“Matinya Pembaruan” dalam Bingkai “Kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah”
(Kata Pengantar dalam buku M. Dawam Rahardjo, dkk.
Satu Abad Muhammadiyah Mengkaji Ulang Arah Pembaruan)
Moh. Shofan
“Muhammadiyah adalah lahan yang kering dan tandus.
Tidak ada pemikiran-pemikiran progresif di dalamnya”.
(M. Dawam Rahardjo)
Menyimak tulisan Prof. M. Dawam Rahardjo—yang akrab disapa Mas Dawam—yang bertajuk “Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan”, yang secara khusus ditulis untuk menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-46 di Yogyakarta 3-8 Juli 2010, membuat saya agak tercengang—meski juga tidak terlalu kaget, karena saya sudah mengenal Dawam dengan cukup baik selama tiga tahun terakhir. Dawam, seorang tokoh multidimensi (cendekiawan, budayawan, pemikir Islam serta pegiat LSM), dan salah satu ikon intelektual Islam gelombang pertama di Indonesia. Ide-idenya yang segar dan kontroversial—bukan hanya pada pemikiran-pemikirannya tetapi juga tercermin di dalam cerpen-cerpennya (menyebut salah satunya “Anjing Yang Masuk Surga”)—sepanjang beberapa tahun terakhir kerap membuat geram banyak orang.
“Diaspora” nalar Dawam seakan tak mengenal lelah menyuarakan kebebasan, dan pembelaan terhadap kaum yang tertindas. “Pemikiran tabu” diterabasnya. Tetapi, di situlah kekuatan dan kehebatan Dawam, yakni pada ide-idenya yang cemerlang. Berbagai hinaan, cercaan, sampai pada batas-batas yang paling jauh, yakni pengkafiran, pemurtadan, semuanya dihadapinya dengan tenang dan sama sekali tak membuatnya surut, apalagi takut. Dawam tetap mempertahankan apa yang diyakininya sebagai kebenaran, terutama berkaitan dengan isu-isu pluralisme, liberalisme dan sekularisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Kembali lagi kepada Muhammadiyah. Dawam dalam tulisannya berjudul “Mengkaji Ulang Muhammadiyah sebagai Organisasi Islam Berorientasi Pembaruan” meragukan klaim Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modern yang berorientasi pembaruan. Kalau saya tidak salah menilai, kekecewaan Dawam dalam tulisan itu, sulit untuk dibendung. Muhammadiyah, menurutnya telah kehilangan elan vital pembaruannya, yakni kemauan untuk mencari dan bertanya, mengkritik diri, dan hilangnya ide-ide liberal di dalamnya. Dawam justru lebih menghargai NU yang menurutnya lebih apresiatif terhadap kebudayaan, terbuka terhadap perubahan (change) dan penuh dengan inovasi-inovasi kultural. Dawam bahkan berkeyakinan, masa depan NU akan jauh lebih cemerlang daripada Muhammadiyah yang cenderung anti-kebudayaan.
Kritik Dawam, mungkin bagi kalangan Muhammadiyah terlalu “pedas”. Ibarat makanan, jangankan dimakan, sekadar mencicipinya pun enggan. Namun, itulah Dawam, sosok intelektual yang membenci kemalasan berpikir, jiwanya selalu “gelisah” melihat Muhammadiyah yang tiba-tiba menjelma menjadi gerakan Islam yang berwajah “konservatif dan puritan”. Keberaniannya membela hak-hak semacam penganut Ahmadiyah, Komunitas Eden, Kristen, membuatnya dimusuhi oleh Muhammadiyah, tetapi di sisi lain juga menempatkannya sebagai pemikir terdepan yang menentang fatwa haram MUI. Dawam melalui tulisannya, seolah sengaja ingin menunjukkan pada pembaca untuk membuka mata, bahwa “kesehatan” Muhammadiyah, kini sedang mengalami “gangguan” sangat serius, jika tidak segera diobati, maka tidak menutup kemungkinan ia akan “memfosil” dalam “laboratorium” sejarah.
Dawam, memang sosok yang unik, selalu bangga jika disebut sebagai “intelektual liberal”, tapi ia mengamalkannya secara konsisten lewat praktek berpikir bebas. Ia tidak mau menjadi orang munafik, sok suci dan semacamnya. Ia benci pada kemunafikan, pikiran plin-plan. Dawam selalu menekankan, bahwa “pencerahan pemikiran” hanya bisa dicapai dengan keberanian berpikir bebas.
Dalam suatu kesempatan peluncuran buku di Universitas Paramadina, Dawam mengatakan, ”Anda boleh bilang apa saja tentang saya, asal jangan bilang Muhammadiyah”. Saya sangat memahami sikap Dawam tersebut, karena pertama, Muhammadiyah bersama-sama MUI menyatakan antipati terhadap pluralisme. Kedua, Muhammadiyah, mendukung fatwa MUI, menolak ajaran Syiah. Ketiga, Muhammadiyah, juga sejalan dengan MUI, menolak ajaran Ahmadiyah. Keempat, Muhammadiyah dianggap tidak akomodatif terhadap gerakan pembaruan pemikiran Islam yang digagas anak-anak muda yang berhimpun dalam JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).
Beberapa sikap Muhammadiyah di atas, membuat Dawam tidak betah lagi di Muhammadiyah. Itulah sebabnya mengapa Dawam menyatakan keluar dari Muhammadiyah dan tidak ingin disebut sebagai orang Muhamadiyah. Sikap Muhammadiyah yang berhaluan konservatif, buat Dawam, ibarat baju yang sempit, tidak nyaman dipakai, dan membuat sesak nafas. Krisis pemikiran di Muhammadiyah, bagi Dawam, tentu bukanlah perkara main-main, dan karenanya merupakan hal yang sangat serius untuk dipikirkan.
Suatu hari, dalam perbincangan santai di teras depan rumahnya, Kalimalang, Bekasi, Dawam pernah mengungkapkan kekecewaannya kepada saya. Ia mengatakan bahwa “Muhammadiyah adalah lahan yang kering dan tandus. Tidak ada pemikiran-pemikiran progresif di dalamnya”. Kini, Dawam telah lepas dari belenggu golongan dan sekarang berada di atas golongan manapun, sehingga merasa bebas untuk menulis mengenai apapun yang diyakini benar. Karenanya, kritik Dawam terhadap Muhammadiyah di buku ini, justru saya lihat sebagai bentuk kepeduliannya—meskipun sudah tidak di Muhammadiyah lagi—dalam menawarkan wajah Islam yang ramah, toleran, egalitarian, humanis, dan demokratis.
Tulisan pengantar ini, di samping sebagai bentuk apresiasi terhadap pemikiran Dawam tentang Muhammadiyah, secara khusus juga dimaksudkan sebagai catatan tambahan untuk mempertajam keinsyafan akan permasalahan: Mengapa usaha modernisasi dan pembaruan yang digagas oleh Muhammadiyah—sebagaimana hal itu sangat tampak diawal-awal berdirinya organisasi ini—dalam perjalanan historisitasnya justru mengalami kemerosotan—jika tidak boleh disebut kemunduran? Mudah-mudahan pengantar ini bisa membantu menjelaskan pertanyaan tersebut.
Mitos ”Kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah”
Cendekiawan Muslim, Prof. Dr. Nurcholish Madjid (Cak Nur), pernah mengatakan:
“Muhammadiyah itu besar, modern, dan sukses adalah terutama sebagai gerakan amaliah. Ini dapat dipandang sebagai suatu keunggulan, sebab toh Islam, sebagaimana halnya dengan kehidupan manusia itu sendiri, mendapatkan modal eksistensinya dalam amal. Tetapi, kelebihan Muhammadiyah di bidang amaliah ini juga merupakan suatu kekurangan, yaitu jika memang watak kepraktisan Muhammadiyah itu terimplikasi kurangnya wawasan. Wawasan itu mutlak diperlukan sebagai sumber energi bagi pengembangan dinamis dan kreatif kegiatan amaliah itu sendiri. Kurangnya wawasan ini akan membuat sumber energi kegiatan lekas terkuras habis, dan keseluruhan sistem dapat terancam stagnan (mandek)… Sebagai gerakan dengan ciri kesuksesan yang mengesankan, Muhammadiyah dapat terancam menjadi tawanan dari bayangan keberhasilan dirinya pada masa lampau karena rasa puas diri (complacency) yang biasanya menjadi pangkal konservativisme dan kebekuan (jumûd).” (Madjid, 1997: 107-108)
Apa yang menjadi kekhawatiran Cak Nur, di atas, sangatlah beralasan, mengingat Muhammadiyah yang dikenal sebagai organisasi pembaru, belakangan justru bermuara pada konservatisme yang dulu sempat ia perangi. “Majelis Tarjih dan Tajdid” yang diharapkan dapat mengawal gerakan keilmuan Muhammadiyah, kurang berfungsi secara maksimal. Dan tampaknya, arah awal ideologisasi Muhammadiyah ke arah anti-liberal mulai bersemi melalui Majelis Tarjih ini yang kemudian menjelma menjadi “otoritas keagamaan” yang intervensionis terhadap kebebasan asasi manusia. Padahal setiap bentuk intervensi terhadap kebebasan individu, dengan sendirinya, melawan semangat liberalisme.
Liberalisasi pemikiran Islam di Muhammadiyah, hanya terjadi pada periode Amien Rais melalui Muktamar Aceh 1995. Namun, Amin Abdullah-lah yang sebenarnya menjadi ideolog liberalisasi pemikiran Islam. Ia ditetapkan sebagai Ketua Majelis Tarjih, yang sejak saat itu lembaga ini diperlebar sayapnya menjadi “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam”. Pada masa Amin Abdullah, ”Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam”, banyak melakukan analisis terhadap persoalan sosial kemasyarakatan dan mengembangkan nalar bayani, burhani dan irfani.
Paradigma bayani lebih melihat teks sebagai sebuah fenomena kebahasaan, sementara paradigma burhani lebih melihat teks sebagai suatu yang berkaitan dengan konteks, maka paradigma irfani, lebih melihat teks sebagai sebuah simbol dan isyarat (al-ramziyat wa al-ima`) yang menuntut pembacaan dan penggalian makna terdalam (bathin) dari simbol-simbol dan isyarat-isyarat tersebut dengan melibatkan kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritual. Memang, ketiga model pendekatan tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi diambil dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Ketiganya tidak terpisah-pisah melainkan sebagai satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut dengan at-Ta’wil al-Ilmi atau lebih dikenal dengan istilah hermeneutika.
Memang ketiga model pendekatan tersebut bukan gagasan genuine dari dalam Muhammadiyah, tetapi diambil dari konsep kritik nalar Arab al-Jabiri. Ketiganya tidak terpisah-pisah melainkan sebagai satu pola hubungan yang sirkuler. Amin Abdullah sendiri menamai teori tersebut dengan at-Ta’wil al-Ilmi atau lebih dikenal dengan istilah hermeneutika.
Pada era ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah Muhammadiyah dirumuskan secara resmi tafsir Al-Quran yang selaras dengan prinsip toleransi, pluralisme, kerja sama antarumat beragama, dan ahl al-Kitab. Kejayaan Muhammadiyah liberal makin bersinar terang di bawah kepemimpinan Ahmad Syafi’i Ma'arif (Buya Syafi’i). Kader-kader mudanya diberi ruang gerak yang sebebas-bebasnya untuk menafsirkan Islam secara progresif dan liberal. (Sukidi, 2005)
Di era Buya Syafi’i, gejala puritanisme-konservatif di tubuh Muhammadiyah tidak begitu kentara. Hal tersebut dikarenakan sikap dan pemikiran Buya yang nampak tegas dan konsisten membawa Muhammadiyah sebagai organisasi pembaru dengan semangat pembebasan. Yakni bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kebodohan dan mendorong penghargaan pada harkat dan martabat kemanusiaan. Muhammadiyah tampak terbuka terhadap pikiran-pikiran progresif-liberatif, sehingga tidak menjadi organisasi Islam yang eksklusif-tekstualis. Dan, di era Buya, pula, anak-anak muda Muhammadiyah yang berhimpun di JIMM, merasa nyaman, karena ada kedekatan emosional dan seringnya melakukan komunikasi.
Namun, semangat liberalisme di Muhammadiyah masa Buya Syafi’i, tidak mampu bertahan lama. Karena dalam perkembangannya, Din Syamsuddin, sebagai nakhoda baru Muhammadiyah, tampaknya tidak mampu mengelola kecenderungan yang semakin melemah ini. Lahirnya sayap liberal dan anti-liberal dalam Muhammadiyah era ini, dapat dilihat sebagai—meminjam istilah Sukidi—unintended consequence di balik pendekatan “kembali pada Al-Quran dan al-Sunnah”. Muktamar ke 45 di Malang, yang melahirkan keputusan-keputusan yang berseberangan dengan gagasan-gagasan liberalisme bisa digunakan sebagai langkah awal untuk membaca era baru Muhammadiyah. Majlis Tarjih—yang ketika dipimpin oleh Amin Abdullah ditambah dengan kata-kata “dan Pengembangan Pemikiran Islam”—pun digugat dan dikembalikan kepada nama lamanya, yaitu “Majlis Tarjih” saja. Bahkan, Komisi D juga memunculkan gejala-gejala pemangkasan terhadap gagasan-gagasan liberalisme, sampai keinginan Komisi ini untuk membubarkan JIMM. (Burhani, 2005)
Penelitian Pradana Boy, “In Defence of Pure Islam: The Conservative-Progressive Debate Within Muhammadiyah” yang kemudian diterbitkan dalam edisi Indonesia: “Para Pembela Islam, Pertarungan Konservatif dan Progresif di Tubuh Muhammadiyah”, menjelaskan bahwa penolakan liberalisme dan pluralisme terjadi hampir di semua kalangan Muhammadiyah. Pluralisme adalah salah satu contoh saja di mana Muhammadiyah menunjukkan resistensinya. Di samping pluralisme, isu-isu lain yang juga mendapatkan penentangan cukup kuat di Muhammadiyah adalah soal kesetaraan gender, manhaj Tarjih dan dakwah kultural.
Hasil temuan Boy, patut dikutip di sini,
”....Terhadap fenomena menguatnya gejala konservatisme pemikiran Islam di Muhammadiyah, sejumlah tokoh Muhammadiyah yang saya wawancarai untuk kepentingan tesis, secara optimis menyatakan bahwa apa yang sedang terjadi saat ini (pertarungan pemikiran antara kelompok liberal dan konservatif) masih bisa digolongkan sebagai dinamika karena dalam pertarungan ini kedua kelompok masih sama-sama menunjukkan eksistensinya. Atau dengan kata lain, kekuatannya masih berimbang. Tetapi, dengan melihat perkembangan demi perkembangan yang terjadi dalam Muhammadiyah belakangan ini, saya menjadi sedikit pesimis bahwa kontestasi ini masih berada dalam tahap dinamika. Saya menilai pertarungan ini sebenarnya sedikit demi sedikit mulai bergeser menjadi hegemoni, tepatnya hegemoni kelompok konservatif Muhammadiyah terhadap keberlangsungan pemikiran Islam progresif di organisasi ini.” (Boy, 2009)
Dari sini, kiranya dapat diambil suatu kesimpulan bahwa pluralisme—termasuk “saudara kandung”nya: liberalisme dan sekularisme—ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima di Muhammadiyah. Bahkan, pluralisme tidak bisa tumbuh dengan sehat di lingkungan organisasi Islam yang mengklaim paling modern sekali pun, seperti halnya yang terjadi di Muhammadiyah. Fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan Muhammadiyah memahami dan menghargai pluralisme. Padahal, sebagai orang yang pernah memimpin Muhammadiyah, Buya Syafii, seringkali mengingatkan, bahwa penghakiman terhadap keyakinan seseorang adalah mutlak hak prerogatif Tuhan. Manusia tidak memiliki hak tersebut, dan perampasan hak prerogatif itu merupakan sebuah kesombongan.
Di sinilah, bisa dimengerti mengapa munculnya anak-anak muda berhaluan progresif di Muhammadiyah menjadi antitesis dari kelompok mapan yang berhaluan puritan dan konservatif. ”Pertarungan” dua kubu antara kelompok mapan dan anak-anak muda sebetulnya terletak pada wilayah penafsiran terhadap teks. Kubu pertama menjadikan kitab suci al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber hukum—sebagaimana jargon di Muhammadiyah ‘al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah’. Dengan latar belakang semacam itu, tidak terlalu mengherankan jika semangat yang dibawa oleh kelompok mapan adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Doktrin ini sering dipahami secara verbal dan formal, dan diaktualisasi dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini.
Sementara kubu kedua, yang diwakili oleh anak-anak muda, seruan “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” bukan berarti kembali kepada tekstualisme atas nama Islam murni, tetapi melakukan penafsiran secara kontekstual serta memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global yang sarat dengan diskursus. Slogan “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” adalah bagian dari mekanisme untuk menciptakan kemajuan dan bukan menundukkan al-Qur’an dalam bentuknya yang tekstual, lantaran diposisikan monointerpretative, yang ditafsirkan sekali dan berlaku untuk selamanya.
Dalam pandangan anak-anak muda progresif, al-Qur’an harus disentuh dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya yaitu memahami al-Quran sebagai teks yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila al-Qur’an sebagai bahasa, maka di dalamnya mesti terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan budaya. Al-Quran yang diturunkan dalam bahasa Arab, sudah barang tentu merupakan salah satu bentuk dialektika antara dimensi kewahyuan dan kesejarahan. Bagaimanapun, bahasa Arab yang digunakan al-Quran adalah bahasa yang lumrah digunakan oleh masyarakat Arab. Bahasa Arab bukanlah bahasa langit, tapi bahasa masyarakat Arab pada umumnya. Ini menunjukkan, bahwa kesakralan al-Quran berkait kelindan dengan hakikat al-Quran sebagai teks bahasa yang sudah pasti terikat dengan waktu dan tempat.
Analisis konteks cukup berperan penting dalam memahami peristiwa pewahyuan, sebab konsep “wahyu” itu tidak akan dapat dimengerti kecuali dengan melihat konteks sebelumnya. Hal ini menandakan terdapat hubungan antara realitas (sebagai konteks) dengan teks. Seseorang tidak mungkin mengerti dan dapat memahami dengan mengambil teks di luar realitas.
Demikianlah, anak-anak muda progresif ini beriman tanpa rasa takut serta menyuarakan pemikiran-pemikiran tabu. Iman yang mereka miliki adalah iman yang liberatif (membebaskan) yang selalu mencari makna “kebenaran”. “Kebenaran” sejatinya akan selalu terbuka dan tidak bertepi, melampaui batas-batas anggapan dan sangkaan orang yang menemukannya. Imam Sayuthi dalam al-Itqan fi ‘Ulum al-Quran, mengatakan ilmu-ilmu keislaman, termasuk di dalamnya ilmu al-Quran ibarat lautan yang kedalamannya tak mungkin diselami atau ibarat pilar yang tertancap kokoh yang tak mungkin dipanjat oleh siapapun. Seolah-olah, bila al-Quran diyakini sebagai sesuatu yang sakral, maka seluruh yang berkaitan dengan ilmu-ilmu al-Quran juga dianggap sakral! (Shofan, 2006)
Dalam pandangan kalangan muda ini, memperbincangkan “kebenaran” tentu harus tetap memberi ruang bagi mereka yang kita duga telah “sesat”, sebab pada dasarnya “kesesatan” dan “kebenaran” adalah sisi yang berbeda dalam pencarian kebenaran itu sendiri. Wacana pluralisme sendiri, adalah salah satu isu paling penting yang dikembangkan oleh JIMM, meskipun secara internal tidak jarang mendapat perlawanan dari kelompok mapan yang berhaluan konservatif.
Kemunculan intelektual muda Muhammadiyah ini (sebenarnya) menumbuhkan harapan baru bagi berkembangnya kembali tradisi pemikiran umat Islam yang dibutuhkan untuk menghadapi tantangan zaman. Tak hanya itu, keberadaan mereka juga dapat diharapkan akan membantu mempercepat perubahan cara berpikir umat Islam, khususnya Muhammadiyah yang selama ini berjalan sangat lamban. Selama ini Muhammadiyah mengalami kemandekan sebab telah memudarnya rasionalisme dalam pemikiran Islam. Krisis epistemologi di Muhammadiyah inilah yang sesungguhnya menjadi sasaran kritik utama Dawam, karena Muhammadiyah lebih memilih teologi yang deterministik (bukan yang rasionalistik), dan tradisionalisme yang obskurantis (antikemajuan). Hal yang sama juga dikatakan oleh Harun Nasution, yang menuding bahwa Muhammadiyah tidak lagi konsisten dengan Muhammad Abduh. Harun menyatakan Muhammadiyah dipengaruhi oleh teologi rasionalistik yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh. Namun selama ini Muhammadiyah tidak menjalankan niat didirikannya organisasi ini. Yang diambil Muhammadiyah dari Abduh adalah segi-segi kemasyarakatannya saja, dan belum sebagai landasan teologisnya. Karena itu menurut Harun—sebagaimana juga dikatakan Dawam—Muhammadiyah masih menjadi organisasi tradisional. (Suyoto: 2005, 71-72) Gagasan-gagasan liberal dari para pemikir kontemporer seperti Mohammed Abed al-Jabiri, Mohammaed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, dan Hassan Hanafi tak pernah dikaji oleh Muhammadiyah.
Gagasan-gagasan anak-anak muda di Muhammadiyah yang seharusnya menjadi kekuatan penyeimbang kelompok konservatif, justru kehadirannya dianggap sebagai anak “haram” yang harus dienyahkan. Bahkan, perkembangan terakhir menunjukkan perbedaan pandangan kelompok mapan dan kelompok muda ini, tidak sekadar berputar-putar pada ranah discourse tetapi sudah mengalami perluasan dimensi dalam bentuk kekerasan. Pembelaan Dawam, terhadap pelbagai kasus yang menimpa kaum minoritas, seperti Jamaah Lia Eden, kalangan Syi’ah, Jaringan Islam Liberal, kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya, menempatkannya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi oleh kalangan mayoritas, termasuk Muhammadiyah.
Akibat ortodoksi dalam kultur Muhammadiyah inilah maka intellectual exercise menjadi tertutup. Kebebasan berfikir dilarang. Sikap doktrinal di Muhammadiyah telah menyebabkan terjadinya pembakuan dan formalisasi. Dengan demikian, sulit mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan, sebagaimana yang sering diduga banyak orang. Sebagaimana kelompok Khawarij, Muhammadiyah, tampaknya sudah tidak canggung lagi menuduh seorang muslim dengan sebutan kafir— kelompok Wahabi pun sangat mudah menuduh seorang muslim sebagai pelaku syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul, yang semua itu adalah ‘kata halus’ dari pengkafiran (Takfir), walaupun dalam beberapa hal sebutan-sebutan itu memiliki kesamaan dengan kekafiran itu sendiri jika dilihat dari konsekwensi hukumnya. Oleh karena itu, kaum Wahabi juga layak dijuluki dengan sebutan Jama’ah Takfiriyah (kelompok pengkafiran), suka dan hobbi menyesatkan dan mengkafirkan kelompok muslim lain selain kelompoknya.
Dalam tradisi Islam yang selalu merujuk pada teks, pembacaan terhadap teks sangat dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kejiwaan, di mana emosi benci dapat melahirkan teks kebencian dan tafsir kebencian. Kebencian seseorang bisa lahir karena beberapa sebab, misalnya; depresi, cemas, takut, obsesi, tidak aman, tidak mampu, rasa bersalah, frustasi, bingung, jengkel, sakit hati (dendam), tidak percaya dan marah.
Apabila pembaca membawa perasaannya dalam membaca sebuah teks, sangat mungkin akan lahir pembacaan yang dipengaruhi oleh perasaan-perasaan tersebut. Jika pembaca membaca teks yang berisi kebencian, sangat mungkin akan berpengaruh terhadap tindakan pembaca (inter influence). Tafsir kebencian menemukan asas legitimasi bagi seseorang untuk melakukan sikap-sikap atau tindakan-tindakan kebencian. Kebencian bisa terjadi karena empat sebab; dari diri (perasaannya), dari teks, dari pertemuan teks dan diri, serta dari diri (perasaannya) yang mempengaruhi teks.
Buku-buku yang ditulis, misalnya oleh Adian Husaini, Hartono Ahmad Jaiz—nama yang disebut pertama adalah salah satu pengurus Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah—gemar melakukan hujatan, penyesatan dengan bahasa-bahasa yang provokatif dan meledak-ledak. Tokoh-tokoh liberal, seperti Cak Nur, M. Dawam Rahardjo, dan Buya Syafii Ma’arif, tak luput dari hujatan dan stigma pengkafiran, sekalipun yang dihujat sudah meninggal. Buku-buku Ikhwanul Muslimin juga penuh dengan ungkapan-ungkapan pengkafiran, misalnya teks pengkafiran Sayyid Quthub terhadap seluruh masyarakat Islam dewasa ini, misalnya yang tercantum dalam buku “Ma’aalim Fith Thoriq”
Dilihat dari akar sejarahnya, munculnya gelombang konservatisme di sejumlah organisasi Islam di Indonesia, seperti gerakan Front Pembela Islam (FPI), Laskar Jihad, Majlis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan lain-lain yang semakin menguat, tidak bisa dilepaskan dari pengaruh keagamaan dan politik Timur Tengah ke Indonesia. Hizbut Tahrir (HT), Wahabi, dan Ikhwanul Muslimin (IM), misalnya, adalah gerakan ‘import” yang hadir di Indonesia. Di Negara asalnya, Mesir, organisasi yang didirikan Hasan al Banna pada tahun 1928 ini dianggap berbahaya. Namun di Indonesia mereka mendapat lahan yang cukup “basah” terutama setelah berhembusnya angin reformasi. Sayyid Qutb, ideolog Ikhwanul Muslimin memimpin gerakan yang agressif melawan panguasa. Dan Wahabi yang didirikan oleh Muhammad Ibn Abdul Wahhab tahun 1703 M ini bergerak dalam berbagai gerakan seperti Front Pembela Islam, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin Indonesia, dll. Salah satu ciri dari berbagai gerakan ini adalah model pembacaan teks secara skriptural-literal dan karenanya tertutup.
Kemunculan mereka dianggap mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi lantaran sebagian di antara mereka menggunakan cara-cara kekerasan dalam memperjuangkan aspirasi mereka. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim.
Di Indonesia, gerakan ini ada diberbagai elemen masyarakat terutama di kampus, masjid, sekolah, dan tentu saja pemerintahan dan parlemen. Mereka lebih dikenal dengan nama Gerakan Tarbiyah. Tujuannya kurang lebih sama, yaitu kembalinya Piagam Jakarta. Hal ini dimulai dengan memberlakukan perda-perda syari`ah di mana kader-kader mereka berhasil merebut kekuasaan, termasuk di lingkungan organisasi Islam besar: NU dan Muhammadiyah.
Gerakan ini sangat membahayakan, sehingga Pimpinan Pusat Muhammadiyah pernah mengeluarkan Surat Keputusan nomor 149/KEP/I.0/B/2006 yang intinya mengingatkan warga Muhammadiyah agar berhati-hati dengan ideologi tersebut. Namun, karena tindakan pencegahan ini tidak dilakukan secara serius, maka para penyusup yang sengaja hadir untuk mengacau dan menciptakan citra buruk bagi Muhammadiyah melalui masjid-masjid, sekolah, dan amal usaha lainnya tidak bisa dikontrol. Memang, dugaan ini agak sulit dibuktikan karena keanggotaan organisasi ini sangat lentur. Karenanya, siapa saja bisa aktif atau berpartisipasi lebih dari dua organisasi: Muhammadiyah sekaligus organisasi garis keras.
Dalam segala tindakannya, gerakan ini memposisikan dirinya sebagai pemegang otoritas, yang berhak atas klaim kebenaran dan penyesatan terhadap individu atau kelompok yang tidak sejalan dengan garis pemikirannya. Dalam hal keyakinan menganut paham absolutisme dan tak kenal kompromi. Otoritas semacam ini, dalam pandangan Khaled Abou el-Fadl, disebut sebagai otoritas koersif, yaitu kemampuan untuk mengarahkan perilaku orang lain dengan cara membujuk, mengambil keuntungan, mengancam atau menghukum, sehingga orang yang berakal sehat akan berkesimpulan bahwa untuk tujuan praktis mereka tidak punya pilihan lain kecuali harus menurutinya. (El-Fadl, 2003: 37-39).
Pembacaan seperti ini mengubah teks dari ‘otoritatif’ menjadi ‘otoriter’. Sebab mengharapkan wahyu al-Qur’an sebagai solusi dari semua persoalan kehidupan adalah mustahil jika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan ke dalam pembacaan yang subyektif. Subyektifitas dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual yang menjadikan teks diombang-ambing sesuai selera pembaca. Tentu saja teks tetap otoritatif dan pembaca menjadi otoriter, karena kebenaran hanya disajikan melalui satu pembacaan dengan mengabaikan pembacaan lainnya. Model pembacaan seperti ini bisa dikatakan kecerobohan karena telah melakukan ”pemerkosaan terhadap teks”.
Beragama seperti model di atas, adalah beragama tanpa bekal ilmu pengetahuan. Ini tentu sangat berbahaya. Dikatakan berbahaya, karena hanya akan menjadi ”benalu” peradaban. Jika tidak segera diatasi, maka ”citra” agama akan semakin kehilangan relevansi maknanya. Saya kira, beragama, tidaklah cukup hanya dengan niat baik. Niat baik tanpa didukung oleh pengetahuan lebih sering menimbulkan malapetaka ketimbang kemaslahatan. Model keberagamaan ”orang-orang baik” ini ialah model keberagamaan yang hanya berjamaah saat beribadat, namun dalam kehidupan sosio-historis, mereka adalah pesaing dan musuh.
Model keberagamaan yang hanya mementingkan dimensi ritual-vertikal (sholat, puasa, haji, dan lainnya) tanpa disertai kesadaran historisitasnya, tentu tidak bermakna apa-apa di depan Tuhan. Hemat saya, dimensi historisitas jauh lebih penting dari sekadar sholat, puasa ataupun haji. Agama tidak bisa dipahami dengan pemahaman sesempit itu. Pemahaman seperti itu tentu saja menempatkan agama pada tempat yang rendah dan semakin mengokohkan ego sebagai sentrum tujuan hidup, bukan kebersamaan dan persahabatan.
Agama dianggap suci dan mensucikan. Bahkan, al-Qur’an pun disucikan atau disakralkan. Padahal al-Qur’an adalah bagian kecil dari realitas profan sebagaimana benda-benda alam lainnya. Kesucian yang pada gilirannya mengharamkan kritik dan menjadikan mitos sebagai undang-undang. Inilah kehidupan keagamaan yang banyak ditemui di lingkungan Muhammadiyah. Slogan ”kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah” sebagai solusi atas semua persoalan kehidupan seraya mengabaikan pendekatan dari berbagai lintas disiplin ilmu modern yang berkembang merupakan sebuah mitos.
Diperlukan ”Operasi Ilmiah” terhadap Teks
Untuk membangun harapan Muhammadiyah di masa depan, maka Muhammadiyah harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler. Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Dan, untuk melakukan itu, (dengan semangat ”kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah”) diperlukan keberanian berfikir dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah.
Ketakutan untuk berpikir kritis, bebas, biasanya tercipta dari khayalan-kahayalan yang dibentuk oleh faktor psikologis, yang oleh Erich Fromm di sebut “delusi beban kebebasan”. Orang yang terhinggapi delusi ini selalu menganggap bahwa kebebasan adalah sesuatu yang berbahaya dan akan menghancurkan manusia. Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut bukan sekedar mereproduksi teks-teks tersebut, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Penafsiran terhadap teks yang hanya berhenti pada level talwin (ideologi) akan memasung kebebasan berpikir. Tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks sehingga makna yang dihasilkannya tidak melalui mekanisme penafsiran. Pengabaian semangat berpikir ini, tak ayal melahirkan kejumudan mayoritas kader dan aktivis Muhammadiyah.
Sekali lagi, penting untuk dikemukakan, bahwa pembacaan terhadap teks-teks agama, baik al-Qur’an maupun Hadis, tidak bisa lagi semata-mata bertumpu pada pola pemahaman yang aksiomatik-positivistik-monistik. Sudah saatnya orientasi tersebut diganti dengan metode pemahaman yang bersifat asumtif-probabilistik-pluralistik. Dengan meminjam pola analisis Mohammad Arkoun, teks-teks agama mengandung unsur sign (satu pemaknaan) signal (dua pemaknaan) maupun symbol (keragaman pemaknaan). Dengan kata lain, pembacaan terhadap teks-teks agama dapat bersifat monistik, dualistik maupun pluralistik. (Mukhsin Jamil, 2008: 105) Atau meminjam ungkapan Amin Abdullah, hubungan antara normativitas nilai-nilai al-Qur’an yang bersifat transendental-transkultural dan historisitas nilai-nilai tersebut yang lekat pada lembaga-lembaga keagamaan di berbagai masyarakat, tidak bisa tidak, perlu bersifat dialogis-dialektis-hermeneutis. Yang satu memperteguh, memperkuat, menafsirkan, memahami sekaligus juga mengoreksi dan mengkritik yang lain. Dan begitu sebaliknya. (Abdullah, 2006: 268-269)
Maka, seiring dengan berkembangnya teori-teori ilmu pengetahuan, beberapa intelektual Muslim telah mencoba mengembangkan teori-teori Barat, seperti pendekatan hermeneutika, yang mampu melakukan ”operasi ilmiah” terhadap makna teks yang terkandung di dalam al-Quran. Artinya, pemahaman kita terhadap al-Quran tidak hanya cukup disandarkan kepada bunyi teks, tetapi perlu melibatkan faktor psikologis, sosiologis, politik dan budaya. Mengutip pendapat Scheleirmacher, sebuah proses pemahaman menuntut agar pembaca berusaha untuk reliving and rethinking the thoughts and feeling of an author.
Tidak sedikit formulasi ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir poststrukturalis yang dapat kita gunakan untuk melakukan dekonstruksi terhadap berbagai pemikiran Islam yang dirasa mulai lesuh, stagnan akibat pengaruh dominan ortodoksi Islam. Untuk kepentingan itu, maka pendekatan tafsir yang selama ini berpotensi kuat membelenggu umat Islam harus segera digantikan dengan pendekatan keilmuan yang baru, seperti hermeneutika, semiotika, fenomenologi, sebagaimana yang telah ditunjukkan dengan baik oleh Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur dan M Abed Al-Jabiri. Juga pendekatan pluralisme, liberalisme dan sekularisme, yang memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan.
Sejarah membuktikan, bahwa tidak sedikit pemikir-pemikir muslim yang bertolak ke Barat, ketika mencita-citakan sebuah masyarakat yang beradab, berkemajuan, serta berperadaban. Sebagai contoh, Ali Jinnah dan Mohammad Iqbal yang mendirikan negara Pakistan adalah tokoh modernis muslim par excellence, menjadikan Barat sebagai model yang tepat untuk mendapatkan ide-ide politiknya. Tantangan apa pun terhadap Islam sudah pasti juga tantangan bagi para pemeluknya. Tantangan paling penting yang harus dilakukan umat Islam adalah upaya untuk mengakhiri rasa takut dari intimidasi agama.
Untuk keperluan itu, maka kajian Islam bisa menjadi salah satu strategi untuk melindungi masyarakat dari kekuatan pemimpin oportunis yang membajak umat dari formalisme Islam yang menghipnotis. Kajian Islam yang mampu membuat orang merasa hadir pada ruang dan waktu tertentu. Sehubungan dengan ini, kajian Islam harus diarahkan untuk mengartikulasikan strategi dalam menghadapi tantangan kehidupan, melihat masa depan dan menilai masa lampau. Kajian Islam di Indonesia dengan berbagai ragam coraknya, baik dari sisi pendekatan, tema, bentuk presentasi, dan bahkan juga ideologi mengandaikan bahwa Islam punya dinamikanya sendiri. Pluralitas kajian Islam di Indonesia harus dilihat sebagai salah satu cara kajian Islam, salah satu cara berbicara tentang Islam. Kita bisa tidak setuju dalam berbagai level makna dan fungsi wacana, namun dalam semangat ilmiah dan kemanusiaan tidak ada alasan bagi kita untuk menghapuskannya, melarang-larang, terlebih dengan mengatasnamakan kebenaran agama yang diklaim hanya punya satu kebenaran, satu makna. Masyarakat mempunyai hak untuk mendapatkan informasi seplural mungkin. Untuk mengkaji Islam, Al-Qur’an saja belumlah cukup tanpa menggunakan seperangkat metodologi yang memadai dalam menafsir al-Qur’an.
Amin Abdullah menyebut pendekatan hermeneutika (at-ta’wil al-ilmi) yang berusaha menjadikan teks, atau lebih tepatnya pemahaman orang-perorang, kelompok, mazhab, aliran, organisasi, dan kultur terhadap teks sebagai obyek telaah keilmuan keislaman yang baru. At-ta’wil al-ilmi memanfaatkan pendekatan hermeneutis klasik, modern, maupun kontemporer. Pendekatan at-ta’wil al-ilmi sebagai model tafsir alternatif terhadap teks menggunakan jalur lingkar hermeneutis yang mendialogkan secara sungguh-sungguh antara paradigma epistemologi bayani, burhani, dan irfani dalam satu gerak putar yang saling mengontrol, mengkritik, memperbaiki, dan menyempurnakan kekurangan yang melekat pada masing-masing paradigma, khususnya jika masing-masing berdiri sendiri, terpisah antara yang satu dengan yang lainnya.
Sekilas “Sorot Balik” Muhammadiyah
Saya akan mengajak pembaca untuk telusur ke belakang, untuk mempertajam keinsafan kita, bagaimana peran Muhammadiyah di masa-masa awal. KH. Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan ini, adalah salah seorang ulama yang hebat pada masanya, karena ia memahami bahwa dalam menafsir al-Qur’an harus melihat situasi dan kondisi, kesaling-terkaitan antara teks dan konteks. Dahlan, di samping sebagai ulama juga sebagai seorang mufassir yang paham betul tentang hermeneutika, meskipun istilah hemeneutika sebagai metode bertafsir baru muncul belakangan.
Dahlan memandang bahwa meski agama berasal dari Tuhan dan bersifat absolut, namun agama tersebut harus dipahami melalui medium penafsiran manusia yang berlaku dalam setting sosial yang kompleks. Dalam proses pemahaman inilah agama menjadi kehilangan keabsolutannya. Dengan kata lain, seseorang tidak dapat menyimpulkan tentang keabadian penafsiran agama karena keterbatasan pemahaman manusia terhadapnya. Tidak ada absolutisme pemahaman keagamaan, karena kemutlakan agama hanya ada pada agama itu sendiri. Karena itu, ajaran Islam yang telah dirumuskan oleh para ulama tidak bisa dikatakan benar secara mutlak, karena tidak ada satu pun penafsiran yang mutlak benar. Penafsiran hanya memiliki kebenaran yang relatif. Kebenaran penafsiran tidak dapat berlaku untuk ruang dan waktu.
Relativitas penafsiran agama tersebut melahirkan apresiasi terhadap pluralisme, penghargaan terhadap keragaman agama, pandangan keagamaan dan tradisi keberagamaan. Relativitas penafsiran agama juga melahirkan sikap apresiasi terhadap ide-ide lain, karena seseorang tidak akan dapat mendapatkan pemahaman keagamaan yang sempurna dengan kemampuan yang terbatas. Relativitas penafsiran agama juga melahirkan kesiapan bagi pengalaman baru, yang pada gilirannya bisa mengekspresikan diri dalam pelbagai bentuk dan konteks. Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika para pemimpin Muhammadiyah pada paruh pertama abad ke-20 mengambil sikap dengan mengatakan bahwa pendapat-pendapat tentang keagamaan yang dilontarkan oleh Muhammadiyah bukan merupakan satu-satunya kebenaran yang valid. Ini menunjukkan bahwa keterbukaan dan pluralisme merupakan sikap yang senantiasa ditanamkan para pemimpin Muhammadiyah dengan harapan semangat kejujuran akan terwujud. (Mukhsin Jamil, dkk., 2008: 87)
Dalam pandangan Kurzman, (2001, h. xxv) Muhammadiyah pada awal abad ke-20, merupakan representasi organisasi-organisasi Islam liberal di dunia Islam, selain Ittifaq al-Muslimin di Rusia dan Aligarh di India. Ciri khas gerakan Islam liberal adalah pengenalan pelajaran-pelajaran Barat dan tema-tema yang khas Barat terhadap kurikulum tradisional; sesuatu yang merefleksikan sumbangan intelektual dari kaum liberal, yakni penghargaan terhadap “modernitas”. Karena itu, Islam liberal pada periode ini secara umum dikenal sebagai “modernisme Islam”. Sumber kontroversi tentang Muhammadiyah adalah justru terletak pada bentuk-bentuk paling kreatif dari sistem responsinya terhadap tantangan itu, yaitu adopsi unsur-unsur kemodernan (baca: Belanda) dalam pandangan dasar dan sistem pendidikan yang dikembangkannya.
Sedikit disinggung di sini, bahwa liberalisme muncul sebagai reaksi atas ideologi zamannya. Liberalisme lahir dari renaissans dan pencerahan. Robert Hass (Shofan: 2006) mengaku bahwa liberalisme adalah hasil percampuran kreatif antara Renaissans-Pencerahan dan tradisi agama. Berkaitan dengan Islam, ideologi liberalisme dipakai sebagai bahasa untuk mengatasnamakan ‘Barat’, mengingatkan Barat, dan mengajak Islam untuk bergabung dengan dunia liberal, bebas, dan rasional. Sebagai reaksi atas ideologi zamannya, Islam liberal menawarkan satu pendekatan yang tidak rigid, skriptural dalam menawarkan ide-ide Islam progresif. Tawaran tersebut muncul karena kebutuhan. Ideologi yang diwartakannya berangkat dari satu kesadaran atas jamannya. Sebagai kesadaran, ideologi tidak hanya meliputi masa kini namun juga masa lampau dan akan datang. “Islam sendiri bukanlah ideologi tetapi Islam memerlukan ideologi”, kata Kuntowijoyo.
Charles Kurzman, (2001) memberikan ciri-ciri enam gagasan yang dapat dipakai sebagai tolok ukur sebuah pemikiran Islam dapat disebut "liberal". Pertama, melawan teokrasi, yaitu ide-ide yang hendak mendirikan negara Islam. Kedua, mendukung gagasan demokrasi. Ketiga, membela hak-hak perempuan. Empat, membela hak-hak non-muslim, kelima, membela kebebasan berpikir. Dan terakhir, membela gagasan kemajuan. Siapapun saja yang membela salah satu dari enam gagasan di atas, maka ia adalah seorang Islam Liberal. Islam liberal berusaha memadukan Islam dengan situasi modernitas sebagai sesuatu yang tak dapat dielakkan, sehingga Islam tetap mampu menjawab perubahan sosial yang secara terus menerus terjadi. Islam harus tetap menjadi pengawal (guidence) menuju realitas kesejarahan yang hakiki di tengah pergolakan situasi modernitas dan era globalisasi.
Spirit liberalisme ada pada diri Ahmad Dahlan. Melalui ajaran al-Ma’un, Dahlan melakukan terobosan yang luar biasa, yakni lahirnya pemikiran yang di belakang hari mirip atau sama dengan konsep teologi pembebasan (theology of liberation) dalam perspektif Islam. Melalui al-Ma’un, Dahlan tidak saja membongkar kesadaran umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam dengan pengamalan, sekaligus melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa terjebak pada formalisme-konservatisme.
Jika mengikuti pemikiran Kurzman, bahwa salah satu ciri pemikiran Islam dapat disebut liberal adalah membela kebebasan berfikir, maka Muhammadiyah sejak awal sudah mencanangkannya. Berikut penegasan sikap itu:
“…Dan tiadalah boleh mengikuti sesama manusia dengan membuta tuli atau taklid. Melainkan harus berusaha senantiasa mempertinggi nilai pribadi dan akal sendiri, sehingga dapat memahamkan sendiri akan agama itu. “Kalau benar hasil faham itu, mendapatlah dua pahala. Pahala memahamkan dan pahala kebenaran pendapat; dan kalau salah, mendapat juga satu pahala, yaitu pahala kesungguhan menyelidiki, dan tidak berdosa kalau salah pendapat”. Karena tiadalah kesalahan pendapat yang disengaja. Harus pula diakui bagaimana besar jasa dan usaha angkatan terdahulu yang dinamai assalafush Shalihin dalam memikirkan seluk beluk agama, dan mengeluarkan sari patinya. Maka kembang bersinarlah agama Islam, karena kemerdekaan berpikir. Dan setelah itu muramlah cahayanya, karena kemerdekaan berpikir itu tidak ada lagi. Maka kita berkeyakinan, bahwasannya kembalinya kemegahan dan kebesaran Islam, sangatlah tergantung kepada kembalinya kemerdekaan berpikir, dan kesungguh-sungguhan menggali dan mengorek hikmah agama dari segala seginya…” (Nashir, 2010: 184-185)
Muhammadiyah ternyata sangat mendorong kemerdekaan dan kebebasan berpikir sebagai prasyarat bagi terciptanya sebuah peradaban yang utama. Kutipan di atas muncul tahun 1954 saat Muhammadiyah dipimpin oleh AR. Sutan Mansur. Dengan demikian arah “Tajdid” seharusnya memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Karenanya siapa saja yang berpendapat bahwa Muhammadiyah tidak mendorong kebebaan berpikir, sesungguhnya ia telah menelikung sejarah dan membajak Muhammadiyah. Lebih jauh lagi, ia telah membajak Islam—sebagaimana sering dilakukan kelompok fundamentalis-konservatif.
Betapa pentingnya kemerdekaan berpikir, kiranya tidak terlalu mengherankan jika Buya Syafii, dalam sebuah “Resonansi” di Republika, mengusulkan agar “Majelis Tarjih dan Tajdid” diganti namanya menjadi “Majelis Tarjih dan Kemerdekaan Berpikir”. Dengan pernyataannya itu, sepertinya Buya Syafi’i ingin menghimbau agar tokoh-tokoh Muhammadiyah hendaknya juga berani berpikir jauh untuk membongkar warisan ijtihad lama yang mungkin sudah tidak relevan untuk memecahkan masalah kemanusiaan global sekarang ini. Jika Tuhan saja membebaskan seseorang untuk menjadi ateis, maka tidak ada hak bagi manusia untuk melarang ateisme. Kebebasan adalah kata-kata kunci bagi ide modernitas, dan merupakan benteng bagi keabsahannya.
Institusi Tarjih dan universitas-universitas Muhammadiyah seharusnya berperan signifikan dalam menggerakkan intelektualisme Islam yang menjunjung tinggi etika kebebasan berpikir. Dahlan, sebagai pendiri Muhammadiyah sangat membenci taklid atau mengikuti pendapat orang tanpa daya kritis. Karena itu, selain mengajak umat Islam kembali kepada sumber ajaran Islam yang asli, yakni al-Qur’an dan sunnah Nabi, pada saat yang sama mengajak untuk berfikir kritis dan lebih jauh lagi berijitihad. Dahlan selalu menganjurkan murid-muridnya untuk berpikiran maju. (Nashir, 2010: 126, 129)
Ayat-ayat Al Quran tentang kemanusiaan yang diajarkan Ahmad Dahlan kepada murid-muridnya, selalu tidak terhenti pada hafalan dan pemahaman, tetapi dituntut untuk dilaksanakan. Ketika mengajarkan beberapa ayat tentang pentingnya ilmu pengetahuan, serta penyantunan orang miskin dan yatim piatu, Ahmad Dahlan menuntut muridnya melaksanakan ayat-ayat itu dalam amalan nyata. Dari landasan seperti ini, Muhammadiyah melahirkan lembaga-lembaga pendidikan, kesehatan, dan sosial dalam jumlah massif.
Surat al-Ma’un yang selalu diajarkan tafsirnya oleh Dahlan, sebenarnya mencerminkan sila keadilan sosial. Dalam doktrin sosial ini, Dahlan bukan mengikuti Mohammad Abduh atau siapapun. Gagasan itu, menurut Dawam—dalam kesempatan berdiskusi dengan saya—merupakan orisinalitas para pendiri Muhammadiyah dalam konteks Indonesia. Dalam perspektif sejarah pemikiran, maka interpretasi Dahlan mengenai Islam ikut memberi sumbangan terhadap pembentukan ideologi Pancasila, bahkan ide ini diabadikan dengan pasal 34 UUD 1945.
Berbagai pemikirannya tentang tajdid, menjadi bukti kuat bahwa paham Islam yang diajarkan Dahlan, bukan hanya semata pemurnian tetapi juga pembaruan, tidak semata autentik, tapi juga dinamis. Sosok Ahmad Dahlan adalah sosok man of action. Dia made history for his works than his words, tulis Alfian dalam desertasinya, (Alfian, 1989) kendati dalam hidupnya, Dahlan tidak menghasilkan karya tulis yang lengkap dan sistematik, tetapi pemikiran-pemikiran mendasarnya dan karya yang dihasilkannya yakni Muhammadiyah, menunjukkan tajdid dari seorang Dahlan yang berpikiran cemerlang itu. (Nashir, 2010: 296) Ini berbeda dengan tokoh-tokoh pembaruan yang lain, seperti A. Hasan dan Ahmad Surkati yang cukup produktif dengan tulis menulis, khususnya A, Hasan. (Suyoto, dkk., 2005: 19)
Penutup
Kini Muhammadiyah yang berusia satu abad, dituntut sekali lagi untuk menunjukkan keberanian moral dan intelektual dalam “mengarungi” arah perkembangan sejarah. Muhammadiyah harus mulai lagi melihat ke depan dalam semangat kepeloporan dan keperintisan, seperti dahulu ditunjukkan oleh Dahlan dan kawan-kawannya. Muhammadiyah sekarang membutuhkan satu hal untuk kembali memutar dinamisme dan kembali menggapai kemajuan. Semangat “kembali pada Al-Quran dan al-Sunnah” seharusnya dimaknai bagaimana menangkap pesan al-Qur’an dan sunnah Nabi secara liberal, sebagaimana Dahlan sebagai prototipe muslim liberal par excellence.
Jargon Muhammadiyah “kembali ke Al-Quran dan al-Sunnah” mengandaikan sikap kritis-metodologis-ilmiah dengan harapan mampu menangkap pesan dan menafsir makna zaman. Lihatlah, betapa Barat dengan kelebihannya mampu menunjukkan kepada kita bagaimana menata kehidupan sosialnya jauh lebih baik dari umat Islam. Dan untuk menata kehidupan yang lebih baik, mereka tidak perlu repot-repot menerapkan syariat Islam atau merujuk kepada Kitab Al-Qur’an, atau Injil. Banyak berbagai bukti konkret di mana orang bisa hidup dengan tatanan sosial yang sekuler, yang mereka impikan sebagai satu bangsa. Karenanya—tidak bisa tidak—jika Muhammadiyah—yang sudah cidera secara epistemologis dan metodologis—mau ”sembuh” dari bahaya ”penyakit” konservatisme, skripturalisme, puritanisme, dogmatisme dan sejenisnya—yang tak pernah berhenti mengintimidasi agama—maka seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, harus ditelan sebagai penebusnya. Alat-alat yang saya maksud adalah ”trilogi pembaruan”: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme—karena trilogi itu adalah gerbang pencerahan.
Jika trilogi (pluralisme, liberalisme dan sekularisme) tersebut tidak mendapat respon positif di Muhammadiyah, maka ajang Muktamar Muhammadiyah yang terasa sangat istimewa, karena Muhammadiyah telah genap satu abad—sebuah rentang waktu yang tidak pendek—yang seharusnya menjadi momen penting justru akan kehilangan etos sebagai gerakan pembaru. Akankah lonceng ”Kematian Pembaruan”—yang dibingkai secara rapi dengan slogan ”kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah”—akan menjadi bencana besar bagi roda perjalanan ”Satu Abad” Muhammadiyah? Hanya waktulah yang bisa menjawab.
Akhirnya, buku yang ada di hadapan pembaca ini—yang berisi pemikiran Dawam dan sejumlah tangggapan dari kawan-kawan di lingkungan Muhammadiyah atau yang lainnya, baik yang pro maupun yang kontra—kehadirannya bisa dimaknai sebagai bentuk kepedulian mereka terhadap ”nasib” gerakan pembaruan pemikiran Islam di Indonesia, utamanya di lingkungan Muhammadiyah, yang sudah berusia satu abad. Saya berharap buku ini tidak saja dibaca oleh kalangan Muhammadiyah yang bersimpati terhadap gerakan pembaruan pemikiran Islam, tetapi dibaca juga oleh kalangan umum. Buku ini tidak menutup kemungkinan akan menjadi perdebatan di ruang publik. Kritik dan refleksi pemikiran dalam buku ini diharapkan akan menjadi “pelecut” bagi Muhammadiyah yang tampaknya sudah mulai “pikun” atau “lupa” terhadap jatidirinya sebagai gerakan pembaruan.
Satu hal, ingin saya katakan di sini, bahwa kritik dan refleksi pemikiran Dawam, terhadap Muhammadiyah, di buku ini, diniatkan atas dasar empati dan bukannya kebencian, atau sakit hati karena telah dipecat oleh Muhammadiyah. Sebagai cendekiawan bebas yang berekspresi di luar Muhammadiyah, Dawam masih menyimpan “secercah” harapan. Dawam ingin melihat Muhammadiyah sebagai gerakan pembaru Islam di Indonesia bagaikan “matahari yang terbit dari pantai Sanur”. Selamat membaca! [] Wallahu A’lam bi al-Shawa
Daftar Bacaan:
Alfian, “Muhammadiyah: The Political Behavior of Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism” (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press)
M. Amin Abdullah, Dinamika Islam Kultural Pemetaan Atas Wacana Islam Kontemporer, Mizan, Bandung, 2000
Suyoto dkk., “Pola Gerakan Muhammadiyah Ranting Ketegangan Antara Purifikasi dan Dinamisasi” (Yogyakarta: Ircisod, 2005)
Haedar Nashir, “Muhammadiyah Gerakan Pembaruan” (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2010)
Nurcholish Madjid, “Tradisi Islam Peran dan Fungsinya dalam Pembangunan di Indonesia” (Jakarta: Paramadina, 1997)
Khaled Abou al-Fadl, And God Knows The Soldier: The Authoritative and Authoritarian in Islamic Discourse, (terj.) (Jakarta, Serambi: 2004)
Kholed M. Abou El-Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif (Jakarta; Serambi, 2003), h. 37-39.
Charles Kurzman, “Wacana Islam Liberal” (Jakarta, Paramadina: 2001)
Pradana Boy ZTF, “Para Pembela Islam Pertarungan Kelompok Progresif dan Konservatif di Muhammadiyah” (Jakarta, Gramata Publishing: 2009)
Moh. Shofan, ”Mitos Wahyu, Ilmu Pengetahuan dan Peradaban”, dalam Ali Usman, “Menegakkan Pluralisme, Esai-esai Pemikiran Moh. Shofan dan Refleksi Kritis Kaum Pluralis” (Yogyakarta: Ar-Ruz-LSAF, 2008)
Moh. Shofan, ”Jalan Ketiga Pemikiran Islam”, (Yogyakarta: Ircisod, 2008)
Ahmad Najib Burhani, Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah, www.islamlib.com, 24/07/2005
Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal”, MAJALAH TEMPO, Edisi. 20/XXXIV/11 - 17 Juli 2005
Kamis, 22 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar