Wajah Lain Muhammadiyah
Benni Setiawan,
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).
Pada usianya yang semakin senja, 99 tahun (8 Dzulhijjah 1330 H–8 Dzulhijjah 1429 H), Muhammadiyah dihadapkan pada berbagai persoalan yang muncul di tengah warganya.
Persoalan seperti mulai terkikisnya ideologi Muhammadiyah karena telah disusupi paham atau ideologi lain, seperti Ikhwanul Muslimin (PKS) dan HTI, pernah menjadi perbincangan hangat pada awal 2006 hingga awal 2008.
Kini persoalan Muhammadiyah semakin berkembang dengan semakin kuatnya paham fundamentalisme-konservatif di tubuh organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini. Paham fundamentalisme konservatif telah menggusur tokoh-tokoh pemikir beraliran progresif-liberal dalam tubuh Muhammadiyah.
Sebut saja Ahmad Syafi’i Ma’arif, Abdul Munir Mulkhan,dan M Amin Abdullah. Paman SAM, begitu mereka sering disebut, tidak dipakai lagi––kalau tidak mau disebut disingkirkan–– dalam tubuh Muhammadiyah. Mereka dianggap sebagai ikon paham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme. Selain itu,pahampaham mereka yang cenderung ìliberalî diharamkan. Bahkan, para pengikutnya pun harus menerima perlakuan yang tidak mengenakkan dari Muhammadiyah.
Moh. Shofan dipecat dari kedudukannya sebagai dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) karena ia mengucapkan selamat Natal melalui sebuah artikel di harian Surya, Jawa Timur, dan Indo Pos, Jakarta, pada bulan Desember 2006. Shofan dianggap menyebarkan paham pluralisme yang diharamkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui musyawarah nasional pada 26–29 Juli 2005 yang juga diamini Muhammadiyah. Pluralisme bagi Muhammadiyah merupakan kata angker yang perlu dijauhi dan diperangi. Penganjur pluralisme dalam Muhammadiyah menjadi sangat berbeda dengan Muhammadiyah di masa awal kelahirannya.
Di masa awal, KH Ahmad Dahlan, berani menafsirkan surat Al- Ma’un dengan mendirikan sekolahan, panti asuhan, dan rumah sakit dan itu merupakan tafsiran yang melampaui zamannya. Namun, Muhammadiyah kini begitu garang terhadap pemikiran-pemikiran nyleneh. Bahkan, tanpa membuka ruang dialog, Muhammadiyah mampu menjadi hakim di dunia dalam proses keberagamaan seseorang. Maka, tidak aneh jika M Dawam Rahardjo, mantan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, harus dipecat dari keanggotaan organisasi yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini walaupun sampai sekarang surat pemecatannya belum juga ada.
Namun, dalam kata pengantarnya, Dawam, tetap beriktikad, sekali Muhammadiyah tetap Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak lagi menampakkan wajah humanis dan modernis lagi. Hal ini dikarenakan ruang dialog dan tukar pikiran tidak lagi menjadi tradisi.Tradisi yang berkembang adalah saling menyalahkan dan menghukum seseorang yang belum tentu benar.
Melalui buku ini, Moh Shofan, sebagai seorang kader muda Muhammadiyah, sepertinya ingin menegaskan bahwa paham pluralisme harus terus diperjuangkan. Dengan paham ini, seseorang akan mampu melihat realitas secara lebih nyata dan indah. Pluralisme yang dirancang oleh Shofan dan kawan-kawan dalam buku ini menjadi semacam resistensi terhadap kekuasaan pimpinan Muhammadiyah periode 2005–2010. Pimpinan Pusat Muhammadiyah saat ini yang menurut Pradana Boy lebih dekat dengan paham fundamentalisme konservatif seakan dikritik secara apik dan konstruktif oleh kader-kader mudanya.
Melalui buku ini juga, Moh Shofan yang sekarang aktif di Yayasan Paramadina ini ingin menegaskan bahwa keragaman berpikir di Muhammadiyah tidak tunggal dan tidak menjadi hegemoni kaum tua. Shofan sepertinya ingin membangun sebuah tradisi berpikir yang berbeda dengan arus utama yang ada selama ini. Walaupun tidak banyak yang baru––untuk tidak menyebut tidak ada sama sekali–– dari apa yang diulas Moh Shofan dan kawan-kawan dalam memandang pluralisme dalam beragama dan bermasyarakat, buku ini merupakan bentuk pemberontakan terhadap fundamentalisme konservatif didalam tubuh Muhammadiyah.
Lebih dari itu, buku ini menjadi menarik untuk diperbincangkan karena arus utama pemikiran di tubuh Muhammadiyah tidak mengakomodasi hal-hal seperti ini. Buku ini semakin menguatkan apa yang dikatakan A Mukti Ali dalam kata pengantar buku karya Mitsuo Nakamura berjudul The Cresent Arises Over the Banyan Tree.A Mukti Ali menandaskan bahwa ”Muhammadiyah is multi-faced movement”, Muhammadiyah adalah gerakan yang memiliki banyak wajah. Muhammadiyah kini memiliki wajah fundamentalis-konservatif, progresif-liberal,dan sebagainya. Inilah wajah-wajah Muhammadiyah yang senantiasa menghiasi proses sejarah organisasi yang kini dipimpin oleh Din Syamsuddin ini.
Resensi, dimuat di harian Seputar Indonesia, Minggu, 20 Desember 2008
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar