Moh. Shofan
Peneliti Yayasan Paramadina, Jakarta
Saudara Noordin M. Top, di mana pun Anda berada, sempatkanlah membaca surat ini...
Sampai hari ini—setidaknya pasca penangkapan teroris di Temanggung beberapa waktu lalu yang diduga itu adalah Anda—saya amat sangat tidak yakin bahwa yang tewas itu adalah Anda. Karena apa? sederhana saja alasan saya: pertama, Anda dikenal sebagai orang yang licin, taktis, tidak mudah menyerah kepada siapapun, apalagi berhadapan dengan aparat kepolisian. Kedua, cara Anda yang sangat khas: membawa rompi disertai bom bunuh diri sebagai antisipasi sewaktu-waktu Anda tertangkap, kerap ditemani oleh ajudan Anda, sehingga hampir pasti ke mana-mana Anda tidak pernah sendirian.
Saya menduga orang yang tewas dalam peristiwa Temanggung, karena berondongan tembakan polisi itu, adalah teman Anda. Pengakuan teman Anda bahwa dirinya adalah Noordin M. Top, menurut saya adalah bagian dari strategi Anda untuk mengelabuhi polisi bahwa di dalam rumah itu memang benar-benar Noordin. Sehingga dengan demikian, harapan Anda bisa aman dari kejaran polisi bisa tercapai, dan karenanya Anda dengan leluasa melakukan sejumlah agenda, merakit bom, mencari sasaran, di mana bom akan diledakkan.
Saya meyakini, Anda di tempat persembunyian yang sempat menyaksikan peristiwa Temanggung itu, tentu saja tersenyum lepas melihat adegan tembak-tembakan yang mirip adegan film itu. Bedanya, kalau film, paling lama durasinya 3 jam (film India), sementara film-film indonesia rata-rata 2 jam. Sementara, di Temanggung, pengepungan membutuhkan waktu 18 jam, waktu yang sangat lama, sekadar untuk melumpuhkan satu orang. 1 versus banyak (200 personel, bisa lebih). Saya berfikir, seandainya di rumah itu adalah Anda sendiri, mungkin dengan bom yang Anda bawa dengan daya ledak tinggi, diperkirakan akan memakan korban, bukan hanya Anda sendiri, tetapi juga dari pihak polisi yang sedang mengintai Anda, atau bisa juga warga sekitar. Dan, sekali lagi, seandainya yang dikepung itu Anda, tentu, sangat mungkin, polisi bisa memakan waktu berhari-hari untuk melumpuhkan seorang Noordin M. Top.
Dari pemberitaan sejumlah media, saya mengetahui bahwa Anda dikenal sebagai seorang retoris yang hebat, persuasif, sekali memberikan taushiyah kader yang direkrut lansung loyal (Jawa Pos, 10/8/09). Andah lihai memilih calon pengantin—istilah di lingkungan jaringan Anda—sehingga mungkin tidak terlalu sulit bagi Anda melebarkan jaringan di sejumlah daerah yang Anda yakini strategis, mulai dari Sumatra, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Sayang, potensi Anda yang luar biasa hebat itu, ditambah lagi dengan sejumlah pengalaman yang Anda miliki, Anda gunakan untuk mengoyak dan mencabik-cabik kemanusiaan. Jika saya dalam tulisan ini menyarankan Anda untuk menyerah, tentu saran saya Anda anggap sebagai saran yang 'ngawur', 'tolol' mungkin juga saran 'gila', karena itu sama saja artinya dengan bunuh diri, mati sia-sia di tangan 'orang-orang kafir' atau polisi-polisi 'kafir'.
Lalu, mengapa saya harus menyarankan Anda untuk menyerah. Sedikitnya ada 4 alasan:
Pertama, ideologi yang tertanam pada diri Anda--saya menyebutnya 'ideologi maut'--adalah ideologi yang sama sekali tidak ada landasan normatifnya, baik di Islam, Kristen, Hindu, Budha, Konghucu. Saya tidak habis pikir bagaimana Kitab Suci Al-Qur'an—saya menyebutnya Al-Qur’an karena Anda beragama Islam—yang banyak mengajarkan kedamaian, kasih sayang, toleransi, tiba-tiba di tangan Anda menjelma menjadi Kitab Suci yang 'menyeramkan', otoriter, fanatis yang siap menghancurkan siapapun yang Anda anggap berbeda dengan keyakinan Anda. Pemahaman seperti ini tentu saja keliru—untuk tidak mengatakan keblinger.
Kedua, Anda (jelas) menempatkan ‘ideologi Islam’ atau ‘Islam sebagai ideologi’ lebih tinggi di atas segala-galanya, termasuk di sini agama. Ini berbahaya sekali. Mengapa? Anda mungkin tidak sadar bahwa agama (islam) yang membawa kebenaran, ketika sudah masuk dalam wilayah yang menghistoris itu, menjadi sangat multi tafsir. Jelasnya, 'kebenaran' yang Anda yakini benar, belum tentu benar menurut keyakinan kelompok lain. Itu baru pada wilayah agama yang sama. Belum lagi ketika bersinggungan dengan agama-agama yang lain. Keyakinan adalah wilayah privasi, yang tidak perlu dipublikasikan, apalagi untuk memengaruhi orang yang sudah punya keyakinan. Lebih parah, jika sampai berpandangan bahwa mereka yang berada di luar keyakinannya harus dibunuh, dihancurkan, dimusnahkan, dibumihanguskan, dengan alasan yang sangat teologis.
Anda tentu berkeyakinan bahwa, kebenaran bukan milik semua agama, suku dan ras, melainkan dipersepsikan dan dibatasi oleh dan untuk kalangan Anda saja. Akibatnya, Islam Anda persepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam Anda persepsikan sebagai kebenaran tunggal. Sampai di sini, Anda harus menimbang ulang pemikiran Anda.
Ketiga, Anda punya tanggungjawab yang jauh lebih mulia, misalnya mendidik anak-anak dan istri Anda, membesarkannya, menyekolahkannya, peduli terhadap masa depannya. Bukankah yang saya sebut itu juga bagian dari jihad. Ya, jihad, dalam pengertian bersungguh-sungguh, berupaya sekuat tenaga untuk menjadi yang terbaik. Misalnya, menjadi Ayah yang bertanggungjawab terhadap anak-anaknya, menjadi suami yang baik terhadap istri-istrinya. Saya kira itu jauh lebih penting dari pada Anda menyia-nyiakan waktu Anda untuk suatu hal yang tidak membawa manfaat, bahkan sebaliknya membawa madharat bagi kemaslahatan umat. Anda harus menyadari bahwa apa yang selama ini Anda lakukan bukanlah Jihad di jalan Allah. Tapi sebaliknya, Anda justru berjihad—mungkin istilahnya bukan jihad, lebih pasnya bersekutu—di jalan Syaitan. Karena Syaitan pekerjaanya merusak tatanan, aturan atau norma.
Keempat, Dari ketiga alasan di atas, coba Anda renungkan apa yang selama ini sudah Anda lakukan; mengobarkan jihad dengan jalan kekerasan, membunuh sebanyak-banyak orang yang tidak berdosa, menyebabkan sebanyak-banyak orang mengalami cacat permanen, menghancurkan masa depan mereka… Pernahkah Anda membayangkan bagaimana perasaan Anda, seandainya keluarga Anda berada di suatu tempat di mana di situ bom diledakkan, lalu kemudian keluarga Anda meninggal atau mengalami cacat seumur hidup? Tidakkah Anda marah, bahkan mengutuk pelakunya? atau Anda hanya diam tanpa melakukan perlawanan, meskipun sekadar cacian: terkutuk !!, jahannam !!, kurang ajar !!, jangkrik !!, dst. Seribu persen, hati nurani saya mengatakan: Anda pasti tidak rela bahkan mengutuk, pelaku peledakan bom yang menimpa keluarga Anda.
Berangkat dari sejumlah alasan di atas, saya berharap Anda menyerah.... hukuman yang Anda terima, seberat dan sepedih apapun di dunia ini, masih jauh lebih pedih dibandingkan kelak di akhirat.. Wallahu A'lam bi al-Shawab
Jakarta, 10 Agustus 2009
Minggu, 09 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar