Moh. Shofan
TIGA pasangan bakal bertarung pada Pilpres 8 Juli 2009. Majunya tiga pasangan capres-cawapres dalam Pilpres 2009 itu semakin menambah pilihan publik terhadap alternatif calon pemimpin bangsa. Dengan demikian, publik juga dapat membedakan satu kandidat dengan kandidat lain, baik dari kualitas, kapabilitas, dan integritas pasangan masing-masing.
Ada duet Jusuf Kalla-Wiranto, SBY-Boediono, dan Megawati-Prabowo. Ketiga pasangan capres-cawapres tersebut sama-sama dari latar belakang nasionalis-sekuler, meski sipil-militer masih berlaku di tiga kandidat.
Boediono, gubernur Bank Indonesia -yang juga dikenal sebagai ahli ekonomi- ternyata lebih menarik perhatian SBY daripada Hatta Rajasa. Tidak dipilihnya Hatta sebagai wakil oleh SBY, selain akan memunculkan friksi di antara peserta koalisi, juga menimbulkan kesan SBY bisa didikte Amien Rais.
Memilih Boediono jelas telah dipertimbangkan secara matang oleh SBY dan Partai Demokrat. Meski, faktanya, jatuhnya pilihan cawapres SBY kepada Boediono mengagetkan banyak pihak, terutama pihak yang terlibat dalam koalisi mendukung SBY.
Boediono yang pernah menjabat menteri keuangan di era Megawati itu dikenal sebagai motor privatisasi perusahaan nasional. Bahkan, Boediono dinilai sebagai simbol neoliberalisme yang membawa keterpurukan ekonomi bangsa. Banyak pengamat mengatakan, pilihan SBY kepada Boediono lebih karena "selera internasional''.
Namun, benar atau tidaknya, yang jelas bahwa isyarat awal ketidaknyamanan tersebut terbukti dengan protesnya partai peserta koalisi, seperti PKS, PAN, dan PPP. Proses jatuhnya pilihan SBY kepada Boediono dinilai tanpa komunikasi sama sekali dengan parta-partai yang berada dalam koalisi.
Belum lagi jika dikaitkan mitos Jawa-luar Jawa, pasangan SBY-Boediono tidak terlalu diminati karena sama-sama dari Jawa. Untuk masalah yang satu ini, SBY tidak sejeli Jusuf Kalla (JK). JK memikirkan mitos yang diyakini orang Jawa sudah mendarah daging ini. Karena itu, JK memilih Wiranto, yang notabene orang Jawa, sebagai cawapres pendampingnya.
Memang dari segi elektabilitas, SBY lebih baik daripada JK dilihat dari popularitas selama menjabat presiden. Namun, peluang JK-Win tidak tertutup sama sekali, sekalipun yang dihadapi adalah capres incumbent. Di sini usaha keras adalah kuncinya.
Lalu bagaimana pasangan Megawati-Prabowo? Saya kira, ini pilihan politik yang cukup mengejutkan. Prabowo yang semula bersikukuh ingin menjadi capres Partai Gerindra dan berharap diusung partai koalisi, justru menurunkan tawaran politiknya dengan hanya menjadi cawapres Megawati. Mungkin, bagi Prabowo ini pilihan sulit, sekaligus pilihan yang memungkinkan, dengan harapan 2014 bisa melambungkan citra politiknya untuk mencalonkan diri sebagai capres.
Munculnya Prabowo sebagai pendatang baru dalam kontestasi Pemilu 2009, membuat banyak kejutan. Melalui Partai Gerindra, kendaraan politiknya dalam pemilu legislatif berhasil memperoleh suara 5,36 persen suara, menggeser partai-partai lama, semisal PBR atau PBB. Bahkan, Gerindra masuk dalam urutan sepuluh besar. Demikian juga dalam survei beberapa lembaga, Prabowo mengalami kenaikan popularitas dan elektabilitas yang signifikan.
Bahkan, menurut hasil survei Prof Dr Iberamsjah, direktur operasional Pusat Kajian Strategi Pembangunan Sosial Politik (Puskapol) FISIP Universitas Indonesia, tingkat elektabilitas SBY bulan ini 31 persen, menurun dari periode sebelumnya yang mencapai 51 persen. Sementara elektabilitas Prabowo menanjak mencapai 23,95 persen dan Megawati masih stagnan pada 15,8 persen. Lalu JK mencapai 13,85 persen dan Wiranto 8,1 persen.
Namun, popularitas Prabowo bisa saja menurun drastis, mengingat perannya yang hanya sebagai cawapres Megawati, yang notabene tokoh lama. Megawati bukanlah tipe orator yang mampu memengaruhi psikologi massa, terlebih program-program politiknya tidak berdampak pada masyarakat bawah. Bisa diduga pasangan Megawati-Prabowo sulit mendongkrak suara pemilih. Tetapi, ibarat bola yang menggelinding tak tentu arah, peta perpolitikan kita saat ini bagaikan bola liar. Politik bisa merajut ketidakmungkinan menjadi mungkin. Saya kira di sini semuanya sangat bergantung pada manuver Megawati-Prabowo sendiri.
Namun, karakteristik basis massa Megawati-Prabowo masih lebih baik dibanding JK-Win. Megawati memiliki basis pendukung yang loyal. Sedangakn karakter basis massa belum terlihat pada JK-Win. Tanpa karakter massa yang kuat, ada problem JK-Win dalam mengelola massa pada saat pemilih presiden nanti. Sebab, yang dihadapi adalah pasangan kuat seperti SBY dan Megawati.
Jika Megawati-Prabowo pandai memainkan isu politik dan meyakinkan masyarakat pemilih, tidak mustahil keduanya lebih unggul daripada JK-Win. Dengan demikian, peluang Mega-Prabowo maju ke putaran kedua akan lebih besar dibanding pasangan JK-Win. Dengan demikian, pertemuan SBY-Boediono dengan Mega-Prabowo di putaran kedua menjadi sangat mungkin.
Memang, tidaklah bisa dimungkiri bahwa masyarakat pemilih di Indonesia masih sangat bergantung pada figur (baca: performance) calon presiden. Kebijakan adalah urutan selanjutnya. Meski begitu, bukan berarti pengalaman Indonesia yang sudah berganti presiden beberapa kali, dengan berbagai pola kebijakan yang menyertainya, masyarakat tidak menilainya sama sekali.
Program pemerintahan incumbent tentang BLT dan penurunan harga BBM, misalnya, dinilai masyarakat sangat menguntungkan. Bahasa masyarakat jauh lebih tajam daripada bahasa politik. Karena itu, jika pasangan capres-cawapres tidak jeli mengamati ini, sangat mungkin SBY-Boediono masih mengungguli lawan-lawannya. Bahkan, kemungkinan mereka menang dalam sekali putaran sangat besar.
Pada akhirnya, siapakah di antara ketiga pasangan capres-cawapres yang akan menjadi "jawara"? Kita lihat saja. (*)
Jawa Pos, Selasa, 19 Mei 2009
Minggu, 09 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar