Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina, Jakarta
Istilah fundamentalisme, sering kali kita dengar berkaitan dengan isu-isu yang menyangkut soal agama, identik dengan kekerasan atas nama Tuhan. Tidak jarang gerakan fundamentalisme agama ini gagal sebelum mencapai tujuan. Namun, sebagai anak bangsa yang diikat dalam wadah kebhinekaan, sering kali kita lupa, bahwa fenomena fundamentalisme politik yang hanya mengejar kekuasaan semata, juga menjadi ancaman yang serius dan tentu saja berbahaya bagi kelangsungan berbangsa dan bernegara. Umumnya, kebanyakan masyarakat tidak begitu peka terhadap gejala yang terakhir ini. Seolah munculnya fundamentalisme politik dianggap sebagai gejala biasa yang tidak mempunyai implikasi apa-apa.
Jika fundamentalisme agama lebih berurusan dengan modalitas kepercayaan daripada dengan isi ajaran agama itu sendiri. Maka, fundamentalisme politik merupakan suatu samaran untuk motif-motif politis-pragmatis. Para pelaku kelompok ini secara paradoks menciptakan sebuah ruang kehidupan berbangsa dan bernegara yang dibangun oleh prinsip "fundamentalisme". Ruang kehidupan yang dibangun berdasarkan "eksklusivisme", di mana setiap kelompok di dalamnya ( politik, ekonomi, sosial, kultural, keagamaan) merayakan ruang-ruang eksklusif sebagai tempat mereka membangun rasa aman dan nyaman secara eksistensial (ontological security). Dan, fundamentalisme politik dalam bentuknya yang paling ekstrem adalah merebut kekuasaan dengan berbagai cara, termasuk kudeta.
Namun, siapakah kaum fundamentalis itu? pertanyaan ini, secara retoris akan memunculkan beragam jawaban. Jurgen Habermas di dalam The Inclusion of the Others (1999) menjelaskan "fundamentalisme" sebagai gerakan dalam membangun dunia kehidupan ultrastabil (ultrastability) dengan cara merestorasi aneka cara, keyakinan, dan nilai-nilai fundamental dengan merayakan praktik-praktik intoleransi, eksklusivisme. Lebih dari sekadar itu, ia menggiring pada situasi "ketakmungkinan aturan bersama" (incommensurability), dalam pengertian aturan formal sebuah kelompok tidak mungkin digunakan sebagai aturan kelompok lain yang berbeda.
Saya amat meyakini bahwa premis dari setiap jenis fundamentalisme berbasis politik adalah pendekatan dan tanggapan yang monolitik. Pendekatan seperti ini akan mengikis demokrasi di setiap tingkatan meskipun mereka menggunakan ruang demokrasi untuk mendapatkan dan memperluas kekuasaan politiknya. Jika pada demokrasi membuka partisipasi seluas-luasnya bagi masyarakat, mengandaikan kebersamaan, kolektivitas bukan individualitas absolut yang berbeda dengan fundamentalisme yang egoistis.
Contoh yang tepat untuk menggambarkan kondisi dimaksud adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Dalam ruang politik, sikap keberagamaan PKS yang sebenarnya eksklusif dan fundamentalis menjadi tidak kentara. Mereka selalu menutupi sejumlah agenda (hidden agenda) politik yang sangat mungkin bertentangan dengan tujuan umum. Mereka sangat memperhitungkan sekali bilamana simbol dan identitas keagamaan dipakai dalam momen-momem politik, maka eksistensi mereka kian terus dicurigai sebagai partai Islam yang fundamentalis. Namun, agaknya sulit dihindari, jika mereka berkesempatan memenangkan pemilu, mereka memiliki otoritas dan keyakinan lalu membangun kekuatan dan mengklaim dirinya satu-satunya tradisi dan peradaban yang mampu menawarkan kesejahteraan umat manusia.
Fundamentalisme, seperti dikatakan oleh Lefort, muncul sebelum demokrasi, masyarakat memang diorganisasi menurut logika politik teologis, di mana masyarakat dipikirkan sebagai sebuah tubuh dan berhierarki, yang anggota-anggotanya dijejerkan di bawah prinsip-prinsip tatanan yang tanpa syarat. Sementara dalam demokrasi, referensi kepada penjamin transendental lenyap bersama-sama dengan lenyapnya representasi dari kesatuan substansial dari masyarakat. Lefort mengatakan, "The locus of power is an empty place, it cannot be occupied--it is such that no individual and no group can be cosubstantial with it--and cannot be represented."
Dengan demikian, menjadi suatu keharusan pemerintah dan civil society, meletakkan “demokrasi” sebagai “catch word” dalam suatu program politik akan memberi inspirasi kepada kita dan mengingatkan kita untuk selalu berusaha mencapai sesuatu yang lebih baik dari keadaan sekarang. Hal ini menuntut adanya pengawasan dan pengimbangan secara berkelanjutan. Sebab, tidak menutup adanya kemungkinan, dalam kondisi di mana negara dan demokrasi masih dalam tahap belajar, memungkinkan civil society yang tumbuh sering berjalan tanpa civility. Dari situ demokrasi memang lahir, namun oleh karena belum kuatnya fondasi dan tatanan hukum, maka civil society tumbuh tanpa disertai kelengkapan sikap kewargaan untuk menghargai dan memelihara demokrasi.
Rapuhnya demokrasi rentan terhadap munculnya fundamentalisme politik yang mencoba menyeragamkan masyarakat melalui kaedah-kaedah moral, normalisasi melalui pakaian, peribadatan dan penunggalan gaya hidup serta ancaman dan kekerasan. Dan, secara esensial telah mengancam secara serius hak asasi manusia dan masa depan demokrasi di Indonesia. Bukan hanya itu, secara lebih jauh, juga menolak segi-segi terpenting Pancasila sebagai pondasi pendirian negara bangsa modern di Indonesia.
Maka, waspadalah terhadap munculnya fundamentalisme politik…
Minggu, 26 April 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar