Kamis, 22 Januari 2009

Fakta dan sejarah konflik Arab-Israel

Fakta dan sejarah konflik Arab-Israel

Agama Islam mengajarkan bahwa kezaliman yang ditimpakan kepada kita tidak boleh membuat kita berpaling dari bersikap dan berpandangan adil. Dalam memandang konflik Arab-Israel selama ini sudahkah kita bersikap adil? Kita juga diajarkan kalau terjadi pertikaian antara seorang muslim dan non muslim, kita dilarang membela salah satu fihak berdasarkan kesamaan agamanya tanpa melihat fakta dan permasalahannya.

Agar kita tidak jatuh dalam penghakiman yang tidak berdasarkan sejarah dan fakta, saya mengajak saudara semua untuk membaca dan mempelajari sejarah konflik Arab-Israel sebelum mengucapkan komentar-komentar yang ternyata justru merupakan komentar yang zalim.

Saya mengajak saudara-saudara semua untuk melihat sejarah konflik tersebut dengan hati-hati. Pendapat dan keputusan setelah mempelajari fakta-fakta yang terjadi Insya Allah membuat kita terhindar dari penghakiman dan komentar yang zalim terhadap masing-masing fihak. Sedikit kronologi yang saya tulis di bawah ini tentu saja tidak lengkap dan detail. Untuk menuliskan sejarah dan fakta secara detail dan lengkap atas konflik Arab-Palestina akan menghabiskan ribuan halaman dan menghabiskan sangat banyak waktu untuk melakukan riset. Oleh karena itu, selain membaca kronologi singkat yang saya rangkum di bawah ini saya sangat menganjurkan para pembaca untuk juga membaca sumber-sumber lain mengenai konflik Arab-Palestina.

Migrasi Bani Israel Ke wilayah Palestina
Wilayah Israel dan palestina serta seluruh timur tengah ada dibawah kekuasaan Turki Usmani selama kurang lebih 500 tahun ( perlu diingat bahwa kekuasaan Turki Usmani atas wilayah Arab dianggap sebagai penjajahan oleh orang-orang Arab). Pada perang dunia pertama, orang-orang arab dan yahudi di wilayah tersebut mendukung sekutu karena dijanjikan kemerdekaan dari "penjajahan" Turki Usmani. Setelah perang dunia pertama wilayah ini ada di bawah kekuasaan Inggris dan disebut sebagai British Mandate of Palestine (termasuk di dalamnya Jordan dan Israel sekarang).

Pada akhir 1800-an di bawah bendera zionisme orang-orang kaya Yahudi dari Eropa mulai membeli tanah di wilayah Palestina dari para penguasa Turki. Theodore Herzl, sang pemimpin gerakan, merayu para penguasa Turki dengan alasan bahwa mereka ingin memberdayakan lahan-lahan yang tidak produktif dan menjadikannya kota-kota baru sehingga akan meningkatkan pendapatan pajak bagi penguasa Turki.

Pada saat itu Jerusalem hanyalah kota kecil dikelilingi tembok yang dihuni oleh beberapa puluh ribu penduduk. Dibawah para pendatang yahudi Eropa, lahan-lahan pertanian besar dibuka (disebut dengan kibbutzim) dan Kota-kota didirikan – termasuk Tel Aviv. Dengan masuknya modal dari Yahudi Eropa, meningkatnya standar hidup, pendidikan dan lapangan pekerjaan, orang-orang arab pada mulanya menyambut baik kedatangan para imigran tersebut.

Meskipun jumlah pendatang Yahudi tidak sebanyak orang arab, namun perekonomian, tanah, modal dan alat produksi praktis dikuasai oleh mereka. Pada 1931 jumlah yahudi hanya 17 persen dibandingkan dengan arab. Ketika Nazi berkuasa di Jerman, semakin banyak pendatang yahudi dari Eropa sehingga jumlah mereka menjadi berlipat.

Seiring dengan semakin majunya wilayah tersebut dibawah modal kaum yahudi, para pendatang arab maupun yahudi dari negara sekitar mulai banyak berdatangan. Dengan banyaknya modal yang masuk bersamaan dengan meningkatnya pendatang yahudi dari Eropa, tanah yang dibeli dan dikuasai oleh Yahudipun semakin luas. Konflik berskala kecil mulai terjadi ketika para juragan dan tuan tanah Yahudi lebih memilih mempekerjakan orang-orang yahudi ketimbang arab muslim.

Arab muslim mulai merasa terancam eksistensi dan identitasnya sebagai "pribumi". Penduduk arab semakin marah ketika para juragan Yahudi melarang orang-orang arab bekerja di pabrik dan lahan pertanian mereka. Pada tahun 1920 penduduk arab melakukan demonstrasi atas ketidak adilan yang mereka rasakan. Kemarahan ini berlanjut kepada pembantaian. Pada tahun 1929 arab muslim membunuh 67 orang yahudi. Ketegangan berlanjut hingga menyebabkan terjadinya pemberontakan arab 1936-1939 di Palestina.

Two State Solution
Protes dan tekanan dari fihak arab muslim membuat penguasa Inggris memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah pendatang yahudi ke palestina (pelarangan imigran yahudi memasuki palestina oleh Inggris ini menyebabkan kongres Amerika Serikat menunda pengucuran bantuan hutang kepada pemerintah Inggris). Peraturan baru dibuat untuk membatasi pembelian tanah oleh para imigran Yahudi. Namun ketika mandat Inggris berakhir bertepatan dengan terjadinya holocaust oleh nazi, kedatangan imigran Yahudi secara illegal ke palestina tak dapat dibendung.

Inggris yang tak mampu lagi mengendalikan situasi dan menghentikan kerusuhan meminta bantuan dari PBB yang baru saja dibentuk (dalam periode ini Inggris mengalami kesulitan keuangan dan tak mampu lagi membiayai keberadaan tentaranya di wilayah tersebut yang mencapai 100.000 orang). Pada tanggal 15 Mei 1947 PBB membentuk sebuah komite dengan nama UNSCOP. Setelah lima minggu melakukan pembicaraan dan penelitian, komite merekomendasikan pembagian Palestina menjadi wilayah arab dan yahudi. "Two state solution" diterima dengan keluarnya resolusi 181 majlis umum PBB pada november 1947 dengan dukungan suara 33 dan menentang 13 serta abstain 10.

Dalam pembagian wilayah tersebut ditentukan bahwa jerusalem yang merupakan kota suci bagi tiga agama besar dunia menjadi wilayah internasional agar keamanan dan stabilitasnya bisa dijaga bersama-sama. Pembagian wilayah yang didasarkan pada jumlah penduduk dari kedua belah pihak dan kepemilikan tanah ini ditentang oleh negara-negara arab yang tergabung dalam liga arab. Sementara di lapangan kerusuhan terus berlanjut antara kedua belah pihak.

Lihat peta di bawah ini.

Peta I
Pada peta I apat dilihat daerah dengan arsiran hijau merupakan tanah dan kota yang dimiliki dan dibangun oleh warga yahudi serta diperuntukkan untuk berdirinya negara Israel. Daerah dengan arsiran jingga adalah wilayah yang masih dikuasai oleh arab muslim yang seharusnya menjadi negara Palestina merdeka. Adapun Jerusalem yang
berada di dalam wilayah arab dijadikan wilayah internasional.

Kelompok yahudi menerima pembagian wilayah seperti yang tertuang dalam resolusi 181 tahun 1947. Resolusi yang dikeluarkan sebagai dasar untuk berdirinya dua negara Israel dan Plestina yang merdeka ini ditolak oleh negara-negara arab. Negara-negara arab menolak berdirinya negara israel karena mereka beragama yahudi. Karena mereka bani israil. Mereka menganggap bani israil tidak berhak tinggal di sana, meskipun dalam kenyataanya jumlah populasi dan penguasaan yahudi atas tanah di wilayah itu tak bisa dipungkiri (yahudi menguasai tanah-tanah tersebut dengan membelinya dari penguasa turki dan orang-orang arab muslim palestina).

Mesir juga tidak menyetujui berdirinya negara palestina karena menginginkan wilayah barat dalam pembagian tersebut masuk sebagai wilayah Mesir (termasuk wilayah gaza saat ini). Jordan juga menolak berdirinya negara palestina ataupun Israel dan menginginkan wilayah sebelah timur untuk menjadi bagian dari Jordan.

Pada tanggal 14 Mei 1948, satu hari sebelum berakhirnya mandat Inggris, Israel mendeklarasikan kemerdekaan atas wilayah yang diperuntukkan bagi mereka dalam resolusi 181 dan menjadi negara Israel merdeka. Keesokan harinya liga arab melayangkan protes resmi ke PBB atas berdirinya negara Israel. Alih-alih segera melakukan kosolidasi untuk mendirikan negara palestina merdeka, tentara Mesir,
Jordan, Syria dan Irak justru menginvasi wilayah yang diperuntukkan untuk negara palestina oleh UNSCOP. Invasi inilah yang memicu perang Arab-Israel 1948 karena dengan menduduki wilayah yang diperuntukkan bagi negara palestina merdeka berarti tentara koalisi arab telah mengepung dan mengancam eksisteni negara Israel yagn baru saja berdiri.

Tapi sayang pasukan koalisi arab ternyata kalah dalam perang tersebut. Pasukan Israel berhasil memukul mundur tentara koalisi arab dan berhasil menguasai wilayah yang diduduki tersebut. Kemenangan Israel membuat mereka menguasai sebagian besar wilayah yang seharusnya diperuntukkan bagi negara palestina merdeka yang sempat diduki oleh tentara koalisi arab. Hanya tersisa sedikit wilayah di bagian barat daya (Gaza) yang akhirnya dikuasai oleh Mesir. Adapun wilayah yang tersisa di bagian timur (Nablus, sebagian Jerusalem dan Hebron yang disebut West Bank) dikuasai oleh Jordan. Sejak mulainya konflik ini, orang Palestina tidak pernah berkuasa atas kedaulatannya sendiri.

Dalam perang tersebut sekitar 711.000 rakyat palestina meninggalkan wilayah yang berhasil dikuasai oleh Israel dan menjadi pengungsi (sebagian dari pengungsi ini meninggalkan tanahnya karena instruksi dari tentara koalisi arab, sebagian mengikuti fatwa dari grand mufti, sebagian lagi karena takut akan kerusakan yang ditimbulkan
oleh tentara Israel).

Penduduk arab muslim yang tidak meninggalkan wilayah yang dikuasai Israel akhirnya menjadi warga Negara Israel hingga sekarang dan merupakan minoritas terbesar di dalam Negara yahudi tersebut dengan jumlah hampir 20 persen dari total penduduk Israel.

Perang akhirnya berakhir dengan ditandatanganinya gencatan senjata antara Israel dan Negara-negara arab tetangganya pada tahun 1949. Dalam perjanjian tersebut juga disepakati batas baru wilayah Negara Israel (green line) yang diakui secara internasional. Batas baru Negara Israel yang disepakati ini termasuk wilayah yang berhasil dikuasai Israel daram perang 1948 (sebagian wilayah yang tadinya diperuntukkan sebagai Negara palestina merdeka).

Lihat peta di bawah ini

Peta II
Dalam peta II ini dapat dilihat wilayah Israel menjadi semakin luas akibat invasi arab ke wilayah palestina berhasil dipukul mundur oleh Israel. Dalam gencatan senjata 1949 koalisi arab mengakui batas baru wilayah Israel seperti terlihat dalam peta.

Perlu diketahui bahwa setelah berdirinya Negara Israel, sebagian yahudi yang tinggal di Negara-negara arab mendapat perlakuan diskriminatif sehingga menimbulkan kerusuhan di Yaman dan Syria. Orang-orang yahudi di Libya dihapus kewarganegaraanya, beberapa yahudi di Irak dirampas hartanya. Antara tahun 1948 sampai 1952 sekitar 285.000 orang yahudi bermigrasi dari Negara-negara arab ke Israel yang baru berdiri. Menurut catatan resmi dari negara-negara Arab, pada awal 1970-an sekitar 850.000 orang yahudi meninggalkan negara-negara arab menuju Israel. Kebanyakan dari mereka terpaksa meningalkan kekayaannya ketika hijrah ke Israel. Keturunan yahudi dari negara-negara arab ini merupakan 41 persen penduduk Israel saat ini.

Perseteruan Arab Israel Babak Berikutnya
Meskipun Mesir menandatangani gencatan senjata dengan Israel, pada tahun 1956 Mesir melarang kapal-kapal Israel melintasi perairan Tiran dan memblokade teluk aqaba. Tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap konvensi konstantinopel tahun 1888 dan mencederai gencatan senjata 1949 dengan Israel. Pada tanggal 26 Juli
1956 Mesir menasionalisasi terusan suez dan melarang kapal-kapal Israel melintas.

Pada tanggal 29 Oktober 1956, Israel yang merasa bahwa Mesir mencederai perjanjian 1949 dan berusaha membunuh perekonomian Israel meminta bantuan dari Inggris dan Perancis (yang sakit hati atas nasionalisasi terusan suez) untuk mengeroyok Mesir. Dalam koflik terusan suez ini Israel berhasil menduduki Gaza (yang dalam perjanjian 49 merupakan wilayah Mesir) dan Sinai.

PBB dan Amerika Serikat turun tangan untuk menghentikan konflik yang terjadi. Israel bersedia mundur dari wilayah Mesir yang baru diduduki. Mesir mengijinkan kembali kapal-kapal Israel melintasi terusan suez dan membuka blokade aqaba serta melakukan demiliterisasi di wilayah Sinai. Pasukan internasional PBB dengan nama UNEF dibentuk untuk mengawasi wilayah demiliterisasi.

Namun pada tanggal 19 Mei 1967 Mesir mengusir pasukan internasional dan menggelar 100.000 pasukan di semenanjung Sinai serta kembali melakukan blokade dan pelarangan atas kapal-kapal Israel untuk melintasi Tiran straits. Mesir mengembalikan keadaan seperti tahun 1956 ketika Israel diblokade.

Tahun 1966-1967 pemimpin Mesir Gamal Abd Nasser melakukan kampanye mencari dukungan dari pan-Arab untuk menaklukkan Israel dan mengusir Yahudi. Pada 30 Mei 1967 Jordan masuk dalam pakta pertahanan yang sebelumnya dibentuk oleh Mesir dan Syria. Dengan persenjataan modern dari Soviet, Mesir melakukan mobilisasi pasukan di Sinai dan melintasi batas demiliterisasi yang disepakati (setelah mengusir pasukan PBB) dan mendekati perbatasan selatan Israel.

Pada saat bersamaan pasukan Jordan, Syria dan Lebanon mulai mengepung Israel dari arah timur dan utara. Pada tanggal 5 Juni 1967 Israel merespon dengan mengerahkan semua kekuatan udaranya menggempur Mesir. Angkatan udara Israel berhasil melumpuhkan hampir semua kekuatan udara Mesir dalam sebuah serangan mendadak. Kekuatan udara Israel lalu menuju ke timur untuk menyerang kekuatan Syria, Jordan dan Irak.

Dalam perang yang terkenal dengan sebutan perang enam hari tersebut Israel berhasil mengalahkan negara-negara arab tetangganya yang mengepungnya. Ketika perang berakhir, Israel berhasil menguasai West Bank dan Jerusalem timur (yang tadinya dikuasai Jordan) serta Gaza dan Sinai (yang dikuasai Mesir) dan dataran tinggi Golan.

Pada tahun 1969 mesir kembali memulai perang dengan tujuan melemahkan kekuatan Israel di Sinai. Namun perang ini berakhir dengan kematian Nasser. Pada 6 Oktober 1973 Mesir dibawah pemimpin baru Anwar Sadat dan Syria melakukan serangan mendadak dan berhasil mengalahkan Israel. Mesir berhasil menguasai kembali sinai yang sempat dicaplok Israel.

Ketika pasukan Mesir hendak masuk Israel, Israel meminta bantuan dari Amerika Serikat (meskipun sejak awal Amerika Serikat merupakan backing kekuatan Israel). Soviet yang menjadi backing kekuatan Mesir mengancam akan melakukan intervensi militer jika Amerika terlibat. Karena khawatir akan terjadinya perang nuklir, Amerika Serikat akhirnya memprakarsai gencatan senjata pada 25 Oktober 1973.

Pada bulan Maret 1979 Mesir dan Israel akhirnya melakukan perjanjian damai. Dalam perjanjian juga disebutkan bahwa Sinai kembali menjadi wilayah kekuasaan Mesir, adapun Gaza tetap berada dibawah kontrol Israel dan masuk dalam rencana masa depan Palestina. Pada bulan Oktober 1994, Jordan juga akhirnya melakukan perjanjian damai dengan Israel. Mesir dan Jordan menjadi dua Negara arab yang mengakui eksistensi Negara Israel dan memiliki hubungan diplomatik dengannya.

Tapi sayang, kelompok garis keras arab memandang perjanjian damai dengan Israel sebagai sebuah pengkhianatan dan Anwar Sadatpun akhirnya ditembak mati oleh kelompok ekstrimis tersebut.

Usaha Merdeka dari Rakyat Palestina
Pada pertemuan tahun 1964 di Cairo liga arab berininsiatif untuk membentuk sebuah organisasi yang mewakili kepentingan rakyat Palestina. Majelis Nasional palestina lalu mengadakan pertemuan di Jerusalem pada 29 Mei 1964. Dari pertemuan ini akhirnya PLO terbentuk pada 2 juni pada tahun yang sama.

Meskipun liga arab mendukung terbentuknya PLO dan berdirinya negara palestina merdeka namun mereka (terutama Mesir dan Jordan) tetap tidak memberikan hak kedaulatan kepada rakyat Palestina atas wilayah Gaza dan Westbank. Yang dimaksud negara palestina merdeka oleh Mesir dan Jordan pada saat itu adalah berdirinya negara Arab Palestina di wilayah Israel, bukan Gaza (yang tetap dianggap oleh Mesir sebagai wilayah kekuasaanya) atau West Bank (yang dianggap sebagai bagian dari kekuasaan Jordan). Baru pada 1988 raja Hussein, pemimpin Jordan melepaskan West Bank dan memberikan kedaulatan kepada rakyat Palestina.

Pada awal berdirinya, PLO adalah sebuah organisasi pembebasan Palestina yang menggunakan perlawanan bersenjata terhadap Israel sebagai kebijakannya. Sebuah piagam PLO yang dikeluarkan pada 2 Mei 1964 menyatakan bahwa Palestina dengan batas wilayah sebagaimana termaktub dalam mandat Inggris adalah sebuah kesatuan regional dan melarang aktifitas zionis dalam bentuk apapun. Dengan demikian piagam ini menyatakan bahwa PLO tidak mengakui adanya negara Israel. PLO pada awalnya juga mempunyai kebijakan untuk menghancurkan Israel.

Baru setelah sekitar 30 tahun kemudian PLO mengadopsi kebijakan "two state solution" dengan Israel dan Palestina hidup berdampingan dan mensyaratkan Jerusalem timur sebagai ibukota Palestina. Yasser Arafat pada 1993 melalui surat resminya kepada perdana menteri Israel Yitzak Rabin mengakui keberadaan negara Israel. Sebagai respon atas pengakuan tersebut, Israel mengakui PLO sebagai satu-satunya organisasi yang berhak mewakili rakyat palestina.

Keanggotaan PLO terdiri dari beberapa faksi dan organisasi, meskipun tidak semua aktivis PLO adalah anggota dari faksi-faksi yang ada. Banyak delegasi majlis nasional palestina merupakan anggota independen.

Faksi di dalam tubuh PLO saat ini adalah:

- Fatah, faksi terbesar, sayap kiri/nasionalis.
- PFLP, terbesar kedua, berhaluan radikal militan, komunis.
- DFLP, terbesar ketiga, komunis.
- PPP, eks komunis, non militan.
- PLF, sayap kiri dengan suara kecil.
- ALF, faksi kecil yagn berafiliasi kepada partai Baath Irak.
- As Saiqa, faksi kecil berafiliasi kepada partai baath Syria.
- Fida, beraliran kiri non militan.
- PPSF, beraliran kiri.
- PAF, faksi terkecil.

PLO Dibawah Yasser Arafat
Kekalahan aliansi arab dalam perang enam hari melawan Israel membuat pengaruh Nasserisme dengan ideologi pan-Arab nya melemah. Pemimpin Fatah Yasser Arafat dengan divisi militer fedayeen yang mengadopsi metode gerilya berhasil menjadi pemimpin PLO dan menjadikannya sebagai organisasi yang independen. Dari markasnya di Jordan PLO melancarkan perang dengan Israel dengan bantuan finansial dan persenjataan dari Jordan. Brigade fedayeen gencar melancarkan serangan terhadap rakyat sipil Israel. Serangan terhadap rakyat sipil inilah yang menjadikan Israel dan barat menganggap PLO sebagai organisasi teroris. Label teroris atas PLO baru dicabut ketika PLO akhirnya mengakui keberadaan negara Israel dan bersedia berunding dengan Israel serta menghentikan serangan-serangan terhadap rakyat sipil.

Namun dukungan atas PLO dari pemerintah Jordan akhirnya berbalik arah pada akhir tahun 1960-an ketika PLO menjadi arogan dan seolah-olah telah mendirikan sebuah negara di dalam negara. Sejak kemenangan pasukan Yasser arafat pada pertempuran melawan Israel di daerah Karamah, gerilyawan Palestina tersebut merasa berkuasa dan melakukan pemungutan pajak secara illegal di dalam wilayah Jordan yang menjadi basis kekuatannya. Mereka membuat blokade jalan, mengambil alih kekuasaan dan melecehkan polisi Jordan. Pelecehan terhadap wanita-wanita lokal juga terjadi dalam masa tersebut.

Raja Hussein menjadi berang dan memberlakukan hukum darurat perang. Pasukan Jordan menyerang PLO dan berhasil mengalahkan mereka. Sekitar 3500 gerilyawan dan rakyat sipil Palestina tewas dalam kejadian tersebut (kejadian ini terkenal dengan insiden Black September). Dua hari kemudian Arafat dan Hussein setuju untuk melakukan gencatan senjata. Sekitar 2000 gerilyawan Palestina akhirnya berhasil masuk Syria dan menyeberang ke Libanon untuk bergabung dengan pejuang Fatah yang ada di negara tersebut dan mendirikan markas baru.

Selama periode 70-an Fatah melancarkan serangan terhadap militer dan sipil Israel. Yang paling terkenal adalah serangan 11 Maret 1978. Beberapa pejuang Fatah mendaratkan perahu di pantai antara Haifa dan Tel Aviv-Yafo kemudian membajak sebuah bus dan menembaki penumpangnya serta setiap kendaraan yang lewat. 37 rakyat sipil Israel menjadi korban. Pasukan Israel kemudian merespon dengan menyerang Basis PLO di bagian selatan Lebanon. Israel berhasil menguasai wilayah tersebut dan PLO mundur ke Beirut.

Selain itu PLO juga melakukan serangan terhadap kepentingan Israel di Eropa maupun Timur Tengah serta melakukan pembajakan pesawat. Fatah juga memberikan pelatihan perang terhadap milisi dari Timur Tengah, Eropa, Asia dan Afrika dan mendapatkan bantuan persenjataan dari Soviet, Eropa Timur dan Cina.

PLO dan Perang sipil Libanon
Selama di Lebanon PLO juga terlibat perang sipil yang menghancurkan Lebanon hingga saat ini. Dengan desakan dari faksi PFLP, DFLP dan FLP di dalam tubuh PLO, Fatah akhrinya beraliansi dengan kelompok komunis dan gerakan nasional lebanon beraliran Nasserisme (LNM) untuk melawan Pemerintah Lebanon. Presiden Syria Hafez Al Assad yang tadinya mendukung Fatah akhirnya justru mengirim tentaranya bersama dengan faksi palestina dukungan Syria As-Saiqah dan PFLP-GC pimpinan Ahmad Jibril untuk bertempur membantu pasukan kristen sayap kanan Lebanon melawan PLO dan LNM.

Komponen utama milisi kristen sayap kanan ini adalah kelompok Maronite Phalangist yang loyal terhadap presiden Lebanon Camille Chamoun. Kelompok Phalangist ini juga yang melakukan pembantaian di kamp Al Zaatar. Mulanya pada April 1975, milisi Phalangist dalam perang sipil yang berlangsung di Lebanon membunuh 26 milisi Fatah dalam sebuah bus. Pada 1976 aliansi milisi kristen dengan dukungan tentara Lebanon mengepung kamp Al Zaatar. PLO dan LNM balas dendam dan menyerang Damour, benteng kekuatan Phalangist. 300 orang dari kelompok Phalangist tewas dan lainya luka-luka.

Phalangist balas dendam dan melakukan pembantaian terhadap milisi dan pengungsi palestina di kamp Tel Al-Zaatar setelah melakukan pengepungan selama enam bulan. Ribuan orang palestina menjadi korban.

Milisi kristen ekstrim ini juga yang melakukan pembantaian sabra dan shatila pada 16-18 September 1982 atas sepengetahuan Israel. Pembantain tersebut dipicu balas dendam atas pembunuhan terhadap pemimpin Phalangist yang juga calon kuat presiden mereka Bachir Gemayel dua hari sebelumnya. Lagi-lagi ribuan pengungsi Palestina menjadi korban pembantaian.

Dunia internasional menyalahkan Israel yang membiarkan pembantaian tersebut terjadi di wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. Ariel Sharon akhirnya terpaksa mengundurkan diri dari jabatan menteri pertahanan atas insiden tersebut.

Keberadaan PLO yang melancarkan serangan mortir ke wilayah sipil Israel dari Lebanon menjadi alasan utama Israel menginvasi Lebanon. Israel yang masuk Lebanon selatan pada 1978 dan berhasil memukul mundul PLO ke Beirut akhirnya meninggalkan wilayah tersebut atas desakan dunia internasional pada bulan Juni 1978 dan digantikan oleh UNIFIL. Namun keberadaan UNIFIL di wilayah tersebut tidak berhasil menghentikan serangan-serangan gerilyawan Palestina atas wilayah-wilayah sipil Israel. Aksi saling melintasi perbatasan dan saling serbu terus berlanjut antara Israel dan milisi Palestina di wilayah selatan Lebanon setelah 1978. Rakyat sipil di kedua belah pihak dan personil UNIFIL menjadi korban.

Israel meningkatan bantuan persenjataan dan keuangan kepada milisi radikal kristen untuk memerangi PLO. Namun dalam serangan-serangan yang dilakukan oleh kristen radikal di bawah komando Mayor Saad Haddad terhadap PLO rakyat sipil seringkali menjadi korban. Pada Bulan Juli 1981 Pemerintah Reagan mengutus Philip Habib Ke Lebanon untuk menjadi penengah dan memulai gencatan senjata di wilayah selatan. Namun sejak diumumkannya gencatan senjata pada 24 Juli 1981 berkali-kali PLO melanggar perjanjian. Dalam sebelas bulan berikutnya tercatat 270 pelanggaran dan aksi teror dilakukan oleh PLO di dalam wilayah Israel, West Bank, Gaza dan sepanjang perbatasan Lebanon-Jordan.

Pada 3 Juni 1982 sayap militan Fatah di bawah komando Abu Nidal (pesaing Arafat), menembak duta besar Israel untuk Inggris Shlomo Argov di London. Shlomo mengalami luka tembak di kepala dan menderita kelumpuhan. Atas kejadian tersebut serta berlanjutnya serangan-serangan PLO dan pelanggaran atas kesepakatan gencatan senjata dan pembangunan instalasi militer oleh PLO di wilayah selatan Lebanon yang dipersiapkan untuk menyerang Israel, pada 4-5 Juni 1982 akhirnya Israel mebombardir basis PLO di Beirut dan wilayah lainnya. PLO merespon dengan melakukan serangan mortir besar-besaran atas Galilee, wilayah sipil israel. Israel akhirnya menginvasi Lebanon pada 6 Juni 1982. Kota Beirut berada dalam kepungan Israel.

Selama perang sipil di Lebanon, PLO bertempur melawan Milisi sayap kanan Kristen Lebanon, Milisi Palestina As Saiqah, milisi Palestina PFLP-GC, Tentara Israel dan akhirnya milisi Amal dukungan Syria. Selama masa 1985-1988 Milisi Amal dan beberapa kelompok milisi pro Syria mengepung kamp pengungsian Palestina untuk mengusir pendukung Arafat. Ribuan pengungsi Palestina lagi-lagi tewas menjadi korban kekerasan dan kelaparan. Setelah pengepungan berakhir, terjadi kesepakatan antara kelompok milisi Palestina untuk tidak saling memerangi.

Keberadaan PLO di Lebanon ini mirip dengan keberadaan Hizbullah. Keduanya tidak disukai pemerintah Lebanon dan keduanya mengundang masuknya tentara Israel untuk menyerang Lebanon. Perang Lebanon kedua pada Juli 2006 dipicu oleh serangan Hizbullah atas patroli Israel di wilayah utara negeri Zionis tersebut.

Perdamaian Hampir tercapai
Setelah invasi enam bulan Israel ke Lebanon, kepemimpinan PLO akhirnya pindah markas ke Tunisia. Pada 1 Oktober 1985 pasukan udara Israel membombardir markas PLO di Tunisia dan menewaskan 60 orang. Kepemimpinan lokal di dalam Palestina mulai muncul. Pada tahun 1987 intifada pertama pecah di wilayah pendudukan palestina. Para pemimpin PLO di luar negeri terkejut. Mereka hanya memiliki pengaruh tak langsung dalam intifadah ini. Sementara kepemimpinan lokal yang tergabung dalam UNLU dan merupakan gabungan dari beberapa faksi di dalam Palestina semakin kuat.

Setelah raja Hussein menyatakan melepas wilayah West Bank dari kekuasaan jordan pada 1988, majelis nasional Palestina menyatakan kemerdeaan Palestina di Al Jazair pada 15 November 1988. Meskipun lebih dari 100 negara mengakui kemerdekaan Palestina (kebanyakan merupakan negara-negara GNB dan Blok Timur), namun PBB dan negara-
negara barat serta Israel tidak mengakuinya. Tidak adanya pengakuan tersebut dikarenakan proklamasi kemerdekaan Palestina tidak mencantumkan pengakuan atas Resolusi PBB 242 dan 338.

Resolusi dewan keamanan 242 (S/RES/242) disetujui secara sepakat pada 22 November 1967 setelah berakhirnya perang enam hari. Resolusi tersebut menyerukan tercapainya sebuah perdamaian yang langgeng di kawasan tersebut dengan mengimplementasikan dua butir kesepakatan berikut:

1. Penarikan mundur pasukan Israel dari wilayah yang diduduki pada konflik 1967.

2. Penghapusan klaim-klaim wilayah oleh kedua belah pihak (Israel dan Arab) dalam masa konflik, serta menghormati hak keberadaan setiap negara di kawasan tersebut dengan mengakui batas wilayah yang telah disepakati bersama.

Mesir, Jordan dan Israel menyetujui resolusi 242 ini. Syria yang pada mulanya tidak mau tunduk atas resolusi ini akhirnya mengakuinya pada tahun 1972. Resolusi dewan keamanan 338 (S/RES/338) disahkan pada 22 Oktober 1973 dan disetujui oleh 15 anggota dewan keamanan dengan Cina abstain dalam pemungutan suara. Resolusi yang diusulkan oleh Uni Soviet dan Amerika Serikat tersebut menyepakati gencatan senjata antara Koalisi Arab dan Israel setelah perang Yom Kippur yang jika tidak dihentikan ditakutkan akan memicu perang nuklir antara dua negara adikuasa.

Resolusi 242 dan 338 yang telah disepakati bersama tidak diakui oleh Palestina dalam deklarasi kemerdekaanya. Ini berarti Palestina yang baru menyatakan kemerdekaanya tersebut tidak mengakui keberadaan negara Israel yang telah disepakati koalisi Arab. Tidak adanya pengakuan Majelis nasional palestina atas resolusi 242 dan 338 tersebut juga berarti tidak jelas wilayah mana yang disebut oleh Majelis nasional palestina sebagai negara Palestina merdeka yang baru dideklarasikan tersebut. PBB tidak mungkin bisa mengakui kemerdekaan Palestina jika yang disebut negara Palestina merdeka itu tidak jelas wilayahnya yang mana. Apalagi negara yang baru dideklarasikan tersebut juga tidak mengakui keberadaan negara Israel di sebelahnya.

Pada tahun 1993 PLO diam-diam mengadakan perundingan dengan Israel di Oslo. Hasil perjanjian disepakati pada tanggal 20 Agustus 1993. Yasser Arafat dan Yitzak Rabin diundang oleh gedung putih untuk merayakan kesepakatan tersebut. Dan pada 9 September 1993 Yasser Arafat menyatakan bahwa PLO mengakui keberadaan negara Israel. Yasser Arafat dan PLO juga menyetujui penghapusan klausul pada Piagam Nasional Palestina (garis perjuangan PLO) yang menyatakan bahwa feda'yee (semacam pasukan berani mati) merupakan inti dari perang pembebasarn Palestina. Klausul yang juga disetujui untuk dihapus adalah butir-butir yang menyatakan bahwa berdirinya negara Israel adalah tidak sah karena dilakukan dengan paksaan. Butir-butir tersebut selama ini digunakan sebagai pijakan PLO untuk menghancurkan Israel.

Kesepakatan Oslo menyetujui pemerintahan mandiri rakyat Palestina atas wilayah Gaza, Jericho dan Tepi Barat melalui pembentukan Otoritas Palestina. Yasser Arafat ditunjuk sebagai pemimpin Otoritas Palestina dan pemilihan umum dipersiapkan hingga akhirnya Yasser Rafat dipilih menjadi Presiden Otoritas Palestina pada tahun 1996. Sejak itu pemerintahan otoritas Palestina menjadi satu-satunya pemerintahan yang sah dan diakui dunia internasional sebagai pemerintahan rakyat Palestina. Pembentukan Otoritas Palestina ini dengan demikian juga menafikan deklarasi kemerdekaan Palestina pada tahun 1988 di Al Jazair yang tidak pernah diakui oleh PBB tersebut.

Meskipun PLO tidak punya hubungan formal dengan Otoritas Palestina, para anggota PLO praktis menguasai pemerintahan yang baru dibentuk tersebut. Markas PLO akhirnya pindah ke Ramallah di Tepi Barat.

Kendatipun banyak dari pemimpin PLO dan Otoritas Palestina, termasuk Yasser Arafat sendiri mengakui secara terbuka keberadaan negara Israel dan mengharapkan perjanjian damai dengan Israel sebagai perdamaian yang permanen, namun selama intifada kedua banyak faksi di dalam PLO yang terus melakukan penyerangan dan teror terhadap tentara dan rakyat sipil Israel.

Mayoritas rakyat Israel dalam polling setelah perjanjian Oslo menyatakan bahwa rakyat Palestina harus diberi hak untuk berdaulat dan membentuk sebuah negara yang merdeka agar bisa hidup berdampingan dan saling menghormati hingga perdamaian bisa tercapai di kawasan tersebut. Seiring dengan melunaknya PLO yang mulai bersikap realistis dalam memperjuangkan kemerdekaan Palestina dengan cara damai serta keinginan dari mayoritas rakyat Israel yang menghendaki terbentuknya negara Palestina agar tercapai perdamaian yang permanen, Kaum konservatif yahudi di dalam Israel mulai bangkit juga.

Kaum yahudi ekstrim yang kebanyakan merupakan imigran dari Eropa Timur ini tidak bisa menerima pembagian Jerusalem untuk Palestina dan Israel. Mereka memandang Jerusalem adalah kota suci Yahudi yang harus dikuasai Israel dan menjadi ibu kotanya. Kelompok ini menentang perjanjian Oslo. Yigal Amir, aktivis radikal sayap kanan yahudi ortodoks menembak mati Yitzak Rabin pada 4 November 1995. Shimon Perez, menteri luar negeri Israel pada saat itu ditunjuk menggantikan Rabin.

Dengan kematian Rabin masa depan Palestina yang hampir menemui titik terang kembali suram. Netanyahu yang kemudian terpilih menjadi perdana Menteri Israel dengan dukungan dari partai sayap kanan radikal berusaha menggagalkan dan menggerogoti isi kesepakatan Oslo serta menghalangi berdirinya negara Palestina merdeka. Bill Clinton akhirnya turun tangan dan mempertemukan kedua belah pihak hingga disepakatinya memorandum Wye River yang berisi langkah-langkah yang harus ditempuh oleh kedua belah pihak dalam meneruskan proses perdamaian.

Arafat lalu meneruskan perundingan dengan pengganti Netanyahu yaitu Ehud Barack yang berasal dari partai buruh. Barack dengan aliran politik kiri moderat dan dengan desakan dari Bill Clinton akhirnya menawarkan kepada Arafat kemerdekaan Palestina atas wilayah Gaza dan Tepi barat/West Bank dengan Jerusalem timur sebagai ibukotanya. Selain itu Barack juga mengijinkan kembalinya sebagian pengungsi palestina dan sisanya diberikan kompensasi. Meskipun permintaan lain tidak bisa dikabulkan oleh Barack, ini merupakan sebuah tawaran yang sangat bagus dan tidak pernah diberikan oleh pemimpin Israel lainya.

Arafat membuat keputusan kontroversial dengan menolak tawaran dari Barack tersebut. Pupuslah harapan rakyat Palestina untuk merdeka sampai sekarang. Ketegangan kembali terjadi ketika Ariel Sharon, perdana menteri Israel berikutnya melakukan provokasi dengan mengunjungi masjid Al Aqsa. Intifadah kedua pecah pada tahun 2000.

27 Februari 1996 Perez menyatakan perang atas Hamas setelah dua bom bunuh diri yang menewaskan 27 orang. Perez bersumpah akan melakukan perang metodis dan habis-habisan melawan militan Hamas.

Setelah Tahun 2000
Sejak intifadah kedua, Arafat kembali menempuh jalan kekerasan untuk mengintimidasi Israel. Meskipun tidak secara terang-terangan PLO maupun Fatah melancarkan teror dan serangan, namun banyak pengamat mengatakan Arafat sengaja membiarkan terjadinya Teror oleh Hamas dan beberapa faksi militan dalam tubuh Fatah (brigade al aqsha) terhadap Israel. Beberapa pemgamat baik yang pro Israel maupun Independen bahkan mengatakan bahwa Arafat menyetujui dan mendanai gerakan-gerakan teror tersebut.

Untuk menghentikan intifadah, Israel melakukan sweeping dan penggerebekan di wilayah tepi barat pada tahun 2002. Kekerasan merebak di seluruh wilayah tersebut. Pada tahun yang sama negara-negara Arab menawarkan kepada Israel pengakuan eksistensi negara Israel dan menandatangani perdamaian. Sebagai gantinya Israel diminta menyerahkan kembali wilayah yang dikuasainya ketika perang enam hari dan memberikan kemerdekaan kepada Palestina (mereka memberikan tawaran yang pada akhir 70-an dianggap sebagai sebuah pengkhianatan dan kekufuran sehingga Anwar Sadat ditembak mati karenanya). Tawaran dari negara-negara Arab ini bersamaan dengan gencaranya serangan-serangan teror (beberapa diantaranya dilakukan oleh sayap militan Fatah) dan menewaskan 50 orang Israel.

Tawaran yang sebenarnya dianggap baik oleh Israel tersebut tidak mungkin direalisasikan saat itu karena Faksi berkuasa di dalam Palestina sendiri justru gencar melakukan aksi-aksi teror dan tidak peduli dengan usaha negara-negara Arab untuk membantu kemerdekaan Palestina. Negara-negara Arab yang memberikan tawaran tersebut tentu saja tidak bisa menjamin dan menghentikan aksi teror dari kelompok-kelompok militan Palestina terhadap Israel. Untuk kesekian kalinya momentum kemerdekaan Palestina disia-siakan.

Sharon berkali-kali mendesak Arafat sebagai pemimpin Otoritas Palestina untuk menyerukan kepada faksi-faksi radikal di dalam tubuh PLO agar menghentikan serangan dan mencegah berlanjutnya teror. Arafat yang tetap membiarkan terjadinya serangan ke Israel membuat Sharon menyatakan bahwa Arafat membantu dan mendanai serangan-serangan tersebut dan dengan sengaja memposisikan diri sebagai musuh Israel. Dengan demikian Arafat tidak bisa dianggap memenuhi sarat untuk melanjutkan pembicaraan damai dengan Israel.

Namun Israel tidak dapat menemukan pemimpin Palestina lain yang bisa diterima oleh rakyat Palestina maupun Israel sebagai tokoh baru yang memenuhi sarat untuk melanjutkan pembicaraan damai. Arafat berhasil bermain cantik di dalam negeri dan mendapat dukungan dari berbagai fihak. Bahkan fihak yang selama ini menjadi musuh bebuyutan Arafat di dalam Palestinapun mendukungnya. Selanjutnya Israel memasuki West Bank dalam sebuah operasi bernama Operation Defensive Shield. Kantor Arafat dikepung dengan tujuan mengisolasi Arafat. Dan setiap kali Israel melakukan operasi di wilayah Palestina, pelanggaran HAM selalu terjadi dan ratusan bahkan ribuan rakyat palestina selalu menjadi korban.

Pada tanggal 3 Mei 2002 Akhirnya Arafat diizinkan meninggalkan wilayah pengepungan setelah negosiasi yang alot. Dalam negosiasi tersebut Israel meminta Arafat menyerahkan enam buronan Israel yang disembunyikan Arafat di dalam kompleks yang dikepung. Arafat setuju mereka ditahan, tapi tidak di Israel. Mereka akhirnya ditahan di Jericho. Syarat lainnya adalah agar Arafat (sebagaimana diminta Sharon sebelumnya) menyerukan kepada semua faksi di Palestina agar menghentikan aksi teror terhadap Israel. Arafat setuju dan menyeru semua militan Palestina untuk menghentikan teror. Tapi seruan itu tidak pernah ditaati, bahkan oleh Fatah pimpinan Arafat sendiri.

Operation Defensive Shield ini memang berhasil menurunkan angka teror bom bunuh diri sampai 46 persen pada tahun 2002 dan menurun dari 56 kali pemboman pada tahun sebelumnya menjadi 25 pada tahun 2003 serta 184 usaha teror bom bunuh diri yang dapat digagalkan. Namun operasi tersebut juga menelan ribuan korban di pihak Palestina dan mengakibatkan kerugian mencapai jutaan dollar.

Pada tahun 2003 Sharon mulai melakukan penarikan mundur pasukannya dari Gaza dan mengakhiri pendudukan atas wilayah tersebut. penarikan pasukan secara menyeluruh selesai pada tahun 2005. Dengan ditariknya pasukan Israel ini berarti Otoritas Palestina berkuasa penuh atas wilayah Gaza (dalam perjanjian 1979 disepakati bahwa Gaza berada di bawah kontrol Israel). Penarikan pasukan Israel ini merupakan sebuah keputusan unilateral, keputusan Israel sendiri tanpa permintaan dari fihak Arab. Dalam masa pemerintahannya Sharon juga memaksa penduduk Israel yang tinggal di pemukiman yahudi yang masih dalam status sengketa. Warga yang menolak pindah diseret paksa oleh tentara Israel. Insiden tersebut mendapat perlawanan keras dan demonstrasi dari kaum konservatif yahudi.

Hamas, (setelah menang dalam pemilu parlemen Januari 2006) melakukan serangan terhadap Fatah. Ratusan orang menjadi korban. Kedua belah fihak melakukan pelanggaran HAM dan etika perang dalam perang saudara tersebut. Diantara insiden yang terkenal dalam perang tersebut adalah ketika tentara Hamas menangkap salah satu pemimpin Fatah dan melemparkannya dari atas gedung serta melakukan serangan dengan menyamar menggunakan mobil yang memasang logo sebuah stasiun TV. Hamas akhirnya berkuasa total atas Gaza. Hanya tersisa kekuatan kecil Fatah di wilayah tersebut. Pasukan Israel juga seluruhnya telah ditarik dari Gaza.

Hamas (Harakah al muqawamah al Islamiyah) adalah sebuah organisasi politik beraliran militan. Hamas didirikan pada 1987 oleh Syaikh Muhammad Yasin, Abdul Aziz Al Rantissi dan Mohammad Toha dari sayap Al Ikhwan Al Muslimuun palestina. Selain terkenal dengan aksi-aksi bom bunuh diri, Hamas juga mendapat simpati dari rakyat Palestina atas kerja-kerja sosial yang dilakukannya. Hamas membangun rumah sakit, pusat pendidikan, perpustakaan dan melakukan kegiatan sosial lain di tepi barat dan Gaza.

Diantara garis kebijakan resmi organisasi tersebut sebagaimana tertuang dalam Piagam Hamas adalah Penghancuran Israel. Piagam Hamas menyerukan untuk menguasai kembali seluruh wilayah Israel dan Palestina dan mendirikan sebuah negara palestina merdeka serta menghapus Israel dari peta dunia. Kebijakan Hamas yang tak pernah
berubah sampai saat ini serta aksi-aksi teror yang terus dilancarkannya terhadap israel membuat Israel dan negara-negara barat mencapnya sebagai organisasi teroris. Israel tidak mau melibatkan Hamas dalam perundingan perdamaian dengan Palestina
selama Organisasi tersebut tetap tidak mengakui negara Israel dan bersumpah menghancurkannya.

Dengan munculnya Hamas, Kekuatan Palestina semakin terpecah. Hamas akhirnya memiliki kontrol penuh atas wilayah Gaza, adapun Tepi Barat dikuasai oleh Fatah. Dengan berkuasanya Hamas atas wilayah Gaza ini Israel menghentikan kerjasama dan bantuan ke wilayah tersebut. Israel juga mengurangi suplai listrik dari Israel ke Gaza. Sebelum Gaza dikuasai Hamas, Otoritas Palestina di wilayah Gaza menjalankan pemerintahan dengan dana bantuan dari Eropa, Amerika serikat, dan negara-negara lain. Setelah Hamas berkuasa, negara-negara donor menghentikan bantuannya ke wilayah Gaza. Israel juga menghentikan aliran dana yang selama ini didistribusikan dari Israel.

Ketika menguasai Gaza, Hamas semakin leluasa mengorganisasikan kekuatan militernya. Hamas juga rajin melakukan serangan ke wilayah Israel sampai akhirnya disepakati gencatan senjata antara Hamas dan Israel pada 19 Juni 2008. 14 November 2008 Hamas melancarkan serangan roket ke wilayah selatan Israel sebagai tanggapan atas tewasnya 11 militan Hamas. Kedua belah pihak saling menyalahkan atas pelanggaran gencatan senjata. 19 Desember 2008 Hamas secara resmi menyatakan gencatan senjata berakhir karena menganggap Israel tidak bisa memenuhi sarat dan kewajiban mendasar.

Akhir desember 2008 Israel melakukan serangan udara ke wilayah Gaza dalam upaya melumpuhkan kekuatan Hamas dan dilanjutkan dengan serangan darat. Perang masih terus berlanjut dan ribuan korban telah jatuh.

Menyikapi konflik terakhir di wilayah gaza, negara-negara Arab berencana mengadakan konferensi darurat di Doha. Pertemuan ditujukan untuk menyatukan suara negara-negara Arab dalam menyikapi konflik yang terjadi. Namun Mesir dan Saudi memboikot pertemuan tersebut karena kehadiran Iran dan Syria (pendukung Hamas). Mesir dan Saudi takut pertemuan itu dimanfaatkan oleh Hamas dan dua pendukungnya (Iran dan Syria) untuk menyampaikan posisi garis keras yang akhirnya menghalangi langkah Mesir untuk melakukan upaya damai.

Penutup
Begitu banyak orang-orang Islam yang berpandangan bahwa ketika seseorang itu beragama yahudi berarti dia itu salah. Dalam hal apapun orang yahudi itu pasti salah. kalau ada persengketaan antara orang yahudi dan orang Islam, maka orang yahudi tersebut pasti salah. Tidak perlu dilihat permasalahan dan faktanya, pokoknya yahudi itu pasti salah dan jahat.

Pandangan seperti ini membuat kita tidak pernah bisa bersikap adil. Ketika kita selalu membela salah satu fihak tanpa mau mengetahui duduk permasalahan sebuah pertikaian, berarti kita adalah orang yang zalim. Dalam konflik Arab-Israel sudah pasti ada kesalahan dan kebenaran pada masing-masing fihak. Dimana letak salah dan benarnya tidak mungkin kita ketahui jika kita tidak mau membaca dan mempelajarinya dengan hati-hati.

Pandangan yang zalim dan salah dalam hal ini bukan melulu milik orang-orang Islam yang tak berpendidikan. Kaum terpelajar bahkan sampai para pejabat di kalangan orang-orang Islampun banyak yang tidak tahu bahwa di Palestina ada begitu banyak faksi dan kepentingan. Mereka juga tidak pernah tahu bahwa mayoritas penduduk Israel menginginkan berdirinya negara palestina merdeka yang hidup ebrdampingan secara damai.

Berapa banyak saudara kita yang tidak tahu bahwa di antara faksi-faksi pejuang Palestina itu adalah komunis. Bahwa hampir 20 persen penduduk Israel itu adalah orang arab beragama Islam. bahwa kekayaan dan omset PLO di seluruh dunia mencapai 50 milyar dollar. Bahwa yang sejak pertama tidak menginginkan berdirinya negara Palestina dalah
orang-orang Arab. Berapa banyak saudara kita (juga saya) yang tidak tahu fakta-fakta yang lain lagi.

Seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, apa yang saya tulis di sini tidaklah lengkap dan detail dan saya juga bukan orang yang sangat mengerti dan ahli dalam konflik Arab-Palestina beserta segala permasalahannya. Saya hanya mengajak diri saya dan beberapa dari saudara kita menyadari bahwa begitu banyak yang kita tidak ketahui mengenai konflik Arab-Palestina ini dan karena itu kita wajib mencari tahu agar kita terhindar dari pernyataan-pernyataan yang zalim.

Akhirnya, mari kita doakan agar konflik segera berakhir dan semoga perdamaian segera tercipta demi masa depan anak-anak Palestina.

Tidak ada komentar: