Kamis, 13 Agustus 2009

Abu Bakar Baasyir, Al-Chaidar dan Terorisme

Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta



Membaca surat kabar Jawa Pos/Indo Pos (Jumat, 14 Agustus 2009), tentang pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono—dua tersangka yang diduga terlibat jaringan Noordin M. Top—di Sragen, Jawa Tengah, di mana Ustadz Abu Bakar Baasyir selaku pemimpin doa, di tengah-tengah pengiring jenazah. Di halaman yang sama Al-Chaidar, yang dikenal sebagai pengamat terorisme, dan mengaku pernah menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9 (KW 9), dan juga pengagum berat Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ini mengakui bahwa Noordin saat ini berada di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Hanya saja, Chaidar tidak bisa membeberkan lokasi secara detail meskipun dia memiliki akses informasi hingga ring terakhir orang-orang di sekitar Noordin. “Jika diberitahukan secara detail, itu sama saja sebagai penghianat”, kata Chaidar.

Dua hal di atas, bagi saya penting untuk dicermati. Mengapa? Pertama, kehadiran Abu Bakar Baasyir—pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah—ke tempat pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono, secara tidak langsung bisa diasumsikan memberikan dukungan moral kepada pelaku pengeboman, atau bisa juga diartikan memberikan dukungan terhadap aksi yang dilakukannya. Mengingat Abu Bakar Baasyir sendiri adalah dikenal sebagai seorang pejuang dan simbol islamis-radikal yang getol ingin menegakkan syariat islam. Maka, jika pihak pemerintah memberikan stigma teroris bagi Air dan Eko, tidak demikian dengan kelompok Muslim radikal yang menganggapnya sebagai 'jihadis'. Hal inilah yang menurut saya mengapa akar-akar terorisme sulit di basmi di bumi Indonesia yang kita cintai ini.

Ba'asyir mengatakan dirinya tetap mendoakan Air dan Eko mendapat pahala dan ampunan dari Allah SWT. Dan menganggap mereka tetap pejuang Islam, karena memperjuangkan syariat Islam. Doa Baa’syir itu 'sarat makna' simbolis dan ideologis, karena tetap menyebut kedua teroris itu menjalankan perintah agama yakni demi tegaknya syariat islam. Satu statemen yang menurut saya, sulit untuk dinalar.

Kedua, pengakuan Al-Chaidar bahwa dirinya mengetahui persembunyian Noordin M. Top, perlu diklarifikasi oleh pihak kepolisian. Jika memang benar ia mengetahui, maka harus segera melaporkannya, agar polisi cepat bergerak dan menangkap gembong teroris yang paling diburu itu. Jika tidak, tentu Al-Chaidar, bisa dikenai tuduhan menyembunyikan teroris. Sungguh, merupakan hal yang aneh, jika dirinya tidak mau mengungkapkan secara detail persembunyian Noordin, hanya karena dirinya tidak mau dianggap sebagai penghianat. Mana yang lebih penting? Keselamatan warga Negara atau Noordin M. Top?

Dalam wawancara di sebuah TV swasta, Hendropriyono mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa gerakan organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, mestinya menjadi perhatian serius. (inilah.com) Ungkapan Hendropriyono tersebut seharusnya diapresiasi oleh semua pihak, utamanya pihak kepolisian. Namun, kenyataannya, alih-alih mengantisipasi gerakan islam-radikal, simbol-simbol jihad yang dikobarkan oleh para jihadis seperti “Jihad still continu” justru tidak membuat sensitifitas nalar polisi tergerak. Ini sama saja dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk tumbuh menjadi sebuah gerakan dalam bentuknya yang lebih besar.

Karenanya, jika polisi lambat dalam mengantisipasi persoalan terorisme yang merobek-robek sisi kemanusiaan dan martabat bangsa ini, maka tidaklah terlalu mengherankan jika isu seputar terorisme dan radikalisme di tahun-tahun mendatang masih menjadi isu sentral yang menyita perhatian di banyak negara. Radikalisme yang tidak jarang melakukan penghakiman terhadap siapa saja (the other) yang dianggap tidak sejalan dengan kelompoknya adalah fenomena diskursif dan tantangan besar—kalau bukan satu-satunya—di penghujung abad ini. Inilah penemuan terpenting Karen Armstrong dalam buku The Battle for God yang diterjemahkan menjadi ‘Berperang Demi Tuhan’. Tak ada peperangan tanpa menyertakan Tuhan. Dan banyak manusia bertuhan dengan cara berperang.

Agaknya tesis Ahmad Wahib (1981) yang memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran agama Islam dalam suatu program pencapaian menjadi suatu kenyataan. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini, menyebabkan umat Islam selalu mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik. Inilah yang Wahib sebut sebagai ‘sikap berfikir yang salah’ terhadap Islam.

Dalam kata pengantar buku The Essence of Christianity karya Ludwig Feuerbach, tertulis: “Certainly, my work is negative, destructive; but, be it observed, only in relayion to the unhuman, not to the human elements of religion”. Kalimat itu bukan sekadar kritik atau bukan asal kritik. Ungkapan tersebut berusaha meruntuhkan pemaknaan-pemaknaan agama yang tidak manusiawi, pemaknaan agama yang menjadikan sesuatu di luar manusia sebagai tujuan agama.

Tindakan kekerasan oleh kelompok garis keras sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap fenomena globalisasi yang cenderung menyeret nilai-nilai transendensi dalam kehidupan ini semakin meneguhkan eksistensi radikalisme. Setidaknya, hingga saat ini perbincangan tentang radikalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme, terutama di kalangan Barat, yang sewaktu-waktu bisa bertindak mengejutkan.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politis, umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasinya tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri.

Beragama seperti model di atas, adalah beragama tanpa bekal ilmu pengetahuan. Dan itu sangatlah berbahaya. Dikatakan berbahaya, karena akan menjadi ‘benalu’ peradaban. Jika tidak segera diatasi, maka ‘citra’ agama akan semakin kehilangan relevansi maknanya. Saya kira, beragama, tidaklah cukup hanya dengan niat baik. Niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan ‘orang-orang baik’ ini ialah model keberagamaan yang hanya berjamaah saat beribadat, namun dalam kehidupan sosio-historis, mereka adalah pesaing dan musuh.

Model keberagamaan yang hanya mementingkan dimensi ritual-vertikal (sholat, puasa, haji, dan lainnya) tanpa disertai kesadaran historisitasnya, tentu tidak bermakna apa-apa di depan Tuhan. Saya berpendapat bahwa dimensi historisitas jauh lebih penting dari sekadar ritualisme. Agama tidak bisa dipahami dengan pemahaman sesempit itu. Pemahaman seperti itu tentu saja menempatkan agama pada tempat yang rendah dan semakin mengokohkan ego sebagai sentrum tujuan hidup, bukan kebersamaan dan persahabatan. Tuhan disembah sekaligus didesak-desak agar segera memenuhi keinginan-keinginan. Akankah negeri ini membiarkan dirinya dicap sebagai negeri teroris? Wallahu A’lam bi al-Shawab


Jakarta, 14 agustus 2009

Minggu, 09 Agustus 2009

Surat Terbuka Buat Noordin M. Top

Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta


Saudara Noordin M. Top, di mana pun Anda berada, sempatkanlah membaca surat ini...

Sampai hari ini—setidaknya pasca penangkapan teroris di Temanggung beberapa waktu lalu yang diduga itu adalah Anda—saya amat sangat tidak yakin bahwa yang tewas itu adalah Anda. Karena apa? sederhana saja alasan saya: pertama, Anda dikenal sebagai orang yang licin, taktis, tidak mudah menyerah kepada siapapun, apalagi berhadapan dengan aparat kepolisian. Kedua, cara Anda yang sangat khas: membawa rompi disertai bom bunuh diri sebagai antisipasi sewaktu-waktu Anda tertangkap, kerap ditemani oleh ajudan Anda, sehingga hampir pasti ke mana-mana Anda tidak pernah sendirian.

Saya menduga orang yang tewas dalam peristiwa Temanggung, karena berondongan tembakan polisi itu, adalah teman Anda. Pengakuan teman Anda bahwa dirinya adalah Noordin M. Top, menurut saya adalah bagian dari strategi Anda untuk mengelabuhi polisi bahwa di dalam rumah itu memang benar-benar Noordin. Sehingga dengan demikian, harapan Anda bisa aman dari kejaran polisi bisa tercapai, dan karenanya Anda dengan leluasa melakukan sejumlah agenda, merakit bom, mencari sasaran, di mana bom akan diledakkan.

Saya meyakini, Anda di tempat persembunyian yang sempat menyaksikan peristiwa Temanggung itu, tentu saja tersenyum lepas melihat adegan tembak-tembakan yang mirip adegan film itu. Bedanya, kalau film, paling lama durasinya 3 jam (film India), sementara film-film indonesia rata-rata 2 jam. Sementara, di Temanggung, pengepungan membutuhkan waktu 18 jam, waktu yang sangat lama, sekadar untuk melumpuhkan satu orang. 1 versus banyak (200 personel, bisa lebih). Saya berfikir, seandainya di rumah itu adalah Anda sendiri, mungkin dengan bom yang Anda bawa dengan daya ledak tinggi, diperkirakan akan memakan korban, bukan hanya Anda sendiri, tetapi juga dari pihak polisi yang sedang mengintai Anda, atau bisa juga warga sekitar. Dan, sekali lagi, seandainya yang dikepung itu Anda, tentu, sangat mungkin, polisi bisa memakan waktu berhari-hari untuk melumpuhkan seorang Noordin M. Top.

Dari pemberitaan sejumlah media, saya mengetahui bahwa Anda dikenal sebagai seorang retoris yang hebat, persuasif, sekali memberikan taushiyah kader yang direkrut lansung loyal (Jawa Pos, 10/8/09). Andah lihai memilih calon pengantin—istilah di lingkungan jaringan Anda—sehingga mungkin tidak terlalu sulit bagi Anda melebarkan jaringan di sejumlah daerah yang Anda yakini strategis, mulai dari Sumatra, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta.

Sayang, potensi Anda yang luar biasa hebat itu, ditambah lagi dengan sejumlah pengalaman yang Anda miliki, Anda gunakan untuk mengoyak dan mencabik-cabik kemanusiaan. Jika saya dalam tulisan ini menyarankan Anda untuk menyerah, tentu saran saya Anda anggap sebagai saran yang 'ngawur', 'tolol' mungkin juga saran 'gila', karena itu sama saja artinya dengan bunuh diri, mati sia-sia di tangan 'orang-orang kafir' atau polisi-polisi 'kafir'.

Lalu, mengapa saya harus menyarankan Anda untuk menyerah. Sedikitnya ada 4 alasan:

Pertama, ideologi yang tertanam pada diri Anda--saya menyebutnya 'ideologi maut'--adalah ideologi yang sama sekali tidak ada landasan normatifnya, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Saya tidak habis pikir bagaimana Kitab Suci Al-Qur'an—saya menyebutnya Al-Qur’an karena Anda beragama Islam—yang banyak mengajarkan kedamaian, kasih sayang, toleransi, tiba-tiba di tangan Anda menjelma menjadi Kitab Suci yang 'menyeramkan', otoriter, fanatis yang siap menghancurkan siapapun yang Anda anggap berbeda dengan keyakinan Anda. Pemahaman seperti ini tentu saja keliru—untuk tidak mengatakan keblinger.

Kedua, Anda (jelas) menempatkan ‘ideologi Islam’ atau ‘Islam sebagai ideologi’ lebih tinggi di atas segala-galanya, termasuk di sini agama. Ini berbahaya sekali. Mengapa? Anda mungkin tidak sadar bahwa agama (islam) yang membawa kebenaran, ketika sudah masuk dalam wilayah yang menghistoris itu, menjadi sangat multi tafsir. Jelasnya, 'kebenaran' yang Anda yakini benar, belum tentu benar menurut keyakinan kelompok lain. Itu baru pada wilayah agama yang sama. Belum lagi ketika bersinggungan dengan agama-agama yang lain. Keyakinan adalah wilayah privasi, yang tidak perlu dipublikasikan, apalagi untuk memengaruhi orang yang sudah punya keyakinan. Lebih parah, jika sampai berpandangan bahwa mereka yang berada di luar keyakinannya harus dibunuh, dihancurkan, dimusnahkan, dibumihanguskan, dengan alasan yang sangat teologis.

Anda tentu berkeyakinan bahwa, kebenaran bukan milik semua agama, suku dan ras, melainkan dipersepsikan dan dibatasi oleh dan untuk kalangan Anda saja. Akibatnya, Islam Anda persepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam Anda persepsikan sebagai kebenaran tunggal. Sampai di sini, Anda harus menimbang ulang pemikiran Anda.

Ketiga, Anda punya tanggungjawab yang jauh lebih mulia, misalnya mendidik anak-anak dan istri Anda, membesarkannya, menyekolahkannya, peduli terhadap masa depannya. Bukankah yang saya sebut itu juga bagian dari jihad. Ya, jihad, dalam pengertian bersungguh-sungguh, berupaya sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik. Misalnya, menjadi Ayah yang bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, menjadi suami yang baik terhadap istri-istrinya. Saya kira itu jauh lebih penting dari pada Anda menyia-nyiakan waktu Anda untuk suatu hal yang tidak membawa manfaat, bahkan sebaliknya membawa madharat bagi kemaslahatan umat. Anda harus menyadari bahwa apa yang selama ini Anda lakukan bukanlah Jihad di jalan Allah. Tapi sebaliknya, Anda justru berjihad—mungkin istilahnya bukan jihad, lebih pasnya bersekutu—di jalan Syaitan. Karena Syaitan pekerjaanya merusak tatanan, aturan atau norma.

Keempat, Dari ketiga alasan di atas, coba Anda renungkan apa yang selama ini sudah Anda lakukan; mengobarkan jihad dengan jalan kekerasan, membunuh sebanyak-banyak orang yang tidak berdosa, menyebabkan sebanyak-banyak orang mengalami cacat permanen, menghancurkan masa depan mereka… Pernahkah Anda membayangkan bagaimana perasaan Anda, seandainya keluarga Anda berada di suatu tempat di mana di situ bom diledakkan, lalu kemudian keluarga Anda meninggal atau mengalami cacat seumur hidup? Tidakkah Anda marah, bahkan mengutuk pelakunya? atau Anda hanya diam tanpa melakukan perlawanan, meskipun sekadar cacian: terkutuk !!, jahannam !!, kurang ajar !!, jangkrik !!, dst. Seribu persen, hati nurani saya mengatakan: Anda pasti tidak rela bahkan mengutuk, pelaku peledakan bom yang menimpa keluarga Anda.

Berangkat dari sejumlah alasan di atas, saya berharap Anda menyerah.... hukuman yang Anda terima, seberat dan sepedih apapun di dunia ini, masih jauh lebih pedih dibandingkan kelak di akhirat.. Wallahu A'lam bi al-Shawab



Jakarta, 10 Agustus 2009

Menuju Pesta Demokrasi yang Demokratis

Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina

Pemilihan Umum tinggal dalam hitungan jam. Namun hiruk pikuk politik terasa semakin panas, menyusul adanya kekisruhan di DPT. Ada yang mengusulkan pemilu ditunda sampai KPU menyelesaikan daftar nama pemilih ganda atau yang belum terdaftar di TPS. Bahkan, Din Syamsudin, Ketua PP. Muhammadiyah meminta agar permasalahan DPT bisa diselesaikan dengan memperbolehkan warga bisa menyontreng dengan menunjukkan KTP saja. Ada yang bilang permasalahan DPT terlalu mengada-ada dan karenanya tidak harus dibesar-besarkan. Semuanya beragumen sesuai dengan kepentingan politiknya.

Maka, berkenaan dengan hal ini diperlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main dalam musyawarah, yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai hak menyatakan pendapat dengan bebas dan mempunyai kewajiban mendengar pendapat orang lain dengan penuh pengertian dan rasa hormat. Karena itu, dari setiap orang diharapkan adanya kerendahan hati secukupnya untuk dapat melihat dirinya berpeluang salah dan orang lain berkemungkinan benar. Saya kira, suatu masyarakat yang tegas, demokratis diharapkan menyediakan dan menjaga adanya ruang yang lebar untuk menyatakan pendapat dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Ini berarti bahwa seseorang atau suatu kelompok tidak bersikap serba mutlak dalam tuntutan pelaksanaan suatu ide yang mereka anggap baik, melainkan harus belajar untuk menerima pelaksanaan sebagian daripadanya, tanpa perfeksionisme. Suatu ide baik yang tidak sepenuhnya terlaksana tidaklah berarti harus ditinggalkan sama sekali, demikian sebuah dalil dalam prinsip yurisprudensi.

Demokrasi yang sehat tetap mengharuskan penghargaan kepada semua golongan, meskipun minoritas yang “kalah”. Jika tidak, maka terdapat kemungkinan suatu demokrasi menjadi sumber ketidakadilan, yaitu kalau memberi jalan bagi timbulnya “tirani mayoritas” seperti menjadi pengamatan Alexis de Tocqueville tentang demokrasi di Amerika pada abad yang lalu. Karena itu, musyawarah dalam semangat tukar pikiran demi kebaikan bersama, bukan demi sekadar memenangkan suatu kelompok dan mengalahkan kelompok lain atas dasar prasangka, takut, atau semata-mata nafsu untuk unggul belaka merupakan suatu hal yang niscaya. Jika itu bisa dijalankan, maka tertib sosial akan terwujud dan terpelihara. Jika tidak, maka konflik sosial akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap elit penguasa sangat mungkin akan terjadi.

Pemilu yang demokratis memang diharapkan bukan hanya oleh kita, tetapi juga oleh dunia internasional. Terseleng¬garanya Pemilu yang jujur dan adil, pemilu yang benar-benar berlangsung secara demokratis adalah tujuan kita bersama. Dengan Pemilu ini kita memasuki cita-cita menjadi bangsa baru, bangsa yang demokratis dan bermartabat. Banyak negara mengalami proses demokrasi, atau memasuki ambang pelaksanaan demokrasi yang lebih maju dan kompleks. Seperti dikatakan Samuel P. Huntington, “demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi”.

Karena itu, sekalipun tendensi ke arah demokratisasi merupakan sesuatu yang objektif dan alamiah sama sekali tidak berarti bahwa hal itu pasti berlangsung terus secara konsisten menurut garis logikanya sendiri. Tendensi dan proses itu dapat dicegat, ditangguhkan, bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokritik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan. Karena yang esensial adalah proses, maka beberapa ahli, seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis, karena nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik dibanding dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Eichler melihat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus-menerus, secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Maka, dari sudut penglihatan Eichler, negeri kita ini harus dipandang sebagai sebuah negeri demokratis, karena tetap dan terus bergerak menuju kepada keadaan yang lebih baik, dan lebih baik lagi.

Debat calon presiden yang kita saksikan beberapa hari lalu—meskipun ada yang bilang bahwa itu hanya basa basi demokrasi—tetapi saya melihat, sebagai langkah positif bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia sedang dan akan terus berbenah diri menuju kematangan dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Melalui debat seperti ini, publik bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang visi dan misi masing-masing kandidat, sehingga mereka bisa menentukan pilihan secara lebih rasional. Acara seperti ini diharapkan menjadi sarana bagi para calon kepala Negara untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengelola Negara melalui program-programnya. Ajang debat ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dan pendidikan politik yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Terpenting di sini adalah bahwa modal utama untuk mewujud¬kan demokrasi di negeri kita ialah Pancasila. Dasar negara itu melengkapi kita dengan prasyarat asasi untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial-politik yang mem¬bawa pada kebaikan untuk semua.

Merujuk pada Nurcholish Madjid, prasyarat asasi itu ialah: pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilai­nilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama (tidak menyerahkan atau mempertaruhkan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat semata-mata pada kemauan seorang tokoh, betapapun iktikad baiknya, tetapi pada mekanisme pengawasan umum dalam tatanan sosial politik yang partisipatif). Keempat, pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri pribadi. Kelima, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara bangsa.

Akhirnya, pemilihan umum yang diadakan lima tahun sekali ini diharapkan mampu memberi energi baru untuk perbaikan demokrasi. Masyarakat pemilih haruslah diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya. Tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Sebaliknya, tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat dipan¬dang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of conscience, kebebasan nurani.

Seseorang juga disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksaan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu orang yang demikian tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Demokrasi menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Juli 2009

Menakar Peluang Tiga Pasangan

Moh. Shofan

TIGA pasangan bakal bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009. Majunya tiga pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009 itu semakin menambah pilihan publik terhadap alternatif calon pemimpin bangsa. Dengan demikian, publik juga dapat membedakan satu kandidat dengan kandidat lain, baik dari kualitas, kapabilitas, dan integritas pasangan masing-masing.

Ada duet Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Boediono, dan Megawati-Prabowo. Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut sama-sama dari latar belakang nasionalis-sekuler, meski sipil-militer masih berlaku di tiga kandidat.

Boediono, gubernur Bank Indonesia -yang juga dikenal sebagai ahli ekonomi- ternyata lebih menarik perhatian SBY daripada Hatta Rajasa. Tidak dipilihnya Hatta sebagai wakil oleh SBY, selain akan memunculkan friksi di antara peserta koalisi, juga menimbulkan kesan SBY bisa didikte Amien Rais.

Memilih Boediono jelas telah dipertimbangkan secara matang oleh SBY dan Partai Demokrat. Meski, faktanya, jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada Boediono mengagetkan banyak pihak, terutama pihak yang terlibat dalam koalisi mendukung SBY.

Boediono yang pernah menjabat menteri keuangan di era Megawati itu dikenal sebagai motor privatisasi perusahaan nasional. Bahkan, Boediono dinilai sebagai simbol neoliberalisme yang membawa keterpurukan ekonomi bangsa. Banyak pengamat mengatakan, pilihan SBY kepada Boediono lebih karena "selera internasional''.

Namun, benar atau tidaknya, yang jelas bahwa isyarat awal ketidaknyamanan tersebut terbukti dengan protesnya partai peserta koalisi, seperti PKS, PAN, dan PPP. Proses jatuhnya pilihan SBY kepada Boediono dinilai tanpa komunikasi sama sekali dengan parta-partai yang berada dalam koalisi.

Belum lagi jika dikaitkan mitos Jawa-luar Jawa, pasangan SBY-Boediono tidak terlalu diminati karena sama-sama dari Jawa. Untuk masalah yang satu ini, SBY tidak sejeli Jusuf Kalla (JK). JK memikirkan mitos yang diyakini orang Jawa sudah mendarah daging ini. Karena itu, JK memilih Wiranto, yang notabene orang Jawa, sebagai cawapres pendampingnya.

Memang dari segi elektabilitas, SBY lebih baik daripada JK dilihat dari popularitas selama menjabat presiden. Namun, peluang JK-Win tidak tertutup sama sekali, sekalipun yang dihadapi adalah capres incumbent. Di sini usaha keras adalah kuncinya.

Lalu bagaimana pasangan Megawati-Prabowo? Saya kira, ini pilihan politik yang cukup mengejutkan. Prabowo yang semula bersikukuh ingin menjadi capres Partai Gerindra dan berharap diusung partai koalisi, justru menurunkan tawaran politiknya dengan hanya menjadi cawapres Megawati. Mungkin, bagi Prabowo ini pilihan sulit, sekaligus pilihan yang memungkinkan, dengan harapan 2014 bisa melambungkan citra politiknya untuk mencalonkan diri sebagai capres.

Munculnya Prabowo sebagai pendatang baru dalam kontestasi Pemilu 2009, membuat banyak kejutan. Melalui Partai Gerindra, kendaraan politiknya dalam pemilu legislatif berhasil memperoleh suara 5,36 persen suara, menggeser partai-partai lama, semisal PBR atau PBB. Bahkan, Gerindra masuk dalam urutan sepuluh besar. Demikian juga dalam survei beberapa lembaga, Prabowo mengalami kenaikan popularitas dan elektabilitas yang signifikan.

Bahkan, menurut hasil survei Prof Dr Iberamsjah, direktur operasional Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, tingkat elektabilitas SBY bulan ini 31 persen, menurun dari periode sebelumnya yang mencapai 51 persen. Sementara elektabilitas Prabowo menanjak mencapai 23,95 persen dan Megawati masih stagnan pada 15,8 persen. Lalu JK mencapai 13,85 persen dan Wiranto 8,1 persen.

Namun, popularitas Prabowo bisa saja menurun drastis, mengingat perannya yang hanya sebagai cawapres Megawati, yang notabene tokoh lama. Megawati bukanlah tipe orator yang mampu memengaruhi psikologi massa, terlebih program-program politiknya tidak berdampak pada masyarakat bawah. Bisa diduga pasangan Megawati-Prabowo sulit mendongkrak suara pemilih. Tetapi, ibarat bola yang menggelinding tak tentu arah, peta perpolitikan kita saat ini bagaikan bola liar. Politik bisa merajut ketidakmungkinan menjadi mungkin. Saya kira di sini semuanya sangat bergantung pada manuver Megawati-Prabowo sendiri.

Namun, karakteristik basis massa Megawati-Prabowo masih lebih baik dibanding JK-Win. Megawati memiliki basis pendukung yang loyal. Sedangakn karakter basis massa belum terlihat pada JK-Win. Tanpa karakter massa yang kuat, ada problem JK-Win dalam mengelola massa pada saat pemilih presiden nanti. Sebab, yang dihadapi adalah pasangan kuat seperti SBY dan Megawati.

Jika Megawati-Prabowo pandai memainkan isu politik dan meyakinkan masyarakat pemilih, tidak mustahil keduanya lebih unggul daripada JK-Win. Dengan demikian, peluang Mega-Prabowo maju ke putaran kedua akan lebih besar dibanding pasangan JK-Win. Dengan demikian, pertemuan SBY-Boediono dengan Mega-Prabowo di putaran kedua menjadi sangat mungkin.

Memang, tidaklah bisa dimungkiri bahwa masyarakat pemilih di Indonesia masih sangat bergantung pada figur (baca: performance) calon presiden. Kebijakan adalah urutan selanjutnya. Meski begitu, bukan berarti pengalaman Indonesia yang sudah berganti presiden beberapa kali, dengan berbagai pola kebijakan yang menyertainya, masyarakat tidak menilainya sama sekali.

Program pemerintahan incumbent tentang BLT dan penurunan harga BBM, misalnya, dinilai masyarakat sangat menguntungkan. Bahasa masyarakat jauh lebih tajam daripada bahasa politik. Karena itu, jika pasangan capres-cawapres tidak jeli mengamati ini, sangat mungkin SBY-Boediono masih mengungguli lawan-lawannya. Bahkan, kemungkinan mereka menang dalam sekali putaran sangat besar.

Pada akhirnya, siapakah di antara ketiga pasangan capres-cawapres yang akan menjadi "jawara"? Kita lihat saja. (*)

Jawa Pos, Selasa, 19 Mei 2009

Menunggu Kearifan Politik Megawati

Menunggu Kearifan Politik Megawati

Moh. Shofan


Beberapa waktu lalu, saya bersama Andrinof A. Chaniago –Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Cyrus Surveyor Group dari Universitas Indonesia– diminta menjadi pembicara dalam diskusi Menguji Kenegarawanan Megawati: Prospek Prabowo-Rizal Ramli versus SBY di RM Ayam Goreng Suharti, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, saya mengatakan bahwa PDIP harus melakukan kompromi politik bersama parpol lain mencapai kesepakatan politik.

Salah satu komprominya adalah mencalonkan pasangan capres yang bisa diterima di lingkaran partai tersebut. Mengingat, seperti dikatakan Andrinof Chaniago, Indonesia saat ini sedang paceklik calon pemimpin nasional. Seperti diketahui, pasca hasil pemilihan umum legislatif, menunjukkan anjloknya suara sejumlah partai politik. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat menginginkan perubahan dan berharap munculnya pemimpin atau tokoh baru. Kerinduan masyarakat terhadap sosok baru itu haruslah berpotensi besar dapat menandingi SBY dalam pemilihan presiden mendatang.

Akibat tidak adanya parpol yang menang mutlak dalam pemilu legislatif, maka pilihannya adalah dengan melakukan koalisi antar partai. Koalisi dibutuhkan bukan sekadar untuk mencapai persyaratan suara dalam proses pemilu presiden, tetapi sasaran terpenting dari koalisi seharusnya berorientasi pada kepentingan bangsa yaitu meningkatkan perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Kalau bangsa ini mau serius, seharusnya pemilu 2009 tidak berhenti pada sekadar ritual sirkulasi elite dan power sharing kekuasaan, tetapi lebih dari itu dapat memberi pesan penting bahwa demokrasi bekerja untuk perbaikan kesejahteraan bangsa. Demikian pula dalam koalisi, yang harus dibangun adalah untuk melahirkan pemimpin baru yang bisa mengonsolidasikan demokrasi dan kemajuan bangsa.

Koalisi merupakan praktek politik yang umum berlaku di negara demokrasi. Maka yang terpenting disini adalah komitmen dan kriteria koalisi untuk membangun pemerintahan yang efektif menjadi sebuah keharusan untuk melawan kecenderungan pragmatisme politik. Karenanya koalisi yang dibangun PDIP, Gerindra dan sejumlah partai lain, hanya akan efektif jika semua pihak bersedia menurunkan ambisi masing-masing untuk tidak lagi ngotot mengajukan jago sendiri.

Koalisi yang tidak total dan cenderung setengah hati mengandung resiko yang amat besar. Meski SBY memiliki modal awal berupa tingginya tingkat popularitas, tetapi, peluang bagi lawan-lawan politik untuk mengalahkannya masih sangat terbuka lebar, jika lawan politik SBY dalam pilpres mendatang mampu melahirkan tokoh baru.


Prabowo-Rizal Ramli, Pilihan Paling Memungkinkan
Untuk mencari tokoh baru, maka pilihan realistis bagi Megawati adalah memberikan kesempatan kepada generasi baru untuk maju sebagai capres dari partainya. Mengenai figur yang bisa menggantikan Megawati, saya kira, sosok Prabowo Subianto-Rizal Ramli, adalah pasangan yang tepat untuk menandingi popularitas SBY. Diusungnya pasangan Prabowo-Rizal, selain mencerminkan perubahan, pasangan tersebut merupakan duet ideal yang saling melengkapi.

Prabowo, punya latar belakang militer sehingga bisa berpikir strategis dan cepat. Sementara Rizal, seorang intelektual yang punya gagasan besar untuk memajukan bangsa. Kedua tokoh itu mengusung ideologi ekonomi kerakyatan untuk menghadapi neoliberalisme yang diusung pemerintahan SBY-JK. Prabowo-Rizal juga menawarkan perubahan dan jalan baru dalam paradigma pembangunan. Dalam konteks ini Prabowo mewakili Gerindra, dan Rizal mewakili PDIP. Untuk mengikat Rizal, maka harus ada kontrak politik yang mengikat dengan PDIP. Dengan demikian, keberadaannya di dalam duet itu mewakili PDIP.

Namun, jika PDIP tetap bersikukuh mengusung Megawati sebagai capres, maka akan kesulitan menghadapi SBY. Dan itu sama artinya PDIP mempersiapkan kegagalan yang ketiga kalinya sampai pemilu dan Pilpres 2014. Maka, alangkah bijaknya jika Megawati memposisikan diri menjadi seorang Negarawan ataupun king maker, karena sulit baginya untuk menjadi the real king. Toh, menjadi seorang king maker atau Negarawan lebih terhormat dibandingkan menjadi Capres.

Menjadi Negarawan akan dengan sendirinya menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan emosional di atas rata-rata. Sebagaimana dikatakan Filosof Aristoteles, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.

Sejarah akan mencatat dengan tinta emas, jikalau Megawati tidak lagi maju sebagai capres PDIP dan menyerahkannya kepada tokoh yang lebih muda. Tindakan seperti itu, akan menjadikan Megawati layak disebut sebagai “Ibu Bangsa”. Kita menunggu kearifan politik Megawati. Dan, masa depan PDIP ada di tangan kearifan Megawati.


Surabaya Post, Mei 2009