Islam Agama Hanif
Moh. Shofan
Istilah hanif atau al-hanafiyah (agama hanif) tidak begitu popular di lingkungan umat Islam di Indonesia. Sehingga ketika disebut agama hanif (agama yang condong kepada kelurusan atau kebenaran) masih terasa asing. Kata hanafa telah dikenal dalam bahasa yang berlaku ketika itu di lingkungan masyarakat Arab. Sebagian orientalis berpendapat “sesungguhnya kata tersebut berasal dari bahasa ibrani, yaitu tahniyus atau dari kata hanafa yang berarti at-Tahannus (beribadah dalam waktu beberapa malam). Di kalangan orang arab dan suryani kata hanafa dimaksudkan Shaba’a yang berarti condong dan terpengaruh oleh sesuatu. Al-Qur’an juga berbicara tentang al-Hunafa’. Kata Hanifan diulang sepuluh kali dalam Al-Qur’an, sedangkan kata Hunafa’ diulang 2 kali.
Gerakan al-Hanafiyyah, di lingkungan masyarakat Arab belum mendapatkan kajian dan penelitian yang memadai dari para peneliti modern. Letak penting gerakan ini lebih pada titik penemuan (halaqah) dalam masa transisi dari masa pra-islam menuju masa islam. Penyebaran al-Hanifiyyah yang diikuti oleh sebagian para tokoh, cerdik-cendikia, orang-orang yang tercerahkan dan para penyair, merupakan sesuatu yang baru sebelum diutusnya Nabi Muhammad. Fenomena para hunafa’ ini muncul sebagai suatu realitas sejarah yang tidak bisa dihindari. Bahkan kondisi masyarakat mengharuskan demikian, karena kekuatan-kekuatan produktif terus berkembang, seiring dengan bertambahnya produksi pertanian dan produksi perindustrian. Perkampungan kecil berubah menjadi kota-kota yang maju, aktifitas perdagangan yang semakin giat dan proses tukar menukar barang telah mempercepat perubahannya.
Al-Hunafa’ dengan demikian, adalah kumpulan orang-orang dengan segenap keistimewaan yang ada pada dirinya, seperti kecerdasan akal dan pengetahuannya yang luas, pandangan-pandangannya sangat kritis terhadap problematika kehidupan. Mereka dipandang relatif lebih berbudi pekerti luhur dan terpelajar. Mereka menolak menyembah berhala karena dipandang sia-sia, dan mengajak kepada ketauhidan. Mereka menjauhkan diri dari menyembah berhala dan tidak condong kepada agama Yahudi dan Nasrani, melainkan mereka menyuarakan ke-Esaan Allah. Demikian pula mereka mempunyai kelebihan dalam tingkah laku dan moralitas sehingga mereka menolak segala kehinaan yang tersebar di masyarakatnya, seperti zina, minum khamer, dan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Dan tentu saja, semua itu merupakan ajakan demi tersebarnya agama hanif sebagai pencarian terhadap agama baru yang lebih rasional.
Semua faktor-faktor tersebut telah berinteraksi sehingga berkembang dan melahirkan fenomena agama hanif dan tersebar diseluruh penjuru, khususnya di kota-kota atau pusat-pusat kebudayaan. Dari sini dapatlah disimpulkan bahwa fenomena al-Hunafa’ tersebut merupakan langkah awal bagi munculnya ‘kesadaran’ dalam berIslam dan juga kesadaran dalam membangun peradaban. Mereka hidup dalam peradaban yang tinggi secara relatif. Hal itu karena kebanyakan mereka telah mempelajari kitab suci kedua agama Semit (Yahudi dan Nasrani). Sebagian telah menguasai bahasa yang lain selain bahasa Arab, seperti bahasa Ibrani (Hebrew) dan Suryani. Semua itu dimaksudkan untuk mencari agama Nabi Ibrahim, sebagaimana digambarkan oleh Al-Qur’an dengan sebutan hanif yang dalam bahasa teologi Islam justru termuat dalam paham tawhid, yang akan membawa kepada siapa saja yang mempercayainya kepada suatu sikap pasrah kepada Tuhan sebagai suatu bentuk ketundukan. Sejalan dengan pengertian “Islam” itu sendiri, sebagai “sikap pasrah kepada Tuhan”.
Dan pada dasarnya agama yang sah tidak bisa lain dari sikap pasrah kepada Tuhan (al-Islam). Tak ada agama tanpa sikap pasrah. Berdasarkan teologi ini, maka semua agama yang benar, adalah agama yang mengajarkan sikap pasrah kepada Tuhan, yakni mengajarkan al-Islam. Sebab agama para nabi terdahulu, semuanya adalah Islam. Agama Islam tampil dalam rangkaian dengan agama-agama al-Islam yang lain. Walaupun dalam kenyataannya, agama-agama lain itu, tidak disebut dengan nama Islam.
Perlu diuraikan juga di sini bahwa kaum Yahudi dan Nasrani, mempunyai kedudukan yang khusus dalam pandangan kaum Muslim karena agama mereka adalah pendahulu agama kaum Muslim (Islâm), dan agama kaum Muslim (Islâm) adalah kelanjutan, pembetulan, dan penyempurnaan bagi agama mereka. Sebab inti ajaran yang disampaikan Allah kepada Nabi Muhammad Saw. adalah sama dengan inti ajaran yang disampaikan oleh Tuhan kepada semua Nabi. Karena itu, sesungguhnya seluruh umat pemeluk agama Allah adalah umat yang tunggal. Karena itu para penganut setiap agama dituntut untuk mengamalkan dengan sebaik-baiknya ajaran Tuhan dalam masing-masing agama itu.
Begitu tingginya Islam mengapresiasi agama-agama sebelumnya, Cyril Glassé, mengatakan “...the fact that one Revelation should name others as authentic is an extraordinary event in the history of religions”. Perhatian Islam tersebut harus tetap kita apresiasi yakni ajakan untuk menemukan dasar-dasar kepercayaan yang sama, yang dalam hal ini tidak lain ialah paham Ketuhanan Yang Maha Esa atau tawhîd, monoteisme. Ajakan itu, diperlukan, karena dasar kepercayaan atau keimanan akan sangat menentukan apakah suatu agama cukup kuat mendukung pesannya sendiri. Inti pokok dari ajaran para nabi ialah memusatkan penghambaan diri dan pengabdian mutlak hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, diikuti dengan perlawanan kepada tirani dan menegakkan keadilan dan keseimbangan (balance). Perlawanan terhadap tirani dan keimanan kepada Tuhan adalah pegangan hidup yang kukuh, suatu kebenaran yang jelas berbeda dari kepalsuan. Karena itu Islam dan sebagaimana agama-agama sebelumnya adalah agama hanif, artinya selalu cenderung kepada yang suci dan baik.
Ada kisah yang terkait dengan ajaran Islam yang hanif atau al-hanifiyyat al-samhah, yaitu sikap merindukan, mencari, dan memihak kepada yang benar dan baik secara lapang. Diceritakan, ada seorang sahabat bernama Utsman ibn Mazh‘un membeli sebuah rumah, lalu ia tinggal di dalamnya (sepanjang waktu) untuk beribadah. Ketika berita itu datang kepada Nabi Saw., maka beliau pun datang kepadanya, lalu dibawanya keluar, dan beliau bersabda: “Wahai Utsman, sesungguhnya Allah tidaklah mengutusku dengan ajaran kerahiban” (Nabi bersabda demikian dua-tiga kali, lalu bersabda lebih lanjut), “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanîfiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang)”.
Terkait dengan hadis di atas, Muhammad Asad juga menegaskan bahwa Al-Quran menekankan prinsip yang semata-mata mengikuti bentuk-bentuk lahiriah tidaklah memenuhi persyaratan kebajikan. Ajaran tentang formalitas ritual belaka tidaklah cukup sebagai wujud keagamaan yang benar. Karena itu juga tidak pula segi-segi lahiriah itu akan menghantarkan kita menuju kebahagiaan, sebelum kita mengisinya dengan hal-hal yang lebih esensial. Sikap-sikap membatasi diri hanya kepada hal-hal ritualistik dan formal, menurut Nurcholish Madjid, akan sama dengan peniadaan tujuan agama yang hakiki. Dalam Islam, kebahagiaan hidup yang diperoleh melalui amal perbuatan yang baik dan benar adalah sepenuhnya sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Para ahli kajian ilmiah tentang agama-agama mengatakan bahwa Islam sama dengan Yahudi, yaitu agama yang mengajarkan bahwa keselamatan diraih dengan perbuatan baik atau amal saleh. Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Rabu, 28 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar