Menunggu Kearifan Politik Megawati
Moh. Shofan
Beberapa waktu lalu, saya bersama Andrinof A. Chaniago –Pengamat politik dan Direktur Eksekutif Cyrus Surveyor Group dari Universitas Indonesia– diminta menjadi pembicara dalam diskusi Menguji Kenegarawanan Megawati: Prospek Prabowo-Rizal Ramli versus SBY di RM Ayam Goreng Suharti, Jalan Kapten Tendean, Jakarta Selatan. Dalam kesempatan itu, saya mengatakan bahwa PDIP harus melakukan kompromi politik bersama parpol lain mencapai kesepakatan politik.
Salah satu komprominya adalah mencalonkan pasangan capres yang bisa diterima di lingkaran partai tersebut. Mengingat, seperti dikatakan Andrinof Chaniago, Indonesia saat ini sedang paceklik calon pemimpin nasional. Seperti diketahui, pasca hasil pemilihan umum legislatif, menunjukkan anjloknya suara sejumlah partai politik. Ini mengindikasikan bahwa masyarakat menginginkan perubahan dan berharap munculnya pemimpin atau tokoh baru. Kerinduan masyarakat terhadap sosok baru itu haruslah berpotensi besar dapat menandingi SBY dalam pemilihan presiden mendatang.
Akibat tidak adanya parpol yang menang mutlak dalam pemilu legislatif, maka pilihannya adalah dengan melakukan koalisi antar partai. Koalisi dibutuhkan bukan sekadar untuk mencapai persyaratan suara dalam proses pemilu presiden, tetapi sasaran terpenting dari koalisi seharusnya berorientasi pada kepentingan bangsa yaitu meningkatkan perbaikan kesejahteraan ekonomi masyarakat.
Kalau bangsa ini mau serius, seharusnya pemilu 2009 tidak berhenti pada sekadar ritual sirkulasi elite dan power sharing kekuasaan, tetapi lebih dari itu dapat memberi pesan penting bahwa demokrasi bekerja untuk perbaikan kesejahteraan bangsa. Demikian pula dalam koalisi, yang harus dibangun adalah untuk melahirkan pemimpin baru yang bisa mengonsolidasikan demokrasi dan kemajuan bangsa.
Koalisi merupakan praktek politik yang umum berlaku di negara demokrasi. Maka yang terpenting disini adalah komitmen dan kriteria koalisi untuk membangun pemerintahan yang efektif menjadi sebuah keharusan untuk melawan kecenderungan pragmatisme politik. Karenanya koalisi yang dibangun PDIP, Gerindra dan sejumlah partai lain, hanya akan efektif jika semua pihak bersedia menurunkan ambisi masing-masing untuk tidak lagi ngotot mengajukan jago sendiri.
Koalisi yang tidak total dan cenderung setengah hati mengandung resiko yang amat besar. Meski SBY memiliki modal awal berupa tingginya tingkat popularitas, tetapi, peluang bagi lawan-lawan politik untuk mengalahkannya masih sangat terbuka lebar, jika lawan politik SBY dalam pilpres mendatang mampu melahirkan tokoh baru.
Prabowo-Rizal Ramli, Pilihan Paling Memungkinkan
Untuk mencari tokoh baru, maka pilihan realistis bagi Megawati adalah memberikan kesempatan kepada generasi baru untuk maju sebagai capres dari partainya. Mengenai figur yang bisa menggantikan Megawati, saya kira, sosok Prabowo Subianto-Rizal Ramli, adalah pasangan yang tepat untuk menandingi popularitas SBY. Diusungnya pasangan Prabowo-Rizal, selain mencerminkan perubahan, pasangan tersebut merupakan duet ideal yang saling melengkapi.
Prabowo, punya latar belakang militer sehingga bisa berpikir strategis dan cepat. Sementara Rizal, seorang intelektual yang punya gagasan besar untuk memajukan bangsa. Kedua tokoh itu mengusung ideologi ekonomi kerakyatan untuk menghadapi neoliberalisme yang diusung pemerintahan SBY-JK. Prabowo-Rizal juga menawarkan perubahan dan jalan baru dalam paradigma pembangunan. Dalam konteks ini Prabowo mewakili Gerindra, dan Rizal mewakili PDIP. Untuk mengikat Rizal, maka harus ada kontrak politik yang mengikat dengan PDIP. Dengan demikian, keberadaannya di dalam duet itu mewakili PDIP.
Namun, jika PDIP tetap bersikukuh mengusung Megawati sebagai capres, maka akan kesulitan menghadapi SBY. Dan itu sama artinya PDIP mempersiapkan kegagalan yang ketiga kalinya sampai pemilu dan Pilpres 2014. Maka, alangkah bijaknya jika Megawati memposisikan diri menjadi seorang Negarawan ataupun king maker, karena sulit baginya untuk menjadi the real king. Toh, menjadi seorang king maker atau Negarawan lebih terhormat dibandingkan menjadi Capres.
Menjadi Negarawan akan dengan sendirinya menunjukkan wawasan, integritas, serta kapasitas intelektual dan emosional di atas rata-rata. Sebagaimana dikatakan Filosof Aristoteles, bahwa seorang negarawan memiliki karakter moral yang pasti, di mana para pengikutnya dapat meneladaninya dengan sepenuh hati. Seorang negarawan adalah yang memiliki watak yang baik dan senantiasa menjaga citra dirinya dengan melakukan aktivitas-aktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat, bangsa dan negara.
Sejarah akan mencatat dengan tinta emas, jikalau Megawati tidak lagi maju sebagai capres PDIP dan menyerahkannya kepada tokoh yang lebih muda. Tindakan seperti itu, akan menjadikan Megawati layak disebut sebagai “Ibu Bangsa”. Kita menunggu kearifan politik Megawati. Dan, masa depan PDIP ada di tangan kearifan Megawati.
Surabaya Post, Mei 2009
Minggu, 09 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar