Wajah Pluralisme di Indonesia
Oleh Mohamad Asrori Mulky
Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.
Judul : Menegakan Pluralisme
Penulis : Mohamad Shofan
Penerbit : LSAF dan Ar-Ruzz Media
Cetakan : I, Desember 2008
Tebal : 484 Halaman
Dalam sejarah agama-agama, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir keagamaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Ironisnya, pertikaian yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam, khusunya, dan agama-agama lainya, pada umumnya, tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik.
Fenomena tersebut pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya, menurut Adonis (Ali Ahmad Said), sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia selalu menjegal segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.
Hingga saat ini, antara ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) selalu berebut peran dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Di Indonesia, dalam bidang politik misalnya, terdapat kelompok yang menginginkan terbentuknya negara berdasarkan demokrasi. Namun pada sisi lain, ada kelomok yang menginginkan terbentuknya sebuah negara Islam, yang berlandaskan pada syariat Islam atau khlafah.
Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) oleh Adonis sesungguhnya ia ingin memetakan watak nalar masyarakat Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan. Parahnya lagi tak jarang menimbulkan perang dan bentrok fisik lainya.
Melalui pemetaan nalar ke dalam nalar inklusif dan ekslusif di atas, dapat kita katakan, kasus pemecatan yang menimpa Moh. Shofan, Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik—sebagaimana diuangkapkan dalam buku “Menegakan Pluralisme” ini—pada awal Februari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media cetak, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan ke dalam nalar ekslusif atau nalar inklusif.
Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan ini merupakan refleksi atas kondisi umat Islam yang tidak mengekpresikan nilai-nilai pluralitas, inklusivitas, dan demokrasi. Dan Shofan dalam buku ini berusaha melawannya. Untuk mewujudkan perlawanannya itu, tak segan-segan Shofan mengkritik Muhamadiyah yang dalam prakteknya lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif.
Shofan sangat menyayangkan sikap yang dilakukan Muhammadiyah. Sebagai Ormas keagamaan yang mendapat perhatian besar dari beragam kalangan, sangat tidak bijak Muhammadiyah mengklaim Shofan karena tulisannya itu dengan sesat hingga berujung pada pemecatan dirinya. Hal ini tentunya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.
Seharusnya, dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi sampai melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis. Karena itu, kehadiran buku ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan pelajaran bagi ormas kegamaan lainya untuk bersikap arif, bijak, dan demokratis dalam menyikapi segala persoalan. Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan bertentangan dengan nalar inklusif dan merusak demokrasi yang sedang kita bangun.
Dimuat di Koran Jakarta, Jum'at 13 Februari 2009
Jumat, 06 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar