Kamis, 22 September 2011

PLURALISME MENYELAMATKAN AGAMA-AGAMA

(Pengantar dalam buku "Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama)

Moh. Shofan

Belum lama ini saya diminta berbicara tentang Fenomena Radikalisme Islam di Indonesia, dalam sebuah acara ”Diskusi Keislaman, Pemuda dan Laskar Islam se-Solo Raya”, yang diselenggarakan oleh Lembaga Sangga Buana Suarakarta Cabang Sukoharjo. Saya katakan di sana bahwa munculnya fenomena radikalisme—istilah yang sejenis dengan fundamentalisme—agama adalah tantangan besar di penghujung abad ini. Inilah penemuan terpenting Karen Armstrong dalam buku ‘The Battle for God’ yang diterjemahkan “Berperang Demi Tuhan”. Karenanya saya tidak perlu ragu mengatakan bahwa radikalisme dalam berbagai bentuknya adalah ancaman serius bagi tegaknya sebuah peradaban. Karena setiap peradaban, tidak mungkin ditegakkan tanpa mengakui bahwasannya manusia memang hidup dalam pluralitasnya. Radikalisme adalah gambaran masa depan yang suram.
Sebagai seorang Muslim yang pernah lama belajar di Pesantren, saya meyakini bahwa Islam adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan anti kekerasan. Namun dalam realitasnya, baik realitas masa lalu maupun kini, perkembangan Islam penuh diwarnai dengan aksi-aksi kekerasan, sehingga mengandung kontradiksi dengan nama agama itu sendiri. Anehnya, kelompok-kelompok Islam radikal yang anti pluralism ini dalam melakukan aksi-aksi kekerasan seringkali berdalih atas nama “amar ma’ruf nahi munkar” dengan kitab suci sebagai motor penggerak. Ia ditafsir secara harfiyah, tanpa mempertimbangkan arti hermeneutisnya berupa aktualisasi pesan untuk situasi kini.
Terlalu banyak alasan, mengapa kemunculan kelompok radikal ini dianggap mengkhawatirkan, bukan semata-mata karena perbedaan ideologis, tetapi lantaran sebagian di antara mereka menggunakan cara-cara kekerasan memperjuangkan aspirasi mereka. Kekerasan di sini tak hanya dalam arti fisik, tetapi juga kekerasan wacana yang terekspresi melalui kecenderungan mereka yang dengan mudah mengeluarkan fatwa murtad, kafir, syirik, dan semacamnya bahkan kepada sesama Muslim. Kelompok-kelompok radikal ini berlagak lupa atau memang kurang paham bahwa Islam memiliki nilai-nilai yang tinggi, ultimates values, yang harus diterjemahkan secara kreatif dan kontekstual. Ketidakpekaan terhadap nilai-nilai ini, tentu saja menyebabkan umat Islam selalu mengalami ketertinggalan yang pada gilirannya cenderung merasa inferior dan sloganistik.
Gejala radikalisme di dunia Islam bukan fenomena yang datang tiba-tiba. Ia lahir dalam situasi politik, ekonomi, dan sosial budaya yang oleh pendukung gerakan Islam radikal dianggap sangat memojokkan umat Islam. Fenomena menguatnya radikalisme agama adalah respons sistemik dari gelombang globalisasi. Para spesialis radikalisme Islam ini menurut Quintan Wiktorowicz—dia menyebutnya aktivisme Islam—secara aktif mencari kerangka baru untuk memahami perseteruan atas nama Islam. Mereka berusaha untuk mendirikan sebuah negara Islam, dan mengusung spiritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif sebagai respon dari ketegangan struktural yang mengakibatkan ketidakseimbangan sistem dan ketidakstabilan politik.
Radikalisme adalah kenyataan global dan muncul pada semua keyakinan sebagai respon atas masalah-masalah yang dimunculkan modernitas. Tak terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama: Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Gerakan radikalisme memang tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap gerakan modernisasi yang dinilai telah keluar terlalu jauh, tetapi lahir seiring dengan ditempuhnya cara ekstrim ketika jalan moderat dianggap tidak membantu.
Pengalaman Islam menunjukkan, sebetulnya hegemoni dan pemaksaan paham sebuah kelompok terhadap kelompok lainnya dengan tindakan kekerasan—walaupun munculnya gerakan-gerakan keras Islam tidak semuanya lahir akibat konflik atau kebencian sebagian kelompok Islam dengan Barat—bisa dilihat dari kelompok Khawarij yang dengan yakinnya menganggap kelompok di luar dirinya yang tidak menegakkan hukum Tuhan dianggap kafir. Hal itu terbukti dari kelompok Khawarij yang tega membunuh Ali bin Abi Thalib serta mencoba membunuh Mu'awiyah bin Abu Sufyan dan Amr bin Ash meski gagal, ajarannya tidak banyak mendapat simpati dari umat Islam dan justru dianggap sebagai ajaran sempalan yang mengajarkan kekerasan.
Inilah kehidupan keagamaan yang banyak ditemui pada masyarakat di Bumi Pertiwi ini. Pikiran seringkali dikontraskan dengan iman. Bahkan berfikir dianggap berbahaya karena bisa membawa pada kesesatan dan kekufuran. Ilmu pengetahuan, sebagai produk dari proses berfikir, tak luput dari respon yang acuh tak acuh. Ilmu pengetahuan dianggap ”biang keladi” yang dapat merusak akidah dan memporakporandakan tatanan normatif yang sudah baku dan mapan. Mereka lebih memilih romantisme ketimbang menggali ulang tradisi yang sudah ada. Padahal romantisme akan menyebabkan umat Islam tidak kritis terhadap sejarah dan cenderung mengagung-agungkan zaman keemasan Islam yang merupakan puncak peradaban dunia di zaman pertengahan. Padahal pada zaman kejayaan itu, juga terdapat feodalisme, absolutisme, penindasan, inkuisisi terhadap ulama dan cendekiawan, bahkan banyak terjadi peperangan antara berbagai dinasti.
Dalam pengantar ini saya perlu mengutip Khaled Abou El Fadl, bahwa ketika sebuah kelompok atau individu sudah menganggap dirinya paling otoritatif dalam menafsirkan ajaran keagamaan, pada dasarnya mereka dengan mudah akan terjerumus pada tindakan yang bersifat otoriter. Sebab batasan antara yang otoritatif dan otoriter sangatlah tipis dan mudah berubah. Orang yang otoritatif, justru biasanya akan bersikap bijaksana, toleran, dan membuka diri berdialog dengan yang lainnya. Yang otoritatif pun dalam setiap tindakannya akan mengedepankan pengkajian secara mendalam, belajar secara sungguh, serta mendahulukan moralitas daripada nafsu. Sedangkan orang yang otoriter, dengan segala cara dia akan menunjukkan dirinya dan paham kelompoknyalah yang paling otoritatif dan wajib diikuti oleh yang lainnya.
Kasus radikalisme keagamaan semacam ini kemunculannya senantiasa berhadapan dengan rezim yang dianggap sekuler, liberal, dan kapitalis yang dipandang eksploitatif, yang berdampak pada kesengsaraan rakyat akibat kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak memihak kaum marginal. Dengan demikian, radikalisme tidak lebih dan tidak lain merupakan sebuah bentuk antitesa spontanitas dari sebuah komunitas yang tertindas oleh tekanan modernitas yang menjurus pada otoritarianisme dengan pengalaman yang berlangsung bertahun-tahun, berada dibawah bayang-bayang modernisme yang semakin membuat mereka termarginalisasi. Sehingga mereka mengalami fobia yang begitu berat dan akut. Karenanya, untuk membendung pengaruh modernism, mereka cenderung mengajak pengikutnya untuk ”kembali kepada Islam” sebagai sebuah usaha untuk perubahan sosial. Perubahan ini hanya mungkin dilakukan dengan mengikuti sepenuhnya ajaran-ajaran Islam yang otentik seperti al-Qur’an dan Sunnah.

Pluralisme Menyelamatkan Agama-agama
Kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat modernitas. Islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, Islam sebagai agama yang mengajarkan perdamaian telah dicemari perilaku kekerasan. Karenanya, nilai perdamaian merupakan nilai dasar dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dalam Islam, tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, dan tidak ada satu Hadis pun yang mengobarkan semangat kebencian, permusuhan, pertentangan, atau segala bentuk perilaku negatif, represif yang mengancam stabilitas dan kualitas kedamaian hidup. Tidak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an, ketika diletakkan dalam konteks tekstual dan sejarahnya secara benar membolehkan memerangi pihak lain atas dasar keimanan, etnis, atau kebangsaan mereka. Melakukan tindak kekerasan tanpa alasan yang absah akan bertentangan dengan nilai dan prinsip kemanusiaan. Dalam al-Qur’an sendiri ada larangan untuk menebarkan kebencian (Q. 49:11), “Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah suatu kaum tidak menghina kaum yang lain, karena bisa jadi mereka yang dihina lebih baik dari yang menghina.” Al-Qur’an juga melarang untuk menebarkan kekerasan (Q. 28:77). “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Ayat Q. 49:11 di atas sebagai salah satu bentuk nasehat yang harus dipedomani oleh seorang Muslim, khususnya dalam hal melaksanakan perintah Tuhan dan Nabi tentang persaudaraan adalah larangan menebar kebencian. Sementara dalam Q. 28:77 disebutkan bahwa tindakan kekerasan yang dilakukan oleh umat Islam tentu saja tidak sejalan dengan ajaran al-Qur’an, dan Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. Di dalam agama sendiri sejatinya pembalasan terhadap sikap tidak baik yang dilakukan orang lain terhadap kita harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih baik (Q. 23: 96).
Islam datang dengan prinsip kasih sayang (mahabbah), kebersamaan (ijtimâ‘iyah), persamaan (musâwah), keadilan (‘adâlah), dan persaudaraan (ukhûwah), serta menghargai perbedaan. Islam hadir untuk menyelamatkan, membela, dan menghidupkan kedamaian. Agama Islam adalah agama yang mendambakan perdamaian. Perdamaian dengan demikian, merupakan khazanah keagamaan yang mesti ditanamkan kepada setiap individu, sehingga berislam adalah hidup secara damai dan memahami keragaman. Beragama tidak lagi berperang, tidak lagi membenci dan memusuhi orang lain. Sejauh upaya perdamaian dilakukan, di situlah sebenarnya esensi Islam ditegakkan. Spirit perdamaian sejatinya menjadi budaya yang menghiasi kehidupan sehari-hari. Setiap individu, keluarga, masyarakat dalam pelbagai etnis, suku, ras, dan agama sedapat mungkin mengubur segala bentuk doktrin yang bertentangan dengan nilai-nilai perdamaian.
Nah, saya kira, untuk membangun sistem kehidupan yang damai, berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan diperlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang partikular. Rumusan itu ada dalam pluralisme. Pluralisme adalah jalan terbaik untuk hubungan antar dan intra-agama.
Setidaknya ada empat tema pokok yang jadi katagori utama al-Qur’an tentang pluralisme agama. Pertama, tidak ada paksaan dalam beragama. Embrio paham bertumpu pada ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256: “Tidak ada paksaan dalam beragama”. Secara eksplisit, al-Qur’an mengajarkan bahwa dalam memilih agama, manusia diberi kebebasan untuk mempertimbangkannya sendiri.
Kedua, pengakuan akan eksistensi agama-agama lain. Pengakuan al-Qur’an terhadap pemeluk agama-agama lain, antara lain tercantum dalam surat al-Baqarah ayat 62: “Orang-orang beriman (orang-orang Muslim), Yahudi, Kristen, dan Shabi’in yang percaya kepada Allah dan hari kiamat, serta melakukan amal kebajikan akan beroleh ganjaran dari Tuhan mereka. Tidak ada yang harus mereka khawatirkan, dan mereka tidak akan berduka”. Titik tekan ayat ini ada pada aktivitas kongkret umat beragama yang harus berada dalam katagori amal saleh. Itu berarti, masing-masing agama ditantang untuk berlomba-lomba menciptakan kebaikan dalam bentuknya yang nyata.
Ketiga, kesatuan kenabian. Konsep ini bertumpu pada surat al-Syura ayat 13: “Dia (Allah) telah mensyariatkan bagi kamu agama sebagaimana yang diwasiatkan-Nya kepada Nuh, dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya”. Lewat ayat ini, Fathi Osman menegaskan bahwa salah satu pokok keimanan Islam adalah kepercayaan bahwa iman kepada sekalian nabi dan rasul itu mempunyai makna teologis yang mendalam dan menjadi prinsip pluralisme Islam.
Keempat, kesatuan pesan ketuhanan. Konsep ini berpijak surat al-Nisa’ ayat 131. “Dan kepunyaan Allahlah apa yang ada di langit dan di bumi. Dan sesungguhnya Kami telah memerintahkan orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, dan (juga) kepada kamu untuk bertaqwa kepada Allah”.
Pandangan normatif tentang pluralisme di atas, tidak boleh dibiarkan berhenti pada lembaran-lembaran teks, tetapi perlu dipahami dengan kerangka metodologis dalam menafsirkan dan mentransformasikannya. Untuk melakukan itu, dibutuhkan kerja intelektual dan usaha untuk mengangkat teks itu ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya. Karenanya, fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme—juga liberalisme dan sekularisme—tentu saja adalah fatwa yang mengabaikan tanggungjawabnya sebagai lembaga agama yang seharusnya secara otoritatif mampu menjadi mediator atas terjadinya ketegangan teologis antar pemeluk agama. Begitu juga stigma teologis [kafir, murtad] oleh kelompok radikal terhadap penganjur pluralis merupakan kekerasan dalam bentuk lain, yakni kekerasan verbal. Kurangnya wawasan dan tiadanya landasan epistemologi yang benar menyebabkan lembaga MUI diragukan keabsahannya, otoritasnya, dalam mengeluarkan fatwa. Hemat saya, fatwa MUI tentang trilogi tersebut, tak ubahnya seperti khamr, sebagaimana disinyalir oleh al-Qur’an: “bahayanya lebih besar daripada manfaatnya”.
Kenyataannya, MUI bukan sebagai lembaga otoritatif tetapi menjelma menjadi ”drakula” yang siap memangsa berbagai pendapat yang dinilainya tidak sejalan dengan keyakinan MUI. Terang saja, fatwa MUI tersebut, secara tidak langsung, memberi andil dan sumbangan yang sangat besar terhadap terjadinya kekerasan atas nama agama. Lebih parah lagi, fatwa tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah, yang cenderung membiarkan tindak kekerasan. Pemerintah (terkesan) hanya berpihak kepada lima agama besar yang mendapatkan pengakuan sebagai agama resmi. Bahkan, lebih jauh, pemerintah juga mengabaikan hak-hak sipil para penganut di luar agama ini, serta berpihak hanya kepada kelompok mainstream (mayoritas) dalam lima agama dimaksud. Kelompok Ahmadiyah, misalnya, meskipun tetap mengklaim diri mereka sebagai Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat negara.
Islam yang mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan secara jelas melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat: 11. Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.
Dalam kerangka seperti ini, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dengan pluralisme, kemanusiaan terus memanggil kaum beragama untuk semakin terbuka bagi yang lain, dan tidak perlu saling mengancam.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

saya ingin bertanya. dengan pluralisme dengan segala dalil/alasan-alasan di atas, apa nilai hakiki yg membuat anda tetap menganut agama Islam? mengapa tidak anda bergabung dengan ahmadiyah saja misalnya, kalau memang masih tetap berpegang pada islam walau bukan mainstream? apa aktualisasi tertinggi dari dianutnya agama islam? apakah tidak baik kalau setiap sendi kehidupan kita-sebagai umat islam-dilandaskan ajaran islam?
terimakasih sebelumnya.