Kaum Muslim dan Perang “Seolah-olah”
Moh. Shofan
Ketika tulisan ini dibuat, sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Benarkah aksi-aksi kekerasan atas nama iman, yang lazim dilakukan oleh kelompok radikalisme Islam, seperti, Amrozi, Imam Mukhlas, dan Imam Samudra adalah sebuah tindakan yang mendapat justifikasi dari ajaran agama (baca: Islam), sehingga karenanya boleh dilakukan? Benarkah mereka para pelaku kasus bom Bali I yang beberapa waktu lalu diekskusi pantas diberi gelar sebagai mujahid, syuhada, pejuang Islam atau pahlawan pejuang kemerdekaan Islam? Mengapa banyak masyarakat yang mengelu-elukannya, mengagungkannya, menyambutnya bagai pahlawan Islam sehabis bertempur di medan peperangan besar?
Seperti kita ketahui, bahwa pasca ekskusi tiga terpidana mati kasus bom Bali, Amrozi, Imam Mukhlas dan Imam Samudra, banyak mendapat sorotan media –baik media massa maupun elektronika. Mereka disambut dengan gegap gempita masyarakat, bak pejuang Islam sehabis berperang dari medan pertempuran besar. Sebuah spanduk ucapan selamat dipasang untuk menyambut kedatangan jenazah dengan pekikan “Allahu Akbar”. Di antara mereka ada yang meneteskan air mata, ada yang lunglai. Bahkan ada yang mengeluarkan ucapan berjanji akan meneruskan perjuangan mereka. Ratusan pelayat yang berpakaian gamis ala Afghanistan, yang sebagian besar dari jamaah Anshorut Tauhid, Forum Umat Islam, dan Front Pembela Islam, tiada henti-hentinya memekikkan kalimah takbir. Artis kawakan Dorce Gamalama, pun melayat ke rumah Imam Samudra.
Sejumlah ormas Islam juga memberi dukungan dan menggelar shalat gaib untuk ketiga terpidana bom Bali I tersebut. Ormas Islam yang ikut kegiatan itu di antaranya Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komite Penegak Syariat Islam (KPSI), Dewam Dakwah Islam Indonesia (DDII) serta Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Pelaksanaan salat ghaib, menurut Irfianda Abidin, selaku Ahwa Ahlul Halli Wal Aqdi MMI Pusat adalah sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara sesama Muslim yang memperjuangkan Islam secara utuh. Pihaknya juga menyayangkan adanya oknum Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berpendapat bahwa ketiga terpidana mati itu bukanlah mati syahid. Bahkan, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Din Syamsuddin pun juga ikut mendoakan arwah trio terpidana mati bom Bali tersebut.
Hal-hal aneh seputar kematiannya pun bermunculan. Konon, wajah Imam Samudra seperti bayi yang baru saja dimandikan bidan, jenazahnya wangi, darahnya tak pernah kering, wajahnya begitu bahagia dan bersih, bibirnya tampak senyum seolah melihat bidadari dari surga yang datang menyambutnya. Sementara, hal yang sama juga terjadi pada Amrozi dan Imam Mukhlas. Konon, satu jam sebelum kedatangan jenazah Amrozi dan Mukhlas, warga yang memadati area sekitar tempat rumah Amrozi melihat tiga burung belibis berbulu hitam yang melayang-layang di udara. Warga yang memadati area sekitar pun dibuat takjub karenanya. Mereka meyakini, bahwa ini tanda jenazah mereka langsung bertemu dengan Allah. Bahkan, istri dari Ali Ghufron, Paridah Abbas, melihat langit membentuk kalimat Allah saat ketiga burung tersebut datang.
Dengan berpijak pada realitas di atas, ada kemungkinan bahwa kematian tiga terpidana mati bom Bali bisa menjadi stimulus kaum Islam radikal untuk terus melancarkan "jihad" melawan "kebathilan" di dunia. Tentu saja, jihad dan kebathilan versi kaum Islam radikal. Kalangan yang pro terhadap Amrozi, dkk. menjadikannya sebagai suri teladan dalam aksinya dan bisa jadi kebanyakan di antara mereka berorientasi mati syahid. Umumnya para pendukung Amrozi, dkk. bukan hanya dari kelompok radikalisme Islam saja, tetapi sebagian besar justru dari kalangan masyarakat awam yang bisa jadi terpengaruh oleh pemberitaan media yang terkesan melebih-lebihkan. Beberapa pemberitaan seputar kematiannya, secara tidak langsung menjadi virus ampuh bagi masyarakat yang memberi kesan bahwa Amrozi, dkk. benar-benar seorang syuhada atau pejuang Islam. Dan, tentu saja ini sesuai dengan cara pandang masyarakat awam terhadap agamanya yang umumnya masih kental dengan nuansa takhayul maupun khurafat. Bahkan masyarakat terpelajar pun tidak luput dari pengaruh itu. Ditambah lagi dengan, pernyataan Abu Bakar Ba’asyir, yang menganggapnya sebagai syahid.
Sementara kalangan yang kontra menganggap bahwa kematian Amrozi, dkk. sudah sepantasnya mereka terima. Pasalnya, mereka menjadikan agama sebagai alat untuk melegitimasi aksi-aksi kekerasan. Radikalisme agama tentu sangat disesalkan, karena Islam memiliki misi yang luhur untuk menciptakan kedamaian dan keselamatan. Islam dengan wajah yang ramah inilah yang perlu dikembangkan. Ma’ruf Amin, Ketua MUI, berpendapat bahwa perjuangan Amrozi, dkk. dengan teror bukan cara yang tepat dalam perjuangan Islam. Perjuangan dalam Islam, menurutnya harus dilakukan dengan dakwah. Ma’ruf juga menilai hukuman mati bagi Amrozi, dkk. merupakan hukuman setimpal karena mereka juga telah membunuh banyak orang. Karenanya, bagi Ma’ruf, Amrozi dkk. tidak layak diberi gelar sebagai syuhada dan kematiannya pun tidak bisa dikatakan syahid.
Argumentasi Amrozi dkk. dalam tragedi bom Bali jelas menyiratkan ”arogansi teologis”. Atas nama Tuhan mengoyak harkat kemanusiaan. Atas nama kebenaran menebar teror terhadap masyarakat Barat yang tak berdosa. Aksi jihad Amrozi dkk. sebenarnya tidak jauh berbeda dengan fenomena tawuran antar pelajar. Dalam tawuran, pasti ada jatuh korban akibat serangkaian kekerasan. Demikian juga dalam teror, pasti ada kekerasan. Tiada teror tanpa kekerasan. Dan, terorisme adalah puncak aksi kekerasan, terrorism is the apex of violence, karena terorisme adalah paham yang menggunakan kekerasan untuk menciptakan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan. Sehingga, amat riskan menyebut tindakan teroris sebagai aksi jihad dan berharap sebagai syuhada dengan segala janji-janji menggiurkan, seperti, jaminan masuk surga –yang konon luasnya seperti luas langit dan bumi– tanpa hisab, disambut oleh para bidadari cantik di surga, bertemu dengan para anbiya’, dan lain-lain.
Fenomena radikalisme Islam memang bukan datang secara tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Secara politik umat Islam bukan saja tidak diuntungkan oleh sistem, tetapi juga merasa diperlakukan tidak adil. Kelompok Islam radikal menganggap kepentingan ekonomi umat Islam tidak dilindungi, bahkan diabaikan dan dipinggirkan. Sementara, dalam konteks sosial budaya, umat Islam semakin kehilangan orientasi dengan makin kuatnya serbuan budaya Barat.
Dengan demikian, radikalisme tidak lebih dan tidak lain merupakan sebuah bentuk antithesa spontanitas dari sebuah komunitas yang tertindas oleh tekanan modernitas yang menjurus pada otoritarianisme dengan pengalaman yang berlangsung bertahun-tahun, berada dibawah bayang-bayang modernisme yang semakin membuat mereka termarginalisasi. Sehingga mereka mengalami fobia yang begitu berat dan akut. Dalam konteks ini, munculnya radikalisme Islam sebenarnya bisa dimengerti dan merupakan respon wajar untuk mempertahankan keselamatan komunitasnya. Respons tersebut muncul dalam bentuk evaluasi, penolakan, atau bahkan perlawanan. Masalah-masalah yang ditolak dapat berupa asumsi, ide, lembaga, atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Ciri ini menunjukkan bahwa di dalam radikalisme terkandung suatu program atau pandangan dunia (world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk menjadikan tatanan tersebut sebagai ganti dari tatanan yang sudah ada. Mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ‘kembali kepada Islam’ sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan ini hanya mungkin dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran Islam yang otentik seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Para spesialis radikalisme Islam ini secara aktif mencari kerangka baru untuk memahami perseteruan atas nama Islam. Mereka berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam, dan mengusung spiritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif sebagai respon dari ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik. Dalam pandangan mereka, masyarakat Muslim harus menegakkan hukum Islam sebagai satu-satunya sumber hukum yang diterima. Dan, kaum radikalis memiliki keyakinan yang kuat akan kebenaran program atau ideologi yang mereka bawa.
Namun, ketika respon dalam bentuk evaluasi dan penolakan menemui jalan buntu, maka jalan satu-satunya adalah dengan perlawanan. Dan perlawanan dalam bentuknya yang paling ekstrim adalah terorisme meski tak semua kelompok radikal bisa dikaitkan dengan terorisme. Mereka berjuang dengan kerangka nilai atau identitas tertentu yang diambil dari warisan masa lalu. Mereka seolah-olah berhadapan dengan pemerintahan yang kafir, sehingga karenanya wajib melakukan jihad dan perlawanan atas nama agama. Mereka seolah hidup pada masa Nabi SAW yang hampir tak pernah absen dari peperangan melawan kaum kafir, baik di Makkah maupun Madinah.
Membaranya api semangat terhadap serangkaian aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikalis ini, seperti disinggung di atas, seolah mendapat afirmasi teologis seperti tergambar dalam eksemplar sejarah pada masa Nabi. Memang, perang yang dihadapi oleh Amrozi, dkk. bukan lagi pengulangan perang pada masa Nabi. Namun, tidak bisa dipungkiri, bahwa semangat kaum radikalisme Islam dalam memusuhi Barat adalah semangat memperjuangkan Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi dan para sahabat. Nabi dengan berkekuatan tidak lebih dari 313 prajurit, mampu mengalahkan pihak musuh dengan kekuatan 1000 prajurit dalam perang Badar. Nilai-nilai Robbani yang tertanam pada jiwa-jiwa Badar ini seolah-olah tertanam pula pada jiwa kaum radikalis. Mereka berani mati demi menegakkan syiar Islam di muka bumi. Prinsip mereka adalah hidup mulia atau mati syahid.
Pada umumnya, radikalisme Islam memang selalu berujung dengan kegagalan. Namun, harus diakui, bahwa dalam dunia modern, seperti dikatakan Gellner, fenomena radikalisme Islam, tidak akan pernah punah. Kemunculan mereka, di samping sebagai wujud dari respon –meminjam istilah Nurcholish Madjid– psikologis yang tertunda (delayed psychological response) terhadap kekuasaan yang otoriter, sesungguhnya adalah fenomena yang biasa ketika pintu keterbukaan dibuka. Gerakan Islam radikal adalah salah satu dari banyaknya gerakan yang muncul di dunia modern. Radikalisme sendiri sebenarnya tidak merupakan masalah sejauh ia hanya dalam bentuk pemikiran. Namun, ketika radikalisme pemikiran menjelma menjadi gerakan-gerakan radikal, maka ia mulai menimbulkan masalah dan patut diwaspadai.
Kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian telah dicemari perilaku kekerasan oleh gerakan radikal. Tugas para agamawan untuk menjelaskan kepada umat beragama bahwa kekerasan bukanlah ajaran Islam. Demikian juga yang perlu dicatat oleh Negara adalah bagaimana pelaksanaan demokrasi, yang menjunjung tinggi, antara lain, prinsip keadilan, persamaan hak, adanya partisipasi rakyat dan perlindungan HAM dapat segera diwujudkan. Demokrasi Indonesia, saya kira masih sangat lemah, jika tidak mau dikatakan rapuh. Pemerataan dan keadilan sosial masih menjadi mimpi sampai sekarang. Jika pemerintah tidak segera melakukan perubahan, maka, tidak menutup kemungkinan ancaman demi ancaman akan muncul sebagai respon dari akumulasi masif kegagalan pemerintah menangani persoalan bangsa. []
Tulisan ini dimuat di Majalah Madina Desember 2008
Selasa, 13 Januari 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar