Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta
Membaca surat kabar Jawa Pos/Indo Pos (Jumat, 14 Agustus 2009), tentang pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono—dua tersangka yang diduga terlibat jaringan Noordin M. Top—di Sragen, Jawa Tengah, di mana Ustadz Abu Bakar Baasyir selaku pemimpin doa, di tengah-tengah pengiring jenazah. Di halaman yang sama Al-Chaidar, yang dikenal sebagai pengamat terorisme, dan mengaku pernah menjadi anggota Negara Islam Indonesia (NII) Komandemen Wilayah 9 (KW 9), dan juga pengagum berat Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo ini mengakui bahwa Noordin saat ini berada di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Hanya saja, Chaidar tidak bisa membeberkan lokasi secara detail meskipun dia memiliki akses informasi hingga ring terakhir orang-orang di sekitar Noordin. “Jika diberitahukan secara detail, itu sama saja sebagai penghianat”, kata Chaidar.
Dua hal di atas, bagi saya penting untuk dicermati. Mengapa? Pertama, kehadiran Abu Bakar Baasyir—pemimpin Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) serta salah seorang pendiri Pondok Pesantren Islam Al Mu'min di Ngruki, Sukoharjo, Jawa Tengah—ke tempat pemakaman Air Setiawan dan Eko Sarjono, secara tidak langsung bisa diasumsikan memberikan dukungan moral kepada pelaku pengeboman, atau bisa juga diartikan memberikan dukungan terhadap aksi yang dilakukannya. Mengingat Abu Bakar Baasyir sendiri adalah dikenal sebagai seorang pejuang dan simbol islamis-radikal yang getol ingin menegakkan syariat islam. Maka, jika pihak pemerintah memberikan stigma teroris bagi Air dan Eko, tidak demikian dengan kelompok Muslim radikal yang menganggapnya sebagai 'jihadis'. Hal inilah yang menurut saya mengapa akar-akar terorisme sulit di basmi di bumi Indonesia yang kita cintai ini.
Ba'asyir mengatakan dirinya tetap mendoakan Air dan Eko mendapat pahala dan ampunan dari Allah SWT. Dan menganggap mereka tetap pejuang Islam, karena memperjuangkan syariat Islam. Doa Baa’syir itu 'sarat makna' simbolis dan ideologis, karena tetap menyebut kedua teroris itu menjalankan perintah agama yakni demi tegaknya syariat islam. Satu statemen yang menurut saya, sulit untuk dinalar.
Kedua, pengakuan Al-Chaidar bahwa dirinya mengetahui persembunyian Noordin M. Top, perlu diklarifikasi oleh pihak kepolisian. Jika memang benar ia mengetahui, maka harus segera melaporkannya, agar polisi cepat bergerak dan menangkap gembong teroris yang paling diburu itu. Jika tidak, tentu Al-Chaidar, bisa dikenai tuduhan menyembunyikan teroris. Sungguh, merupakan hal yang aneh, jika dirinya tidak mau mengungkapkan secara detail persembunyian Noordin, hanya karena dirinya tidak mau dianggap sebagai penghianat. Mana yang lebih penting? Keselamatan warga Negara atau Noordin M. Top?
Dalam wawancara di sebuah TV swasta, Hendropriyono mengatakan, pemerintah hendaknya lebih mengantisipasi gerakan Wahabi di Indonesia. Selain itu, ia juga mengatakan bahwa gerakan organisasi Islam transnasional seperti Ikhwanul Muslimin, mestinya menjadi perhatian serius. (inilah.com) Ungkapan Hendropriyono tersebut seharusnya diapresiasi oleh semua pihak, utamanya pihak kepolisian. Namun, kenyataannya, alih-alih mengantisipasi gerakan islam-radikal, simbol-simbol jihad yang dikobarkan oleh para jihadis seperti “Jihad still continu” justru tidak membuat sensitifitas nalar polisi tergerak. Ini sama saja dengan memberikan kebebasan kepada mereka untuk tumbuh menjadi sebuah gerakan dalam bentuknya yang lebih besar.
Karenanya, jika polisi lambat dalam mengantisipasi persoalan terorisme yang merobek-robek sisi kemanusiaan dan martabat bangsa ini, maka tidaklah terlalu mengherankan jika isu seputar terorisme dan radikalisme di tahun-tahun mendatang masih menjadi isu sentral yang menyita perhatian di banyak negara. Radikalisme yang tidak jarang melakukan penghakiman terhadap siapa saja (the other) yang dianggap tidak sejalan dengan kelompoknya adalah fenomena diskursif dan tantangan besar—kalau bukan satu-satunya—di penghujung abad ini. Inilah penemuan terpenting Karen Armstrong dalam buku The Battle for God yang diterjemahkan menjadi ‘Berperang Demi Tuhan’. Tak ada peperangan tanpa menyertakan Tuhan. Dan banyak manusia bertuhan dengan cara berperang.
Agaknya tesis Ahmad Wahib (1981) yang memprediksikan bahwa kegagalan umat Islam selama ini disebabkan karena mereka tidak mampu menerjemahkan kebenaran agama Islam dalam suatu program pencapaian menjadi suatu kenyataan. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini, menyebabkan umat Islam selalu mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik. Inilah yang Wahib sebut sebagai ‘sikap berfikir yang salah’ terhadap Islam.
Dalam kata pengantar buku The Essence of Christianity karya Ludwig Feuerbach, tertulis: “Certainly, my work is negative, destructive; but, be it observed, only in relayion to the unhuman, not to the human elements of religion”. Kalimat itu bukan sekadar kritik atau bukan asal kritik. Ungkapan tersebut berusaha meruntuhkan pemaknaan-pemaknaan agama yang tidak manusiawi, pemaknaan agama yang menjadikan sesuatu di luar manusia sebagai tujuan agama.
Tindakan kekerasan oleh kelompok garis keras sebagai akibat dari ketidakpuasan terhadap fenomena globalisasi yang cenderung menyeret nilai-nilai transendensi dalam kehidupan ini semakin meneguhkan eksistensi radikalisme. Setidaknya, hingga saat ini perbincangan tentang radikalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme, terutama di kalangan Barat, yang sewaktu-waktu bisa bertindak mengejutkan.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politis, umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Mereka merasa aspirasinya tidak terakomodasi dengan baik karena sistem politik yang dikembangkan adalah sistem kafir yang dengan sendirinya lebih memihak kalangan nasionalis sekuler ketimbang umat Islam itu sendiri.
Beragama seperti model di atas, adalah beragama tanpa bekal ilmu pengetahuan. Dan itu sangatlah berbahaya. Dikatakan berbahaya, karena akan menjadi ‘benalu’ peradaban. Jika tidak segera diatasi, maka ‘citra’ agama akan semakin kehilangan relevansi maknanya. Saya kira, beragama, tidaklah cukup hanya dengan niat baik. Niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan ‘orang-orang baik’ ini ialah model keberagamaan yang hanya berjamaah saat beribadat, namun dalam kehidupan sosio-historis, mereka adalah pesaing dan musuh.
Model keberagamaan yang hanya mementingkan dimensi ritual-vertikal (sholat, puasa, haji, dan lainnya) tanpa disertai kesadaran historisitasnya, tentu tidak bermakna apa-apa di depan Tuhan. Saya berpendapat bahwa dimensi historisitas jauh lebih penting dari sekadar ritualisme. Agama tidak bisa dipahami dengan pemahaman sesempit itu. Pemahaman seperti itu tentu saja menempatkan agama pada tempat yang rendah dan semakin mengokohkan ego sebagai sentrum tujuan hidup, bukan kebersamaan dan persahabatan. Tuhan disembah sekaligus didesak-desak agar segera memenuhi keinginan-keinginan. Akankah negeri ini membiarkan dirinya dicap sebagai negeri teroris? Wallahu A’lam bi al-Shawab
Jakarta, 14 agustus 2009
Kamis, 13 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar