Minggu, 26 April 2009

Demokrasi Sebuah Perjalanan Panjang

Judul : Demokrasi dan Kekecewaan
Penulis : Goenawan Mohamad, dkk.
Penyunting : Ihsan Ali-Fauzi & Samsu Rizal Panggabean
Penerbit : Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD), Yayasan Paramadina
Tahun : Mei 2009
Tebal : xvi + 100 halaman
Peresensi : Moh. Shofan


Dalam prakteknya, demokrasi lebih sering berhenti dalam ‘pelembagaan formal’ dan belum hadir dalam realitas nyata. Dengan kata lain demokrasi hanya tumbuh dan berkembang dalam tataran ideal (das sollen) belum mewujud dalam tataran realitas. Melihat betapa korupnya para anggota DPR, tak jelasnya lagi alasan hidup partai-partai, kecuali untuk mendapatkan kursi, membuat Goenawan Mohamad (GM) sempat berpikir bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya. Pernyataan Albert Camus, yang amat terkenal, “All that was is no more, all that will be is not yet, and all that is is not sufficient”, kiranya sangat relevan untuk menggambarkan kondisi bangsa saat ini.

Memang, demokrasi bukanlah ideal terbaik untuk mengatur negara, tetapi di antara banyak sistem yang ada, demokrasi adalah yang paling mungkin untuk menjamin kesetaraan hak dan kebebasan warga Negara. Hanya pada demokrasilah dimungkinkan terjadinya koreksi politik secara sistematik. Dalam buku ini (Demokrasi dan Kekecewaan), GM dalam tulisannya berjudul “Demokrasi dan Disilusi”, yang kemudian ditanggapi oleh para koleganya, –R. William Liddle, Rocky Gerung, Rizal Panggabean, Dodi Ambardi, Robertus Robet, dan Ihsan Ali-Fauzi –, masih menaruh harapan pada demokrasi. Ia mengatakan bahwa satu-satunya jalan yang masih terbuka adalah selalu dengan setia mengembalikan politik sebagai perjuangan (la politique). Sebab yang menggerakkan adalah mereka yang bukan apa-apa, yang tak punya hakikat dan asal usul untuk menang. Jalan yang akan ditempuh pun memerlukan keluwesan untuk memilih metode, baik melalui perundang-undangan atau justru melawan perundang-undangan, baik melalui partai ataupun melawan partai.

Tentu saja kekurangan dan kelemahan yang timbul dalam demokrasi, sejatinya dilakukan dengan antusias dan lapang dada, karena bangsa kita masih dalam tahap belajar dalam demokrasi, seperti dikatakan Samsu Rizal Panggabean (h. 29) Masyarakat demokrasi, dalam dirinya menyimpan kemungkinan totalitarianisme di dalam struktur politiknya. Karena dalam demokrasi segalanya dipercakapkan di ruang publik. Demokrasi sebagai sikap hidup yang menghendaki adanya kemungkinan alternatif pilihan-pilihan yang cukup banyak menuntut suasana yang memung¬kinkan orang untuk tidak melihat sesuatu sebagai serba sempurna. Karenanya, perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak pernah bertemu. Sebab perfeksionisme mengimplikasikan pandangan yang serba mutlak, dan demokrasi menuntut adanya pandangan kenisbian sampai batas yang cukup jauh.

Di sisi lain, demokrasi adalah sebagai sebuah kenyataan yang bersifat universal, namun demikian, dalam rincian dan pelaksanaannya, juga dalam institusinya yang menyang¬kut masalah struktural dan prose¬dural tertentu, terdapat variasi yang cukup besar antara berbagai negara demokrasi. Hampir semua bangsa yang mem¬praktik¬kannya mempunyai pandangan, pengertian dan cara-cara pelaksa¬naannya sendiri yang khas. Selain tuntutan kekhususan budaya yang bersangkutan, hal itu juga karena perbe¬daan tingkat perkembangan atau kemajuan sebuah bangsa di bidang-bidang lain, seperti ekonomi dan pendidikan. Maka dengan alasan kenyataan itu, demokrasi bukan suatu sistem sosial politik dengan konsep yang tunggal. Karenanya bangsa Indonesia dapat dibe¬narkan untuk mengaku mem¬punyai pengertian dan cara pelaksanaan sendiri tentang demo¬krasi. Belajar dari berbagai Negara tersebut, yang terpenting adalah seperti dikatakan oleh Ihsan Ali Fauzi (h. 65), menelusuri sejauh mana dan bagaimana perbedaan itu, dan bagaimana mempersempit jaraknya, dalam rangka memperkokoh dan menambah gizi demokrasi kita.

Demokrasi juga dapat diimbangi dengan usaha perbaikan sambil ber¬jalan, melalui improvisasi ber¬dasarkan pengalaman-pengalaman nyata. Sebab justru kekuatan demokrasi ialah bahwa ia merupakan sebuah sistem yang mampu, me¬lalui dinamika intern-nya sendiri, untuk menga¬da¬kan kritik ke dalam dan perbaikan-perbaikannya, berdasar¬¬kan prinsip keterbukaan dan ke¬sempatan untuk bereksperimen.
Persoalan¬nya ialah seberapa jauh unsur-unsur perkembangan positif itu dapat didorong dan ditumbuhkan ke arah yang terus lebih baik, dan bagaimana agar tidak membentur dinding-dinding kultur politik “asli” yang tidak kondusif bagi pandangan-pandangan yang lebih kosmopolit, terbuka, dan berwawasan masa depan. Kalau benturan ini terjadi atau sengaja diarahkan ke sana oleh orang atau kelompok dengan vested interest-nya yang terancam, maka optimisme tersebut berbalik menjadi pesimisme dan yang jelas bertentangan dengan akal sehat. Dengan begitu tesis GM, yang mengatakan bahwa demokrasi mengandung disilusi dalam dirinya, tentu tak terbantahkan.

Buku ini memuat perdebatan yang mutakhir, substantif, dan kredibel tentang mengapa kita bisa kecewa kepada demokrasi dan mengapa pula kita bisa, dan harus tetap, berharap kepadanya. Dilengkapi komentar balik Goenawan, buku ini sangat menggugah kesadaran kita bahwa demokrasi adalah lebih banyak daripada sekedar ta¬ta¬nan peme¬rin¬tah¬an. Ia harus dipandang sebagai sa¬lah satu hasil akhir yang ber¬si¬fat formal dan struktural.

Dimuat di Jawa Pos, 26 April 2009

Tidak ada komentar: