Selasa, 18 November 2008

Jalan Berliku Pluralisme

Jalan Berliku Pluralisme


Judul Buku: Menegakkan Pluralisme; Fundamentalisme-Konservatif di Tubuh Muhammadiyah
Penulis: Moh. Shofan
Penerbit: LSAF Jakarta dan Ar-Ruzz Media Jogjakarta
Cetakan: Pertama, September 2008
Tebal: 484 Halaman

Muh Kholid A.S.
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)


Sangat provokatif! Dua kata singkat itu tampaknya cukup mewakili pembaca saat mengamati visualisasi buku Menegakkan Pluralisme. Bagaimana tidak, dilihat judulnya saja, buku karya Moh. Shofan dan kawan-kawan ini jelas menjadi antitesa dari fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pluralisme, liberalisme, dan sekularisme agama sejak 2005. Ditambah dua sosok ''penantang'' otoritas mutlak MUI, M. Dawam Rahardjo dan Ulil Abshar Abdalla dalam pengantar dan penutupnya, maka semakin sempurnalah status buku ini sebagai ''provokator'' yang menohok ruang keberimanan.

Kehadiran buku ini tidak lepas dari rangkaian sejarah mihnah yang menimpa Moh. Shofan. Tragedi yang sedikit mirip dengan kejadian di era Khalifah al-Ma'mun dari Daulah Abbasiyah itu bermula ketika Shofan menulis sebuah artikel tentang kemubahan seorang muslim mengucapkan selamat Natal kepada umat Kristiani. Oleh pimpinan Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG) tempatnya mengajar, tulisan yang dimuat di harian lokal Surabaya pada 25 Desember 2006 itu dianggap telah melenceng dari akidah Islam. ''Palu'' pengadilan UMG menjatuhkan vonis berupa larangan mengajar (dipecat) terhitung sejak 6 Februari 2007.

Pengalaman pahit itu justru membukakan pintu gerbang bagi alumnus S-1 dan S-2 Universitas Muhammadiyah Malang itu untuk ''berhijrah'' ke pusat ''kekuasaan'' Jakarta. Sengsara justru menjadi titik awal baginya meraih popularitas. Berawal dari kasus itu juga, dia mampu menelorkan berbagai pemikiran yang yang jauh lebih produktif dan progres daripada saat masih berstatus sebagai dosen UMG.

Fakta menunjukkan bahwa kasus yang menimpa Shofan itu memang bersifat lokal. Tetapi, banyak pihak yang menilainya sebagai cerminan dari pertarungan wacana keislaman di (Muhammadiyah) tingkat nasional. Meminjam istilah Muhadjir Effendy, pemikiran di Muhammadiyah ''dipaksa'' menjadi dua kesebelasan yang berhadapan, dan ada keharusan untuk memilih salah satunya. Pertandingan inilah yang menghasilkan perang labelisasi dan stigma dalam mempersepsi diri dan menilai pihak lain tanpa tabayyun (klarifikasi) yang memadai.

Kesenjangan ini secara nyata tampak dari perdebatan tentang ''pluralisme'' dalam Muhammadiyah. Oleh beberapa pihak, pluralisme masih diposisikan sebagai musuh bersama atas nama ''agama'' yang harus dilenyapkan karena dipandang sebagai paham yang mengarah pada penghancuran batas-batas agama. Padahal, di pihak lain, pluralisme dipandang sebagai paham yang mengakui eksistensi agama-agama, tanpa mencampuradukkannya menjadi agama baru atau menganggap semuanya sama benar.

Paham pluralisme adalah ruang yang memberi peluang kepada siapa saja untuk meyakini agamanya sebagai nilai yang mengandung kebenaran mutlak, tetapi hak serupa juga harus diberikan kepada penganut agama lain untuk memegang prinsip yang sama. Masing-masing pihak saling menghormati secara tulus dan siap untuk hidup berdampingan secara damai. Adalah tindakan yang tidak relevan ketika menolak keragaman dan pluralitas dalam dunia yang sudah sedemikian mengglobal.

Buku yang didedah oleh 28 penulis ini secara umum terbagi dalam lima bagian. Bagian pertama berisi tentang pemikiran Shofan tentang urgensi penegakan pluralisme untuk kemaslahatan umat, disusul gugatannya tentang fundamentalisme-konservatif di Muhammadiyah, serta upaya mewujudkan cita-cita pluralisme sebagai landasan hidup. Barulah pada bagian keempat memuat tanggapan beberapa ''kawan atau lawan'' terhadap gagasan pluralisme dengan becermin pada kasus yang menimpa Shofan, serta sorotan media atas kasus itu di bab lima.

Rangkaian tulisan Shofan yang dilengkapi dengan komentar beberapa sahabatnya ini tentu menjadi catatan sejarah yang tidak boleh dinafikan. Bukan berarti membuka ''luka lama'', tetapi kehadirannya harus dimaknai sebagai titik awal bagi terjadinya dialog konstruktif di antara beragam ''aliran'' dalam Muhammadiyah, dan umat Islam pada umumnya. Sudah saatnya umat mulai mewacanakan secara cerdas masalah pluralisme beserta variannya dalam suasana jernih, bukan dalam konstruksi monolitik dan memicu perseteruan dan stigma yang memvonis.

Lebih daripada itu, merupakan preseden yang tidak elok jika penyelesaian perbedaan pendapat, lebih-lebih dalam organisasi semodern Muhammadiyah, justru disusupi dengan tendensi ideologis-politis. Adalah peristiwa yang tidak progresif jika perbedaan pandang justru diselesaikan dengan aksi yang semena-mena, termasuk menggunakan cara-cara kurang elegan. Biarlah perbedaan itu harus saling mengapresiasi sebagai komponen komplementer untuk saling ber-fastabiq al-khairat dalam menyongsong zamannya.

Terlepas dari kekurangan buku yang sarat ''labelisasi'' dan ''stigmatisasi'', yang jelas, Muhammadiyah sangat diuntungkan dengan kehadiran catatan ''kelam'' sejarah pertarungan (dinamika?) pemikiran ini. Meski terasa tidak enak di mata dan hati, buku Menegakkan Pluralisme ini setidaknya bisa dijadikan pijakan untuk membangun masa depan yang harmonis tanpa menafikan masa kekinian dan kesejarahan masa lampau. Sebab, buku ini adalah akumulasi pengalaman umat pada eranya sendiri sebagai warisan yang harus dipelajari oleh generasi mendatang. (*)

Dimuat di Jawa Pos Oktober 2008

Tidak ada komentar: