Kamis, 22 Januari 2009

Asal-Muasal Bangsa Yahudi

Asal-Muasal Bangsa Yahudi

Moh. Shofan


Bani Israil adalah anak keturunan Israil, yaitu anak keturunan Nabi Ya’qub, cucu Nabi Ibrahim dari Nabi Ishaq. Tuhan, melalui Ishaq, menjanjikan kepada Ibrahim akan tampil banyak Nabi dan Rasul. Ishaq beranakkan Ya‘qub yang bergelar Israil (Isra El, hamba Allah). Israil mempunyai dua belas anak, sepuluh dari istri pertama dan dua dari istri kedua. Yusuf, salah seorang diantaranya, menjadi sasaran kecemburuan dan pengkhianatan saudara-saudaranya. Karena ulah saudara-saudaranya, Yusuf akhirnya terdampar di Mesir, mula-mula sebagai budak, kemudian bebas namun lalu masuk penjara, dan akhirnya menjadi menteri urusan pangan kerajaan. Ya‘qub yang hidup di Kanaan selalu merindukan Yusuf, yang ia yakini masih hidup. Maka diperintahkan anak-anaknya untuk mencari Yusuf dengan cara, tidak masuk dari satu pintu saja melainkan masuk dari berbagai pintu yang berbeda-beda (Q., 12: 67). Akhirnya diketemukanlah Yusuf yang telah menjadi menteri tersebut. Dengan kedudukannya yang baik itu, Yusuf mampu memboyong seluruh keluarga ayahnya untuk menetap di Mesir. Maka mereka pun beranak-pinak, dan lahirlah di Mesir suatu kelompok masyarakat yang dikenali sebagai Bani Israil (anak keturunan Israil, yakni Nabi Ya‘qub), asal-muasal bangsa Yahudi sekarang ini.

Allah mendudukkan mereka pada tempat yang tinggi, sebagaimana dalam firman-Nya dan Kami utamakan mereka di atas bangsa-bangsa (Q., 45: 16). Janji Tuhan sebagaimana dalam firman-Nya tersebut, dengan syarat bahwa mereka berpegang kepada ajaran Tuhan. Menurut Nurcholish Madjid, janji Tuhan tersebut sama dengan ketika menunjuk Ibrahim sebagai pemimpin umat manusia. ...Ia berfirman, “akan Kujadikan engkau seorang Imam umat manusia kepada Ibrahim, sesungguhnya Aku telah mengangkat engkau sebagai pemimpin umat manusia”. Ia bermohon, “Dan juga (imam-imam) dari keturunan¬ku?” Ia berfirman, “Janji-Ku tak berlaku bagi orang-orang zalim” (Q., 2: 124).

Indikasi bahwa orang Yahudi sekarang hebat di Amerika, karena mereka adalah pekerja keras. Mentalitas minoritas yang tantangannya just how to survive, membuat mereka menjadi pekerja keras. Nah, kerja keras inilah, menurut Nurcholish, yang menjadi kunci kehebatan orang Yahudi di Amerika. Keunggulan orang Yahudi dalam arti lebih luas, apalagi spiritual, sebagian memang benar. Al-Quran mengatakan, Mereka tidak sama: di antara Ahl al-Kitab ada segolongan yang berlaku jujur, mereka membaca ayat-ayat Allah pada malam hari dan mereka pun bersujud. (Q., 3: 113-115). Ayat ini, merupakan gambaran bahwa di antara orang Yahudi itu ada yang baik. Seperti dalam masalah Israel, banyak sekali orang Yahudi Amerika yang tidak setuju dengan Israel. Untuk menunjukkan ketidaksetujuannya, terkadang mereka membuat iklan satu halaman penuh menentang Israel di New York Times. Tidak terlalu mengherankan jika, Palestina di bawah pimpinan Yasser Arafat tidak pernah anti-Yahudi, melainkan anti-Israel dan anti-Zionisme. Israel ditentang karena merupakan sebuah negara yang dipaksakan, dan Zionisme ditentang karena kezalimannya yang hendak mengambil hak-hak orang-orang Arab yang sah.

Namun, keberadaan orang-orang Yahudi juga tidak semua sama seperti yang digambarkan di atas. Ketika orang Yahudi dikutuk Tuhan karena menolak Nabi Isa dan menuduh Maryam sebagai pezina, kota Yerusalem dihancurleburkan melalui tangan Titus. Orang Yahudi kemudian dilarang tinggal di Palestina dan mengalami Diaspora, yaitu hidup mengembara di seluruh muka bumi tanpa tanah air. Ini sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, (Q., 3: 112). Pada waktu itu, orang Yahudi nista sekali, sehingga istilah ghetto, daerah kumuh di perkotaan, diasosiasikan kepada mereka.

Nurcholish, menceritakan, dalam riwayat mengenai Al-Masjid Al-Aqsha, ada hal yang sangat penting, yaitu Bani Israil ditakdirkan membuat dua kali kerusakan di bumi. Bani Israil telah berbuat keru¬sakan yang pertama dan dihancurkan oleh Tuhan. (Q., 17: 4-7). Penjelasan Nurcholish yang cukup panjang mengenai hal ini, sebagai berikut:

"Menurut tafsir Baidhawi, al-Kasysyâf, Al-Thabari dan Ibn Katsir kemudian digabung dengan Muqaddimmah-nya Ibn Khaldun, Bani Israil membuat kerusakan pertama pada 700 tahun sebelum Masehi atau 200 tahun setelah Nabi Sulaiman. Pada saat itu Palestina diserang oleh Babilon di bawah Nebukadnezar; Al-Masjid Al-Aqsha dihancurkan dan Bani Israil dibawa ke Babilon untuk dijadikan budak. Keterpurukan Bani Israil ditolong oleh bangsa Parsi yang mengalahkan Babilon, dan diizinkan kembali ke Yerusalem dengan pimpinan Nabi ‘Uzeir (Ezra). Di bawah pimpinan ‘Uzeir, Al-Masjid Al-Aqsha dibangun kembali secara sederhana, sesuai kehendak penguasa Parsi. Keadaan ini berlangsung sampai sekitar setengah abad sebelum kelahiran Isa Al-Masih, yaitu ketika Herodus tampil sebagai raja Yahudi. Herodus inilah yang membangun kembali Al-Masjid Al-Aqsha dengan luar biasa megahnya konon katanya lebih megah dari bangunan Nabi Sulaiman. Bangunan Al-Masjid Al-Aqsha yang begitu indah ini seolah hanyalah sebagai proyek mercusuar, karena di dalamnya tidak ada isinya. Karena itu ketika Isa Al-Masih diutus Allah sebagai rasul, ia menutupnya. Isa Al-Masih dilukiskan pernah menendangi bangku-bangku lintah darat sambil mengutuk, “kalau begini terus masjid ini bakal dihancurkan lagi oleh Allah dan kamu akan tetap menjadi bangsa yang terkutuk”. Kutukan Isa ini menjadi kenyataan sekitar tahun 70 Masehi, ketika Yerusalem diserbu Romawi di bawah pimpinan Titus. Untuk kesekian kalinya Al-Masjid Al-Aqsha hancur, dan inilah yang dimaksudkan dengan, Maka jika peringatan kedua sudah lalu (Kami mengizinkan musuh-musuhmu) akan merusak wajah-wajahmu, dan mereka memasuki kuil sebagaimana telah mereka masuki pertama kali, dan mereka mem¬binasakan segala yang berada di bawah kekuasaan mereka. Mudah-mudahan Tuhan memberi rahmat kepadamu. Tetapi jika kamu kembali (melakukan kejahatan), Kami pun kembali (menjatuhkan azab). Dan Kami jadikan jahanam kurungan orang tak beriman (Q., 17: 7-8)."

Demikianlah, di hadapan Titus, Bani Israil menjadi bangsa yang terhina dan tidak diperbolehkan untuk tinggal di Palestina. Dari sini muncul apa yang dikenal dengan istilah Diaspora, yaitu mengembara ke seluruh muka bumi karena tidak memiliki tanah air. Di mana pun mereka dihina dan dibenci oleh bangsa-bangsa tempat mereka tinggal. Dan inilah pengalaman paling pahit Bani Israil. Puncaknya adalah Genocide atau Holocaust (pembantaian secara sistematik) yang dilakukan Jerman Nazi. Tetapi tampaknya inilah yang dimaksud oleh firman Allah, Mereka selalu diliputi kehinaan (seperti kemah) di mana pun mereka berada (Q., 3: 112).

Tidak ada komentar: