Ateisme dan Kebebasan Beragama
Moh. Shofan
Di masa lalu hampir semua agama (yang baru), baik agama Yahudi dan Kristen dituduh sebagai penyebar ateisme oleh orang-orang Romawi meskipun mereka mengajarkan kepercayaan kepada Tuhan sebab kaum Yahudi dan Kristen menolak berhala mereka, termasuk menolak pandangan bahwa raja adalah seorang dewa. Kaum Kristen Ortodoks juga menggunakan cap ateisme ke kelompok-kelompok Kristen lain yang menolak Trinitas. Dalam sejarah Islam pun terjadi hal serupa. Pada masa-masa awal perkembangan pemikiran Islam, banyak kelompok Islam yang saling menuduh sebagai kafir, murtad, atau zindiq. Istilah zindiq ini merupakan padanan istilah ateis dalam literatur Islam, sedangkan padanan untuk ateisme ialah zandaqah. Istilah-istilah ini, misalnya, terdapat dalam berbagai karya Al-Ghazali, antara lain dalam risalahnya, Fashl al-Tafriqah bayn al-Îmân wa al-Zandaqah (Pembedaan yang jelas antara Iman dan Ateisme).
Sekarang ini, berbicara mengenai ateisme di Negara-negara maju bukanlah hal yang tabu. Di Negara Inggris, misalnya, baru-baru ini ada kampanye mengenai ateisme. Kalangan ateis memasang iklan ateisme di bus yang berbunyi “Mungkin Tuhan tidak pernah ada. Karena itu jangan cemas lagi dan nikmatilah hidup”. Sebuah iklan yang tidak lazim tersebut tentu saja mengundang berbagai respon dari masyarakat Inggris. Iklan yang menggugah keyakinan ini, seperti dilansir New York Times, adalah sebagai koreksi bagi iklan-iklan yang bernada religius. Iklan tersebut mendapat tanggapan positif dari Gereja Methodist Inggris agar masyarakat membicarakan Tuhan. Bahkan, Ratu Elizabeth II, justru memberikan dukungannya. Sebagai pemimpin Negara sekular, dia mengatakan bahwa kebebasan beragama dan tidak beragama sama bagusnya di Inggris. Bahkan, kampanye tersebut kabarnya akan dilanjutkan dengan pemasangan seribu pamflet ateis di terminal Subway Inggris atas restu Ratu Elizabeth. Ini menandakan bahwa kebebasan berekspresi di Negara Inggris benar-benar berjalan dengan sangat baik.
Bagaimana dengan Indonesia?
Di Indonesia kebebasan beragama belum dapat dijalankan dengan baik. Karena itu, saya amat sangat tidak yakin, jika ada kampanye ateisme, mereka bisa bebas dari tekanan pemerintah dan kelompok radikalisme agama. Alih-alih kampanye ateisme, sekadar berbeda dari kalangan mainstream umat Islam saja, jamaah Ahmadiyah harus menanggung resiko yang amat menyedihkan akibat ulah kelompok radikalisme Islam. Kekerasan demi kekerasan yang dilakukannya itu, bukan saja dapat mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya, tetapi juga dapat mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Keadaan ini pada gilirannya akan menghancurkan hak-hak heteroginitas (keragaman) dan memporak-porandakan kesatuan bangsa.
Banyaknya stigma kafir, murtad atau zindiq bisa ditelusuri dari model pendekatan dalam bertafsir yang lebih menekankan pada eksklusivitas dengan ciri-ciri tidak toleran terhadap agama-agama lain yang dianggap tidak sesuai dengan doktrin agamanya. Keniscayaan kebebasan beragama sebagai yang sudah digariskan ajaran Tuhan hanya sekadar ujaran tanpa makna. Dalam kenyataan di lapangan masih sering kita jumpai kebebasan beragama mengalami persoalan serius. Agama disalahgunakan dan disalah-arahkan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian) seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan, segera setelah identitasnya terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman agama atau interpretasi agama merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik agama.
Abdul Karim Soroush mengatakan, ”Orang-orang yang menghindari kebebasan sesungguhnya akan menjadi musuh kebenaran dan tempat pembiakan ide-ide yang salah. Mereka tidak memahami bahwa kebebasan itu sendiri adalah kebenaran (haq). Orang-orang ini seolah tidak menganggap kebebasan sebagai suatu berkah, kebenaran, atau kebaikan. Mereka bertindak seakan kebebasan adalah udara yang sangat panas, suatu ilusi atau mitos. Mereka gagal memahami bahwa realisasi kebebasan akan memperkuat kebenaran dan memperlemah kesalahan”.
Cita-cita terdepan agama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan, dengan demikian, menjadi angan-angan absurd karena hati nurani manusia telah dihalangi kebebasannya dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya. Sungguh, tiada bencana yang lebih besar kecuali pemasungan terhadap kelompok tertentu dalam menjalankan keyakinan agamanya. Kebebasan berkeyakinan semestinya memberikan implikasi positif bagi para pemeluk agama untuk saling berlomba melakukan yang terbaik sesuai dengan doktrin ajarannya masing-masing. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan di dunia ini. Al-Qur’an sendiri mengakui keragaman agama dan kesatuan iman. Titik persinggungan agama-agama adalah keimanan yang benar kepada Tuhan dan hari akhir serta menjalankan amal saleh. Intinya, keimanan merupakan nilai yang paling umum bagi sikap keberagamaan yang benar.
Jaminan negara terhadap kebebasan berkeyakinan di Indonesia sudah memadai. Namun, persoalan mulai muncul, ketika pemerintah tidak mampu untuk mengimplementasikannya di level praksis. Konstitusi negara tampaknya hanya menjadi retorika kenegaraan yang tidak mampu memperkuat identitas kebangsaan pada warga negaranya, karena masih ada hak-hak kehidupan religius warga negara yang tidak mampu dilindungi oleh negara dengan konstitusi yang telah diakui dan disahkan oleh pendiri dan pelaksana pemerintahan ini. Paham kebangsaan dan kenegaraan sudah sangat rapuh, tergilas dengan kuatnya dorongan untuk melanggengkan dan mengukuhkan ontologi agama, yang mengingkari otherness, diversity, dan pluralism sebagai bagian dari bangsa. Akankah lonceng kematian kebebasan beragama di Indonesia akan menjadi kenyataan selamanya? Wallahu A’lam bi al- Shawab.
Dimuat di Surabaya Post, 19 Januari 2009
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar