Fatwa MUI tentang Rokok Tak Efektif
Moh. Shofan
Negeri Indonesia adalah surga bagi para pecandu rokok karena orang Indonesia sudah terbiasa menghisap rokok tanpa ada larangan. Tiba-tiba, kita dikejutkan dengan munculnya fatwa MUI tentang haramnya merokok bagi anak-anak, wanita hamil, serta merokok di tempat umum. Selain ketiga itu hukum merokok jatuh pada makruh. Saya sendiri shock begitu mendengar fatwa MUI tentang haramnya merokok, hampir-hampir saja pingsan. Bukan karena apa-apa, tetapi geli mendengarnya. Bagaimana tidak? Bagi pecandu rokok, –seperti halnya saya– menghisap rokok tak ubahnya seperti kebutuhan pokok. Sehari tak merokok, badan seperti sakit semua, pikiran tak mampu bekerja dan sulit sekali untuk kosentrasi. Saya sendiri rela mengganti sarapan pagi hanya dengan sebatang rokok dan segelas kopi.
Merokok bagi saya membuahkan kenikmatan yang tiada tandingannya. Karena itu siapapun yang melarang saya agar berhenti merokok tidak akan mampu mengubah pendirian saya. Sepanjang saya masih bisa merokok, maka sampai kapan pun aktifitas merokok tidak akan berhenti. Saya berhenti merokok hanya pada saat tertentu, misalnya pada saat sedang istirahat (tidur) atau di tempat-tempat tertentu yang tidak diperbolehkan untuk merokok. Saya merokok di mana saja sepanjang tidak mengganggu orang lain. Dan jika sekiranya mengganggu orang lain tentu saya akan mencari tempat yang aman buat merokok. Di tempat-tempat tertentu, misalnya di Air Port, tersedia ruangan area smoking. Saya bisa langsung masuk dan merokok sambil menunggu pesawat take off (lepas landas) – demikian juga di sejumlah tempat lain, baik di kantor, di jalan, di mall, di kafe, di rumah makan, di kos, bahkan (maaf) di WC pun terkadang merokok (daripada bengong) sambil menunggu sampai hajat selesai.
Bagi saya, hukum merokok itu mubah (artinya dibolehkan) dan bukan makruh, karena makruh menunjukkan ketidakkonsistenan hukum itu sendiri. Untuk menghukumi mubah saya juga tidak perlu meminta fatwa kepada seorang kyai. Hukum rokok tidak bisa menjadi haram hanya karena kesepakatan MUI. Kitab-kitab kuning telah sejak lama menjelaskan hal ini. Lalu bagaimana fatwa MUI yang mengharamkan rokok bagi anak-anak usia remaja, ibu hamil atau larangan merokok di tempat umum. Bagi saya, agar anak-anak, pelajar, dan ibu hamil tidak merokok menjadi tugas orang tua, guru maupun suami. Orang tua harus mendidik anaknya dengan baik. Jika anaknya masih belum dewasa, jangan disuruh membeli rokok karena mereka akan coba-coba.
Fatwa MUI yang mengharamkan rokok tentu saja sangat meresahkan masyarakat karena rokok menjadi jantung perekonomian masyarakat. Hampir seluruh sektor perekonomian tergantung pada industri rokok, seperti masyarakat Kudus. Karenanya begitu keluar fatwa MUI tentang haramnya merokok, spontanitas masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Forum Pengusaha Rokok Kudus (FPRK), Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), sejumlah perguruan tinggi di Kudus, dan LSM melakukan resistensi terhadap fatwa MUI yang tidak dipertimbangkan secara bijaksana ini.
Resistensi itu saya kira wajar saja, karena keberadaan rokok di Kudus ada sejak 100 tahun yang lalu. Kudus menjadi cikal bakal berdirinya sejumlah industri rokok, hingga kini menjadi jantung perekonomian masyarakat di Kudus. Hampir seluruh sektor perekonomian yang ada di Kudus tergantung pada sektor industri rokok. Keberadaan industri rokok di Kudus juga tidak dapat dipisahkan dari pemasukan APBN pada penerimaan cukai rokok yang mencapai jumlah triliunan rupiah. Di sisi lain, fatwa haram merokok juga mengancam ratusan ribu karyawan, belum lagi, sektor industri kertas sebagai pemasok, sehingga akan semakin menambah jumlah pekerja yang terancam menganggur. Itu baru di satu kabupaten saja, lalu bagaimana perusahaan rokok Djarum dan Nojorono di Kudus, Sampoerna di Surabaya, Gudang Garam di Kediri, dan Bentoel di Malang.
Diakui atau tidak, jutaan masyarakat kita hidupnya tergantung pada industri ini. Kebanyakan mereka adalah orang-orang Muslim. Industri tembakau ini melibatkan petani tembakau hingga hilirnya tenaga kerja. Sebanyak 6,1 juta orang tenaga kerja terlibat langsung dalam industri ini. Bila masing-masing tenaga kerja menghidupi empat orang, berarti tak kurang dari 30,5 juta jiwa penghidupannya menggantungkan diri dari lancarnya industri ini. Dengan demikian, keputusan fatwa MUI tentang haramnya rokok tidak mempertimbangkan sama sekali kemaslahatan umat. Padahal, konon, ulama-ulama yang tergabung di MUI sangatlah paham agama. Namun kenyataannya MUI terlalu gegabah dalam membuat fatwa.
Berdasarkan mudharat yang ditimbulkannya lebih besar daripada manfaatnya, maka tidak semua ulama sepakat terhadap fatwa MUI tersebut. Ketua MUI Jawa Timur, KH. Abdusshomad Bukhari, menilai fatwa haram rokok justru lebih besar mudharatnya. Salah satunya adalah akan membengkaknya jumlah angka pengangguran menyusul ribuan anggota masyarakat yang bekerja pada sektor yang terkait dengan industri rokok, seperti di Jawa Timur. Respon yang sama dating dari KH. Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU. Menurutnya, PBNU berketetapan merokok hanya diberi fatwa makruh. Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa bahaya rokok relatif dan tidak bisa dibandingkan dengan minuman keras.
Terang sekali, bahwa dampak fatwa MUI tersebut bisa merusak perekonomian Indonesia. Bukankah Al-Qur’an mengingatkan bahwa orang-orang yang mendustakan agama adalah mereka yang tidak peduli orang-orang miskin? Karena fatwa MUI terasa sangat problematik dan terkesan asal-asalan tanpa mempertimbangkan lebih jauh dampak dari fatwa yang dihasilkannya. Bagaimana pula dengan pemerintah yang banyak diuntungkan oleh industri rokok, akankah mendukung fatwa MUI? Sementara korupsi yang menjadi penyakit sosial bangsa dan jelas-jelas merugikan Negara senilai trilyunan rupiah tak pernah kena sasaran fatwa. Akankah MUI sudah kehilangan kepekaan sosial? Wallahu A’lam bi al-Shawab.
Kamis, 29 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
2 komentar:
Tentu saja korupsi tidak halal, ada fatwanya kok ...
http://opiniorangbiasa.blogspot.com
dari pada rokoan lebih baik godain perawan cilik
Posting Komentar