupakan refleksi atas kondisi umat Islam yang tidak mengekpresikan nilai-nilai pluralitas, inklusivitas, dan demokrasi. Dan Shofan dalam buku ini berusaha melawannya. Untuk mewujudkan perlawanannya itu, tak segan-segan Shofan mengkritik Muhamadiyah yang dalam prakteknya lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif.

Shofan sangat menyayangkan sikap yang dilakukan Muhammadiyah. Sebagai Ormas keagamaan yang mendapat perhatian besar dari beragam kalangan, sangat tidak bijak Muhammadiyah mengklaim Shofan karena tulisannya itu dengan sesat hingga berujung pada pemecatan dirinya. Hal ini tentunya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.

Seharusnya, dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi sampai melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis. Karena itu, kehadiran buku ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan pelajaran bagi ormas kegamaan lainya untuk bersikap arif, bijak, dan demokratis dalam menyikapi segala persoalan. Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan bertentangan dengan nalar inklusif dan merusak demokrasi yang sedang kita bangun.


Dimuat di Koran Jakarta, Jum'at 13 Februari 2009

Kamis, 29 Januari 2009

Moh. Shofan dan Pemikiran Kontroversialnya Itu...

(Tulisan ini dimuat dalam kata pengantar editor buku 'Menegakkan Pluralisme' Karya Moh. Shofan)

Ali Usman

Tak banyak orang yang mendapat kesempatan seperti Moh. Shofan, menelurkan percik pemikiran kontroversialnya dalam sebuah buku, yang kemudian dikomentari oleh teman-teman sejawatnya. Shofan, di usianya yang masih belia telah menjadi “buah bibir” banyak orang dan cukup “dikenal” bak selebritis yang sedang naik daun. Gaung pemikiran dan keterkenalan dirinya berawal dari tulisan provokatifnya di harian Surya yang berjudul ‘Natal dan Pluralisme Agama’ pada akhir Desember 2006, membuat para petinggi di jajaran kepengurusan Cabang dan Daerah Muhammadiyah serta di kampus tempat dirinya bernaung, Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) “kebakaran jenggot”. Shofan mungkin tak pernah menyangka, bahwa hanya lantaran mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani telah menyebabkan dirinya tersingkir dari jabatannya sebagai dosen.

“Ah, sungguh malang nasibmu kawan”, kataku selang beberapa hari mendengar berita mengejutkan itu. “Ya, itulah mungkin perjalanan hidup aku yang dititahkan oleh-Nya”, jawabnya menimpali. Kesanku, Shofan dalam hal ini sungguh tegar menerima “cobaan” ini. Entah waktu itu, yang saya pikirkan adalah nasib istri dan anaknya yang masih belia.

Tetapi beberapa waktu kemudian, ia kembali mengabariku, bahwa ia sedang berada di Jakarta. “Wah, kini ia berada di posisi aman”, pikirku—sambil menyamakan layaknya posisi dalam kompetisi atau pertandingan olahraga. Firasatku ternyata benar. Di Jakarta, ia lebih leluasa dapat bertemu secara intens dengan banyak tokoh dan pemikir pluralis tersohor di Tanah Air. Ia pun merapat dan berteduh di PSIK (Pusat Studi Islam dan Kenegaraan) Universitas Paramadina dan LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat) yang dimotori oleh M. Dawam Rahardjo dan juga Budhy Munawar-Rachman.
Alhasil, dengan terus mengamati kiprahnya sejak di Jakarta, pemikiran-pemikiran Shofan menurut saya, jauh lebih progres dan produktif bila dibandingkan ketika ia berada dalam sangkar yang memenjara kebebasan berfikirnya di UMG. Saya yakin, hal itu juga tampaknya dirasakan oleh Shofan.

Padahal kampus, menurut Shofan, mestinya akomodatif terhadap segala pemikiran yang plural dan liberal sekalipun, sekaligus menjunjung tinggi kebebasan berpikir di lingkungan akademis. Dalam artian kata, perlu dibedakan antara wilayah perguruan tinggi (Islam) dengan masyarakat umum. Sebuah perguruan tinggi menurut Munir Mulkhan, dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru. Dan Shofan menurut saya, mengupayakan hal yang demikian.

Dalam skala lebih luas, “kasus lokal” yang menimpa Shofan sebenarnya terkait erat dengan isu nasional yang sejak masa Orde Baru, pemerintah melalui MUI mengharamkan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Kondisi ini kembali diperkeruh oleh “lagi-lagi” pengharaman paham pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sementara bagi Ormas Islam (termasuk Muhammadiyah?) seolah mengamini begitu saja fatwa MUI tersebut, tanpa penyaringan yang ketat.

Shofan adalah korban atas “kesuksesan” negara melakukan intervensi berlebih kepada warga negaranya dalam urusan beragama. Agama yang semestinya menjadi ruang privasi bagi pemeluknya, malah diangkat menjadi kepentingan negara. Mungkin inilah, tulis Hannah Arent dalam The Human Condition-nya, kegagalan modernitas yang menjadi “berhala” bagi negara-negara maju dan berkembang (termasuk Indonesia) menganggap tidak relevan lagi memisahkan antara “ruang publik” dan “ruang privat”.
Maka tak heran, bila Muhammed Yunis, seorang pemikir keagamaan Mesir, dalam al-Takfir baina al-Din wa al-Siyasah mengemukakan, bahwa pengkafiran (takfir), klaim sesat, dan sejenisnya, tak pernah lepas dari perskongkolan antara negara (politik) dan lembaga keagamaan (agama). Bagi Yunis, nuansa politis terhadap sesuatu yang menyangkut persoalan agama dalam hubungannya dengan warga di suatu negara, dipastikan ada “main mata” antara politik dan agama itu sendiri.

* * *

Saya memang tidak terlalu lama mengenal sosok pribadi Shofan. Perkenalan itu terjadi ketika saya ikut serta mencarikan penerbit di Yogyakarta untuk menerbitkan bukunya yang pertama berjudul Pendidikan Berparadigma Profetik: Upaya Konstruktif Membongkar Dikotomi Sistem Pendidikan Islam (IRCiSoD, 2004). Sejak itulah, komunikasi pun terus terjalin hingga saat ini.

Shofan yang saya kenal, tidak seperti yang dicitrakan negatif oleh “musuh-musuhnya” ketika mengomentari pemecatan dirinya, baik di milis (milling list) maupun dalam kesehariannya. Sungguh itu fitnah kubra. Bukankah fitnah lebih kejam dari membunuh (al-fitnatu asyaddu min al-qatl)? Tetapi perlu disadari, bahwa pejuang kebenaran itu tak pernah absen dari intimidasi, penindasan, dan pengusiran. Masih beruntung Shofan sebagai salah satu dari para pejuang kebenaran hanya dipecat dari kampus. Para pejuang dari kalangan filsuf-sufi, seperti al-Hallaj, Syekh Siti Jenar, Suhrawardi, dan lain-lain, harus rela mati di tiang gantungan demi mempertahankan kebenaran. Begitu halnya dengan Shofan. Demi membela pluralisme dan kemanusiaan, ia berani menanggung akibat yang amat “memprihatinkan”. Orang yang tidak sepaham dengannya boleh bilang bahwa pemikiran-pemikirannya “berbahaya”, melenceng dari akidah Islam, bahkan dibilang “sesat dan menyesatkan”. Namun ketersesatan itu menurut saya, berada di jalan yang benar.

Di era kontemporer sekarang ini, banyak kalangan tiada henti-hentinya mengingatkan akan pentingnya pengakuan sebuah pluralisme, sehingga tercipta keharmonisan dan kedamaian hidup di dunia. Dalam hal ini, terkadang saya berpikir, kok bisa-bisanya Shofan yang secara akademik ber-basic pendidikan (tarbiyah)—baik S1 maupun S2 yang ia tempuh di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)—sangat lihai dan fasih berbicara tentang pluralisme, civil society, kemanusiaan, dan pembelaan terhadap kaum marjinal. Mengapa ia tidak “tertarik” menyuarakan isu-isu tentang pendidikan yang humanis, pendidikan pembebasan atau kondisi pendidikan nasional di negara kita, misalnya? Hal itu menunjukkan bahwa usaha menyadarkan akan pentingnya mengakui pluralisme dalam pengertian yang seluas-luasnya adalah tugas semua kalangan tanpa melihat kelas dan basic pendidikan.

Dari itu, mengacu pada kasus Shofan tersebut, menurut saya, adalah lagkah mundur bagi Muhammadiyah secara institusi. Sebuah ormas Islam yang mengaku diri sebagai salah satu kelompok pembaharu Islam di Indonesia, yang “bertitel” kaum moderat(isme). Pamor Muhammadiyah secara tidak langsung sebenarnya telah runtuh, dan memang dalam banyak hal, kini sudah mengalami pergeseran.

Secara pribadi, saya sebagai orang luar (bukan warga Muhammadiyah) yang tak tahu apa-apa dan tidak punya kepentingan apapun, turut berempati sekaligus ironi atas kondisi tersebut. Jika dahulu pada masa-masa berdirinya Muhammadiyah sempat dijuluki sebagai “kaum berdasi” karena sikap moderatnya itu, sementara ormas lain seperti NU dikatakan “kaum sarungan”, santri atau tradisional yang identik dengan sikap kolot, jumud, dan anti kemajuan. Tetapi kini, predikat itu tampaknya telah mengalami keterbalikan.

Terjadinya pemecatan seorang dosen di “kandangnya” sendiri, yang boleh jadi, tidak hanya dilatari oleh alasan teologis tetapi juga diselubungi oleh kepentingan-kepentingan tertentu menjadi bukti kuat adanya “sikap konservatisme” di tubuh Muhammadiyah. Di samping itu, jika mau jujur, “sikap konservatisme” yang ditunjukkan oleh sebagian tokoh dan kalangan Muhammadiyah merupakan identitas aslinya, yang menurut Nur Khalik Ridwan (2005) sebagai penyeru “Islam murni” dengan berkedok gerakan Wahabi dari Timur Tengah. Karenanya, tak salah bila Muhammadiyah dan ormas Islam lain yang mirip dan “sealiran” dengannya, seperti Persatuan Islam (Persis) yang berpusat di Bandung dilabeli sebagai “agama borjuis”.
Kritik Nur Khalik Ridwan ini mestinya menyadarkan umat Islam Indonesia yang tanpa disadari banyak dipengaruhi kuat oleh “Islam ala Arab”, sementara “Islam berwajah asli nusantara atau Indonesia”—meminjam istilah Gus Dur tentang gagasan pribumisasi Islamny— tersingkiran. Tidak heran apabila pola keberagamaan umat Islam cenderung melenceng dari nilai-nilai luhur keramahan sebagai budaya dan karakteristik masyarakat Indonesia. Kekerasan dengan jubah atas nama agama sering terjadi di negeri ini yang konon dikenal sebagai bangsa yang ramah.

Di sini, Muhammadiyah berwajah paradoks; moderatisme di satu sisi, dan di sisi lain juga menampilkan wajah konservatismenya. Misalnya, sejak awal berdirinya, Muhammadiyah dengan lantang dan tanpa ampun memerangi penyakit apa yang dinamai TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat). Lantas, apakah persoalan kebebasan berpikir dan kreativitas dalam menulis (berkarya) seperti yang ditunjukkan Shofan itu termasuk dari penyakit TBC, sehingga pantas diberantas?

Dalam bidang pendidikan, sikap konservatisme yang ditonjolkan (sebagian?) warga Muhammadiyah itu tak seirama dengan mendulangnya bangunan perguruan tinggi yang dimiliki. Lihatlah betapa canggih dan megahnya universitas-universitas Muhammadiyah yang ada; seperti di Malang (UMM), Yogyakarta (UMY), Jakarta (UMJ), Surabaya (UMS), termasuk di Gresik (UMG). Kepopulerannya itu masih menyimpan bias konservatif dalam perilaku, tindakan dan terlebih pada pemahaman keagamaannya. Hukum kausalitas tidak berlaku bagi Muhammadiyah. Bangunan pendidikannya yang semakin mewah, megah dan canggih sebagai penanda kemodernan, tak mampu merubah pola sikap dan pemahaman keagamaan warganya yang masih konservatif dan tradisional. Apalagi, luasnya bidang sosial yang digarap oleh Muhammadiyah yang dikenal dengan tiga serangkai; rumah sakit, pendidikan dan panti asuhan, menimbulkan tanda tanya besar di kalangan masyarakat, terutama dari sisi pembiayaan (finansial).

Mungkin seandainya KH. A. Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah masih hidup, niscaya ia akan menangis dan meratapi kondisi sosial ini. Pendidikan dan prasarana lembaga sosial, yang pada mulanya dicanangkan oleh A. Dahlan untuk membantu sekaligus ikut serta mencerdaskan anak bangsa—terutama bagi kaum miskin—tetapi pada kenyataannya tidak semua lapisan masyarakat menjangkau biaya pendidikan yang dibebankan oleh lembaga Muhammadiyah.

* * *

Berawal dari provokasi saya kepada Shofan, bagaimana jika seandainya dia mengumpulkan ragam tulisan-tulisannya yang berserakan, baik yang sudah dimuat di media massa maupun dalam bentuk makalah, yang ia presentasikan di banyak tempat. Tak dinyana, Shofan menyambutnya dengan sangat antusias, sehingga lahirlah percik pemikiran-pemikirannya dalam buku ini, yang ia tulis kurang lebih dua tahun pascatragedi pemecatan itu.
Beberapa bulan kemudian, sebagai tindak lanjut dari provokasi tersebut—seolah tak mau kalah—Shofan kembali menghubungi saya dengan langsung melemparkan tanggung jawab penyuntingan kepada saya. Dan apa boleh buat, atas nama persahabatan, saya menerimanya dengan senang hati. Apalagi, daya tarik buku ini dilengkapi dengan tanggapan yang berisi pro-kontra atas diri Shofan dan gagasan pluralisme yang ia usung. Saya tidak menganggap kehadiran buku ini sebagai counter dan pembelaan Shofan terhadap oknum yang terlibat “konspirasi” atas pemecatan Shofan yang hanya lantaran mengucapkan selamat Natal. Tetapi lebih dari itu, merupakan sebagai “dokumentasi akademik”, agar di kemudian hari menjadi cerminan untuk generasi intelektual berikutnya. Biarlah publik dan anak cucu kita kelak tahu yang sebenarnya, bahwa ada yang “tidak beres” dengan Ormas Islam yang menamakan diri Muhammadiyah ini. Shofan hanyalah menjadi “tumbal” atas konservatisme di perguruan tinggi—yang mengklaim diri sebagai gerakan pembaharu Islam Indonesia.

Selain itu, belajar dari kasus Shofan, persinggungan dan pertarungan antar kelompok di Muhammadiyah—yang selama ini banyak diragukan, dan bahkan ditutup-tutupi oleh sebagai kalangan—semakin tampak jelas dan tersingkap. Bahwa saat ini, pertentangan antara kelompok progresif-liberal versus kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah benar-benar berwujud nyata.
Fakta ini juga diperkuat oleh temuan mutakhir Pradana Boy dalam tesisnya berjudul ”In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah”, yang ia pertahankan di Australian National University (ANU). Tidak hanya kasus Shofan, Boy juga mensinyalir tersingkirnya tokoh-tokoh penting seperti M. Dawam Rahardjo, M. Amin Abdullah, dan M. Munir Mulkhan dari kepengurusan Muhammadiyah, hingga kemenangan Din Syamsuddin sebagai ketua di Muktamar Malang 2004 menjadi bukti nyata dominasi kelompok fundamentalisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah, yang perlahan-lahan tapi pasti bakal membuang jauh-jauh kelompok progresif-liberal.

Jadi untuk mengetahui perkembangan arah gerakan Muhammadiyah mutaakhir, boleh jadi penelitian Boy tersebut adalah salah satu—untuk tidak mengatakan satu-satunya—acuan yang wajib dibaca dan diketahui oleh khalayak umum. Shofan dan kawan-kawan lain yang “sealiran” dengannya, hemat saya, menjadi apa yang oleh Gayatri Spivak (1985) disebut sebagai “subaltern”, yaitu subjek tertindas dan kelas inferior (Gramscian). Kelompok ini dalam banyak kasus, memang selalu mengalami kekalahan dalam perebutan “kuasa makna” (dalam pengertian Foucault).

Karena itu secara sadar, Shofan mengaku siap dan berani menghadapi resiko atas konsekuensi terbitnya buku ini, yang dipastikan membuka “luka lama” di tubuh Muhammadiyah. Shofan hendak membuktikan, bahwa “subaltern” mampu berbicara, mengangkat bendera “perlawanan” demi mempertahankan kebenaran. Pluralisme dalam pandangan Shofan, tidak hanya berkutat pada persoalan ide, tapi sejatinya dapat ditegakkan di muka bumi.

Sebagai kata pamungkas, saya ingin mendedahkan ungkapan Roland Barthes dalam artikel yang terkenal, The Death of Author dalam berkreativitas melahirkan sebuah karya. Menulis, kata Barthes, adalah kedalamannya subjek melarikan diri, hitam putih dan semua identitas hilang, mulai dengan identitas tubuh pengarang (Heraty, 2000). Itu sebabnya, Dee (Dewi Lestari) juga menyadari hal yang sama. Bahwa menurutnya, “menulis adalah perjalanan menuju suatu kelahiran. Dan karya yang dilahirkan ibarat air nan bergulir bebas di lereng perasaan dan pikiran. Ia dapat tertahan di semak. Ia bisa hinggap di akar yang merambat. Namun ia juga bisa menggelinding lancar untuk melebur dalam samudera luas. Tak ada yang dapat menghitung berapa ceruk di lereng itu. Tak ada yang tahu seberapa gerah tetumbuhan di sana. Ia hanya akan bisa mengalir... sebisanya”. Baik Barthes maupun Dee di atas hendak mendengungkan bahwa pengarang (author) sebenarnya telah “mati” bilamana teks yang ia gubah itu telah menyeruak ke publik. Di sini, otonomi pembaca sangatlah ditekankan. Sapere aude!

Fatwa MUI tentang Rokok Tak Efektif

Fatwa MUI tentang Rokok Tak Efektif

Moh. Shofan

Negeri Indonesia adalah surga bagi para pecandu rokok karena orang Indonesia sudah terbiasa menghisap rokok tanpa ada larangan. Tiba-tiba, kita dikejutkan dengan munculnya fatwa MUI tentang haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, serta merokok di tempat umum. Selain ketiga itu hukum merokok jatuh pada makruh. Saya sendiri shock begitu mendengar fatwa MUI tentang haramnya merokok, hampir-hampir saja pingsan. Bukan karena apa-apa, tetapi geli mendengarnya. Bagaimana tidak? Bagi pecandu rokok, –seperti halnya saya– menghisap rokok tak ubahnya seperti kebutuhan pokok. Sehari tak merokok, badan seperti sakit semua, pikiran tak mampu bekerja dan sulit sekali untuk kosentrasi. Saya sendiri rela mengganti sarapan pagi hanya dengan sebatang rokok dan segelas kopi.

Merokok bagi saya membuahkan kenikmatan yang tiada tandingannya. Karena itu siapapun yang melarang saya agar berhenti merokok tidak akan mampu mengubah pendirian saya. Sepanjang saya masih bisa merokok, maka sampai kapan pun aktifitas merokok tidak akan berhenti. Saya berhenti merokok hanya pada saat tertentu, misalnya pada saat sedang istirahat (tidur) atau di tempat-tempat tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merokok. Saya merokok di mana saja sepanjang tidak mengganggu orang lain. Dan jika sekiranya mengganggu orang lain tentu saya akan mencari tempat yang aman buat merokok. Di tempat-tempat tertentu, misalnya di Air Port, tersedia ruangan area smoking. Saya bisa langsung masuk dan merokok sambil menunggu pesawat take off (lepas landas) – demikian juga di sejumlah tempat lain, baik di kantor, di jalan, di mall, di kafe, di rumah makan, di kos, bahkan (maaf) di WC pun terkadang merokok (daripada bengong) sambil menunggu sampai hajat selesai.

Bagi saya, hukum merokok itu mubah (artinya dibolehkan) dan bukan makruh, karena makruh menunjukkan ketidakkonsistenan hukum itu sendiri. Untuk menghukumi mubah saya juga tidak perlu meminta fatwa kepada seorang kyai. Hukum rokok tidak bisa menjadi haram hanya karena kesepakatan MUI. Kitab-kitab kuning telah sejak lama menjelaskan hal ini. Lalu bagaimana fatwa MUI yang mengharamkan rokok bagi anak-anak usia remaja, ibu hamil atau larangan merokok di tempat umum. Bagi saya, agar anak-anak, pelajar, dan ibu hamil tidak merokok menjadi tugas orang tua, guru maupun suami. Orang tua harus mendidik anaknya dengan baik. Jika anaknya masih belum dewasa, jangan disuruh membeli rokok karena mereka akan coba-coba.

Fatwa MUI yang mengharamkan rokok tentu saja sangat meresahkan masyarakat karena rokok menjadi jantung perekonomian masyarakat. Hampir seluruh sektor perekonomian tergantung pada industri rokok, seperti masyarakat Kudus. Karenanya begitu keluar fatwa MUI tentang haramnya merokok, spontanitas masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Forum Pengusaha Rokok Kudus (FPRK), Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perguruan tinggi di Kudus, dan LSM melakukan resistensi terhadap fatwa MUI yang tidak dipertimbangkan secara bijaksana ini.

Resistensi itu saya kira wajar saja, karena keberadaan rokok di Kudus ada sejak 100 tahun yang lalu. Kudus menjadi cikal bakal berdirinya sejumlah industri rokok, hingga kini menjadi jantung perekonomian masyarakat di Kudus. Hampir seluruh sektor perekonomian yang ada di Kudus tergantung pada sektor industri rokok. Keberadaan industri rokok di Kudus juga tidak dapat dipisahkan dari pemasukan APBN pada penerimaan cukai rokok yang mencapai jumlah triliunan rupiah. Di sisi lain, fatwa haram merokok juga mengancam ratusan ribu karyawan, belum lagi, sektor industri kertas sebagai pemasok, sehingga akan semakin menambah jumlah pekerja yang terancam menganggur. Itu baru di satu kabupaten saja, lalu bagaimana perusahaan rokok Djarum dan Nojorono di Kudus, Sampoerna di Surabaya, Gudang Garam di Kediri, dan Bentoel di Malang.

Diakui atau tidak, jutaan masyarakat kita hidupnya tergantung pada industri ini. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Muslim. Industri tembakau ini melibatkan petani tembakau hingga hilirnya tenaga kerja. Sebanyak 6,1 juta orang tenaga kerja terlibat langsung dalam industri ini. Bila masing-masing tenaga kerja menghidupi empat orang, berarti tak kurang dari 30,5 juta jiwa penghidupannya menggantungkan diri dari lancarnya industri ini. Dengan demikian, keputusan fatwa MUI tentang haramnya rokok tidak mempertimbangkan sama sekali kemaslahatan umat. Padahal, konon, ulama-ulama yang tergabung di MUI sangatlah paham agama. Namun kenyataannya MUI terlalu gegabah dalam membuat fatwa.

Berdasarkan mudharat yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaatnya, maka tidak semua ulama sepakat terhadap fatwa MUI tersebut. Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdusshomad Bukhari, menilai fatwa haram rokok justru lebih besar mudharatnya. Salah satunya adalah akan membengkaknya jumlah angka pengangguran menyusul ribuan anggota masyarakat yang bekerja pada sektor yang terkait dengan industri rokok, seperti di Jawa Timur. Respon yang sama dating dari KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU. Menurutnya, PBNU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa bahaya rokok relatif dan tidak bisa dibandingkan dengan minuman keras.

Terang sekali, bahwa dampak fatwa MUI tersebut bisa merusak perekonomian Indonesia. Bukankah Al-Qur’an mengingatkan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak peduli orang-orang miskin? Karena fatwa MUI terasa sangat problematik dan terkesan asal-asalan tanpa mempertimbangkan lebih jauh dampak dari fatwa yang dihasilkannya. Bagaimana pula dengan pemerintah yang banyak diuntungkan oleh industri rokok, akankah mendukung fatwa MUI? Sementara korupsi yang menjadi penyakit sosial bangsa dan jelas-jelas merugikan Negara senilai trilyunan rupiah tak pernah kena sasaran fatwa. Akankah MUI sudah kehilangan kepekaan sosial? Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Rabu, 28 Januari 2009

Islam Agama Hanif

Islam Agama Hanif

Moh. Shofan

Istilah hanif atau al-hanafiyah (agama hanif) tidak begitu popular di lingkungan umat Islam di Indonesia. Sehingga ketika disebut agama hanif (agama yang condong kepada kelurusan atau kebenaran) masih terasa asing. Kata hanafa telah dikenal dalam bahasa yang berlaku ketika itu di lingkungan masyarakat Arab. Sebagian orientalis berpendapat “sesungguhnya kata tersebut berasal dari bahasa ibrani, yaitu tahniyus atau dari kata hanafa yang berarti at-Tahannus (beribadah dalam waktu beberapa malam). Di kalangan orang arab dan suryani kata hanafa dimaksudkan Shaba’a yang berarti condong dan terpengaruh oleh sesuatu. Al-Qur’an juga berbicara tentang al-Hunafa’. Kata Hanifan diulang sepuluh kali dalam Al-Qur’an, sedangkan kata Hunafa’ diulang 2 kali.

Gerakan al-Hanafiyyah, di lingkungan masyarakat Arab belum mendapatkan kajian dan penelitian yang memadai dari para peneliti modern. Letak penting gerakan ini lebih pada titik penemuan (halaqah) dalam masa transisi dari masa pra-islam menuju masa islam. Penyebaran al-Hanifiyyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, cerdik-cendikia, orang-orang yang tercerahkan dan para penyair, merupakan sesuatu yang baru sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Fenomena para hunafa’ ini muncul sebagai suatu realitas sejarah yang tidak bisa dihindari. Bahkan kondisi masyarakat mengharuskan demikian, karena kekuatan-kekuatan produktif terus berkembang, seiring dengan bertambahnya produksi pertanian dan produksi perindustrian. Perkampungan kecil berubah menjadi kota-kota yang maju, aktifitas perdagangan yang semakin giat dan proses tukar menukar barang telah mempercepat perubahannya.

Al-Hunafa’ dengan demikian, adalah kumpulan orang-orang dengan segenap keistimewaan yang ada pada dirinya, seperti kecerdasan akal dan pengetahuannya yang luas, pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap problematika kehidupan. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar. Mereka menolak menyembah berhala karena dipandang sia-sia, dan mengajak kepada ketauhidan. Mereka menjauhkan diri dari menyembah berhala dan tidak condong kepada agama Yahudi dan Nasrani, melainkan mereka menyuarakan ke-Esaan Allah. Demikian pula mereka mempunyai kelebihan dalam tingkah laku dan moralitas sehingga mereka menolak segala kehinaan yang tersebar di masyarakatnya, seperti zina, minum khamer, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan ajakan demi tersebarnya agama hanif sebagai pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional.

Semua faktor-faktor tersebut telah berinteraksi sehingga berkembang dan melahirkan fenomena agama hanif dan tersebar diseluruh penjuru, khususnya di kota-kota atau pusat-pusat kebudayaan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa fenomena al-Hunafa’ tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya ‘kesadaran’ dalam berIslam dan juga kesadaran dalam membangun peradaban. Mereka hidup dalam peradaban yang tinggi secara relatif. Hal itu karena kebanyakan mereka telah mempelajari kitab suci kedua agama Semit (Yahudi dan Nasrani). Sebagian telah menguasai bahasa yang lain selain bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani. Semua itu dimaksudkan untuk mencari agama Nabi Ibrahim, sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sebutan hanif yang dalam bahasa teologi Islam justru termuat dalam paham tawhid, yang akan membawa kepada siapa saja yang mempercayainya kepada suatu sikap pasrah kepada Tuhan sebagai suatu bentuk ketundukan. Sejalan dengan pengertian “Islam” itu sendiri, sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”.

Dan pada dasarnya agama yang sah tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Tak ada agama tanpa sikap pasrah. Berdasarkan teologi ini, maka semua agama yang benar, adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, yakni mengajarkan al-Islam. Sebab agama para nabi terdahulu, semuanya adalah Islam. Agama Islam tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-Islam yang lain. Walaupun dalam kenyataannya, agama-agama lain itu, tidak disebut dengan nama Islam.

Perlu diuraikan juga di sini bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islâm), dan agama kaum Muslim (Islâm) adalah kelanjutan, pembetulan, dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh Tuhan kepada semua Nabi. Karena itu, sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu.

Begitu tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhîd, monoteisme. Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan (balance). Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik.

Ada kisah yang terkait dengan ajaran Islam yang hanif atau al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang. Diceritakan, ada seorang sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.

Terkait dengan hadis di atas, Muhammad Asad juga menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Ajaran tentang formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal, menurut Nurcholish Madjid, akan sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Dalam Islam, kebahagiaan hidup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama mengatakan bahwa Islam sama dengan Yahudi, yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal saleh. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Kamis, 22 Januari 2009

Anak-anak Muda Tentang Cak Nur

Anak-anak Muda tentang Cak Nur


Judul Buku : All You Need is Love Cak Nur di Mata Anak-anak Muda
Editor : Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando
Penerbit : Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 208 halaman


Moh. Shofan

Prof. Dr. Nurcholish Madjid (yang biasa disapa Cak Nur) dikenal sebagai tokoh intelektual yang tajam, terbuka, dan pluralis. Gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Cak Nur berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya. Komitmennya pada pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan yang bersifat niscaya membuat ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda.

Buku ‘All You Need is Love!’ yang berisi tentang pandangan anak-anak muda mengenai Cak Nur menjadi bukti empirik bahwa pikiran-pikiran bernasnya mampu menginspirasi, mempengaruhi, bahkan menjadi spirit bagi anak-anak muda untuk melampauinya. Menyebut salah satu contoh, Husni Mubarok –seorang intelektual muda pengagum Cak Nur– mengatakan, bahwa gagasan Cak Nur mengenai tauhid sekular sangatlah penting. Gagasan ini menurutnya, perlu didakwahkan bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di lingkungan pemerintah agar terwujud pemerintahan yang adil dalam berbangsa dan bernegara. (h. 103-104) Dalam buku ini, anak-anak muda merekam apa makna Cak Nur bagi pembentukan dan perkembangan diri mereka sendiri, baik pikirannya, bukunya, wawancaranya di media massa, selebritasnya, caranya menjawab kritik, khotbah Jumatnya, dan lainnya. Kiprah Cak Nur selama hayatnya beresonansi di kalangan anak-anak muda Indonesia kontemporer, satu lapisan generasi yang jelas bukan generasi yang menjadi sasaran utama “kampanye”-nya ketika dia pertama kali menarik gerbong pembaharuannya. (h. 6)

Buku yang ditulis oleh anak-anak muda ini merupakan kumpulan hasil sayembara penulisan esai yang diselenggarakan Yayasan Wakaf Paramadina dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya Cak Nur. Cak Nur, di mata anak-anak muda cukup dikagumi. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris. Cak Nur juga dianggap sebagai sosok ideolog dan leader yang mampu melakukan pencerahan di saat umat Islam sedang mengalami krisis kepemimpinan dan arah gerakan. Dan, Cak Nur, adalah seorang penulis dan pembicara yang baik.

Begitu luasnya pengetahuan Cak Nur, mengenai Islam dan dunia kemodernan, sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Cak Nur, menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H. Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Cak Nur adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-19. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ kelahiran Jombang, Jawa Timur ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis.

Posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Cak Nur, memang pantas menyandang ‘Mahkota Intelektual’ Indonesia, karena wawasannya yang luas dan sangat ensiklopedis. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan bahwa Cak Nur tidak hanya milik bangsa, tetapi juga milik dunia. Dalam konteks dunia Islam, saya kira, sangatlah layak jika Cak Nur disejajarkan dengan M. Abid Al-Jabiri, Mohamed Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan gurunya sendiri Fazlur Rahman.

Sebagai seorang pembaharu Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran Neo-Modernis, pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Kurzman ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang ciri-cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancaman, tapi justru reinventing Islam untuk ‘meluruskan’ modernitas Barat; membuka peluang bagi bentuk tertentu ‘otonomi duniawi’ dalam berbangsa dan bernegara, dan; cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif. Cak Nur, menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Inilah dasar-dasar paling penting dari pemikiran sosial kemodernan Islam yang ditanamkan Cak Nur dalam keterlibatan Islam membangun Islam modern.

Buku ini terdiri dari tiga bab. Bagian pertama mengungkap apa yang dikenang mereka dari Cak Nur, apa yang mereka anggap menginspirasikan, untuk perkembangan pribadi mereka sendiri. Bagian kedua lebih terkait langsung dengan substansi pembaharuan Cak Nur. Dan, pada bagian terakhir buku ini mendiskusikan nasib pembaharuan Islam sesudah Cak Nur. Kini, Cak Nur telah tiada. Namun, buku ini menjadi saksi sejarah bahwa pikiran-pikiran bernas Cak Nur, Sang lokomotif pembaharu ini mengakar kuat di benak anak-anak muda sebagai pelaku dan penerus pembaharuan di masa yang akan datang.


Dimuat di Surabaya Post, 25 Januari 2009