Kamis, 22 September 2011

Jalan Terbuka Menuju Konservatisme (?)

Moh. Shofan


Dalam berbagai kesempatan, saya sering mengatakan bahwa, Muhammadiyah, yang selama ini dikenal sebagai gerakan pembaharu atau yang diistilahkan dengan “tajdid” telah kehilangan jati diri ke-tajdidan-nya. Pernyataan ini, tentu saja, “bukan basa-basi”, tetapi menjadi bagian dari keprihatinan saya melihat wajah Muhammadiyah yang sudah berubah sedemikian rupa menjadi gerakan Islam yang membawa gerbong puritanisme. Padahal, dilihat dari segi usianya, Muhammadiyah sudah memasuki satu abad. Namun, waktu yang sedemikian panjang, tidak tampak membuat Muhammadiyah semakin matang dan dewasa dalam menyikapi persoalan-persoalan krusial yang berkembang di masyarakat. Malah sebaliknya menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Dalam sebuah pengantar di buku ”Satu Abad Muhammadiyah, Mengkaji Ulang Arah Pembaruan”, saya menulis bahwa liberalisasi pemikiran Islam di Muhammadiyah, hanya terjadi pada periode Amien Rais melalui Muktamar Aceh 1995. Namun, Amin Abdullah-lah yang sebenarnya menjadi ideolog liberalisasi pemikiran Islam. Pada era ini, untuk pertama kalinya dalam sejarah Muhammadiyah dirumuskan secara resmi tafsir Al-Quran yang selaras dengan prinsip toleransi, pluralisme, kerja sama antarumat beragama, dan ahl al-Kitab. Dan di era Ahmad Syafii Ma’arif, anak-anak muda Muhammadiyah yang berhimpun di JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah), merasa nyaman, karena ada kedekatan emosional dan seringnya melakukan komunikasi.
Namun, semangat liberalisme di Muhammadiyah masa Buya Syafi’i, tidak mampu bertahan lama. Karena dalam perkembangannya, Din Syamsuddin, sebagai nakhoda baru Muhammadiyah, tampaknya tidak mampu mengelola kecenderungan yang semakin melemah ini. Di sinilah, maka bisa dimengerti mengapa munculnya anak-anak muda berhaluan progresif di Muhammadiyah menjadi antitesis dari kelompok mapan yang berhaluan puritan dan konservatif. Bahkan, wacana pluralisme yang dikembangkan oleh JIMM, tidak jarang mendapat perlawanan dari kelompok mapan yang berhaluan konservatif.
Akibat ortodoksi dalam kultur Muhammadiyah inilah maka intellectual exercise menjadi tertutup. Kebebasan berfikir dilarang. Sikap doktrinal di Muhammadiyah telah menyebabkan terjadinya pembakuan dan formalisasi. Dengan demikian, sulit mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaruan, sebagaimana yang sering diduga banyak orang. Padahal KH. Ahmad Dahlan, pendiri persyarikatan ini, adalah salah seorang ulama yang hebat pada masanya, karena ia memahami bahwa dalam menafsir al-Qur’an harus melihat situasi dan kondisi, kesaling-terkaitan antara teks dan konteks. Dahlan, di samping sebagai ulama juga sebagai seorang mufassir yang paham betul tentang hermeneutika, meskipun istilah hemeneutika sebagai metode bertafsir baru muncul belakangan.
Spirit liberalisme ada pada diri Ahmad Dahlan. Melalui ajaran al-Ma’un, Dahlan melakukan terobosan yang luar biasa, yakni lahirnya pemikiran yang di belakang hari mirip atau sama dengan konsep teologi pembebasan (theology of liberation) dalam perspektif Islam. Melalui al-Ma’un, Dahlan tidak saja membongkar kesadaran umat Islam tentang pentingnya konsistensi pemahaman Islam dengan pengamalan, sekaligus melakukan pelembagaan ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat tanpa terjebak pada formalisme-konservatisme.
Kembali ke Masa Dien Syamsudin. Terpilihnya kembali Dien pada Muktamar ke-46 di Yogyakarta, bukannya ”menyembuhkan” malah ”memperparah” penyakit yang diderita Muhammadiyah. Muhammadiyah tidak tampak melakukan upaya-upaya konstruktif untuk melakukan perubahan-perubahan, baik di bidang pemikiran, bidang keagamaan, bidang pendidikan, bidang sosial-budaya, bidang ekonomi, maupun di bidang politik. Pernyataan Amin Abdullah, bahwa gerakan Muhammadiyah hanya modern di bidang amal usaha dan menejemennya saja, sementara di bidang pemikiran mengalami stagnasi, bukanlah stetemen yang asal-asalan. Ini membuktikan bahwa Muhammadiyah di era Din, mengalami masalah yang cukup serius.
Pengembaraan Muhammadiyah dalam rentang waktu yang cukup panjang tidak menjadikan Muhammadiyah semakin dewasa dalam menyikapi persoalan, tetapi justru sebaliknya, tidak cukup mampu untuk terus bertajdid. Fakta lebih memberi kesan kristalisasi ideologis sebagai arena propaganda yang berusaha membentuk opini tentang isu-isu tertentu yang boleh dan tidak boleh diperdebatkan. Bertafsir dengan menggunakan pendekatan hermeneutika, adalah salah satu wilayah yang mendapat perhatian dan sorotan tajam dari kelompok konservatisme. Belum lagi terhadap kelompok di luar dirinya, Muhammadiyah dinilai alergi terhadap tradisi budaya dan komunitas lainnya, hanya karena tradisi itu bukan milik “kita”.
Jauh-jauh hari, Kuntowijoyo, mengkhawatirkan kondisi seperti ini. Menurutnya, Muhammadiyah adalah gerakan anti simbol. Muhammadiyah dengan mudahnya melakukan apa yang dalam teori sosiologinya disebut dengan pelabelan (labelling), yakni menganggap tradisi budaya kelompok lain sebagai sebuah penyimpangan—atau istilah lain yang lazim digunakan oleh kalangan Muhammadiyah disebut sebagai bid’ah. Istilah ini (bid’ah) lazim digunakan oleh gerakan Wahabisme.
Menurut paham Wahabisme ini, umat Islam kini telah menyimpang dari ajaran Islam murni, sehingga diperlukan gerakan untuk memurnikannya dengan jalan kembali kepada al-Quran dan al-Hadis. Slogan “Kembali kepada al-Qur’an dan al-Hadis” inilah yang digunakan oleh Muhammadiyah. Sekilas tak ada masalah dengan pernyataan ini. Slogan tersebut menjadi masalah karena membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritan, terlebih menganggap hanya doktrinnyalah yang benar, yang lain salah, kafir dan harus dimusnahkan. Dalam melakukan misinya, Wahabisme menggunakan istilah bid’ah, bagi perbuatan-perbuatan dan sikap-sikap yang tidak ada padanannya dalam al-Qur’an dan al-Sunnah Nabi. Siapa pun yang melakukan, berbuat dan bersikap seperti itu, dia telah melakukan bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat. Paham ini identik, jika tak boleh dikatakan mirip, atau lebih jauh melanjutkan cara berpikir kelompok Wahabi.
Cara berpikir seperti di atas, tampak misalnya, pada Yunahar Ilyas, Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah yang mendesak pemerintah agar tak ragu membubarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI). Ahmadiyah dinilai telah melakukan penodaan agama. Mereka telah menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam, terutama konsep kenabian dan kitab suci. Oleh karena itu, Yunahar menegaskan bahwa solusinya hanya dua, yaitu JAI keluar dari Islam atau Ahmadiyah dibubarkan. Karenanya, lanjut Yunahar, jika pemerintah tak bersedia melakukan pembubaran, hal itu akan melukai perasaan 80 persen Muslim di Indonesia. Yunahar juga mengatakan, membiarkan Ahmadiyah ia anggap sama saja dengan membiarkan terjadinya konflik. Padahal setiap bentuk tindakan kekerasan dan diskriminasi terhadap siapapun, termasuk Ahmadiyah, tidak bisa dibenarkan dari segi apapun, baik ajaran Islam, nilai-nilai Pancasila, maupun sisi kemanusiaan.

Jalan Terbuka Menuju Konservatisme [?]
Berdirinya Muhammadiyah diilhami oleh dua aliran pemikiran. Aliran Wahabisme yang dikembangkan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan aliran Modernisme yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh dan Muhammad Rashid Ridha. Wahabisme adalah aliran kanan, sedangkan Modernisme yang dikembangkan oleh Muhammad Abduh adalah aliran kiri. Berhadapan dengan dua arus pemikiran itu, Muhammadiyah selalu berada di persimpangan jalan.
Ahmad Syafii Maarif, sangat mencemaskan dominasi peran konservatisme di Muhammadiyah. Bahkan sangat menyesalkan perubahan nama “Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam” menjadi “Majelis Tarjih dan Tajdid” yang merupakan ikon sekaligus lokomotif pembaharuan pemikiran Islam di Muhammadiyah. Sulit rasanya menghindari tudingan bahwa kedekatan ideologi Muhammadiyah dengan ideologi wahabisme telah memudahkan proses infiltrasi ideologi Islam politik ke dalam tubuh Muhammadiyah.
Memang, tak bisa dimungkiri bahwa Ahmad Dahlan dapat menimba inspirasi dari dua gerakan tersebut. Akan tetapi, fanatisisme dan kekerasan yang dipertontonkan kaum Wahabiyah di jazirah Arab, tidak tampak dalam diri Dahlan maupun dalam sejarah gerakan Muhammadiyah yang didirikannya. Namun, belakangan hal tersebut sungguh berbalik arah. Muhammadiyah lebih senang “diam” tidak berbuat apa-apa, tidak melahirkan pemikiran yang baru dan lebih sebagai corong konservatisme—sebagaimana tercermin dalam sikapnya yang memusuhi Ahmadiyah, alergi terhadap wacana pembaruan pemikiran Islam seperti pluralisme, liberalisme dan sekularisme.
Jika demikian halnya maka, biarkanlah Muhammadiyah menjadi organisasi biasa-biasa saja, tak perlu lagi berpikir yang aneh-aneh karena yang aneh sudah pasti akan dimusuhi dan dianggap bukan bagian dari Muhammadiyah. Inilah yang membedakannya dengan NU yang sudah sedemikian jauh meninggalkannya. Organisasi yang dulu selalu “dimusuhi” atas nama bid’ah, takhayul, dan khurafat, kini perlahan-lahan bangkit dan menjadi organisasi yang memantapkan diri sebagai pengusung perubahan. Terbukti dari kalangan muda-nya banyak bermunculan karya-karya spektakuler-akademis yang tak kalah dengan para pendahulunya.
Dan Muhammadiyah dengan semangat “kembali pada al-Quran dan al-Sunnah” yang seharusnya dimaknai bagaimana menangkap pesan al-Qur’an dan sunnah Nabi secara liberal, sebagaimana Dahlan sebagai prototipe muslim liberal par excellence, justru bersemangat literalis, skripturalis, puritanis, lebih jauh lagi, fundamentalis. Menurut saya kemunduran Muhammadiyah ini disebabkan oleh dua hal: pertama, karena Sumber Daya Manusia-nya yang lemah, tak mampu menangkap perubahan zaman. Jika hal ini benar, masih bisa dimaklumi, karena memang tidak punya kemampuan menangkap makna zaman, atau; kedua, karena usianya yang sudah satu abad, rentang waktu yang sangat lama, sehingga “lupa” akan visi dan misi awal didirikannya Muhammadiyah sebagai gerakan pembebasan. Penyakit “lupa” ini disebabkan kurangnya kepercayaan kepada kader mudanya. Para sesepuh (kelompok yang mempertahankan kemapanan) di Muhammadiyah enggan menyerahkannya kepada kader-kader mudanya. Besar kemungkinan, faktor inilah yang menghambat anak-anak muda, sehingga mereka sedikit sekali menghasilkan karya-karya ilmiah.
Jika kubu pertama menjadikan kitab suci al-Qur’an dan al-hadis sebagai sumber hukum sebatas verbalisme dan formalisme, dengan menyerukan keutamaan Islam periode awal serta menegaskan ketidaksahan penafsiran dan praktik-praktik keagamaan masa kini. Maka, kelompok yang diwakili oleh anak-anak muda, seruan “kembali ke al-Qur’an dan al-Sunnah” bukan berarti kembali kepada tekstualisme atas nama Islam murni, tetapi melakukan penafsiran secara kontekstual serta memikirkan dan menyelesaikan berbagai persoalan global yang sarat dengan diskursus.
Saya melihat anak-anak muda Muhammadiyah itu hebat-hebat, tak kalah dengan teman-teman muda di lingkungan NU. Hanya saja, karena anak-anak muda di Muhammadiyah ini tidak dirawat, sehingga gerakan-gerakan yang dibidaninya tidak maksimal. Saya sendiri, sebagai bagian dari komunitas JIMM, berpendapat bahwa agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagai bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas tradisi.
Beberapa pendekatan baru dalam kajian agama mestinya memisahkan agama dan the sacred, Tuhan, kekuatan-kekuatan yang transenden, besar atau kuat. Ini akan membebaskan agama dari teologi dan memungkinkan pemisahan yang jelas antara analisis-analisis akademis dan konvensional. Ini juga mendefinisikan secara tajam agama dalam istilah-istilah sosial dan institusional. Sebab—meminjam Hegel: “jalan ke pengetahuan absolut itu memiliki “makna negatif” karena kesadaran alamiah akan kehilangan makna kebenarannya”. Hegel menyebut “kehilangan dirinya sendiri” tidak hanya sebagai “jalan kesangsian” [der Weg des Zweifels], melainkan bahkan sebagai “jalan keputusasaan” [der Weg der Verzweiflung]. Itulah skeptisisme yang ditekankan Hegel. [Hardiman, 2007: 75]
Oleh karena itu, maka orang yang bicara atas nama agama merupakan sebuah kesombongan. Meskipun yang dibicarakan adalah wahyu Tuhan. Manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhadap wahyu itu. Sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu adalah sebentuk kemalasan berpikir. Beriman dengan cara yang sederhana. Itulah yang disebut fideisme yakni sudah merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. Menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu. Sikap terakhir inilah yang kerap terjadi di Muhammadiyah, karena semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu. Maka, dalam tulisan yang tak terlalu panjang ini, saya ingin mendendangkan nyanyian: Biarlah Muhammadiyah menjadi konservatif, dan tampaknya jalan ke arah sana sudah terbuka lebar...

Tidak ada komentar: