Anak-anak Muda tentang Cak Nur
Judul Buku : All You Need is Love Cak Nur di Mata Anak-anak Muda
Editor : Ihsan Ali Fauzi dan Ade Armando
Penerbit : Yayasan Wakaf Paramadina, Jakarta
Tahun Terbit : 2009
Tebal : 208 halaman
Moh. Shofan
Prof. Dr. Nurcholish Madjid (yang biasa disapa Cak Nur) dikenal sebagai tokoh intelektual yang tajam, terbuka, dan pluralis. Gagasan-gagasannya tentang Keislaman, Kemodernan dan Keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam. Cak Nur berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya. Komitmennya pada pluralisme, yakni sistem nilai yang memandang secara positif terhadap kemajemukan itu sendiri dengan menerimanya sebagai kenyataan yang bersifat niscaya membuat ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda.
Buku ‘All You Need is Love!’ yang berisi tentang pandangan anak-anak muda mengenai Cak Nur menjadi bukti empirik bahwa pikiran-pikiran bernasnya mampu menginspirasi, mempengaruhi, bahkan menjadi spirit bagi anak-anak muda untuk melampauinya. Menyebut salah satu contoh, Husni Mubarok –seorang intelektual muda pengagum Cak Nur– mengatakan, bahwa gagasan Cak Nur mengenai tauhid sekular sangatlah penting. Gagasan ini menurutnya, perlu didakwahkan bukan hanya di masyarakat umum, tetapi juga di lingkungan pemerintah agar terwujud pemerintahan yang adil dalam berbangsa dan bernegara. (h. 103-104) Dalam buku ini, anak-anak muda merekam apa makna Cak Nur bagi pembentukan dan perkembangan diri mereka sendiri, baik pikirannya, bukunya, wawancaranya di media massa, selebritasnya, caranya menjawab kritik, khotbah Jumatnya, dan lainnya. Kiprah Cak Nur selama hayatnya beresonansi di kalangan anak-anak muda Indonesia kontemporer, satu lapisan generasi yang jelas bukan generasi yang menjadi sasaran utama “kampanye”-nya ketika dia pertama kali menarik gerbong pembaharuannya. (h. 6)
Buku yang ditulis oleh anak-anak muda ini merupakan kumpulan hasil sayembara penulisan esai yang diselenggarakan Yayasan Wakaf Paramadina dalam rangka memperingati 1000 hari wafatnya Cak Nur. Cak Nur, di mata anak-anak muda cukup dikagumi. Kefasihannya berbicara tentang teori ilmu sosial sama baiknya dengan uraiannya tentang khazanah Islam. Ia menguasai bahasa Arab dan Inggris. Cak Nur juga dianggap sebagai sosok ideolog dan leader yang mampu melakukan pencerahan di saat umat Islam sedang mengalami krisis kepemimpinan dan arah gerakan. Dan, Cak Nur, adalah seorang penulis dan pembicara yang baik.
Begitu luasnya pengetahuan Cak Nur, mengenai Islam dan dunia kemodernan, sehingga ia selalu menjadi tempat bertanya mulai dari mahasiswa, cendekiawan, ulama, duta besar, sampai calon presiden. Profilnya yang rendah hati dan penuh kesederhanaan, membuat banyak orang mencintai dan menjadikannya sebagai sumber inspirasi pemikiran. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia. Cak Nur, menjadi simbol kaum intelektual Muslim modernis Indonesia. Jika pada masa-masa pra dan awal kemerdekaan, simbol kaum terpelajar dari kalangan Islam itu melekat pada diri H. Agus Salim dan Muhammad Natsir, maka pada masa sepeninggal mereka, simbol itu disandang oleh Cak Nur. Cak Nur adalah penerus sempurna gerakan pembaruan Islam yang telah dimulai sejak abad ke-19. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ kelahiran Jombang, Jawa Timur ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis.
Posisi individual Cak Nur mempunyai resonansi yang sangat kuat dalam menumbuhkan atmosfer intelektual di lingkungan komunitas Muslim Indonesia. Cak Nur, memang pantas menyandang ‘Mahkota Intelektual’ Indonesia, karena wawasannya yang luas dan sangat ensiklopedis. Cak Nur memang sumber pemikiran Islam di Indonesia, bukan hanya pada generasinya, tetapi lebih-lebih pada generasi pasca-Cak Nur. Kiranya tak berlebihan jika dikatakan bahwa Cak Nur tidak hanya milik bangsa, tetapi juga milik dunia. Dalam konteks dunia Islam, saya kira, sangatlah layak jika Cak Nur disejajarkan dengan M. Abid Al-Jabiri, Mohamed Arkoun, Hasan Hanafi, Nasr Hamid Abu Zayd, bahkan gurunya sendiri Fazlur Rahman.
Sebagai seorang pembaharu Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran Neo-Modernis, pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas teologi, yakni pandangan teologi yang oleh Kurzman ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang ciri-cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas); Barat modern tidak dilihat sebagai ancaman, tapi justru reinventing Islam untuk ‘meluruskan’ modernitas Barat; membuka peluang bagi bentuk tertentu ‘otonomi duniawi’ dalam berbangsa dan bernegara, dan; cara pemahaman Islam yang terbuka, toleran dan inklusif. Cak Nur, menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Inilah dasar-dasar paling penting dari pemikiran sosial kemodernan Islam yang ditanamkan Cak Nur dalam keterlibatan Islam membangun Islam modern.
Buku ini terdiri dari tiga bab. Bagian pertama mengungkap apa yang dikenang mereka dari Cak Nur, apa yang mereka anggap menginspirasikan, untuk perkembangan pribadi mereka sendiri. Bagian kedua lebih terkait langsung dengan substansi pembaharuan Cak Nur. Dan, pada bagian terakhir buku ini mendiskusikan nasib pembaharuan Islam sesudah Cak Nur. Kini, Cak Nur telah tiada. Namun, buku ini menjadi saksi sejarah bahwa pikiran-pikiran bernas Cak Nur, Sang lokomotif pembaharu ini mengakar kuat di benak anak-anak muda sebagai pelaku dan penerus pembaharuan di masa yang akan datang.
Dimuat di Surabaya Post, 25 Januari 2009
Kamis, 22 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar