Kamis, 19 Maret 2009

Demokrasi dan Keindonesiaan Refleksi Buat Partai-partai

Moh. Shofan


Beberapa hari yang lalu, saya berbincang dengan Prof. Dr. Donald K. Emmerson – pengajar di Stanford University, Amerika – di ruang perpustakaan milik Fadli Zon(wakil ketua umum Gerindra) di Jakarta Pusat. Dalam pertemuan itu, Emmerson, mengatakan bahwa demokrasi tidak bisa betul-betul dilaksanakan tanpa ada keberpihakan kepada masyarakat yang lemah. Ia melihat kebanyakan partai-partai politik berkiblat ke Jakarta, Surabaya atau Medan, tetapi kurang peka terhadap masalah-masalah kecil yang menyangkut masyarakat bawah. Di Muangthai, misalnya, Mantan Perdana Menteri, Thaksin Shinawatra sangat populer di kalangan petani. Ia mendapat dukungan yang sangat besar dari masyarakat petani untuk melanjutkan program-program populisnya. Begitu juga Amerika Serikat bisa bertahan dari ancaman disintegrasi bukan karena faktor agama atau yang lainnya. Tetapi demokrasi yang jadi perekatnya. Nah, apakah sesungguhnya yang kira-kira bisa menjadi akar perekat Indonesia zaman ini, Pancasila, demokrasi atau nusantara?

Jika kita amati ke belakang, sesungguhnya konsep kenegaraan Indonesia dan budaya keindonesiaan itu sendiri dibuat berdasarkan semangat budaya pola pesisir yang lebih demokratis, dengan alasan kecenderungan kemanusiaan universal (global) dewasa ini, melalui apa yang disebut budaya modern, mengarah kepada nilai-nilai yang lebih egaliter, kosmopolit, terbuka, dan demokratis. Itulah sebabnya demokrasi memerlukan adanya ideologi terbuka. Seorang cendekiawan A.S. Jeane Kirkpatrick, mengatakan, “Pemilihan demokrasi bukan sekadar lam-bang...tetapi pemilihan yang kompetitif, berkala, inklusif, dan definitif, di mana para pengambil keputusan utama dalam pemerintah¬an dipilih oleh warga negara yang menikmati kebebasan luas untuk mengkritik pemerintah, menerbitkan kritik mereka dan menawarkan alternatif.” Ini, menegaskan bahwa demokrasi selalu bersifat dinamis.

Bila suatu masyarakat berhenti berproses menuju kepada yang lebih baik, maka masyarakat itu tidak lagi demokratis! Demokrasi yang dirumuskan “sekali untuk selamanya” bukanlah demokrasi, melainkan sebuah kediktatoran. Demokrasi memerlukan ideologi terbuka, yaitu ideologi yang membuka lebar pintu bagi adanya perubahan dan perkembangan, melalui eksperimentasi bersama. Karena itu faktor eksperimentasi, dengan coba dan salah, trial and error adalah bagian integral dari gagasan demokrasi. Suatu sistem disebut demokratis jika ia membuka kemungkinan eksperimentasi terus-menerus, dalam format dinamika pengawasan dan pengimbangan (check and balance) oleh masyarakat itu sendiri.

Mengapa pengawasan, karena, sebagai ideologi terbuka, demokrasi adalah sistem yang terbuka untuk semua pemeran serta (partisipan), dan tidak dibenarkan untuk diserahkan kepada keinginan pribadi. Dan mengapa pengimbangan, karena sistem masyarakat dapat dikatakan sebagai demokratis hanya jika terbuka kesempatan bagi setiap kelompok dalam masyarakat untuk berpartisipasi, apa pun dan bagaimanapun caranya, dan tidak boleh dibiarkan adanya unsur sebagian mendominasi keseluruhan.

Tidak Berhadapan
Berpijak dari pikiran tersebut, maka, meskipun, Indonesia adalah sebuah negeri Muslim, dan bangsa Indonesia adalah bangsa Muslim, namun, keislaman bangsa Indonesia tidaklah harus diperhadapkan dengan ide bahwa negara kita berdasarkan Pancasila. Sebab Pancasila adalah sebuah ideologi bersama (common platform), yang dari sudut penglihatan kaum Muslim Indonesia merupakan prinsip-prinsip yang menjadi titik pertemuan dan persamaan antara warga negara Muslim Indonesia dengan warga negara non-Muslim untuk mendukung Republik Indonesia. Mekanisme inilah yang membuat demokrasi di Amerika, misalnya, tidak sepenuhnya merupakan “tirani mayoritas”. Demokrasi itu mayoritas yang dibuktikan melalui Pemilu. Karenanya, umat Islam tidak bisa apriori dengan alasan mayoritas, sehingga mereka harus berkuasa. Di Itali juga ada Kristen Demokrat, tapi tidak ada cara berpikir orang Kristen harus berkuasa secara apriori. Mayoritas-minoritas politik harus ditentukan melalui Pemilu. Karena itu salah satu hikmah Pemilu ialah membuktikan klaim-klaim. Setiap pengekangan kebebasan dan pencekalan atau pelarangan berbicara dan mengemukakan pikiran adalah pelanggaran yang amat prinsipil terhadap tuntutan falsafah kenegaraan kita. Maka prinsip “partial functioning of ideals” harus benar-benar dimengerti, dihayati dan dipegang teguh.

Oleh karena itu tidak adanya civility (keadaban) akan menimbulkan sikap ragu tentang prospek jangka pendek demokrasi dalam suatu negara. Maka, di sini peningkatan civil society akan menjadi bermakna lebih daripada sekadar menciptakan dasar-dasar demokrasi. Ia sendiri menjadi milieu bagi kehidupan sosial yang sehat. Semua itu menuntut Negara untuk mampu menangani civil society sebegitu rupa sehingga tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Sebaliknya, kalangan civil society harus senantiasa menyadari bahwa demokrasi masyarakat tidak dapat dibina melalui kekuasaan negara. Civil society adalah bagian organik demokrasi, dan ia menurut definisinya sendiri adalah lawan rezim-rezim absolutis. Karenanya, kita juga perlu pada ruang bagi adanya ikatan antara negara dan civil society baik yang sejalan maupun yang bersimpangan jalan. Kita berharap agar civil society menjadi rumah untuk proses demokrasi itu.

Akhirnya, demokrasi dipilih dengan harapan bahwa perbaikan dapat dilakukan terus-menerus. Sekali lagi, suatu negara dapat disebut demokratis jika padanya terdapat proses-proses perkembangan menuju ke arah keadaan yang lebih baik dalam melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan asa¬si dan dalam memberi hak kepada masyarakat, baik individu maupun sosial. Kita berharap pesta demokrasi yang akan berlangsung ke depan menjadi kunci kematangan budaya politik demokrasi. Pemilu yang masih jauh dari substansi demokrasi harus disadari sebagai proses pendewasaan demokrasi. Kian matang demokrasi kita, kian beradab dan bermutu pemilu yang kita selenggarakan. Semoga pelaksanaan pemilu di tahun 2009 mendatang berjalan sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila, yakni dapat menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Wallahu A’lam bi al-Shawab


dimuat di Jawa Pos/Indo Pos, 18 Maret 2009

Jumat, 06 Maret 2009

Wajah Pluralisme di Indonesia

Wajah Pluralisme di Indonesia
Oleh Mohamad Asrori Mulky

Analis Religious Freedom Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta.


Judul : Menegakan Pluralisme

Penulis : Mohamad Shofan

Penerbit : LSAF dan Ar-Ruzz Media

Cetakan : I, Desember 2008

Tebal : 484 Halaman


Dalam sejarah agama-agama, baik Yahudi, Kristen, dan juga Islam, pertentangan dan pertikaian di seputar tafsir keagamaan menjadi hal yang lumrah terjadi. Ironisnya, pertikaian yang terjadi antara dua belah pihak ini dalam catatan sejarah pemikiran Islam, khusunya, dan agama-agama lainya, pada umumnya, tidak selalu bersifat dialektis dan akomodatif, tapi lebih mengarah pada sikap kontradiktif dan monolitik.

Fenomena tersebut pada akhirnya sering melahirkan represi, kekerasan dan tragedi yang berdarah-darah, yang karenanya, menurut Adonis (Ali Ahmad Said), sisi ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) lebih mendominasi sisi ‘perubahan’ (al-mutahawwil) dan dia selalu menjegal segala upaya yang dilakukan oleh kecenderungan gerakan kreatif dan dinamis.

Hingga saat ini, antara ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) selalu berebut peran dalam segala lini kehidupan, baik dalam bidang teologi, politik, budaya, hukum, bahkan bahasa dan sastra. Di Indonesia, dalam bidang politik misalnya, terdapat kelompok yang menginginkan terbentuknya negara berdasarkan demokrasi. Namun pada sisi lain, ada kelomok yang menginginkan terbentuknya sebuah negara Islam, yang berlandaskan pada syariat Islam atau khlafah.

Penggunaan istilah ‘kemapanan’ (ats-tsâbit) dan ‘perubahan’ (al-mutahawwil) oleh Adonis sesungguhnya ia ingin memetakan watak nalar masyarakat Islam ke dalam dua kategori, ‘nalar ekslusif’ dan ‘nalar inklusif’. Di mana satu sama lain saling berseberangan, memperlebar jarak, dan selalu membuat jurang pemisah yang begitu terjal hingga sulit untuk dijembatani dan didamaikan. Parahnya lagi tak jarang menimbulkan perang dan bentrok fisik lainya.

Melalui pemetaan nalar ke dalam nalar inklusif dan ekslusif di atas, dapat kita katakan, kasus pemecatan yang menimpa Moh. Shofan, Dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik—sebagaimana diuangkapkan dalam buku “Menegakan Pluralisme” ini—pada awal Februari 2007 lalu, terkait dengan salah satu tulisanya “Natal dan Pluralisme Agama” yang diterbitkan di media cetak, lebih mengarah pada pertarungan otoritas nalar, yang bisa saja diekspresikan ke dalam nalar ekslusif atau nalar inklusif.

Buku yang ditulis oleh Moh. Shofan ini merupakan refleksi atas kondisi umat Islam yang tidak mengekpresikan nilai-nilai pluralitas, inklusivitas, dan demokrasi. Dan Shofan dalam buku ini berusaha melawannya. Untuk mewujudkan perlawanannya itu, tak segan-segan Shofan mengkritik Muhamadiyah yang dalam prakteknya lebih merepresentasikan dirinya sebagai organisasi yang mengedepankan nalar ekslusif, ketimbang organisasi yang bernalar inklusif, dinamis, dan progresif.

Shofan sangat menyayangkan sikap yang dilakukan Muhammadiyah. Sebagai Ormas keagamaan yang mendapat perhatian besar dari beragam kalangan, sangat tidak bijak Muhammadiyah mengklaim Shofan karena tulisannya itu dengan sesat hingga berujung pada pemecatan dirinya. Hal ini tentunya, tidak saja telah memasung kreativitas seseorang untuk berpikir dan berpendapat, tapi juga telah melupakan peranya sendiri sebagai sebuah kelompok pembaharu yang mengidealkan nilai-nilai progresivitas dan modernitas. Padahal sejak semula, KH. Ahmad Dahlan, tokoh dan pendiri Muhammadiyah ini selalu mencita-citakan nilai-nilai tersebut. Namun hingga kini, dan dalam faktanya nilai-nilai itu terpasung dan bahkan terancam punah oleh para penerusnya yang lebih berpikiran ekslusif dan dogmatis.

Seharusnya, dalam lingkup akademik, sejatinya pluralitas dan keragaman itu harus senantiasa didukung dan diapresisasi, bukan dicerca dan dicibir begitu saja. Apalagi sampai melakukan tuduhan-tuduhan yang tidak mencerminkan sikap akademis. Karena itu, kehadiran buku ini layak diapresiasi dan dapat dijadikan pelajaran bagi ormas kegamaan lainya untuk bersikap arif, bijak, dan demokratis dalam menyikapi segala persoalan. Jangan sampai keputusan yang dikeluarkan bertentangan dengan nalar inklusif dan merusak demokrasi yang sedang kita bangun.


Dimuat di Koran Jakarta, Jum'at 13 Februari 2009