Suatu Upaya Menuju Pencerahan Nalar
[Tulisan ini dibuat untuk epilog di buku "Kritik Nalar Islam Kebangkitan dan Pencerahan" karya M. Dawam Rahardjo]
Moh. Shofan
“Janganlah bermimpi mengenai kebangkitan Islam
jika tidak mampu memecahkan masalah
keilmuan dan pendidikan Islam”.
(M. Dawam Rahardjo)
Pikiran-pikiran Dawam dalam buku ini, boleh dibilang seperti elang yang merentangkan sayapnya menjelajah semua wilayah, yakni memotret semua disiplin keilmuan: budaya, politik, agama, ideologi, dan ekonomi. Kreatifitas nalarnya tak mengenal batas, namun kurang paradigmatik. Itulah kesan saya setelah membaca secara keseluruhan buku ini. Sebagai seorang cendekiawan yang selalu menganjurkan “kemerdekaan berpikir”, dimensi kreatif pikiran Dawam, merambah semua wilayah dengan suatu keyakinan penuh, yakni mengubah kemapanan yang membelenggu kreatifitas pemikiran manusia ke arah suatu “kemajuan” melalui apa yang disebutnya dengan Trilogi Pembaruan: Pluralisme, Liberalisme dan Sekularisme. Semangat Dawam dalam menggempur konservatisme, dogmatisme, fanatisisme, baik agama maupun ilmu pengetahuan, tentu layak mendapat apresiasi yang tinggi dari lingkungan akademik. Hanya saja, sepertinya Dawam lupa, bahwa menggempur dogma dengan cara yang sama, yakni [hanyalah dengan] sekularisme, liberalisme, dan pluralisme—bukannya saya tidak setuju dengan istilah-istilah itu, malah saya mendukungnya—dan menganggapnya sebagai solusi atas semua persoalan [budaya, politik, agama, ideologi maupun ekonomi] seraya mengabaikan pendekatan-pendekatan kritis lainnya [hermeneutika, fenomenologi, semiotika, filsafat] justru cukup mengkhawatirkan karena berpotensi memunculkan dogma dalam bentuk baru.
Kesadaran akan epistemologi—begitu saya menyebutnya—baik sebagai sistem nilai maupun sistem pengetahuan selain merupakan bagian dari filsafat sistematis, juga memerlukan riset mendalam, dan menjangkau permasalahan yang membentang luas seluas jangkauan nalar yang memang tak berbatas. Betapa tidak sederhananya, seperti membalik telapak tangan. Karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions, mempunyai arti penting, untuk melihat buku ini, khususnya perihal paradigma, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi. Saya merasa at home dengan karya tersebut, karena mengundang sikap kritis terhadap disiplin keilmuan—apapun, termasuk filsafat dan pemikiran Islam. Di sinilah pentingnya memahami bahwa apa yang kita capai hari ini bisa gugur di kemudian hari.
Terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kuhn menyebut upaya revolusioner sebagai paradigma. Paradigma menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan.
Nah, paradigma erat kaitannya dengan sains normal [normal science], yang oleh Kuhn dimaksudkan untuk mengemukakan bahwa beberapa contoh praktik ilmiah nyata yang diterima menyajikan model-model yang melahirkan tradisi-tradisi keilmuan baru dari riset ilmiah. Paradigma membimbing kegiatan ilmiah dalam masa sains normal. Paradigma membimbing aktifitas ilmiah, dan selama menjalankan riset ini kita bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan.
Paradigma menjelaskan tentang model bagaimana suatu aliran teori itu lahir dan berkembang. Bukankah disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang baru? Paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris. Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.
Dengan demikian, untuk mengatasi krisis epistemologi, kita bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya—inilah yang coba dilakukan oleh Dawam melalui buku ini, yakni menawarkan Trilogi Pembaruan: sekularisme, liberalisme dan pluralisme sebagai salah satu strategi keilmuan melawan konservatisme-dogmatisme. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah [revolutionary science]. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru guna mendapatkan—meminjam istilah Kuhn—discovery [penemuan baru] dan invention [penciptaan baru] yang mana keduanya saling berhubungan erat dalam penemuan ilmiah. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat, maka revolusi ilmiah kian dapat terwujud. Singkatnya, normal science adalah teori pengetahuan yang sudah mapan sementara revolutionary science adalah upaya kritis dalam mempertanyakan ulang teori yang mapan tersebut dikarenakan teori tersebut memang problematis.
Fenomena krisis keilmuan yang menimpa umat Islam saat ini, misalnya, kekerasan atas nama agama, dikotomi pendidikan [pendidikan agama versus pendidikan umum], meningkatnya kecenderungan kelompok islamis-ideologis dengan tawaran yang sangat simplistis: daulah islamiyah, khilafah islamiyah, teokrasi, dan lain-lain, tentu bisa dianalisis dengan menggunakan seperangkat analisis keilmuan, termasuk di dalamnya filsafat. Bagaimana sikap kita dalam memahami realitas dan seperti apa realitas itu menampakkan diri kepada kita? Saya kira, diperlukan cara atau prosedur—meminjam Edmund Husserl—yang dinamakan epoche. Tujuannya mengembalikan sikap kita, sikap yang menghayati, untuk memahami realitas apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena. Kita mesti berjalan menurut komitmen yang jelas terhadap rasionalitas ilmiah, yang berjalan berdampingan dengan komitmen keagamaan dari komunitas yang diteliti. Pemakaian epoche harus diterapkan secara longgar, dengan mengadopsi posisi refleksi-diri, dan komitmen pada pelibatan komunitas dalam setiap tafsiran yang diberikan, sehingga fenomena dapat dimungkinkan untuk berbicara buat dirinya.
Lalu apa yang mendasari lahirnya sebuah peristiwa atau fenomena, sebutlah kekerasan atas nama agama, maraknya tuntutan perda syariah, misalnya? Ini pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah cara berpikir teologis—meskipun bukan satu-satunya faktor—menjadi dasar: mengapa kekerasan atas nama agama seringkali menjadi fenomena yang tak kunjung selesai—bahkan perkembangan terakhir menunjukkan kekerasan atas nama agama semakin tak terkendali.
Fenomena kekerasan memang tidak bisa dibenarkan apapun alasan yang mendasarinya, termasuk agama. Tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan. Akal budi pun juga berpendapat demikian. Namun, dalam studi ilmiah, kekerasan adalah sebuah fenomena yang bisa dilacak sampai ke akar-akarnya. Di sinilah pentingnya sebuah research. Kekerasan bisa terjadi karena beberapa faktor, misalnya, faktor psikologis individu, gejolak biologis, atau faktor sosial struktural, juga bisa disebabkan oleh suatu hubungan kausal antara struktur, proses, dan perilaku level personal dan level global. Kekerasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa kekerasan fisik, dan bisa pula kekerasan psikologis. Kekerasan struktur negara terhadap individu ataupun kelompok, bisa juga berupa kekerasan ide, wacana, bahasa, dan bentuk-bentuk simbolik lainnya. Kekerasan simbolik, misalnya, bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi untuk menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”.
Bahasa sebagai wacana termasuk faktor penting sebagai pemicu terjadinya tindakan kekerasan—sebagai contoh: fatwa haram MUI [Majelis Ulama Indonesia] tentang sekularisme, liberalisme dan pluralisme, baik langsung atau tidak langsung menjadi salah satu faktor pemicu gerakan Islam radikal [baca: FPI, misalnya] dalam melakukan tindakan kekerasan. Begitu juga stigma teologis [kafir, murtad] oleh kelompok radikal terhadap penganjur sekularisme, liberalisme maupun pluralisme merupakan kekerasan dalam bentuk lain, yakni kekerasan verbal. Kurangnya wawasan dan tiadanya landasan epistemologi yang benar menyebabkan lembaga MUI diragukan keabsahannya, otoritasnya, dalam mengeluarkan fatwa. Hemat saya, fatwa MUI tentang trilogi tersebut, tak ubahnya seperti khamr, sebagaimana disinyalir oleh al-Qur’an: “bahayanya lebih besar daripada manfaatnya”.
Kembali pada soal bahasa sebagai wacana. Merujuk pada Ricouer, wacana sebagai peristiwa mengasumsikan “ada sesuatu yang terjadi ketika seseorang berbicara”. Karenanya, wacana selalu terkait dengan tempat dan waktu; memiliki subyek dalam arti “siapa yang berbicara?”; peristiwa terjadi ketika ada seseorang yang menghadirkan bahasa dalam waktu dan tempat tertentu; wacana selalu menunjuk pada sesuatu yang sedang dibicarakan, merujuk pada dunia yang sedang digambarkan; dan wacana merupakan lokus bagi terjadinya proses komunikasi, pertukaran pesan-pesan dan peristiwa.
Dengan pemahaman seperti itu, maka, suatu peristiwa akan mengantarkan kepada suatu pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, dapat dipahami sebagai entitas yang berbeda. Kita bisa melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala [wesenchau]. Untuk mencapai hal ini, kita bisa memakai metode eidetic vision, yakni kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana dalam situasi-situasi yang berbeda. Eidetic vision ini mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama” tanpa mengabaikan konsep Lebenswelt. Konsep ini [lebenswelt] penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Perlu juga dilakukan tindakan menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena yang berbeda. Dengan cara ini, fenomena apapun [termasuk agama dan pengalaman keberagamaannya] dapat diketahui struktur-struktur mendasarnya dan bukan seperti yang dikatakan oleh Eliade, bahwa apa yang religius itu baik, sehat, positif dan menyelamatkan. Penggambaran seperti ini, menurut hemat saya kurang tepat. Jika ada Ilmuwan yang beranggapan seperti itu berarti telah kehilangan kapasitas kritis untuk mengomentari realitas sosial dari agama sebagai faktor yang berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, baik positif maupun negatif, termasuk hubungan antara agama dan kekerasan.
Kritik publik tidak pernah terjadi dalam satu cara yang terlepas dari konteks sosial. Di sini peran kita selain mendeskripsikan proses-proses sosial yang berasal dari lembaga-lembaga kekuasaan, baik agama maupun sekuler, dan mengidentifikasi pengaruh-pengaruh apa yang diberikan proses-proses ini kepada agama dan pengalaman spiritual dalam konteks kontemporer, juga menghapus praktik-praktik berbahaya di dalam komunitas itu. Dengan cara ini, kita bisa mengungkap struktur-struktur kekuasaan yang menghancurkan agama melalui proses radikalisasi individual, dan pada saat yang sama mungkin menemukan jenis otoritas yang berbeda berdasarkan pada kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang kuat.
Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagian bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada kita satu jalan untuk mempelajari agama tanpa memasukkan agenda teologis, sembari memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh, termasuk kritik-kritik posmodern atau poskolonial. Selain itu, pendekatan-pendekatan baru dalam kajian agama mesti memisahkan agama dan the sacred, Tuhan, kekuatan-kekuatan yang transenden, besar atau kuat. Ini akan membebaskan agama dari teologi dan memungkinkan pemisahan yang jelas antara analisis-analisis akademis dan konvensional. Ini juga mendefinisikan secara tajam agama dalam istilah-istilah sosial dan institusional. Sebab, meminjam Hegel: “jalan ke pengetahuan absolut itu memiliki “makna negatif” karena kesadaran alamiah akan kehilangan makna kebenarannya. Hegel menyebut “kehilangan dirinya sendiri” tidak hanya sebagai “jalan kesangsian” [der Weg des Zweifels], melainkan bahkan sebagai “jalan keputusasaan” [der Weg der Verzweiflung]. Itulah skeptisisme yang ditekankan Hegel. [Hardiman, 2007: 75]—seperti akan kita lihat nanti pada dua contoh kasus: khilafah islamiyah dan islamisasi ilmu.
Oleh karena itu, maka orang yang bicara atas nama agama merupakan sebuah kesombongan. Meskipun yang dibicarakan adalah wahyu Tuhan. Manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhadap wahyu itu. Sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu adalah sebentuk kemalasan berpikir. Beriman dengan cara yang sederhana. Itulah yang disebut fideisme yakni sudah merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. Menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu. Sikap terakhir inilah yang kerap dikritik oleh Dawam, dan menjadi fokus utama buku ini, karena akan menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu—sayangnya Dawam seperti tampak dari buku ini menggunakan logika terbalik, yakni memberikan pendasaran burhan [yang rasional] atas bayan [teks] dan bukan memberikan pendasaran bayan atas burhan—sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd, misalnya.
Karenanya, kita perlu mencarinya dalam Erlebnisse: pengalaman yang sadar. Kesadaran tidak pernah benar-benar pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu tidak seperti gambar. Ia adalah sebuah tindakan. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan obyek kesadaran (noema). Namun interaksi itu tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya hanya ada “kesadaran”. Maka, yang termasuk dalam fenomen juga bermacam-macam. Tidak hanya batu-batuan, alam, masyarakat, tapi juga termasuk emosi, rasa takut, rasa cemas, yang sakral atau yang jahat. Inilah yang dikaji dalam fenomenologi hermeneutik. Hermeneutika adalah suatu pendekatan dalam menafsirkan teks-teks. Sebetulnya kajian hermeneutika adalah untuk menemukan makna dari teks-teks tersebut. Sementara fenomenologi tidak terbatas pada tafsir teks. Tapi juga realiti di luar teks. Jadi, perlu ada silang metodologi antara hermeneutika dan fenomenologi.
Fenomenologi hermeneutika itu mendekatkan diri dengan fenomen teks, atau teks sebagai fenomen. Jika kajian hermeneutika dimaksudkan untuk menemukan makna dari teks-teks, maka, fenomenologi itu tidak terbatas pada tafsir teks, tapi juga realitas di luar teks. Dengan menggabungkan antara hermeneutika dan fenomenologi, diharapkan akan memperkaya wacana keilmuan untuk menemukan sebuah jawaban yang tepat dalam menangkap realitas. Fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat, atau berfilsafat, tapi sudah menjadi bagian dari kaedah, tatacara atau pendekatan penyelidikan—baik ruang maupun waktu. Kant, menyatakan ruang dan waktu adalah a priori dalam kesadaran. Tapi, fenomenologi menjelaskan apa yang dialami: doktrin keagamaan, yang ideal, yang normatif dan sebagainya. Fenomenologi menyelidiki tentang gejala keagamaan, maka bagaimana perspektif-perspektif itulah yang diselidiki, termasuk sintesisnya. Sedemikian rupa, sehingga seperti itu akan menolong kita untuk menangkap fenomen dengan sungguh-sungguh. Fenomenologi, dengan demikian berpengaruh luas. Sehingga pendekatan dekonstruksi pun—yang banyak diikuti oleh pemikir liberal, seperti: Abed al-Jabirie, Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd—yang banyak dikutip Dawam dalam buku ini—turut dipengaruhi oleh fenomenologi. Fenomenologi tidak pernah puas hanya melihat dari luar. Fenomenologi masuk ke dalam penghayatan orang.
Kritik Nalar atas Teks
Perlu ditegaskan, bahwa dalam realitas sejarah tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab dengan teks [termasuk teks agama sekalipun—yang akan dibicarakan lebih lanjut di bawah]. Jacques Derrida, pemikir kontemporer pascastrukturalis, adalah salah seorang yang menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia memperkenalkan metode membaca teks. Dalam Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserlss Theory of Signs (1973) serta Writing and Difference (1978), Derrida membongkar pendekatan tradisional, seperti yang dipahami sejarawan konvensional, bahwa teks merupakan pembawa makna yang stabil dan setiap peneliti mencari kebenaran (ilmu pengetahuan) melalui teks. Dekonstruksi memisahkan konsep tradisional penulis dan karyanya. Dekonstruksi tidak mengistimewakan penulis, mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas, dan meninggikan pembaca. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara yang sama sekali baru.
Menurut Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan penulis serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi ciptaan penulis yang menjadi landasan teks, sehingga muncul paradoks dalam menggunakan konsepnya di dalam teks secara keseluruhan. Tak seorang pun dapat membuat sarana (tanda) dan tujuan (makna) menjadi identik. Bahasa merupakan proses temporal. Dalam pandangan Schleiermacher, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.
Dekonstruksi mengelaborasi sebuah cara pembacaan teks, sebuah strategi dekonstruksi yang memungkinkan dia mengidentifikasi asumsi-asumsi metafisis yang pernah dilontarkan oleh para filosof. Melalui dekonstruksi, teks bukan sekadar medium bagi ilmu pengetahuan, melainkan ia sendiri adalah obyek ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, yang bisa menghadirkan pengetahuan baru. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam "teks", yang selama ini telah ditekan atau ditindas.
Setiap teks mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-beda oleh kepentingan yang berbeda, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pembacaan “dekonstruktif” ini justru merangsang pemikiran-pemikiran agama yang kreatif. Dekonstruksi ingin memperlihatkan bagaimana struktur dan pengarang gagal menguasai teks. Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida membawa konsekuensi serius pada ranah pemikiran, karena kecenderungan anti fondasionalismenya yang tinggi. Konsekuensi itu mengharuskan untuk menelanjangi klaim-klaim kebenaran dari sistem diskursif filsafat dan metafisika. Ini semua dilakukannya untuk membebaskan penafsiran dari beban makna.
Pengaruh Derrida terhadap para pemikir Muslim, seperti Arkoun, Jabirie, Ali Harb, Abu Zayd, di mana mereka dalam kerja intelektualnya menawarkan model pembacaan yang dekonstruktif yang tidak semata-mata dipahami secara literal-skriptural an sich, tetapi menggali berbagai alternatif makna lain yang memungkinkan untuk melakukan pembacaan secara produktif. Sebab sebuah pembacaan yang baik bukanlah yang sesuai dengan teks, melainkan yang berbeda dengan teks yang dibaca dan dengan subyektifitas dirinya secara bersamaan, sehingga lahirlah sebuah teks yang baru dan aktifitas ilmiah yang bersifat kreatif secara berkesinambungan.
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa dalam realitas sejarah tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab dengan teks. Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektik antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak jarang dimenangkan sejarah. Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan sekunder Islam, perihal sistem politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik al-Qur’an maupun Nabi sendiri, sadar kalau hal demikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada henti.
Sebagai contoh, teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama, konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan fundamentalis disangka berbicara tentang “hukum Tuhan” [padahal tidak demikian], sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosio-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik. Dialektika teks dengan konteks, seolah memperkukuh anggapan kalau teks beku, statis dan final, membelenggu dan tinggal menerapkannya saja secara harfiah, sebagaimana bisa terbaca dari opini kalangan fundamentalis. Oleh karena itu, tak heran bila pemikir liberal asal Kuwait, Al-Baghdadi mengejek mereka sebagai ‘ubbad al-nushush, penyembah teks itu sendiri atau—dengan bahasa agak halus dan romantis ala Yudi Latief—mendambakan “pelukan teks”. Maka, dalam pandangan Arkoun, strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia, ialah dengan melakukan dekonstruksi dan melepaskan pengaruh ideologis. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Sebenarnya, saya agak malas, ketika berbicara mengenai masa lalu Islam, karena seolah-olah saya hendak mencari justifikasi kebenaran. Padahal, dengan menggunakan akal pikiran sendiri sebenarnya kita bisa menentukan ukuran moral universal—tapi bukan berarti menafikan aspek partikularnya—sesuai dengan situasi tertentu. Dan bukan sebaliknya menjadikan moral sebagai dogma—siapapun yang membawanya, termasuk Nabi. Moral dalam sebuah masyarakat pada hakikatnya boleh dipersoalkan legitimasinya. Moral bersifat nisbi. Lama-kelamaan, moral baru akan menggantikan moral sebelumnya, dan memperbaiki dunia-kehidupan masyarakat tersebut. Ini menunjukkan bahwa legitimasi moral adalah sesuatu yang boleh berubah. Persoalan moral itu sebenarnya bukanlah persoalan perasaan. Persoalan moral, bagi Habermas, adalah dasar-dasar rasional yang boleh menggalang wacana, yakni wacana yang membawa suara-suara universal, yang sekaligus dapat dipersoalkan. Jadi, sejauh dapat dipersoalkan, maka itu adalah rasional. Sebaliknya, kalau tidak dapat dipersoalkan, itu adalah persoalan perasaan semata. Dengan demikian, terbukti bahwa persoalan moral adalah persoalan rasional.
Pandangan Al-Razi, yang diutarakan dalam bukunya Naqd Al-Adyan Aufi Al-Nubuwwah (kritik terhadap agama-agama atau terhadap kenabian) mengatakan nabi tidak berhak mengklaim dirinya sendiri sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya, menunjukkan bahwa kritik juga boleh dilakukan pada siapapun, tanpa kecuali.
Karenanya, kita harus membebaskan akal, termasuk cara berpikir [serba] teologis [baca: wahyu yang terekam dalam al-Qur’an]. Kita yang hidup di zaman modern, tidak perlu mendasarkan semuanya pada teks, misalnya mengenai poligami, pembagian warisan, kedudukan perempuan, dan berbagai hukum pidana yang dirumuskan dalam fiqh. Jika nalar kita di[ter]belenggu, baik oleh teks [agama] maupun ilmu pengetahuan, maka “Pencerahan” tidak akan pernah terjadi. “Pencerahan” mengandaikan adanya sikap kritis nalar terhadap teks.
Sudah saya singgung di muka, bahwa sebenarnya saya malas berbicara mengenai masa lalu Islam, namun, di sini [sebagai pelengkap saja] saya ingin mengatakan bahwa masa lalu Islam adalah masa lalu yang dinamis dan senantiasa progresif. Umar bin Khattab, khalifah yang konon paling inspiratif [dibanding ketiga khalifah lainnya] dan tidak rigid dalam pengambilan hukum serta lebih menekankan semangat dan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah ketimbang teks. Dalam ijtihad Umar misalnya, posisi akal menempati tempat yang utama sehingga ia dikenal sebagai pembawa mazhab ra’yi (akal). Dalam kasus-kasus ijtihad yang dilakukan Umar, secara lahiriah keluar dari teks, tetapi secara esensial justru berpegang teguh pada esensi Al-Qur’an.
Inilah juga yang dilakukan oleh Arkoun, yakni melakukan apa yang disebutnya sebagai “kritik nalar Islami”, yaitu nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu dan masih memengaruhi serta menguasai dunia Islam hingga hari ini. Untuk melakukan “kritik nalar Islami” ini, Arkoun memakai metode kritik sejarah; berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan problem hermeneutik. Dengan historisisme, Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial-budaya melalui perspektif sejarah: masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Jika metode ini diaplikasikan terhadap teks-teks agama, apa yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Ini artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks.
Sejalan dengan Arkoun, Jabirie juga menganggap penting kajian historisisme, dan lebih jauh lagi menekankan keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang lebih cocok untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini telah diformulasikan dalam tiga jilid karya monumentalnya, yang ia namakan “Proyek Kritik Akal Arab” (Masyru 'Naqd Aql al-'Arabi). Hanya saja, dalam karya-karyanya, Jabirie tidak membahas persoalan-persoalan seperti ortodoksi, wahyu, mitos, imajiner, simbol atau yang lain dari persoalan teologis seperti yang dominan dalam karya-karya Arkoun.
Apa yang diinginkan oleh Arkoun—dan pada dasarnya juga dilakukan oleh para pemikir liberal lainnya—dengan menggunakan seperangkat metodologi yang dipinjam dari Barat, sesungguhnya tidak lain adalah ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap a priori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan piranti keilmuan modern. Sehingga ia ingin memadukan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat modern. Bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekonstruksi terhadap episteme ortodoksi dan dogmatisme. Komitmennya bukan pada keislaman yang sudah menjadi sedemikian baku oleh konstruksi ulama [yang biasa disebut, al-salaf al-shalih], tetapi pada Islam yang masih “cair” atau era “terpikirkan” [dalam bahasa Arkoun], seperti pada era Rasulullah. Kerja keras ini telah membuat sebagian umat Islam terjaga dari tidur tradisi sehingga merasa perlu meninjau ulang posisinya dalam berislam. Sementara pada sisi yang lain, menjadi semakin jelas, seberapapun kuatnya dipegangi, bahwa akar peradaban Islam, episteme atau bangunan nalar keislaman tetaplah berada pada wilayah historisitasnya yang beruang dan berwaktu.
Dengan menemukan “semangat zaman”, para pembaru Islam bermaksud membangun kembali (Reconstruction) komitmen keislaman dan bahkan membangun kembali peradaban Islam. Perjalanan sejarah—mengikuti Adonis—ternyata bukan hanya gerak dan perubahan pada “struktur bawah” tetapi juga pada “struktur atas”. Bahkan “struktur atas” menjadi pusat perubahan dan dinamisasi itu yang justru melahirkan sejarah. Dalam istilah F. Budi Hardiman, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Maka, menafsirkan adalah proses kreatif. Hal ini berkebalikan dengan kelompok fundamentalis.
Perlu kiranya, saya singgung dalam tulisan ini, bahwa belakangan, suara atas nama Islam yang direpresentasikan oleh kelompok-kelompok yang tidak mewakili sebagian besar umat Islam, yaitu kelompok yang dalam tulisan ini disebut “Islam Radikal” atau ”Islam fundamentalis”, alih-alih ingin berkompetisi di pentas global, umat Islam [justru] dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi radikalisme, bahkan terorisme. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme Islam diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kaffah dengan pendekatan tafsir literal atas al-Qur’an. Pokok pikiran kaum fundamentalis dalam menegakkan syariat Islam adalah pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariatnya-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.
Dalam konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan baik dengan realitas politik internasional maupun pemikiran di balik realitas itu. Sebut saja ide tentang clash of civilizations Huntington yang cukup mempengaruhi perilaku politik global pasca-Perang Dingin. Meski tidak valid secara faktual, ide benturan peradaban tersebut cukup kuat bergema sekaligus diafirmasi oleh banyak kalangan. Huntington, mensinyalir dalam statemennya : “Membangun sebuah peradaban musti harus merusak peradaban itu sendiri, jangan membangun jika takut merusak”. Setiap usaha untuk melakukan pembangunan adalah suatu perubahan. Dan suatu perubahan pasti menyisakan resiko. Sehingga pilihan menghadapi suatu dilema: terus mendesakkan industrialisasi dan modernitas akan berarti menghancurkan landasan nilai yang terdapat di dalam kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi yang ada. Dan, “Ketidaktahuan akan sesuatu masalah, akan melahirkan prasangka” (the ignorance to the something is the roat of the prejudice).
Dalam perspektif inilah, lahirnya fundamentalisme Islam tak lepas dari bingkai pandangan yang terbentuk secara konfrontatif tersebut. Mengutip Bassam Tibbi, fundamentalisme Islam merupakan gejala ideologi yang muncul sebagai respon atas masalah-masalah globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban. Inilah gambaran betapa telah terjadi ketegangan dalam pergumulan umat Islam dengan modernitas, yakni berputar-putar pada masalah keautentikan dan kemodernan. Ketegangan ini terlimpah antara desa lawan kota, buta huruf versus pendidikan, kepasrahan versus ambisi, kesalehan versus kemungkaran, dan sebagainya.
Penolakan kaum fundamentalis terhadap dominasi konsep Barat ini bukan semata karena ia merupakan solusi yang diimpor (al-hulul al-mustauradah), seperti yang dinyatakan oleh Yusuf Qardhawi, tetapi juga karena lebih mencerminkan prototipe negara sekuler. Konsep ini, menurut mereka, bertentangan dengan doktrin Islam dan formalisasi syariat Islam. Sebaliknya, mereka mengusung pandangan teosentris Islam yang tanpa batas dengan menolak ide tentang manusia sebagai jiwa yang bebas untuk menentukan diri sendiri. Sebab itu, mereka membutuhkan wilayah kekuasaan yang dibayangkan sebagai tempat implementasi hukum syariat.
Inilah fenomena—seperti disinyalir oleh Nasr Hamid Abu Zayd—yang terjadi pada paroh kedua abad ke-20 ini adalah bahwa kepercayaan akan eksistensi “syari’ah” telah menyebabkan terciptanya kerancauan pemahaman, yang bercampur aduk dengan perasaan iman keagamaan, sehingga pemikiran tersebut menjadi dogma keagamaan, dan “syari’ah” dengan pemahaman seperti ini menjadi bentuk lain dari aqidah, yang mana Islam tidak akan sempurna tanpa kedua konsep tersebut (aqidah dan syariah) secara bersamaan. Oleh karena itu, “penerapan syari’ah” menjadi tuntutan yang indah; karena tanpa syari’ah masyarakat Muslim akan kehilangan sifat “islami” dan menjadi masyarakat “jahiliyah”. Inilah pendapat yang dirumuskan al-Maududi dalam konteks pertarungan politik sektarian di India pada malam kemerdekaan, dan yang menjadi penyebab kaum Muslimin India melepaskan diri dan mendirikan sebuah negara yang kemudian dikenal dengan nama Pakistan.
Bruce B. Lawrence, memotret fundamentalisme sebagai ideologi. Ia segera mengglobal berkat publikasi media. Dalam penelitiannya yang berjudul ‘Defenders of God: the Fundamentalist Revolt Against the Modern Age’, Lawrence, menggunakan dua kerangka yaitu, Context dan Countertext. Pertama, kerangka Context dipakai Lawrence untuk menggambarkan dua elemen mendasar: antara modernitas dan modernisme. Modernitas menjadi elemen pokok dari dunia modern itu sendiri; sementara modernisme menjadi paham yang membentuk pengalaman manusia dalam berinteraksi dan merespons dunia modern. Antara modernitas dan modernisme dipakai Lawrence untuk menentukan era teknologi tinggi dalam sejarah dunia.
Kedua, kerangka Countertext dipakai Lawrence untuk menguji respon keagamaan terhadap modernitas dan modernisme, yang secara definitif disebut dengan kaum fundamentalis. Lawrence memfokuskan kajiannya pada kaum fundamentalis Yahudi, Kristen, dan Islam. Fundamentalisme, dengan demikian, menjadi gejala agama-agama. Ia tidak khas dengan agama tertentu. Islam, misalnya. Yang ditunjukkan oleh ketiga fundamentalis ini, demikian analisa Lawrence, adalah yang disebut Countertext terhadap visi dunia modern. Di sini lahirlah ambiguitas kaum fundamentalis. Satu sisi, kaum fundamentalis secara implisit menerima dan menikmati manfaat-manfaat modernitas dalam bentuk teknologi modern, namun pada sisi lain, mereka secara eksplisit menolak modernisme sebagai kerangka ideologi yang holistik. “They are moderns but not modernists,”.
Penelitian Lawrence, secara umum dapat disimpulkan bahwa di samping sebagai kebangkitan dari proses radikalisasi agama, kehadiran kaum fundamentalisme juga sebagai gerakan protes terhadap hegemoni modernitas dan modernisme. Karena itu, kaum fundamentalis berambisi menawarkan pandangan dunia baru yang menciptakan dunia bersandarkan pada nilai dan pengalaman religius keagamaan.
Fundamentalisme adalah fakta global dan muncul pada semua kepercayaan sebagai tanggapan pada masalah-masalah modernisasi. Karen Armstrong mengatakan bahwa gerakan fundamentalis tidak muncul begitu saja sebagai respon spontan terhadap datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi mereka dan memadukannya dengan budaya modern, seperti dilakukan pembaharu Muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ekstrem, dan saat itulah gerakan fundamentalisme lahir.
Lebih kentara lagi tatkala penafsiran teks keagamaan yang parsial mewarnai kehidupan politik kita. Akibatnya, pembenaran politik berdasarkan teks Kitab Suci membawa pada hegemoni dan cenderung bertindak represif terhadap kelompok subordinat tertentu. Radikalisme dan fundamentalisme ekstrem pada urutannya akan menghasilkan kekuasaan yang tidak berkompromi dengan pluralitas (demokrasi) alias otoriter. PKS partai islamis yang dipengaruhi oleh gerakan al-Ikhwan pimpinan Hasan al-Banna menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuannya. Meskipun tidak menolak demokrasi, pluralisme dan nasionalisme Indonesia, namun kita tetap saja belum bisa membuktikannya, apakah PKS benar-benar menjadi partai pluralis atau justru sebaliknya, itu semua hanya merupakan strategi belaka untuk mencari simpati massa. Kita masih harus menunggu sampai suatu ketika PKS memegang kekuasaan. Sementara faksi-faksi seperti MMI [Majelis Mujahidin Indonesia], HTI [Hizbut Tahrir Indonesia], dan FPI [Front Pembela Islam] mereka punya tuntutan yang sama: pelaksanaan syariat Islam.
Fundamentalisme keagamaan yang berpegang pada sikap literer yang sangat kaku dan melihat segala sesuatu secara hitam putih sangat diragukan kemampuannya dalam menjawab masalah-masalah makna (meaning) riil yang dimunculkan oleh proses modernisasi. Ketidaksanggupan kaum fundamentalis dalam melakukan penalaran ilmiah, tampak pada lemahnya gagasan-gagasan yang cenderung utopis. Menyebut dua di antaranya adalah gagasan mengenai khilafah islamiyah dan islamisasi ilmu sebagaimana yang akan dijelaskan pada uraian di bawah ini.
Khilafah Islamiyah
Melalui khilafah kelompok Islam fundamentalis berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikkan tangan. Asumsi-asumsi tersebut, menurut hemat saya, tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan. Spanduk-spanduk yang mempromosikan syariah dengan gambar wanita cantik berjilbab sembari menyungging senyum bertuliskan: “Indahnya Syariah Islam” banyak memenuhi sudut-sudut kota. Slogan-slogan yang mereka kampanyekan seperti Islam Way of Life, Islam adalah cahaya, demokrasi adalah kegelapan, pada prakteknya hanyalah alat kampanye belaka untuk mengais dukungan publik Muslim yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar legitimasi untuk menindas atas nama Islam. Islam hanya menjadi tameng bagi watak politis upaya-upaya tersebut dan menjadi dogma-dogma eksklusif.
Pemerintahan Islam, yang mereka cita-citakan justru secara penuh menggambarkan kondisi tak ideal. Faraq Fouda merekam secara jelas bagaimana praktik pemerintahan khilafah yang berjalan dari masa Khulafa al-Rasyidun sampai dinasti Abbasiyah, yang coba kembali digulirkan oleh kelompok fundamentalis pada abad sekarang ini. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah) seperti dalam keyakinan kaum fundamentalis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya Khalifah.
Khilafah yang dianggap sebagai konsep “negara Islam” penuh cacat di mata Fouda. Ia tidak memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang tetap, selalu berbeda dari Khalifah satu ke yang lainnya. Rakyat tidak pernah mendapatkan kedaulatan karena khilafah hanya percaya pada “kedaulatan Tuhan”. Khilafah juga tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban dan kontrol atas penguasa. Tak heran kalau Khalifah kerap melakukan tindakan yang jauh melampaui batas kewenangannya.
Fundamentalisme agama melambangkan keinginan kuat untuk kembali ke ajaran fundamental agama, dan upaya mempertahankan serta menegakkan kembali “duplikasi sejarah” agama itu pada kondisi saat ini. Fundamentalisme agama diperkuat dengan penggunaan simbol-simbol agama yang bagi kalangan fundamentalis, tidak hanya menjadi identitas, tetapi lebih dari itu, simbol resistensi dan perlawanan. Al-Asymawy, menyebut gerakan semacam itu sebagai fundamentalisme aktivis politis, yang lebih mengutamakan bunyi kata-kata nash dari pada semangatnya. Ruh agama tak lagi dijadikan kekuatan pembebas (liberating force) yang menjunjung nilai luhur kemanusiaan (humanisme) dalam porsi yang pantas. Sebaliknya ia justru dijadikan kekuatan penebas yang memenggal paham dan pemikiran yang berbeda dan tak selaras. Sungguh sangat menyedihkan.
Apa yang telah saya paparkan di atas, tentu saja tidak bermaksud menggembosi ghirah kalangan fundamentalis dalam menegakkan khilafah, tetapi sebaliknya, justru agar kita tidak terjebak dalam lubang yang sama dari noktah-noktah gelap sejarah sendiri. Kalangan fundamentalis yang cenderung menafikan pluralisme, demokrasi, civil society, dan HAM pada akhirnya membangkitkan sistem Khilafah Islamiyah, merupakan mitos yang bukan saja bertentangan dengan ruh Islam itu sendiri, akan tetapi juga secara sosial politik tidak mendapat dukungan yang luas. Bahkan lebih dari itu pengandaian ini memunculkan berbagai macam paradoks yang belum terselesaikan.
Karenanya, tidak terlalu mengherankan jika kita melihat ketidakmampuan kaum Islamis dalam memahami realitas kekinian. Islam menjadi agama yang sangat eksklusif: tak mampu memahami kemajuan. Islam di mata kalangan Islamis seakan-akan hidup dalam alienasi dan kolonialisasi. Islam dianggap sebagai agama yang dititahkan untuk bersikap defensif sekaligus ofensif. Tentu saja, seperti ini menimbulkan pelbagai problematika serius. Pertama, munculnya klaim kebenaran. Gerakan fundamentalisme menimbulkan kecenderungan untuk menentukan ukuran kebenaran. Persis pada tataran ini, agama menjadi “pulau-pulau kebenaran” yang dialami komunitas tertentu. Akibatnya, Islam dipersepsikan menjadi agama yang bisa mengatasi dan merepresentasikan kebenaran yang dibawa agama-agama lain. Bukan hanya itu, bahkan Islam dipersepsikan sebagai kebenaran tunggal.
Kedua, munculnya monopoli tafsir. Kecenderungan ini merupakan kensekuensi logis dari klaim kebenaran yang menyebabkan lahirnya sakralisasi terhadap tafsir keagamaan. Apa yang diproduksi agamawan (ulama) sepanjang sejarah peradaban Islam merupakan sejarah yang bersifat reproduktif dan regresif, yaitu sejarah yang selalu kembali kepada masa lalu. Selain itu, monopoli tafsir juga diregulasi oleh kepentingan politik tertentu. Salah satu pemandangan yang menyejarah adalah kolaborasi antara produk pemikiran dengan kepentingan penguasa dalam setiap zamannya. Diakui atau tidak, kenyataan ini telah mengukuhkan singgasana tafsir keagamaan yang bersifat monolitik, diskriminatif dan sentralistik.
Ketiga, munculnya kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Dampak yang pertama dan kedua merupakan karakter dari sakralisasi terhadap doktrin dan dogma keagamaan. Sedangkan kekerasan dan radikalitas merupakan dampak lanjutan dari konteks sosial yang secara riil memiskinkan komunitas agama tertentu. Kenyataan tersebut telah memberikan angin segar bagi kalangan tertentu untuk melakukan kekerasan yang seakan-akan mendapatkan justifikasi dari agama. Doktrin jihad dalam tradisi Islam sering kali dijustifikasi oleh sebagian kelompok dan sekte untuk mengabsahkan kekerasan. Jihad disakralkan sebagai pengorbanan untuk Tuhan, kendatipun dengan menggunakan kekerasan. Maraknya gerakan terorisme di Indonesia akhir-akhir ini menjadi bukti kuat yang tak terbantahkan.
Oleh karenanya, ambisi kaum fundamentalis untuk mendirikan khilafah Islam adalah sesuatu hal yang mustahil dan hanya membuang waktu untuk mengejar mimpi yang tak kunjung terwujud. Penyatuan wilayah di bawah satu naungan khilafah adalah mitos. Pertanyaannya: Terwujudkah keinginan dan cita-cita mereka untuk menegakkan syariah Islam atau pemerintahan Islam? Dengan tegas saya jawab: Tidak Mungkin! Pandangan-pandangan ini seperti mimpi di siang bolong atau layaknya seorang pemabuk yang sedang mengigau. Faktanya: pemberlakuan syariat Islam yang konon secara kaffah itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi.
Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Modernisme yang mendedahkan sekularisme, pluralisme dan liberalisme serta derasnya pengaruh epistemologi Barat yang dikenal sebagai sistem yang matang dalam persiapan, dan mampu dalam perekayasaan sosial (social engineering) telah mengendalikan warna sosial komunitas muslim. Kondisi ini mengundang para pakar Muslim dari berbagai penjuru dunia untuk merumuskan epistemologi berdasarkan nilai-nilai Islam. Tujuannya untuk membangun kembali kebudayaan dan peradaban muslim yang pernah jaya di zaman klasik. Salah satu gagasan yang muncul adalah menyangkut Islamisasi ilmu pengetahuan. Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail R. Al-Faruqi. Ajuan gagasan itu bertitik tolak dari anggapan bahwa sistem pendidikan yang datang dari dunia Barat itu hanya dapat mengembangkan peradaban materialistik belaka dan rusaknya nilai-nilai spiritual dan moral.
Gerakan pencarian epistemologi Islam ini tampak semakin nyata ketika pada tahun 1984 terbit majalah Afkar/Inquiry. Di situ banyak dibahas masalah-masalah di sekitar epistemologi Islam. Bahkan beberapa penulis di antaranya telah maju selangkah dengan membahas temuan-temuan mutakhir sains modern dalam berbagai bidang, seperti biologi, antropologi, masalah lingkungan dan sebagainya. Dari kelompok ini bisa dicatat nama-nama Ziauddin Sardar, Munawar Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haider, Meryll Wynn Davies – yang juga adalah redaktur di majalah tersebut.
Fazlur Rahman, seorang sarjana asal Pakistan yang sangat diakui dalam lingkungan akademis Barat, memberikan tanggapannya terhadap gagasan Islamisasi ilmu. Rahman, mengkritik Sardar yang menurutnya sama sekali tidak akrab dengan tradisi intelektual Islam masa lampau. Rahman juga menganggap rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu terlalu mekanistis. Begitu juga dengan Hossen Nasr dan Naquib al-Attas yang dinilai hanya akrab dengan bagian-bagian tertentu dari tradisi intelektual Islam.
Karenanya, Rahman, dengan tegas menolak gagasan Islamisasi pengetahuan. Selain Rahman, Abu Zayd, juga menolak keras bahkan menentangnya. Ia menyebut pembacaan— dalam rangka Islamisasi ilmu—tersebut sebagai pembacaan tendensius-oportunistik-pragmatis dengan mengabaikan sudut konteks objektif-historis. Upaya Islamisasi ilmu ini juga mendapat tantangan keras dari Arkoun, yang mengatakan bahwa Islamisasi ilmu dan teknologi dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap Islam hanya semata-mata sebagai ideologi.
Pervez Hoodbhoy [1997], seorang fisikawan muda Universitas Quad-I-Azam-i Pakistan mengatakan,
[M]eskipun sejumlah besar konferensi internasional telah dilaksanakan demi terbentuknya sains Islam, secara umum usaha-usaha untuk menciptakan sains yang diberkahi dan dilengkapi dengan sebuah epistemologi baru telah gagal. Malah sebaliknya, para pelaku sains Islam telah mengarahkan penelitian mereka kepada masalah-masalah yang terletak di luar wilayah sains yang umum. Misalnya, masalah-masalah yang tidak dapat dibuktikan seperti kecepatan Surga, temperatur Neraka, komposisi Kimia Jin, rumusan untuk menghitung derajat kemunafikan, penjelasan tentang Isra’ Mi’raj berdasar teori relativitas dan sejumlah contoh-contoh lain yang digambarkan dalam artikel mereka.
Kritik Pervez Hoodboy tersebut, bertumpu pada pandangan instrumentalis yang sama dengan pandangan Rahman, dengan keyakinan akan netralitas ilmu pengetahuan sebagai landasannya. Tidak ada kejelasan apa makna istilah “Ilmu pengetahuan Islam” sendiri. Perlu dibedakan antara ilmu pengetahuan yang dipraktekkan oleh kaum Muslimin pada saat ini maupun pada zaman keemasan Islam yang dianggap secara khusus mencerminkan karakter Islam. Konsep ilmu pengetahuan Islam dapat dinafikan kebermaknaannya. Pertama, setelah beberapa dasawarsa diperbincangkan, hingga kini belum ada yang dapat disebut “ilmu pengetahuan Islam”, dan tidak ada satu pun instrumen yang diciptakan atau eksperimen yang berhasil dibuktikan oleh upaya ini. Kedua, ilmu pengetahuan tidak pernah dibangun atas dasar seperangkat keyakinan. Apa pun keyakinan filosofis ataupun akhirnya harus dibuktikan dengan prosedur normal ilmu pengetahuan, yaitu percobaan dan pengujian. Ketiga, hingga kini belum tercapai kesepakatan tentang apa yang dimaksud dengan “ilmu pengetahuan Islam”. Yang ada adalah polemik yang tidak berkesudahan selama puluhan tahun terakhir.
Saya melihat bahwa paradigma Islamisasi ilmu tersebut lebih bersifat reaktif dari pada proaktif. Ciri khas Islami itu menjadi sesuatu yang setandar, baku, absolut, konstan, dan rutin, sehingga seolah-olah tidak ada peluang dan ruang gerak yang dinamis. Sikap tersebut, kurang efektif untuk mengantisipasi era globalisasi, justru kita akan terhambat oleh akselerasi perkembangan dan kemajuan iptek serta cepatnya arus perubahan sosial. Belum lagi, soal kesempitan istilah pengetahuan dalam dunia Islam yang hanya dibagi menjadi qauliyah dan kauniyah. Pembagian ini akan berimplikasi pada katagorisasi yang bersifat dikotomis dan trikotomis –sebagaimana tesis Clifford Geertz; priyayi, abangan dan santri– yang tidak selalu menggambarkan realitas yang sesungguhnya.
Memang, seruan Islamisasi ilmu pengetahuan, sastra, dan seni, merupakan seruan yang tampak seolah seperti anugerah, namun sesungguhnya petaka. Ajakan ini, tentu saja menempatkan pemikiran agama yang sebetulnya tunduk pada pengaruh waktu, ruang dan kondisi sosiologis, justru menjadi penentu dalam wilayah-wilayah pemikiran rasional-kreatif, yang memang tidak tersentuh teks-teks keagamaan, meskipun pemikiran agama dengan metode interpretatif yang berputar-putar senantiasa berusaha menguji teks-teks keagamaan sesuai dengan perspektifnya terhadap wilayah-wilayah tersebut.
Seruan tersebut berujung pada penciptaan “mahkamah-mahkamah penyidik” yang menundukkan bahkan mempidanakan semua ijtihad manusia dalam semua wilayah epistemologis. Kemudian mencap ijtihad tersebut sebagai menyimpang, sesat, dan murtad. Proyek islamisasi ilmu pengetahuan oleh kalangan ilmuwan tertentu, secara tidak langsung telah menempatkan ilmu pengetahuan sebagai ideologi yang selalu tertutup untuk dilakukan pengkritisan ulang. Padahal ilmu pengetahuan adalah ruang yang terbuka yang senantiasa harus diuji secara kritis, terutama ketika dihadapkan pada realitas modern yang selalu cenderung untuk mencari jawab dari berbagai persoalan-persoalan kontemporer yang berkembang di tengah-tengah masyarakat global.
Menguaknya rasionalitas melalui persinggungan intim dengan peradaban Barat semakin meneguhkan persepsi, bahwa “salafisme” yang kerap dijadikan rujukan kalangan fundamentalis, dirasa tak lagi mampu menghadapi problematika kemunduran peradaban. Dengan demikian, menjadi mungkin pemikiran Islam harus menari di atas romantisme sejarah yang seolah menghipnotis para islamis untuk meneguhkan kembali ke kejayaan masa lalu.
Bebaskan Nalar dari Dogmatisme Agama
Hemat saya, untuk sampai kepada pencerahan, pembebasan akal mendapat perhatian yang utama, yang berarti pembebasan dari dominasi dan ketergantungan—termasuk ketergantungan terhadap teks agama, ketergantungan terhadap tokoh, ketergantungan terhadap ilmu pengetahuan tertentu dan ketergantungan terhadap masa lalu. Khusus yang terakhir ini [masa lalu] selalu menjadi rujukan utama—jika bukan satu-satunya—kaum fundamentalis. Seolah masa lalu adalah masa yang paling absah dan otoritatif dibandingkan masa sekarang [modern]. Memang, tidak ada benda tanpa waktu. Dan karena waktu hanya suatu dimensi saja dari kenyataan, maka teori-teori pun muncul bahwa sebetulnya waktu itu relatif. Oleh karena itu secara teoritis orang itu bisa berjalan-jalan ke waktu masa lampau ataupun masa depan melalui apa yang dalam pseudo-ilmiah disebut, “time tunnel” (lorong waktu). Tapi masa lalu bukanlah segala-galanya. Ia berjalan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Saya sedang tidak menganjurkan pada pembaca agar meninggalkan agama, tetapi lebih kepada bagaimana agar kita tidak terbelenggu oleh teks agama yang pada akhirnya berujung pada dogmatisme-absolutisme. Bagi saya ilmu pengetahuan tidak mungkin dipisahkan dari agama, karena agamalah yang menjadi salah satu faktor penyebab lahirnya ilmu pengetahuan [modern]. Perdebatan antara wilayah teologis [wahyu, teks] dengan nalar [akal budi] sudah sangat dikenal luas dan telah berlangsung sejak Abad Pertengahan, ketika para filsuf dan teolog saling berargumentasi mengenai “kebenaran” dengan cara mempertentangkan “iman” dan “rasio”. Nalar adalah refleksi dari rasionalitas yang terbelenggu oleh dogma gereja yang ambigu. Nalar berhasil meminggirkan [doktrin-doktrin] agama. Dan dunia Barat menjadi tersekularkan. Melewati masa Renaissance, periode pencerahan hingga sampai ke zaman modern ini, masih dirasakan pengaruhnya.
Kita harus berani mempertahankan kebebasan pada saat kebebasan sungguh-sungguh terancam. Sapere aude! “Beranilah berpikir sendiri!” Teks pendek itu terbukti menjadi soko guru dunia modern. Pencerahan—mengikuti Kant—terjadi ketika manusia membebaskan diri dari selbst verschuldeten Ummundigkeit, ketidak-dewasaan atau ketergantungan yang justru kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita. Dalam keadaan tak dewasa itu, manusia memang tetap punya akal budi, tapi ia tak punya tekad dan keberanian untuk menggunakannya. [Wardaya, SJ, 2004: xvii-xviii]. Ketidakdewasaan itu sebagai ketergantungan dan ketertundukan pada otoritas lain di luar kemampuan akal budi manusia sendiri, entah itu kitab suci, institusi, tokoh maupun apa yang selama ini diwarisi atas nama “tradisi”. Dewasa atau tidak dewasanya seseorang tergantung pada pilihan dan keberanian untuk menjalani pilihan itu.
Pencerahan [dalam Islam] merupakan tugas kemanusiaan. Maka, agar terhindar dari absolutisme dan mencapai kedewasaan, tidak bisa tidak kita harus berani berpikir sendiri. Etos pencerahan Kant—tanpa harus menyepakati seluruh doktrin filosofis Kant—harus terus dijaga, dipelihara dan dikembangkan. Kita tetap merawat dan menghidupi etos kritis yang diwariskannya. Sebab etos kritis itu merupakan satu-satunya perangkat yang tersedia untuk melawan segala bentuk dominasi, suatu “kritik permanen” yang lahir dari rahim Pencerahan. Nalar selalu cenderung untuk mencari sebuah jawaban dari setiap persoalan kehidupan untuk memperoleh kebenaran, dan menghampirinya lewat uji falsifikasi terus menerus. Inilah yang disebut oleh Karl Popper, sebagai nalar falsifikasi, nalar yang menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains [atau bahkan teks, wahyu] pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Dalam Islam, pencerahan sudah dilakukan, misalnya, oleh Arkoun dan Jabirie, melalui proyek “kritik nalar” sebagai basis bagi Pencerahan Islam.
Dari sini, usaha yang pernah dirintis oleh para ahli melalui proyek sekularisasi menemukan signifikansinya. Pengetahuan ilmiah itu bersifat faktual, bebas nilai, dan netral. Agama tidak boleh menantang pandangan dunia yang dominan. Agama dapat hadir berdampingan dengan ilmu pengetahuan, tetapi ia tidak akan pernah boleh menghalangi ilmu pengetahuan. Agama dipakai ketika nalar belum mampu menemukan jawaban. Dengan kata lain merupakan komplementer dari apa yang belum bisa ditemukan melalui ilmu pengetahuan. Karenanya, amat sangat mungkin, jika dalam era globalisasi, di mana batas otoritas wilayah agama dan ilmu pengetahuan menjadi kabur, maka ”pilihan menjadi sekuler merupakan pilihan paling tepat”, begitu kata Dawam. Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Inilah yang ditekankan oleh Dawam dalam buku ini.
Sebagai paradigma politik, sejauh ini, sekularisme merupakan paradigma terbaik. Sekularisme tidak lahir dari ruang hampa, melainkan hasil pergulatan dinamis antara realitas politik dengan institusi keagamaan. Hal itu terjadi, sebagai produk perkembangan sejarah yang tidak bisa dihindari. Dalam konteks ini, Fouda sepenuhnya sekularis. Menurutnya, Islam adalah agama non-negara. Lebih dari itu, negara yang disematkan pada Islam selalu menjadi beban dan mengebiri Islam sebagai agama. Islam negara, bagi Fouda, selalu mereduksi Islam agama. Sejarah membuktikan, kebebasan berfikir di dunia Islam telah mengisi ruang-ruang peradaban dunia. Karenanya, gerakan sekularisasi, liberalisasi yang sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak eksklusif menjadi sebuah keharusan di dunia modern saat ini. Bagaimanapun, kritik teks, baik sejarah maupun teks-teks suci adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap murtad, kafir, zindiq, atau istilah-istilah lain yang sejenis.
Dalam sekularisme eksistensi agama tetap diakui tapi terbatas pada ranah domestik, yaitu pribadi dan keluarga, karena adanya kesadaran bahwa agama, bahkan kitab suci, diturunkan bukan untuk memberi kejelasan sedetil-detilnya dalam kehidupan sehari-hari. Semangatnya adalah lebih kepada memandirikan manusia: semangat pembebasan. Oleh karena itu terwujudnya kebebasan yang lebih besar dan dunia yang lebih terbuka merupakan sebuah keniscayaan: dengan suatu keyakinan bahwa kebebasan dan keterbukaan menyediakan latar yang sanggup membebaskan kreativitas individual. Kebebasan dan keterbukaan menggerakkan dinamisme yang telah membawa kemajuan di bidang kemanusiaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. [Norberg, 2009: xxix]
Sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Berbeda dengan kaum fundamentalis, kebenaran menurut mereka adalah sejumlah doktrin dan dogma yang tersedia di masa lalu. Hal-hal yang datang kemudian, baru dan modern harus merujuk kepada masa lalu. Melihat masa kini dengan kaca mata masa lalu (al-fahm al-turâtsî li al-‘ashr).
Memandang teks atau wahyu serta apa saja yang berasal dari masa lalu sebagai benar dan baik merupakan sebuah kekeliruan—jika tidak boleh disebut kesombongan. Atavisme atau obsesi kepada masa lalu dan pengagungannya biasanya berjalan seiring dengan sikap-sikap konservatif, karena itu justru akan menghambat kemajuan dan daya inovasi. Kreativitas akan terhambat jika suatu masyarakat terjerembab ke dalam pandangan-pandangan atavistik dan pemujaan masa lalu. Maka, dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan “memutuskan” diri dari budaya masa lalu yang negatif, yang kemampuan itu sendiri dihasilkan oleh sikap-sikap kritis yang bersifat membangun. [Madjid, 1997:188] Sikap kritis yang membangun merupakan hasil adanya pengertian menyeluruh terhadap eksistensi nilai-nilai budaya masa lalu tersebut—termasuk pengertian tentang dinamika interaksinya dengan tuntutan sejarah—dan keberhasilan menangkap tantangan zaman mutakhir.
Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut bukan sekedar mereproduksi teks-teks, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Sejarah, akan memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Sikap seperti itulah yang akan melahirkan pencerahan. Pencerahan lebih kepada sikap nalar dibandingkan sebuah bagian di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia adalah sebuah suasana hati yang kuat dalam berpikir bebas, bertanya kritis, sebuah suasana hati yang tersebar di dunia Barat sejak abad ketujuhbelas. Di dalam bidang ilmu pengetahuan ia adalah sebuah masa eksperimentasi dan penemuan melalui pencarian rasional bebas. Di dalam bidang filsafat dan agama, pencerahan adalah masa mempertanyakan sumber-sumber otoritas tradisional seperti gereja atau Bible. Di dalam politik ia adalah sebuah periode ketika tatanan yang mapan, status quo, ditolak di mana despotik dan irasional digantikan dengan toleransi, penelitian terbuka dan kebebasan, dan otoritas tradisi eksternal dibuang demi otoritas individual. Tidak ada lagi ide-ide yang dianggap suci atau melampaui bentangan kritisisme. Pencerahan selalu bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun kedaulatannya.
Kita mesti berusaha mengatasi berbagai bentuk pernyataan dan kontradiksi dogmatis. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara melatih diri dalam tata keilmuan baru dalam konteks cara pandang spiritual-intelektual yang juga baru atas berbagai kegiatan yang menyangkut cara kita berpikir, menulis, melakukan evaluasi, dan mengetahui. Dengan kata lain dalam mendekati pertanyaan tertinggi tentang makna, sehingga membentuk pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
Sekali lagi, Islam sangat menghargai kebebasan berpikir. Berpikir merupakan fungsi akal yang sangat dimuliakan kedudukannya oleh Islam. Kalangan Mu’tazilah menyebut akal sebagai “organ yang paling adil dalam diri manusia” (a‘dal al-asyyâ’ qismat-an laday al-insân). Kebebasan berpikir mensyaratkan terciptanya iklim kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan. Kebebasan berekspresi juga menghendaki adanya kebebasan yang memadai untuk berpendapat dan mengungkapkan fakta-fakta kebenaran.
Semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Kacaunya hierarkhi antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, semuanya itu akibat tiadanya kebebasan berpikir karena sistem berpikir masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori. Padahal, tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini.
Keyakinan diri dan kemampuan kita dalam menghadapi masa depan sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir kita. Sebab cara berpikir merupakan salah satu yang paling substantif dalam diri kita [ingat, Descartes: cogito ergo sum]. Sepatutnya kita sekarang menghidupkan kembali kepercayaan yang lebih besar kepada manusia dan kemanusiaan. Sikap ini akan mempunyai dampak keterbukaan cara berpikir yang luas dan kreatif, tanpa kehilangan sikap kritis, yang sangat diperlukan dalam usaha menumbuhkan dan mengembangkan etos keilmuan di kalangan kaum Muslim. [Madjid, 1997:36] Kaum Muslim harus menentukan agenda perdebatan di masa yang akan datang dengan memberi penekanan khusus atas kebebasan sebagai ide tertinggi dalam hirarkhi nilai liberal; memberikan prioritas bagi budaya kompetisi; dan membumikan desentralisasi radikal dan memelihara pola keberagaman; serta menempatkan pengambilan kebijakan sedekat mungkin dengan publik. [Rachman: 2010]
Dan, kebebasan, pada akhirnya, memerlukan peranan negara juga. Kalau kebebasan tidak diimbangi dengan kekuasaan negara, ia menjadi anarki. Kebebasan berbeda dengan anarki. Anarki adalah individualisme yang ekstrem. Pengekangan yang kokoh atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: “Berakhirnya fungsi hukum bukan dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan.” Demokrasi dan kebebasan merupakan dua konsep yang amat penting dalam politik. Kebebasan atau hak-hak sipil bisa dikatakan suatu pengandaian bahwa negara punya peran positif dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga Negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin. Kebebasan sipil meliputi kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan beragama serta kebebasan pers. Kalau semuanya tidak diakui dan tidak ditegakkan oleh hukum di suatu negara, maka negara itu tidak bisa disebut demokratis. [Basyaib: 145-146] Negara-negara di mana ada kebebasan berpendapat dan berserikat secara berarti, penghargaan hak-hak milik dan pribadi, pelarangan atas penyiksaan dan jaminan kesetaraan di mata hukum adalah negara-negara yang mempunyai sistem politik yang demokratis.
Merujuk Dawam, negara harus bertanggungjawab terhadap kebebasan melalui penetapan hak-hak sipil dan hak asasi manusia. Ajaran agama kalau diwujudkan dalam hukum positif akan menjadi pemaksaan, karena konsep hukum bersifat memaksa. Siapapun yang tidak melaksanakan hukum, dia dihukum. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam akan cenderung bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Liberalisme adalah perihal konsep tentang kebebasan menuju nilai kemanusiaan yang hakiki, yaitu mendapatkan keadilan serta memerdekakan diri dari kegelapan dan penindasan serta kebodohan.
Keberhasilan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam membangun demokrasi, salah satunya adalah karena kita menerjemahkan Islam terutama sebagai budaya, bukan sebagai hukum seperti yang diinginkan oleh perda-perda syariah. Karenanya, liberalisme sebagai wujud dari keterbukaan dan kemampuan melakukan ”kritik diri”, yaitu sikap yang sangat penting dalam kehidupan yang majemuk, tanpa harus menghilangkan atau menghapus identitas keagamaan. Makna generik dari kata liberal sendiri, adalah pembebasan. Dan, Islam adalah pembebasan. Monotheisme sendiri sebenarnya tak lain dari liberalisasi atas kungkungan politeisme dan alam. Artinya, liberalisme sebenarnya sudah terjadi begitu lama di dalam Islam. Berdasarkan itu maka manusia perlu diberi ruang untuk mengekspresikan kebebasannya. Pencerahan dalam Islam tiada mungkin akan terjadi dengan mengabaikan liberalisme. Liberalisme adalah strategi untuk menghadapi suatu problem, yaitu absolutisme dan totalitarianisme agama. Liberalismelah yang dapat menjaga dan mempertahankan kesehatan dan keseimbangan agama, karena berpikir liberal, rasional dan kritis merupakan sesuatu yang tidak dapat dinafikan bagi cita-cita dan kemajuan.
Tiada agama [agama apapun, termasuk Islam] tanpa pencerahan. Ketuhanan tanpa ilmu pengetahuan ibarat sebuah tujuan tanpa kendaraan. Akhirnya, saya sangat sependapat dengan Dawam, sebagaimana saya kutip diawal epilog ini: ”Janganlah bermimpi mengenai kebangkitan Islam [pencerahan Islam, pen.] jika tidak mampu memecahkan masalah keilmuan dan pendidikan Islam”.
Kamis, 22 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar