Senin, 09 Januari 2012

Agama dalam Bingkai Liberalisme dan Sekularisme

Moh. Shofan


Hormati hak asasi manusia
Karena itu fitrah manusia
Kita semua bebas memilih
Jalan hidup yang disukai
Tuhan pun tidak memaksakan
Apa yang hambanya lakukan

Terapkan demokrasi Pancasila
Sebagai landasan Negara kita
Janganlah suka memperkosa
Kebebasan warga Negara
Karena itu bertentangan dengan perikemanusiaan
(Lagu “Hak Asasi” karya Rhoma Irama)


Lagu Rhoma yang saya kutip di atas, seringkali mengingatkan saya akan makna kebebasan. Pada masanya, lagu ini sebenarnya dimaksudkan Rhoma untuk menyindir Golkar, yang saat itu banyak mengintimidasi orang. Rhoma melalui lagu-lagunya yang sarat dengan kritik sosial sempat diinterogasi pihak militer di era Orde Baru, dan dicekal tampil di TVRI selama 11 tahun lamanya. Dalam ajaran Islam, kebebasan mendapat tempat yang tinggi dan terhormat. Kebebasan yang diajarkan Islam adalah kebebasan yang bertanggungjawab. Tanpa adanya sikap tanggungjawab tatanan masyarakat liberal tak akan pernah terwujud. Dalam liberalisme, penegakan hukum adalah sesuatu yang fundamental. Negara didirikan untuk melindungi hak-hak asasi itu.

Tahun 2011 merupakan tahun suram terkait dengan sejumlah kasus pelanggaran kebebasan beragama. Dalam penelusuran The Wahid Institute (TWI), ditemukan telah terjadi peningkatan pelanggaran dalam kehidupan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2011 dibandingkan dengan tahun 2010 lalu. Jika tahun sebelumnya hanya 64 kasus maka jumlah ini meningkat menjadi 92 kasus. Dari 92 kasus pelanggaran itu, selama 2011, Jemaat Ahmadiyah adalah korban terbanyak dengan 46 kasus. Ironisnya di penghujung tahun 2011, kita dikejutkan dengan peristiwa serupa (pelanggaran kebebasan beragama), yakni pembakaran pesantren milik warga Syiah di Dusun Nangkernang, Desa Karang Gayam, Kecamatan Omben, Kabupaten Sampang, Jawa Timur, pada Kamis 29 Desember 2011—persisnya tiga hari jelang tahun baru 2012.

Sejumlah kasus-kasus tersebut telah menunjukkan kepada kita betapa pemerintah seolah-olah kehilangan tajinya dalam mempertahankan ke-Bhineka-an, dengan melakukan pembiaran terhadap “preman-preman” berjubah agama yang seringkali mengganggu keharmonisan dan kerukunan beragama. Pemerintah yang seharusnya berani menindak tegas pelaku kekerasan, justru malah diancam balik akan menggulingkan pemerintahan jika berani membubarkannya. Sungguh ironis !. Aturan kebebasan atau hak-hak sipil dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga Negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin, hanyalah sekedar aturan. Pertanyaannya: Bagaimana negara bisa disebut demokratis, kalau aturan itu tidak ditegakkan dan justru dilanggarnya sendiri?

Kebebasan sipil bisa dijadikan parameter penting untuk mengukur apakah suatu negara itu demokratis atau tidak. Demokrasi sendiri memerlukan liberalisme dalam pengertian hak-hak sipil. Kalau hak-hak itu tidak ada, tidak ada demokrasi. Robert Dahl, mengingatkan bahwa kebebasan politik secara substansial dihargai lebih baik dalam sistem demokrasi ketimbang non-demokrasi. Demokrasi memberi kesempatan bagi warga negara untuk berekspresi apapun sampai kemudian terbukti bahwa ekspresinya melanggar kebebasan berekspresi orang lain. Itulah alasannya kenapa kemudian dibuat aturan-aturan hukum.

Dan kebebasan, memerlukan peranan negara juga. Kalau kebebasan tidak diimbangi dengan kekuasaan negara, ia menjadi anarki. Munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama adalah contoh konkrit tindakan anarki. Di Negara sekuler, seperti Inggris, misalnya, berbicara mengenai ateisme bukanlah hal yang tabu. Belum lama ini, bahkan ada kampanye mengenai ateisme. Kalangan ateis memasang iklan ateisme di bus yang berbunyi “Mungkin Tuhan tidak pernah ada. Karena itu jangan cemas lagi dan nikmatilah hidup”. Sebuah iklan yang tidak lazim tersebut tentu saja mengundang berbagai respon dari masyarakat Inggris. Iklan yang menggugah keyakinan ini, seperti dilansir New York Times, adalah sebagai koreksi bagi iklan-iklan yang bernada religius. Iklan tersebut mendapat tanggapan positif dari Gereja Methodist Inggris agar masyarakat membicarakan Tuhan. Bahkan, Ratu Elizabeth II, justru memberikan dukungannya. Sebagai pemimpin Negara sekular, dia mengatakan bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama sama bagusnya di Inggris.

Kebebasan tidak sama dengan anarkhi. Kebebasan berkeyakinan melekat pada eksistensi manusia dan karena itu manusia bertanggung jawab atas pilihannya, kebebasan itu adalah anugerah Tuhan yang membuat manusia berbeda dengan makhluk lainnya dan hanya manusia yang diberi kebebasan untuk memilih kepercayaan, keyakinan dan agama bagi dirinya. Kekhawatiran Khaled Abou el-Fadl, bahwa ketika sebuah kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan, maka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang bersifat otoriter, sangat patut kita renungkan. Di sinilah, pentingnya liberalisme sebagai sebuah strategi untuk menghadapi absolutisme dan totalitarianisme agama.

Liberalisme menginginkan kebebasan yang sebenarnya, maka cara satu-satunya adalah dengan membiarkan orang lain untuk memiliki kebebasan yang sama. Dengan demikian, ruang publik menjadi milik semua orang, tidak diklaim oleh sebuah agama atau sistem nilai tertentu. Demokrasi adalah cara bagaimana kita mengelola konflik yang terjadi dalam masyarakat yang majemuk. Jadi prinsip besarnya adalah—meminjam istilah Ihsan Ali-Fauzi—bahwa agama jangan diistimewakan hanya karena dia agama, tetapi juga jangan segera dicurigai dengan alasan yang sama, yakni karena dia agama.
Oleh karena itu, perilaku tidak adil dan diskriminatif yang dilakukan oleh Negara terhadap kelompok agama tertentu merupakan pelanggaran hak asasi manusia, baik yang bersifat vertikal yang dilakukan pemerintah terhadap warga negara atau secara horizontal antara warga negara itu sendiri. Lontaran Abdullahi Ahmad An-Naim bahwa hukum sekular sebagai keniscayaan masyarakat Islam membangunkan kita sebagai muslim. Keniscayaan masyarakat Islam hidup dibawah negara berstatuskan sekular-liberal sebagaimana kata An-Naiem bukanlah fenomena baru.

Dalam rentang sejarah Islam: dari periode Islam-awal masa Nabi Muhammad, masa keempat Khalifah Rashidin, Masa dinasti Umayyah, Masa dinasti Abbasiyyah sampai masa dinasti Utsmaniyah dipenghujung abad ke-20 semuanya mengacu pada tatanan sekular. Sebuah sistem pemerintahan lahir dari usaha negosiasi, bagaimana seharusnya sistem pemerintahan dibentuk, sama-sekali jauh dari intervensi agama Islam (Islamic Law). Sekularisme dipandang sebagai sikap spirit dalam pergulatan meraih kebenaran. Hukum sekular mampu mensinergikan antara agama dan negara sebagai cita-cita bersama.

Sekularisasi adalah ketegangan yang terus-menerus untuk terlibat di dalam dunia realitas dan yang membantu kita menyebarluaskan apa yang kita yakini sebagai benar di ranah sosial. Dengan demikian problem sekularisasi menjadi terbuka bagi semua orang. Sekularisasi bagi seorang muslim merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran Islam yang turun ke bumi untuk kesejahteraan umat manusia sendiri.

Tidak ada komentar: