Minggu, 09 Agustus 2009

Menuju Pesta Demokrasi yang Demokratis

Moh. Shofan
Peneliti Muda di Yayasan Paramadina

Pemilihan Umum tinggal dalam hitungan jam. Namun hiruk pikuk politik terasa semakin panas, menyusul adanya kekisruhan di DPT. Ada yang mengusulkan pemilu ditunda sampai KPU menyelesaikan daftar nama pemilih ganda atau yang belum terdaftar di TPS. Bahkan, Din Syamsudin, Ketua PP. Muhammadiyah meminta agar permasalahan DPT bisa diselesaikan dengan memperbolehkan warga bisa menyontreng dengan menunjukkan KTP saja. Ada yang bilang permasalahan DPT terlalu mengada-ada dan karenanya tidak harus dibesar-besarkan. Semuanya beragumen sesuai dengan kepentingan politiknya.

Maka, berkenaan dengan hal ini diperlukan adanya kesadaran tentang etika dan aturan main dalam musyawarah, yaitu bahwa setiap warga negara mempunyai hak menyatakan pendapat dengan bebas dan mempunyai kewajiban mendengar pendapat orang lain dengan penuh pengertian dan rasa hormat. Karena itu, dari setiap orang diharapkan adanya kerendahan hati secukupnya untuk dapat melihat dirinya berpeluang salah dan orang lain berkemungkinan benar. Saya kira, suatu masyarakat yang tegas, demokratis diharapkan menyediakan dan menjaga adanya ruang yang lebar untuk menyatakan pendapat dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.

Ini berarti bahwa seseorang atau suatu kelompok tidak bersikap serba mutlak dalam tuntutan pelaksanaan suatu ide yang mereka anggap baik, melainkan harus belajar untuk menerima pelaksanaan sebagian daripadanya, tanpa perfeksionisme. Suatu ide baik yang tidak sepenuhnya terlaksana tidaklah berarti harus ditinggalkan sama sekali, demikian sebuah dalil dalam prinsip yurisprudensi.

Demokrasi yang sehat tetap mengharuskan penghargaan kepada semua golongan, meskipun minoritas yang “kalah”. Jika tidak, maka terdapat kemungkinan suatu demokrasi menjadi sumber ketidakadilan, yaitu kalau memberi jalan bagi timbulnya “tirani mayoritas” seperti menjadi pengamatan Alexis de Tocqueville tentang demokrasi di Amerika pada abad yang lalu. Karena itu, musyawarah dalam semangat tukar pikiran demi kebaikan bersama, bukan demi sekadar memenangkan suatu kelompok dan mengalahkan kelompok lain atas dasar prasangka, takut, atau semata-mata nafsu untuk unggul belaka merupakan suatu hal yang niscaya. Jika itu bisa dijalankan, maka tertib sosial akan terwujud dan terpelihara. Jika tidak, maka konflik sosial akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap elit penguasa sangat mungkin akan terjadi.

Pemilu yang demokratis memang diharapkan bukan hanya oleh kita, tetapi juga oleh dunia internasional. Terseleng¬garanya Pemilu yang jujur dan adil, pemilu yang benar-benar berlangsung secara demokratis adalah tujuan kita bersama. Dengan Pemilu ini kita memasuki cita-cita menjadi bangsa baru, bangsa yang demokratis dan bermartabat. Banyak negara mengalami proses demokrasi, atau memasuki ambang pelaksanaan demokrasi yang lebih maju dan kompleks. Seperti dikatakan Samuel P. Huntington, “demokratisasi adalah suatu proses terus-menerus, yang kini semakin tidak bisa dibalikkan lagi”.

Karena itu, sekalipun tendensi ke arah demokratisasi merupakan sesuatu yang objektif dan alamiah sama sekali tidak berarti bahwa hal itu pasti berlangsung terus secara konsisten menurut garis logikanya sendiri. Tendensi dan proses itu dapat dicegat, ditangguhkan, bahkan dibatalkan oleh suatu kecenderungan otokritik kalangan tertentu para pemegang kekuasaan. Karena yang esensial adalah proses, maka beberapa ahli, seperti Willy Eichler, berpendapat bahwa demokrasi bukanlah suatu nilai statis yang terletak di suatu tempat di depan kita, lalu kita bergerak menuju ke sana untuk mencapainya. Bagi Eichler demokrasi adalah suatu nilai dinamis, karena nilai esensialnya adalah proses ke arah yang lebih maju dan lebih baik dibanding dengan yang sedang dialami oleh suatu masyarakat atau negara. Eichler melihat bahwa demokrasi adalah identik dengan demokratisasi. Yang penting adalah bahwa dalam suatu masyarakat atau negara terdapat proses terus-menerus, secara dinamis, dalam gerak perkembangan dan pertumbuhan ke arah yang lebih baik. Maka, dari sudut penglihatan Eichler, negeri kita ini harus dipandang sebagai sebuah negeri demokratis, karena tetap dan terus bergerak menuju kepada keadaan yang lebih baik, dan lebih baik lagi.

Debat calon presiden yang kita saksikan beberapa hari lalu—meskipun ada yang bilang bahwa itu hanya basa basi demokrasi—tetapi saya melihat, sebagai langkah positif bahwa perkembangan demokrasi di Indonesia sedang dan akan terus berbenah diri menuju kematangan dan perbaikan ke arah yang lebih baik. Melalui debat seperti ini, publik bisa mendapat gambaran yang lebih jelas tentang visi dan misi masing-masing kandidat, sehingga mereka bisa menentukan pilihan secara lebih rasional. Acara seperti ini diharapkan menjadi sarana bagi para calon kepala Negara untuk menunjukkan kemampuannya dalam mengelola Negara melalui program-programnya. Ajang debat ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dan pendidikan politik yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Terpenting di sini adalah bahwa modal utama untuk mewujud¬kan demokrasi di negeri kita ialah Pancasila. Dasar negara itu melengkapi kita dengan prasyarat asasi untuk mewujudkan demokrasi atau tatanan sosial-politik yang mem¬bawa pada kebaikan untuk semua.

Merujuk pada Nurcholish Madjid, prasyarat asasi itu ialah: pertama, adanya orientasi hidup transendental. Kedua, ikatan batin pada nilai­nilai kemanusiaan. Ketiga, kesadaran akan tanggung jawab bersama (tidak menyerahkan atau mempertaruhkan masalah yang menyangkut kepentingan masyarakat semata-mata pada kemauan seorang tokoh, betapapun iktikad baiknya, tetapi pada mekanisme pengawasan umum dalam tatanan sosial politik yang partisipatif). Keempat, pandangan yang lebih mendahulukan kepentingan masyarakat daripada kepentingan diri pribadi. Kelima, prasarana dan wadah persatuan dan kesatuan negara bangsa.

Akhirnya, pemilihan umum yang diadakan lima tahun sekali ini diharapkan mampu memberi energi baru untuk perbaikan demokrasi. Masyarakat pemilih haruslah diberi kebebasan dalam menentukan pilihannya. Tindakan yang bebas ialah tindakan yang tetap mencerminkan kepribadian orang bersangkutan. Sebaliknya, tidak dapat dinamakan sebagai kebebasan jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak merupakan kelanjutan yang konsisten dari kepribadiannya. Dan hanya dengan dasar kontinuitas dan konsistensi itu maka seseorang dapat dipan¬dang sebagai bertanggung jawab atas tindakannya. Dan ini merupakan dasar bagi keharusan adanya freedom of conscience, kebebasan nurani.

Seseorang juga disebut bebas dan bertanggung jawab kalau pekerjaan yang dilakukannya benar-benar keluar dari dirinya sendiri, jadi tidak dipaksakan dari luar. Pemaksaan adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan kemauan yang bersangkutan. Karena itu orang yang demikian tidak dapat disebut sebagai bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukannya. Demokrasi menuntut adanya tingkat tanggung jawab pribadi yang tinggi. Tetapi memang keterbukaan dan kebebasan yang sejati selalu memerlukan sikap-sikap bertanggung jawab, sikap-sikap yang bebas dari egoisme dan vested interest. Wallahu A’lam bi al-Shawab.

Juli 2009

Tidak ada komentar: