Kamis, 22 September 2011

MEMBANGUN KEDAULATAN NALAR BERBASIS INTELEKTUALISME

Tantangan Pemikiran Islam Kini dan Esok


“Masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini.”
-Max Horkheimer

Moh. Shofan

Dalam sebuah obrolan di kantor LSAF [Lembaga Studi Agama dan Filsafat] M. Dawam Rahardjo [Mas Dawam] menyampaikan kepada saya bahwa kajian keislaman sepanjang sejarahnya di Indonesia hingga kini boleh dibilang masih sangat miskin pemikiran, terutama jika dibandingkan dengan studi Islam yang telah dilakukan di Timur Tengah dan sejumlah Negara lain. Selain terbatas dari segi jumlah, karya-karya pemikiran Indonesia hanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia, sehingga berdampak pada terbatasnya jumlah pembaca. Belum lagi organisasi massa Islam terbesar di Indonesia—bahkan di dunia—yaitu NU dan Muhammadiyah yang hanya bersifat lokal nasional, karenanya tidak mampu bersaing secara global. Pun demikian juga dengan pendidikan formal dalam ilmu-ilmu keislaman yang tampaknya masih hanya sebatas transfer pengetahuan dan belum atau tidak sama sekali memberi inspirasi untuk berpikir secara kritis dan kreatif. Dalam situasi seperti ini, menurut Dawam, amat sangat dimungkinkan seseorang setelah lulus dan mendapatkan gelar akademis, maka seseorang berhenti berpikir dan tidak lagi melahirkan karya pemikiran.
Berkebalikan pada dekade akhir 1960-an, di mana pemikiran Islam di Indonesia terfokus pada tema-tema modernisasi serta sejumlah implikasi yang ditimbulkannya. Pada masa itu terjadi apa yang disebut Nurcholish Madjid [Cak Nur] sebagai “gelombang intelektualisme Islam” di Indonesia. Munculnya gagasan pembaruan pemikiran Islam di tanah air pada dekade awal 1970-an adalah ide tentang modernitas. Demikian juga pada dekade 1980-an ditandai dengan maraknya diskusi dan seminar serta dialog-dialog pemikiran baik antar umat Islam maupun antar umat beragama, yang melibatkan pemikir-pemikir dan ilmuan baik Muslim maupun non-Muslim di pusat-pusat pendidikan tinggi dan kota-kota universitas di Indonesia. Di kalangan intra umat Islam, dialog yang intens, berlangsung antara Muhammadiyah dan NU—dua Ormas Islam terbesar di Indonesia—khususnya di lingkungan elit atau pun generasi mudanya. Fenomena-fenomena kultural dekade 1980-an, di kemudian hari sangat besar dampaknya bagi perkembangan dan masa depan Islam pada dekade 1990-an. Khusus dalam hal kebangkitan intelektualisme Islam yang ditandai dengan pesatnya penerbitan buku-buku agama dan kajian keislaman. [Fachry Ali dan Bahtiar Effendy: 1986]
Saya termasuk orang yang sangat mengedepankan optimisme keberagamaan di tanah air. Karenanya, era Cak Nur, bagi saya bukanlah satu angkatan yang lahir untuk menyudahi pembaruan. Pembaruan harus kita lakukan secara terus menerus. Pada periode selanjutnya, yakni pemikiran pasca Cak Nur, para penerusnya belum menemukan platform yang aplikatif bagi kehidupan Islam kontemporer Indonesia, jika tidak boleh disebut hanya sekadar melanjut dari gagasan-gagasan yang sudah dirintis oleh para pendahulunya. Dalam konteks inilah Cak Nur adalah living legend (legenda hidup) bagi gerakan pemikiran Islam Indonesia modern yang inklusivistik. Indonesia sepeninggal Cak Nur, masih carut marut, kalau dalam bahasa Jawanya, nggak karu-karuan—untuk menggambarkan betapa kompleksnya permasalahan kita. Para cendikiawan dan pemikirnya masih termarginalisasi, kalah populer dengan elit politik kita.
Dengan menyadari kompleksitas problematika kebangsaan Indonesia dewasa ini, epistemologi Cak Nur menjadi signifikan dalam menyelamatkan Indonesia sebagai negara bangsa. Nation adalah jiwa dan prinsip spriritual yang menjadi ikatan bersama, baik dalam kebersamaan maupun dalam pengorbanan. Benedict Anderson memaknainya sebagai imagined community, sebagai cikal bakal munculnya konspe nasionalisme. Suatu bangsa pada dasarnya merupakan suatu komunitas sosial-politik dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas sekaligus berkedaulatan. Dalam konteks itulah kontribusi pemikiran Cak Nur menjadi aktual dan signifikan serta pantas untuk ditindak lanjuti oleh kita-kita hari ini
Sayangnya, pemikiran Cak Nur yang brilian itu tidak selamanya dapat ”dibaca” apalagi ”ditafsir” oleh masyarakat kita secara lebih luas. Cak Nur adalah seorang pemikir brilian yang mencoba mengembangkan pemikiran Islam dari aspek dasarnya, yaitu dari aspek teologi dan etika, dan mencoba mengaitkan ajaran-ajaran dasar Islam itu dengan isu-isu lengkap. Emha Ainun Nadjib mengatakan “Cak Nur mengumandangkan Islam secara Indonesia dan mendendangkan Indonesia secara Islam. Ia juga menjelaskan kemodernan dan Islam sampai tak bisa dibedakan lagi”.
Keindoneslaan adalah keterbukaan kebudayaan. Dan itu pertama-tama adalah masalah “social learning”. Dengan cara itu kita pahami kebudayaan sebagai Wilayah transaksi sekuler yang selalu ada dalam kondisi “in the making”. Agama merupakan titik orientasi etis dalam pandangan kebudayaan Cak Nur. Tetapi bukan eksklusifismenya, melainkan fungsinya dalam memberi makna kehidupan, dan karena itu dimungkinkan untuk mengorganikkannya ke dalam pikiran kebudayaan. Sebenarnya fungsi agama di sini dapat juga digantikan oleh ajaran sosial lain, sejauh ajaran itu dapat “memberikan kejelasan tentang apa itu hidup”. Kita mungkin dapat membayangkan nilai-nilai “demokrasi”, “keadilan sosial”, ”pluralisme”, “feminisme” atau bahkan “liberalisme” dan “sekularisme” sebagai kategori-¬kategori spiritualitas yang sejajar dengan “agama” dalam fungsinya untuk “memberikan kejelasan tentang apa itu hidup”.
Dalam sebuah epilog yang saya tulis untuk buku Mas Dawam “Kritik Nalar Islam, Kebangkitan dan Pencerahan”, saya mengatakan bahwa kompleksitas permasalahan di Indonesia, seperti menguatnya konservatisme, dogmatisme, fanatisisme, baik agama maupun ilmu pengetahuan, belum lagi masalah kemiskinan, ketidakadilan, meningkatnya angka pengangguran, demoralisasi politik, dan lain sebagainya, tidak bisa digempur dengan cara yang sama, yakni hanya dengan menggunakan paradigm sekularisme, liberalisme, maupun pluralism an sich—sebagaimana dianjurkan oleh Dawam. Saya setuju dengan istilah-istilah itu, namun, dengan mengabaikan pendekatan-pendekatan kritis lainnya seperti hermeneutika, fenomenologi, semiotika, filsafat dan lainnya, saya khawatir akan memunculkan dogma dalam bentuk baru.
Jadi, betapa tidak sederhananya, seperti membalikkan telapak tangan. Karya Kuhn The Structure of Scientific Revolutions, mempunyai arti penting, tidak saja karena keberhasilannya membentuk dan mengembangkan wacana intelektual baru dalam filsafat ilmu, tetapi juga kontribusi konseptual yang memberi insight dalam berbagai bidang disiplin intelektual dengan derajat sosialisasi dan popularitas yang jarang dapat ditandingi. Saya merasa at home dengan karya tersebut, karena mengundang sikap kritis terhadap disiplin keilmuan—apapun, termasuk filsafat dan pemikiran Islam. Di sinilah pentingnya memahami bahwa apa yang kita capai hari ini bisa gugur di kemudian hari.
Terjadinya perubahan-perubahan mendalam selama sejarah ilmu justru tidak pernah terjadi berdasarkan upaya empiris untuk membuktikan salah satu teori atau sistem, melainkan terjadi melalui revolusi-revolusi ilmiah. Kuhn menyebut upaya revolusioner sebagai paradigma. Paradigma menggambarkan terjadinya dimensi kreatif pikiran manusia dalam bingkai filsafat. Pergeseran paradigma merupakan letupan ide yang merangsang timbulnya letupan ide-ide yang lain, yang terjadi terus-menerus, sambung menyambung, baik pada orang yang sama maupun orang yang berbeda. Reaksi berantai ini akhirnya menjadi kekuatan yang bisa merubah wajah dan tatanan dunia serta peradaban manusia ke arah suatu kemajuan. Paradigma membimbing aktifitas ilmiah, dan selama menjalankan riset ini kita bisa menjumpai berbagai fenomena yang disebut anomali. Jika anomali ini kian menumpuk, maka bisa timbul krisis. Dalam krisis inilah paradigma mulai dipertanyakan.
Paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas. Kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat.
Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris. Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.
Dengan demikian, untuk mengatasi krisis epistemologi, kita bisa kembali lagi pada cara-cara ilmiah yang lama sambil memperluas cara-cara itu atau mengembangkan sesuatu paradigma tandingan yang bisa memecahkan masalah dan membimbing riset berikutnya. Jika yang terakhir ini terjadi, maka lahirlah revolusi ilmiah [revolutionary science]. Bila paradigmanya tidak dapat digunakan untuk memecahkan persoalan penting atau malah mengakibatkan konflik, maka suatu paradigma baru harus diciptakan. Dengan demikian kegiatan ilmiah selanjutnya diarahkan kepada penemuan paradigma baru guna mendapatkan—meminjam istilah Kuhn—discovery [penemuan baru] dan invention [penciptaan baru] yang mana keduanya saling berhubungan erat dalam penemuan ilmiah. Semakin paradigma baru itu diterima oleh mayoritas masyarakat, maka revolusi ilmiah kian dapat terwujud. Dalam paradigma baru tersebut, terjadilah pergeseran dari normal science ke revolutionary science. Normal science adalah teori pengetahuan yang sudah mapan sementara revolutionary science adalah upaya kritis dalam mempertanyakan ulang teori yang mapan tersebut dikarenakan teori tersebut memang problematis.
Fenomena krisis keilmuan yang menimpa umat Islam saat ini, misalnya, kekerasan atas nama agama, dikotomi pendidikan [pendidikan agama versus pendidikan umum], meningkatnya kecenderungan kelompok islamis-ideologis dengan tawaran yang sangat simplistis: daulah islamiyah, khilafah islamiyah, teokrasi, dan lain-lain, tentu bisa dianalisis dengan menggunakan seperangkat analisis keilmuan, termasuk di dalamnya filsafat. Bagaimana sikap kita dalam memahami realitas dan seperti apa realitas itu menampakkan diri kepada kita? Saya kira, diperlukan cara atau prosedur—meminjam Edmund Husserl—yang dinamakan epoche. Tujuannya mengembalikan sikap kita, sikap yang menghayati, untuk memahami realitas apa adanya serta mendeskripsikan seperti apa dan bagaimana realitas itu menampakkan diri kepada kita. Apa yang tampil kepada kita itulah yang disebut fenomena. Kita mesti berjalan menurut komitmen yang jelas terhadap rasionalitas ilmiah, yang berjalan berdampingan dengan komitmen keagamaan dari komunitas yang diteliti. Pemakaian epoche harus diterapkan secara longgar, dengan mengadopsi posisi refleksi-diri, dan komitmen pada pelibatan komunitas dalam setiap tafsiran yang diberikan, sehingga fenomena dapat dimungkinkan untuk berbicara buat dirinya.
Lalu apa yang mendasari lahirnya sebuah peristiwa atau fenomena, sebutlah kekerasan atas nama agama, maraknya tuntutan perda syariah, misalnya? Ini pertanyaan yang perlu dijawab. Apakah cara berpikir teologis—meskipun bukan satu-satunya faktor—menjadi dasar: mengapa kekerasan atas nama agama seringkali menjadi fenomena yang tak kunjung selesai?—bahkan perkembangan terakhir menunjukkan kekerasan atas nama agama semakin tak terkendali.
Fenomena kekerasan memang tidak bisa dibenarkan apapun alasan yang mendasarinya, termasuk agama. Tidak ada kekerasan dalam agama dan tidak ada agama dalam kekerasan. Akal budi pun juga berpendapat demikian. Namun, dalam studi ilmiah, kekerasan adalah sebuah fenomena yang bisa dilacak sampai ke akar-akarnya. Di sinilah pentingnya sebuah research. Kekerasan bisa terjadi karena beberapa faktor, misalnya, faktor psikologis individu, gejolak biologis, atau faktor sosial struktural, juga bisa disebabkan oleh suatu hubungan kausal antara struktur, proses, dan perilaku level personal dan level global. Kekerasan dapat terjadi dalam berbagai bentuk. Ia bisa berupa kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan struktur negara terhadap individu ataupun kelompok, bisa juga berupa kekerasan ide, wacana, bahasa, dan bentuk-bentuk simbolik lainnya. Kekerasan simbolik, misalnya, bekerja dengan menyembunyikan pemaksaan dominasi untuk menjadi sesuatu yang diterima sebagai “yang memang seharusnya demikian”.
Bahasa sebagai wacana termasuk faktor penting sebagai pemicu terjadinya tindakan kekerasan—sebagai contoh: fatwa haram MUI [Majelis Ulama Indonesia] tentang sekularisme, liberalisme dan pluralisme, baik langsung atau tidak langsung menjadi salah satu faktor pemicu gerakan Islam radikal [FPI, misalnya] dalam melakukan tindakan kekerasan. Begitu juga stigma teologis [kafir, murtad] oleh kelompok radikal terhadap penganjur sekularisme, liberalisme maupun pluralisme merupakan kekerasan dalam bentuk lain, yakni kekerasan verbal. Kurangnya wawasan dan tiadanya landasan epistemologi yang benar menyebabkan lembaga MUI diragukan keabsahannya, otoritasnya, dalam mengeluarkan fatwa. Hemat saya, fatwa MUI tentang trilogi tersebut, tak ubahnya seperti khamr, sebagaimana disinyalir oleh al-Qur’an: “bahayanya lebih besar daripada manfaatnya”.
Kembali pada soal bahasa sebagai wacana. Merujuk pada Ricouer, wacana sebagai peristiwa mengasumsikan “ada sesuatu yang terjadi ketika seseorang berbicara”. Karenanya, wacana selalu terkait dengan tempat dan waktu; memiliki subyek dalam arti “siapa yang berbicara?”; peristiwa terjadi ketika ada seseorang yang menghadirkan bahasa dalam waktu dan tempat tertentu; wacana selalu menunjuk pada sesuatu yang sedang dibicarakan, merujuk pada dunia yang sedang digambarkan; dan wacana merupakan lokus bagi terjadinya proses komunikasi, pertukaran pesan-pesan dan peristiwa.
Dengan pemahaman seperti itu, maka, suatu peristiwa akan mengantarkan kepada suatu pemahaman bahwa semua fenomena, dalam keberagamannya, dapat dipahami sebagai entitas yang berbeda. Kita bisa melihat (secara intuitif) hakekat gejala-gejala [wesenchau]. Untuk mencapai hal ini, kita bisa memakai metode eidetic vision, yakni kemampuan untuk melihat apa yang sebenarnya ada di sana dalam situasi-situasi yang berbeda. Eidetic vision ini mengandung arti “melihat ke dalam jantung makna agama” tanpa mengabaikan konsep Lebenswelt. Konsep ini [lebenswelt] penting artinya, sebagai usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru untuk menyelamatkan subjek pengetahuan.
Perlu juga dilakukan tindakan menggambarkan bagaimana kesadaran membentuk fenomena. Untuk menggambarkan, mengidentifikasi, dan menafsirkan makna sebuah fenomena, perlu memperhatikan struktur-struktur intensional dari datanya, dan struktur-struktur intensional dari kesadaran dengan rujukan dan maknanya yang diinginkan sebagai sebuah studi komparatif dan klasifikasi tipe-tipe fenomena yang berbeda. Dengan cara ini, fenomena apapun [termasuk agama dan pengalaman keberagamaannya] dapat diketahui struktur-struktur mendasarnya dan bukan seperti yang dikatakan oleh Eliade, bahwa apa yang religius itu baik, sehat, positif dan menyelamatkan. Penggambaran seperti ini, menurut hemat saya kurang tepat. Jika ada Ilmuwan yang beranggapan seperti itu berarti telah kehilangan kapasitas kritis untuk mengomentari realitas sosial dari agama sebagai faktor yang berkontribusi pada berbagai macam tindakan manusia, baik positif maupun negatif, termasuk hubungan antara agama dan kekerasan.
Kritik publik tidak pernah terjadi dalam satu cara yang terlepas dari konteks sosial. Di sini peran kita selain mendeskripsikan proses-proses sosial yang berasal dari lembaga-lembaga kekuasaan, baik agama maupun sekuler, dan mengidentifikasi pengaruh-pengaruh apa yang diberikan proses-proses ini kepada agama dan pengalaman spiritual dalam konteks kontemporer, juga menghapus praktik-praktik berbahaya di dalam komunitas itu. Dengan cara ini, kita bisa mengungkap struktur-struktur kekuasaan yang menghancurkan agama melalui proses radikalisasi individual, dan pada saat yang sama mungkin menemukan jenis otoritas yang berbeda berdasarkan pada kepentingan-kepentingan politik dan ekonomi yang kuat.
Agama sebagai mata rantai tradisi otoritatif menyiratkan bahwa agama-agama perlu dipahami sebagai agama, bukan karena mereka percaya atau tidak percaya kepada Tuhan, spirit atau sebagian bentuk transenden, namun karena kepercayaan mereka mentransmisikan dan memperkuat otoritas tradisi. Agama sebagai transmisi tradisi otoritatif memberikan kepada kita satu jalan untuk mempelajari agama tanpa memasukkan agenda teologis, sembari memberikan ruang untuk berbagai perspektif yang utuh, termasuk kritik-kritik posmodern atau poskolonial. Selain itu, pendekatan-pendekatan baru dalam kajian agama mesti memisahkan agama dan the sacred, Tuhan, kekuatan-kekuatan yang transenden, besar atau kuat. Ini akan membebaskan agama dari teologi dan memungkinkan pemisahan yang jelas antara analisis-analisis akademis dan konvensional. Ini juga mendefinisikan secara tajam agama dalam istilah-istilah sosial dan institusional. Sebab, meminjam Hegel: “jalan ke pengetahuan absolut itu memiliki “makna negatif” karena kesadaran alamiah akan kehilangan makna kebenarannya. Hegel menyebut “kehilangan dirinya sendiri” tidak hanya sebagai “jalan kesangsian” [der Weg des Zweifels], melainkan bahkan sebagai “jalan keputusasaan” [der Weg der Verzweiflung]. Itulah skeptisisme yang ditekankan Hegel. [Hardiman, 2007: 75]—seperti akan kita lihat nanti pada dua contoh kasus: khilafah islamiyah dan islamisasi ilmu.
Oleh karena itu, maka orang yang bicara atas nama agama merupakan sebuah kesombongan. Meskipun yang dibicarakan adalah wahyu Tuhan. Manusia, tetap terbatas dan tidak pasti dalam pengertiannya, juga dalam pengertiannya terhadap wahyu itu. Sikap membatasi diri pada iman akan wahyu Tuhan, dan sekaligus menganggap bahwa penggunaan nalar manusia tidak perlu adalah sebentuk kemalasan berpikir. Beriman dengan cara yang sederhana. Itulah yang disebut fideisme yakni sudah merasa cukup dengan mengikuti pedoman agamanya, tak perduli kepada segala macam pikiran, kritik, keresahan intelektual atau paham-paham baru yang diramaikan. Menolak segala pertimbangan nalar sebagai tidak memadai terhadap kepastian yang merupakan ciri hakiki wahyu. Sikap terakhir inilah yang kerap dikritik oleh baik Cak Nur maupun Dawam, karena akan menjadi fundamentalisme apabila semua pandangan tentang alam, dunia, masyarakat dan sejarah diambil secara harfiah dari sumber-sumber wahyu yang dipercayai (dari Kitab Sucinya) dengan menolak segala hasil ilmu pengetahuan yang benar-benar, atau hanya tampaknya, tidak sesuai dengan apa yang ditulis dalam sumber wahyu itu.
Karenanya, kita perlu mencarinya dalam Erlebnisse: pengalaman yang sadar. Kesadaran tidak pernah benar-benar pasif. Karena menyadari sesuatu berarti mengubah sesuatu. Kesadaran itu tidak seperti gambar. Ia adalah sebuah tindakan. Terdapat interaksi antara tindakan kesadaran (noesis) dan obyek kesadaran (noema). Namun interaksi itu tidak boleh dianggap sebagai kerjasama antara dua unsur yang sama penting. Karena akhirnya hanya ada “kesadaran”. Maka, yang termasuk dalam fenomen juga bermacam-macam. Tidak hanya batu-batuan, alam, masyarakat, tapi juga termasuk emosi, rasa takut, rasa cemas, yang sakral atau yang jahat. Inilah yang dikaji dalam fenomenologi hermeneutik. Hermeneutika adalah suatu pendekatan dalam menafsirkan teks-teks untuk menemukan makna dari teks-teks tersebut. Sementara fenomenologi tidak terbatas pada tafsir teks. Tapi juga realiti di luar teks. Jadi, menurut saya, perlu ada silang metodologi antara hermeneutika dan fenomenologi.
Istilah yang tepat untuk menggabungkan dua pendekatan itu adalah fenomenologi hermeneutika yang mendekatkan diri dengan fenomen teks, atau teks sebagai fenomen. Jika kajian hermeneutika dimaksudkan untuk menemukan makna dari teks-teks, maka, fenomenologi itu tidak terbatas pada tafsir teks, tapi juga realitas di luar teks. Dengan menggabungkan antara hermeneutika dan fenomenologi, diharapkan akan memperkaya wacana keilmuan untuk menemukan sebuah jawaban yang tepat dalam menangkap realitas. Fenomenologi bukan hanya sebagai filsafat, atau berfilsafat, tapi sudah menjadi bagian dari kaedah, tatacara atau pendekatan penyelidikan—baik ruang maupun waktu. Kant, menyatakan ruang dan waktu adalah a priori dalam kesadaran. Tapi, fenomenologi menjelaskan apa yang dialami: doktrin keagamaan, yang ideal, yang normatif dan sebagainya.
Fenomenologi menyelidiki tentang gejala keagamaan, maka bagaimana perspektif-perspektif itulah yang diselidiki, termasuk sintesisnya. Sedemikian rupa, sehingga seperti itu akan menolong kita untuk menangkap fenomen dengan sungguh-sungguh. Fenomenologi, dengan demikian berpengaruh luas. Sehingga pendekatan dekonstruksi pun—yang banyak diikuti oleh pemikir liberal, seperti: Abed al-Jabirie, Mohammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, turut dipengaruhi oleh fenomenologi. Fenomenologi tidak pernah puas hanya melihat dari luar. Fenomenologi masuk ke dalam penghayatan orang.

Kritik Nalar atas Teks
Perlu ditegaskan, bahwa dalam realitas sejarah tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab dengan teks [termasuk teks agama sekalipun—yang akan dibicarakan lebih lanjut di bawah]. Jacques Derrida, pemikir kontemporer pascastrukturalis, adalah salah seorang yang menaruh perhatian pada peran dan fungsi bahasa. Ia memperkenalkan metode membaca teks. Dalam Speech and Phenomena, and Other Essays on Husserlss Theory of Signs (1973) serta Writing and Difference (1978), Derrida membongkar pendekatan tradisional, seperti yang dipahami sejarawan konvensional, bahwa teks merupakan pembawa makna yang stabil dan setiap peneliti mencari kebenaran [ilmu pengetahuan] melalui teks. Dekonstruksi memisahkan konsep tradisional penulis dan karyanya. Dekonstruksi tidak mengistimewakan penulis, mengubah sejarah dan tradisi menjadi intertekstualitas, dan meninggikan pembaca. Dekonstruksi merupakan aktivitas pembacaan di mana teks harus dibaca dengan cara yang sama sekali baru.
Menurut Derrida, teks dapat menyembunyikan kekurangan, kelemahan, dan kebohongan penulis serta mengandung sejumlah ketakkonsistenan konsep bahkan kontradiksi ciptaan penulis yang menjadi landasan teks, sehingga muncul paradoks dalam menggunakan konsepnya di dalam teks secara keseluruhan. Tak seorang pun dapat membuat sarana [tanda] dan tujuan [makna] menjadi identik. Bahasa merupakan proses temporal. Dalam pandangan Schleiermacher, mengerti atau memahami suatu teks adalah menemukan arti asli teks tersebut atau menampilkan apa yang dimaksud oleh pengarang teks, yakni pikiran, pendapat, visi, perasaan, dan maksud pengarang teks. Setiap zaman memiliki beban tugas untuk menginterpretasikan suatu teks.
Dekonstruksi mengelaborasi sebuah cara pembacaan teks, sebuah strategi dekonstruksi yang memungkinkan dia mengidentifikasi asumsi-asumsi metafisis yang pernah dilontarkan oleh para filosof. Melalui dekonstruksi, teks bukan sekadar medium bagi ilmu pengetahuan, melainkan ia sendiri adalah obyek ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, yang bisa menghadirkan pengetahuan baru. Dengan demikian, dekonstruksi merupakan strategi untuk menguliti lapisan-lapisan makna yang terdapat di dalam “teks”, yang selama ini telah ditekan atau ditindas.
Setiap teks mempunyai banyak lapisan makna, yang dapat dibaca berbeda-beda oleh kepentingan yang berbeda, sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan pembacaan “dekonstruktif” ini justru merangsang pemikiran-pemikiran agama yang kreatif. Dekonstruksi ingin memperlihatkan bagaimana struktur dan pengarang gagal menguasai teks. Dekonstruksi yang ditawarkan Derrida membawa konsekuensi serius pada ranah pemikiran, karena kecenderungan anti fondasionalismenya yang tinggi. Konsekuensi itu mengharuskan untuk menelanjangi klaim-klaim kebenaran dari sistem diskursif filsafat dan metafisika. Ini semua dilakukannya untuk membebaskan penafsiran dari beban makna.
Pengaruh Derrida terhadap para pemikir Muslim, seperti Arkoun, Jabirie, Ali Harb, Abu Zayd, di mana mereka dalam kerja intelektualnya menawarkan model pembacaan yang dekonstruktif yang tidak semata-mata dipahami secara literal-skriptural an sich, tetapi menggali berbagai alternatif makna lain yang memungkinkan untuk melakukan pembacaan secara produktif. Sebab sebuah pembacaan yang baik bukanlah yang sesuai dengan teks, melainkan yang berbeda dengan teks yang dibaca dan dengan subyektifitas dirinya secara bersamaan, sehingga lahirlah sebuah teks yang baru dan aktifitas ilmiah yang bersifat kreatif secara berkesinambungan.
Sebagaimana dijelaskan di muka, bahwa dalam realitas sejarah tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab dengan teks. Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini tidak sepenuhnya berjalan atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya hubungan dialektik antara teks dengan sejarah [realitas] yang tak jarang dimenangkan sejarah. Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam teks-teks primer dan sekunder Islam, perihal sistem politik tidak dijelaskan secara terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu. Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik al-Qur’an maupun Nabi sendiri, sadar kalau hal demikian selalu tunduk pada realitas manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi tiada henti.
Sebagai contoh, teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas agama, konteks menunjukkan negara bangsa terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh kalangan fundamentalis disangka berbicara tentang “hukum Tuhan” [padahal tidak demikian], sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosio-politik yang lebih demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan publik. Dialektika teks dengan konteks, seolah memperkukuh anggapan kalau teks beku, statis dan final, membelenggu dan tinggal menerapkannya saja secara harfiah, sebagaimana bisa terbaca dari opini kalangan fundamentalis. Oleh karena itu, tak heran bila pemikir liberal asal Kuwait, Al-Baghdadi mengejek mereka sebagai ‘ubbad al-nushush, penyembah teks itu sendiri atau—dengan bahasa agak halus dan romantis ala Yudi Latief—mendambakan “pelukan teks”. Maka, dalam pandangan Arkoun, strategi terbaik untuk memahami historisitas keberadaan umat manusia, ialah dengan melakukan dekonstruksi dan melepaskan pengaruh ideologis. Jika strategi ini digunakan, maka umat Islam bukan saja akan memahami secara lebih jelas masa lalu dan keadaan mereka saat ini untuk kesuksesan mereka di masa yang akan datang, namun juga akan menyumbang kepada ilmu pengetahuan modern.
Terus terang saja, sebenarnya saya agak malas, ketika berbicara mengenai masa lalu Islam, karena seolah-olah saya hendak mencari justifikasi kebenaran melalui agama. Padahal, dengan menggunakan akal pikiran sendiri sebenarnya kita bisa menentukan ukuran moral universal—tapi bukan berarti menafikan aspek partikularnya—sesuai dengan situasi tertentu. Dan bukan sebaliknya menjadikan moral sebagai dogma—siapapun yang membawanya, termasuk Nabi. Moral dalam sebuah masyarakat pada hakikatnya boleh dipersoalkan legitimasinya. Moral bersifat nisbi. Lama-kelamaan, moral baru akan menggantikan moral sebelumnya, dan memperbaiki dunia-kehidupan masyarakat tersebut. Ini menunjukkan bahwa legitimasi moral adalah sesuatu yang boleh berubah. Persoalan moral itu sebenarnya bukanlah persoalan perasaan. Persoalan moral, bagi Habermas, adalah dasar-dasar rasional yang boleh menggalang wacana, yakni wacana yang membawa suara-suara universal, yang sekaligus dapat dipersoalkan. Jadi, sejauh dapat dipersoalkan, maka itu adalah rasional. Sebaliknya, kalau tidak dapat dipersoalkan, itu adalah persoalan perasaan semata. Dengan demikian, terbukti bahwa persoalan moral adalah persoalan rasional.
Pandangan Al-Razi, yang diutarakan dalam bukunya Naqd Al-Adyan Aufi Al-Nubuwwah (kritik terhadap agama-agama atau terhadap kenabian) mengatakan nabi tidak berhak mengklaim dirinya sendiri sebagai seorang yang memiliki keistimewaan khusus, baik fikiran maupun rohani, karena semua orang itu adalah sama dan keadilan Tuhan serta hikmah-Nya mengharuskan tidak membedakannya antara seseorang dengan yang lainnya, menunjukkan bahwa kritik juga boleh dilakukan pada siapapun, tanpa kecuali.
Karenanya, kita harus membebaskan akal, termasuk cara berpikir [serba] teologis [baca: wahyu yang terekam dalam al-Qur’an]. Kita yang hidup di zaman modern, tidak perlu mendasarkan semua persoalan pada teks, misalnya mengenai poligami, pembagian warisan, kedudukan perempuan, dan berbagai hukum pidana yang dirumuskan dalam fiqh. Jika nalar kita di[ter]belenggu, baik oleh teks [agama] maupun ilmu pengetahuan, maka “Pencerahan” tidak akan pernah terjadi. “Pencerahan” mengandaikan adanya sikap kritis nalar terhadap teks, baik Kitab Suci maupun ilmu pengetahuan.
Seperti saya singgung di muka, bahwa sebenarnya saya malas berbicara mengenai masa lalu Islam, namun, di sini [sebagai contoh saja] saya ingin menunjukkan bahwa masa lalu Islam—tanpa menafikan adanya sejarah buram umat Islam—adalah masa lalu yang dinamis dan senantiasa progresif. Umar bin Khattab, misalnya, khalifah yang konon paling inspiratif [dibanding ketiga khalifah lainnya] dan tidak rigid dalam pengambilan hukum serta lebih menekankan semangat dan jiwa Al-Qur’an dan Sunnah ketimbang teks. Dalam ijtihad Umar misalnya, posisi akal menempati tempat yang utama sehingga ia dikenal sebagai pembawa mazhab ra’yi (akal). Dalam kasus-kasus ijtihad yang dilakukan Umar, secara lahiriah keluar dari teks, tetapi secara esensial justru berpegang teguh pada esensi Al-Qur’an.
Inilah juga yang dilakukan oleh Arkoun, yakni melakukan apa yang disebutnya sebagai “kritik nalar Islami”, yaitu nalar Islami sebagaimana berkembang dan berfungsi pada periode tertentu dan masih memengaruhi serta menguasai dunia Islam hingga hari ini. Untuk melakukan “kritik nalar Islami” ini, Arkoun memakai metode kritik sejarah; berangkat dari masalah bacaan sejarah atau problem historisisme dan problem hermeneutik. Dengan historisisme, Arkoun bermaksud melihat seluruh fenomena sosial-budaya melalui perspektif sejarah: masa lalu harus dilihat menurut strata historikalnya. Jika metode ini diaplikasikan terhadap teks-teks agama, apa yang dibutuhkan adalah makna-makna baru yang secara potensial bersemayam dalam teks-teks tersebut. Ini artinya, historisisme berperan sebagai metode rekonstruksi makna lewat penghapusan relevansi antara teks dengan konteks.
Sejalan dengan Arkoun, Jabirie juga menganggap penting kajian historisisme, dan lebih jauh lagi menekankan keharusan menghadirkan tradisi atau turats dalam kemasan yang lebih cocok untuk modernitas. Usaha pengemasannya ini telah diformulasikan dalam tiga jilid karya monumentalnya, yang ia namakan “Proyek Kritik Akal Arab” (Masyru 'Naqd Aql al-'Arabi). Hanya saja, dalam karya-karyanya, Jabirie tidak membahas persoalan-persoalan seperti ortodoksi, wahyu, mitos, imajiner, simbol atau yang lain dari persoalan teologis seperti yang dominan dalam karya-karya Arkoun.
Apa yang diinginkan oleh Arkoun—dan pada dasarnya juga dilakukan oleh para pemikir liberal lainnya—dengan menggunakan seperangkat metodologi yang dipinjam dari Barat, sesungguhnya tidak lain adalah ingin membangun pemikiran keagamaan yang terbuka, tanpa sikap a priori teologis terhadap semua pengalaman keagamaan manusia dengan menggunakan piranti keilmuan modern. Sehingga ia ingin memadukan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat modern. Bagi Arkoun, syarat utama untuk mencapai keterbukaan (pencerahan) pemikiran Islam di tengah kancah dunia modern adalah dekonstruksi terhadap episteme ortodoksi dan dogmatisme. Komitmennya bukan pada keislaman yang sudah menjadi sedemikian baku oleh konstruksi ulama [yang biasa disebut, al-salaf al-shalih], tetapi pada Islam yang masih “cair” atau era “terpikirkan” [dalam bahasa Arkoun], seperti pada era Rasulullah. Kerja keras ini telah membuat sebagian umat Islam terjaga dari tidur tradisi sehingga merasa perlu meninjau ulang posisinya dalam berislam. Sementara pada sisi yang lain, menjadi semakin jelas, seberapapun kuatnya dipegangi, bahwa akar peradaban Islam, episteme atau bangunan nalar keislaman tetaplah berada pada wilayah historisitasnya yang beruang dan berwaktu.
Dengan menemukan “semangat zaman”, para pembaru Islam bermaksud membangun kembali (Reconstruction) komitmen keislaman dan bahkan membangun kembali peradaban Islam. Perjalanan sejarah—mengikuti Adonis—ternyata bukan hanya gerak dan perubahan pada “struktur bawah” tetapi juga pada “struktur atas”. Bahkan “struktur atas” menjadi pusat perubahan dan dinamisasi itu yang justru melahirkan sejarah. Dalam istilah F. Budi Hardiman, makna teks bukanlah makna bagi pengarangnya, melainkan makna bagi kita yang hidup di zaman ini. Maka, menafsirkan adalah proses kreatif. Hal ini berkebalikan dengan kelompok fundamentalis.
Perlu kiranya, saya singgung dalam tulisan ini, bahwa belakangan, suara atas nama Islam yang direpresentasikan oleh kelompok-kelompok yang tidak mewakili sebagian besar umat Islam, yaitu kelompok yang dalam tulisan ini disebut “Islam Radikal” atau ”Islam fundamentalis”, alih-alih ingin berkompetisi di pentas global, umat Islam [justru] dirundung citra buruk di mata dunia dengan stigmatisasi radikalisme, bahkan terorisme. Suatu ideologi yang kerap kali mempunyai fungsi menggugah militansi dan radikalisasi umat. Selanjutnya, fundamentalisme Islam diwujudkan dalam konteks pemberlakuan syariat Islam yang dianggap sebagai solusi alternatif terhadap krisis bangsa. Mereka hendak melaksanakan syariat Islam secara kaffah dengan pendekatan tafsir literal atas al-Qur’an. Pokok pikiran kaum fundamentalis dalam menegakkan syariat Islam adalah pengakuan atas otoritas Tuhan dan syariatnya-Nya semata di atas bumi, dan ketundukan manusia hanya kepada-Nya.
Dalam konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan baik dengan realitas politik internasional maupun pemikiran di balik realitas itu. Sebut saja ide tentang clash of civilizations Huntington yang cukup mempengaruhi perilaku politik global pasca-Perang Dingin. Meski tidak valid secara faktual, ide benturan peradaban tersebut cukup kuat bergema sekaligus diafirmasi oleh banyak kalangan. Huntington, mensinyalir dalam statemennya : “Membangun sebuah peradaban musti harus merusak peradaban itu sendiri, jangan membangun jika takut merusak”. Setiap usaha untuk melakukan pembangunan adalah suatu perubahan. Dan suatu perubahan pasti menyisakan resiko. Sehingga pilihan menghadapi suatu dilema: terus mendesakkan industrialisasi dan modernitas akan berarti menghancurkan landasan nilai yang terdapat di dalam kebudayaan-kebudayaan dan tradisi-tradisi yang ada. Dan, “Ketidaktahuan akan sesuatu masalah, akan melahirkan prasangka” (the ignorance to the something is the roat of the prejudice).
Dalam perspektif inilah, lahirnya fundamentalisme Islam tak lepas dari bingkai pandangan yang terbentuk secara konfrontatif tersebut. Mengutip Bassam Tibbi, fundamentalisme Islam merupakan gejala ideologi yang muncul sebagai respon atas masalah-masalah globalisasi, fragmentasi dan benturan peradaban. Inilah gambaran betapa telah terjadi ketegangan dalam pergumulan umat Islam dengan modernitas, yakni berputar-putar pada masalah keautentikan dan kemodernan. Ketegangan ini terlimpah antara desa lawan kota, buta huruf versus pendidikan, kepasrahan versus ambisi, kesalehan versus kemungkaran, dan sebagainya.
Penolakan kaum fundamentalis terhadap dominasi konsep Barat ini bukan semata karena ia merupakan solusi yang diimpor (al-hulul al-mustauradah), seperti yang dinyatakan oleh Yusuf Qardhawi, tetapi juga karena lebih mencerminkan prototipe negara sekuler. Konsep ini, menurut mereka, bertentangan dengan doktrin Islam dan formalisasi syariat Islam. Sebaliknya, mereka mengusung pandangan teosentris Islam yang tanpa batas dengan menolak ide tentang manusia sebagai jiwa yang bebas untuk menentukan diri sendiri. Sebab itu, mereka membutuhkan wilayah kekuasaan yang dibayangkan sebagai tempat implementasi hukum syariat.
Inilah fenomena—seperti disinyalir oleh Nasr Hamid Abu Zayd—yang terjadi pada paroh kedua abad ke-20 ini adalah bahwa kepercayaan akan eksistensi “syari’ah” telah menyebabkan terciptanya kerancauan pemahaman, yang bercampur aduk dengan perasaan iman keagamaan, sehingga pemikiran tersebut menjadi dogma keagamaan, dan “syari’ah” dengan pemahaman seperti ini menjadi bentuk lain dari aqidah, yang mana Islam tidak akan sempurna tanpa kedua konsep tersebut (aqidah dan syariah) secara bersamaan. Oleh karena itu, “penerapan syari’ah” menjadi tuntutan yang indah; karena tanpa syari’ah masyarakat Muslim akan kehilangan sifat “islami” dan menjadi masyarakat “jahiliyah”. Inilah pendapat yang dirumuskan al-Maududi dalam konteks pertarungan politik sektarian di India pada malam kemerdekaan, dan yang menjadi penyebab kaum Muslimin India melepaskan diri dan mendirikan sebuah negara yang kemudian dikenal dengan nama Pakistan.
Bruce B. Lawrence [Shofan: 2006] memotret fundamentalisme sebagai ideologi. Ia segera mengglobal berkat publikasi media. Dalam penelitiannya yang berjudul ‘Defenders of God: the Fundamentalist Revolt Against the Modern Age’, Lawrence, menggunakan dua kerangka yaitu, Context dan Countertext. Pertama, kerangka Context dipakai Lawrence untuk menggambarkan dua elemen mendasar: antara modernitas dan modernisme. Modernitas menjadi elemen pokok dari dunia modern itu sendiri; sementara modernisme menjadi paham yang membentuk pengalaman manusia dalam berinteraksi dan merespons dunia modern. Antara modernitas dan modernisme dipakai Lawrence untuk menentukan era teknologi tinggi dalam sejarah dunia.
Kedua, kerangka Countertext dipakai Lawrence untuk menguji respon keagamaan terhadap modernitas dan modernisme, yang secara definitif disebut dengan kaum fundamentalis. Lawrence memfokuskan kajiannya pada kaum fundamentalis Yahudi, Kristen, dan Islam. Fundamentalisme, dengan demikian, menjadi gejala agama-agama. Ia tidak khas dengan agama tertentu. Islam, misalnya. Yang ditunjukkan oleh ketiga fundamentalis ini, demikian analisa Lawrence, adalah yang disebut Countertext terhadap visi dunia modern. Di sini lahirlah ambiguitas kaum fundamentalis. Satu sisi, kaum fundamentalis secara implisit menerima dan menikmati manfaat-manfaat modernitas dalam bentuk teknologi modern, namun pada sisi lain, mereka secara eksplisit menolak modernisme sebagai kerangka ideologi yang holistik. “They are moderns but not modernists”.
Penelitian Lawrence, secara umum dapat disimpulkan bahwa di samping sebagai kebangkitan dari proses radikalisasi agama, kehadiran kaum fundamentalisme juga sebagai gerakan protes terhadap hegemoni modernitas dan modernisme. Karena itu, kaum fundamentalis berambisi menawarkan pandangan dunia baru yang menciptakan dunia bersandarkan pada nilai dan pengalaman religius keagamaan.
Fundamentalisme adalah fakta global dan muncul pada semua kepercayaan sebagai tanggapan pada masalah-masalah modernisasi. Karen Armstrong mengatakan bahwa gerakan fundamentalis tidak muncul begitu saja sebagai respon spontan terhadap datangnya modernisasi yang dianggap sudah keluar terlalu jauh. Semua orang religius berusaha mereformasi tradisi mereka dan memadukannya dengan budaya modern, seperti dilakukan pembaharu Muslim. Ketika cara-cara moderat dianggap tidak membantu, beberapa orang menggunakan metode yang lebih ekstrem, dan saat itulah gerakan fundamentalisme lahir.
Lebih kentara lagi tatkala penafsiran teks keagamaan yang parsial mewarnai kehidupan politik kita. Akibatnya, pembenaran politik berdasarkan teks Kitab Suci membawa pada hegemoni dan cenderung bertindak represif terhadap kelompok subordinat tertentu. Radikalisme dan fundamentalisme ekstrem pada urutannya akan menghasilkan kekuasaan yang tidak berkompromi dengan pluralitas (demokrasi) alias otoriter. PKS partai islamis yang dipengaruhi oleh gerakan al-Ikhwan pimpinan Hasan al-Banna menempuh jalan demokrasi untuk mencapai tujuannya. Meskipun tidak menolak demokrasi, pluralisme dan nasionalisme Indonesia, namun kita tetap saja belum bisa membuktikannya, apakah PKS benar-benar menjadi partai pluralis atau justru sebaliknya, itu semua hanya merupakan strategi belaka untuk mencari simpati massa. Kita masih harus menunggu sampai suatu ketika PKS memegang kekuasaan. Sementara faksi-faksi seperti MMI [Majelis Mujahidin Indonesia], HTI [Hizbut Tahrir Indonesia], dan FPI [Front Pembela Islam] mereka punya tuntutan yang sama: pelaksanaan syariat Islam.
Fundamentalisme keagamaan yang berpegang pada sikap literer yang sangat kaku dan melihat segala sesuatu secara hitam putih sangat diragukan kemampuannya dalam menjawab masalah-masalah makna (meaning) riil yang dimunculkan oleh proses modernisasi. Ketidaksanggupan kaum fundamentalis dalam melakukan penalaran ilmiah, tampak pada lemahnya gagasan-gagasan yang cenderung utopis. Menyebut dua di antaranya adalah gagasan mengenai khilafah islamiyah dan islamisasi ilmu.

Khilafah Islamiyah

Melalui khilafah kelompok Islam fundamentalis berasumsi bahwa penerapan syariah dapat ditegakkan, kesatuan umat (pan-islamisme) dapat digalang, jihad dapat dilaksanakan. Pendek kata, dengan tegaknya pemerintahan Islam, segala bentuk korupsi, kriminalitas, kemiskinan, dekadensi moral, dan persoalan lain dapat diselesaikan. Namun, merealisasikan gagasan itu sungguh tidak semudah seperti membalikkan tangan. Asumsi-asumsi tersebut, menurut hemat saya, tak lebih hanyalah sekadar slogan hampa yang disuarakan demi kepentingan politik belaka. Ini terlihat dari upaya para pendukung gerakan itu yang hanya menggunakan label Islam tanpa memahami secara jernih konsep-konsep keagamaan yang dijadikan sebagai slogan. Spanduk-spanduk yang mempromosikan syariah dengan gambar wanita cantik berjilbab sembari menyungging senyum bertuliskan: “Indahnya Syariah Islam” banyak memenuhi sudut-sudut kota. Slogan-slogan yang mereka kampanyekan seperti Islam Way of Life, Islam adalah cahaya, demokrasi adalah kegelapan, pada prakteknya hanyalah alat kampanye belaka untuk mengais dukungan publik Muslim yang selanjutnya dijadikan sebagai dasar legitimasi untuk menindas atas nama Islam. Islam hanya menjadi tameng bagi watak politis upaya-upaya tersebut dan menjadi dogma-dogma eksklusif. Pemberlakuan syariat Islam yang konon secara kaffah itu diberbagai belahan negara Islam justru lebih banyak menimbulkan distorsi dan kejahatan kemanusiaan ketimbang memunculkan sebuah peradaban manusia yang egaliter, demokratis, berkeadilan, dan manusiawi.

Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Gagasan ini antara lain dilontarkan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ismail R. Al-Faruqi. Ajuan gagasan itu bertitik tolak dari anggapan bahwa sistem pendidikan yang datang dari dunia Barat itu hanya dapat mengembangkan peradaban materialistik belaka dan rusaknya nilai-nilai spiritual dan moral. Gerakan pencarian epistemologi Islam ini tampak semakin nyata ketika pada tahun 1984 terbit majalah Afkar/Inquiry. Di situ banyak dibahas masalah-masalah di sekitar epistemologi Islam. Bahkan beberapa penulis di antaranya telah maju selangkah dengan membahas temuan-temuan mutakhir sains modern dalam berbagai bidang, seperti biologi, antropologi, masalah lingkungan dan sebagainya. Dari kelompok ini bisa dicatat nama-nama Ziauddin Sardar, Munawar Ahmad Anees, Parvez Mansoor, Gulzar Haider, Meryll Wynn Davies – yang juga adalah redaktur di majalah tersebut.
Rahman juga menganggap rancangan sistematis al-Faruqi mengenai langkah-langkah islamisasi ilmu terlalu mekanistis. Begitu juga dengan Hossen Nasr dan Naquib al-Attas yang dinilai hanya akrab dengan bagian-bagian tertentu dari tradisi intelektual Islam. Karenanya, Rahman, dengan tegas menolak gagasan Islamisasi pengetahuan. Selain Rahman, Abu Zayd, juga menolak keras bahkan menentangnya. Ia menyebut pembacaan— dalam rangka Islamisasi ilmu—tersebut sebagai pembacaan tendensius-oportunistik-pragmatis dengan mengabaikan sudut konteks objektif-historis. Upaya Islamisasi ilmu ini juga mendapat tantangan keras dari Arkoun, yang mengatakan bahwa Islamisasi ilmu dan teknologi dapat menjebak kita pada pendekatan yang menganggap Islam hanya semata-mata sebagai ideologi.
Saya melihat bahwa paradigma Islamisasi ilmu tersebut lebih bersifat reaktif dari pada proaktif. Ciri khas Islami itu menjadi sesuatu yang setandar, baku, absolut, konstan, dan rutin, sehingga seolah-olah tidak ada peluang dan ruang gerak yang dinamis. Sikap tersebut, kurang efektif untuk mengantisipasi era globalisasi, justru kita akan terhambat oleh akselerasi perkembangan dan kemajuan iptek serta cepatnya arus perubahan sosial. Belum lagi, soal kesempitan istilah pengetahuan dalam dunia Islam yang hanya dibagi menjadi qauliyah dan kauniyah. Pembagian ini akan berimplikasi pada katagorisasi yang bersifat dikotomis dan trikotomis –sebagaimana tesis Clifford Geertz; priyayi, abangan dan santri– yang tidak selalu menggambarkan realitas yang sesungguhnya. Memang, seruan Islamisasi ilmu pengetahuan, sastra, dan seni, merupakan seruan yang tampak seolah seperti anugerah, namun sesungguhnya petaka.

Membebaskan Nalar dari Dogmatisme Agama
Begitulah mobilisasi ideologis di tengah massa Islam yang tertutup, dan tertindas. Fundamentalisme Islam tidak membangun tenda atau rumah. Ia berdiri dalam ketelanjangan, tak memiliki apapun, tidak bersikap rasional dan tidak lahir dari akal. Dari mana ia lahir? Ia lahir dari rasa, bahkan dari emosi dan hawa nafsu. Oleh karena itu, fundamentalisme selamanya merupakan reaksi dan bukan aksi. Sumber reaksi itu adalah rasa dan aktifitas ragawi semata, dan bukan pemikiran yang merupakan aktifitas akal. Sikap rasional, syaratnya adalah lepas dari nafsu dan perasaan dan melihat sesuatu sebagaimana adanya terlepas dari sikap subyektif. Dan inilah yang memungkinkan kesaling-pahaman.
Dengan demikian, tak ada cara untuk memerangi fundamentalisme selain melalui akal. Yakni, menghadapi setiap sikap ekstrem dengan alternatifnya yang rasional. Hemat saya, untuk sampai kepada pencerahan, pembebasan akal mendapat perhatian yang utama, yang berarti pembebasan dari dominasi dan ketergantungan—termasuk ketergantungan terhadap teks agama, ketergantungan terhadap tokoh, ketergantungan terhadap ilmu pengetahuan tertentu dan ketergantungan terhadap masa lalu. Khusus yang terakhir ini [masa lalu] selalu menjadi rujukan utama—jika bukan satu-satunya—kaum fundamentalis. Seolah masa lalu adalah masa yang paling absah dan otoritatif dibandingkan masa sekarang [modern]. Memang, tidak ada benda tanpa waktu. Dan karena waktu hanya suatu dimensi saja dari kenyataan, maka teori-teori pun muncul bahwa sebetulnya waktu itu relatif. Oleh karena itu secara teoritis orang itu bisa berjalan-jalan ke waktu masa lampau ataupun masa depan melalui apa yang dalam pseudo-ilmiah disebut, “time tunnel” (lorong waktu). Tapi masa lalu bukanlah segala-galanya. Ia berjalan sesuai dengan perkembangan dan kemajuan.
Saya sedang tidak menganjurkan pada pembaca agar meninggalkan agama, tetapi lebih kepada bagaimana agar kita tidak terbelenggu oleh teks agama yang pada akhirnya berujung pada dogmatisme-absolutisme. Bagi saya ilmu pengetahuan tidak mungkin dipisahkan dari agama, karena agamalah yang menjadi salah satu faktor penyebab lahirnya ilmu pengetahuan [modern]. Perdebatan antara wilayah teologis [wahyu, teks] dengan nalar [akal budi] sudah sangat dikenal luas dan telah berlangsung sejak Abad Pertengahan, ketika para filsuf dan teolog saling berargumentasi mengenai “kebenaran” dengan cara mempertentangkan “iman” dan “rasio”. Nalar adalah refleksi dari rasionalitas yang terbelenggu oleh dogma gereja yang ambigu. Nalar berhasil meminggirkan [doktrin-doktrin] agama. Dan dunia Barat menjadi tersekularkan. Melewati masa Renaissance, periode pencerahan hingga sampai ke zaman modern ini, masih dirasakan pengaruhnya.
Debat Habermas dan Ratzinger tentang sekularisasi, saya kira patut kita cermati. Habermas adalah filsuf mazhab Frankfurt yang sepenuhnya mengimani rasionalitas. Sementara Ratzinger dikenal sebagai pribadi yang teguh menjaga ortodoksi Katolik. Kini, Ia pemegang otoritas tertinggi gereja yang sepenuhnya berpegang pada kebenaran transenden. Baik Ratzinger maupun Habermas dalam perdebatan ini sama-sama memakai istilah paska sekular. Ada semacam common ground bagi proses dialog antara iman dan nalar. Nalar dan iman perlu memerhatikan secara sungguh-sungguh sumbangan yang diberikan masing-masing pihak.
Habermas dalam debat ini memberikan penekanan pada public use of reason dalam proses komunikasi publik. Habermas mengawali argumentasinya pada teori liberalisme politik dari Kant. Liberalisme politik adalah legitimasi non-relijius dan legitimasi paska metafisik yang menjadi dasar normatif pembentukan negara demokratis konstitusional. Liberalisme penting artinya bagi pluralisme sebagai fakta kemasyarakatan yang tak terbantah. Dalam isu pluralisme, Habermas lalu mengolah kembali teori Rawls tentang keadilan hingga formulasi liberalisme politis. Dalam titik ini, sebagaimana ideologi-ideologi lain, agama memiliki hak dan peran politis. Agama baru bisa bicara pada ruang publik selama patuh pada “klausul kondisional”, yakni agama mesti berbicara dan merepresentasikan diri dalam rasionalitas publik.
Sedang Ratzinger mengawali uraiannya dengan meninjau kenyataan masyarakat global yang makin terhubung satu sama lain. Di sana terjadi proses saling memengaruhi yang cenderung mengikis kontrol moral dan yuridis. Pendeknya, apa yang disebut etika menjadi semakin tak bermakna dalam masyarakat global. Situasi ini meliarkan potensi mencipta dan merusak di antara manusia dan dunia yang dihuninya. Ratzinger melihat ilmu pengetahuan semakin mustahil diharapkan mampu melahirkan etika.
Debat dua ilmuwan di atas, seolah menggambarkan pertentangan nalar vs. iman. Seperti saya kemukakan di atas, bahwa nalar dan iman [agama] sama-sama berpotensi menyeret kita pada absolutisme, saat kita tidak mampu mengambil jarak dari kungkungan dua arus: nalar dan agama. Kematian pemikiran—sebagaimana disinggung Mas Dawam— bisa muncul dari sini, jika ahli pikirnya tidak sanggup melahirkan kontekstualisasi gagasannya serta ulama tidak sanggup bertanggung jawab atas agamanya.
Dengan demikian, kita harus berani mempertahankan kebebasan pada saat kebebasan sungguh-sungguh terancam. Sapere aude! “Beranilah berpikir sendiri!” Teks pendek itu terbukti menjadi soko guru dunia modern. Pencerahan—mengikuti Kant—terjadi ketika manusia membebaskan diri dari selbst verschuldeten Ummundigkeit, ketidak-dewasaan atau ketergantungan yang justru kita tumbuhkan sendiri dalam diri kita. Dalam keadaan tak dewasa itu, manusia memang tetap punya akal budi, tapi ia tak punya tekad dan keberanian untuk menggunakannya. [Wardaya, SJ, 2004: xvii-xviii]. Ketidakdewasaan itu sebagai ketergantungan dan ketertundukan pada otoritas lain di luar kemampuan akal budi manusia sendiri, entah itu kitab suci, institusi, tokoh maupun apa yang selama ini diwarisi atas nama “tradisi”. Dewasa atau tidak dewasanya seseorang tergantung pada pilihan dan keberanian untuk menjalani pilihan itu.

Mencegah Hidup Tanpa Nalar
Kompleksitas dunia seharusnya menjadikan manusia merasa tertantang untuk melanjutkan ekspedisi di alam semesta. Manusia dituntut secara terus menerus untuk mencari cara baru menafsir realitas, dalam memahami kompleksitas dunia. Karena di situlah letak nilai dan derajat kemanusiaannya yang ditentukan oleh logos, nalar dan kata. Kata-kata menjadi elemen-elemen yang membangun struktur bahasa. Dunia yang terus-menerus menampilkan seabreg ide dan bentuk yang berbeda satu sama lain adalah sebuah kompleksitas yang berbelit menuntut pemahaman akan keragaman. Nalar adalah fakultas mental yang memungkinkan manusia hidup dalam pluralitas, yang sudah menggerakkan manusia mencapai bentangan peradaban di hadapan kita kini. Untuk mengkonstruksinya, kita perlu berangkat dari realitas sehari-hari. Karena pada kenyataannya pluralitas itu tak bisa dihindari dan secara psikologis kita tak mungkin luput dari pengaruhnya, baik yang positif ataupun negatif. Kita tetap berkomunikasi dengan orang yang beragam betapapun minimalnya keterlibatan kita dengan mereka.
Peradaban manusia menunjukkan bahwa dari masa ke masa manusia makin mengarah ke cultural hybrids [budaya hibrida], hidup dalam keragaman sebagai hasil percampuran budaya. Pemahaman terhadap keragaman realitas dan cara berpikir menunjukkan watak nalar manusia. Nalar yang sejauh ini membantu manusia hidup dalam pluralitas mestilah punya atribut mampu melintas batas, bergerak dari satu garis ke garis lain, dari satu jalur ke jalur lain, dari satu kutub ke kutub lain. Keutamaan dari sifat nalar adalah kelenturannya, fleksibilitas untuk bergerak dari satu hal ke hal lain, selain tentu saja memiliki kemampuan memahami, menambah pengetahuan-pengetahuan baru sembari terus menjelajahi kemungkinan baru.
Begitulah nalar mengalirkan hidup dan menggerakkan peradaban manusia; tak putus-putus sebab nalar adalah kelincahan gerak mental dan refleksi manusia yang tak beku-beku mengaliri kompleksitas dialektika beragam kemungkinan. Nalar bukan hanya kapasitas untuk memahami berdasarkan kategori atau prinsip identitas. Kemampuannya bukan hanya memilih dan memutuskan, tetapi juga menengahi, mengkoordinasi, berimajinasi, bekerja sama dengan emosi dan kehendak. Ia membawa manusia pada pengetahuan yang lebih baik dari sebelumnya dan kepada kemungkinan-kemungkinan pengetahuan yang lebih baik di masa datang.
Maka, sekali lagi, pencerahan merupakan tugas kemanusiaan. Maka, agar terhindar dari absolutisme dan mencapai kedewasaan, tidak bisa tidak kita harus berani berpikir sendiri. Etos pencerahan Kant—tanpa harus menyepakati seluruh doktrin filosofis Kant—harus terus dijaga, dipelihara dan dikembangkan. Kita tetap merawat dan menghidupi etos kritis yang diwariskannya. Sebab etos kritis itu merupakan satu-satunya perangkat yang tersedia untuk melawan segala bentuk dominasi, suatu “kritik permanen” yang lahir dari rahim Pencerahan. Nalar selalu cenderung untuk mencari sebuah jawaban dari setiap persoalan kehidupan untuk memperoleh kebenaran, dan menghampirinya lewat uji falsifikasi terus menerus. Inilah yang disebut oleh Karl Popper, sebagai nalar falsifikasi, nalar yang menggeser segala dogma, ideologi, atau ilusi karena ia terbuka bagi falsifikasi. Nalar falsifikasi membuat kita tidak lagi bicara kepastian, melainkan kehampiran. Kebenaran tidak bisa dipastikan. Tak dapat dimungkiri. Berkat falsifikasi, sains [atau bahkan teks, wahyu] pun terlepas dari jerat konservatisme dan bergandengan erat dengan kemajuan. Dalam Islam, pencerahan sudah dilakukan, misalnya, oleh Arkoun dan Jabirie, melalui proyek “kritik nalar” sebagai basis bagi Pencerahan Islam.
Dari sini, usaha yang pernah dirintis oleh para ahli melalui proyek sekularisasi menemukan signifikansinya. Pengetahuan ilmiah itu bersifat faktual, bebas nilai, dan netral. Agama tidak boleh menantang pandangan dunia yang dominan. Agama dapat hadir berdampingan dengan ilmu pengetahuan, tetapi ia tidak akan pernah boleh menghalangi ilmu pengetahuan. Agama dipakai ketika nalar belum mampu menemukan jawaban. Dengan kata lain merupakan komplementer dari apa yang belum bisa ditemukan melalui ilmu pengetahuan. Karenanya, amat sangat mungkin, jika dalam era globalisasi, di mana batas otoritas wilayah agama dan ilmu pengetahuan menjadi kabur, maka ”pilihan menjadi sekuler merupakan pilihan paling tepat”, begitu kata Dawam. Menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme.
Sejarah membuktikan, kebebasan berfikir di dunia Islam telah mengisi ruang-ruang peradaban dunia. Karenanya, gerakan sekularisasi, liberalisasi yang sanggup melakukan pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, sehingga nalarnya tidak eksklusif menjadi sebuah keharusan di dunia modern saat ini. Bagaimanapun, kritik teks, baik sejarah maupun teks-teks suci adalah disiplin baru yang tak memiliki preseden dalam sejarah intelektualisme umat manusia. Di masa silam, teks-teks suci dianggap sebagai korpus tertutup yang sudah selesai dan tak boleh diganggu-gugat. Siapa saja yang mencoba mengkritisinya, dia akan dianggap murtad, kafir, zindiq, atau istilah-istilah lain yang sejenis.
Dalam sekularisme eksistensi agama tetap diakui tapi terbatas pada ranah domestik, yaitu pribadi dan keluarga, karena adanya kesadaran bahwa agama, bahkan kitab suci, diturunkan bukan untuk memberi kejelasan sedetil-detilnya dalam kehidupan sehari-hari. Semangatnya adalah lebih kepada memandirikan manusia: semangat pembebasan. Oleh karena itu terwujudnya kebebasan yang lebih besar dan dunia yang lebih terbuka merupakan sebuah keniscayaan: dengan suatu keyakinan bahwa kebebasan dan keterbukaan menyediakan latar yang sanggup membebaskan kreativitas individual. Kebebasan dan keterbukaan menggerakkan dinamisme yang telah membawa kemajuan di bidang kemanusiaan, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan teknologi. [Norberg, 2009: xxix]
Sejarah sebagai sebuah peristiwa tidak mungkin terulang lagi, dan teks sejarah adalah dokumentasi yang berisi penafsiran dan rekonstruksi atas sebuah peristiwa yang ditulis oleh pengarangnya, maka antara masa lalu dan masa kini mesti terdapat tabir. Yang menghubungkan sejarah dan kehidupan kita sekarang adalah makna yang dikandungnya. Berbeda dengan kaum fundamentalis, kebenaran menurut mereka adalah sejumlah doktrin dan dogma yang tersedia di masa lalu. Hal-hal yang datang kemudian, baru dan modern harus merujuk kepada masa lalu. Melihat masa kini dengan kaca mata masa lalu (al-fahm al-turâtsî li al-‘ashr).
Memandang teks atau wahyu serta apa saja yang berasal dari masa lalu sebagai benar dan baik merupakan sebuah kekeliruan—jika tidak boleh disebut kesombongan. Atavisme atau obsesi kepada masa lalu dan pengagungannya biasanya berjalan seiring dengan sikap-sikap konservatif, karena itu justru akan menghambat kemajuan dan daya inovasi. Kreativitas akan terhambat jika suatu masyarakat terjerembab ke dalam pandangan-pandangan atavistik dan pemujaan masa lalu. Maka, dalam keadaan tertentu diperlukan kemampuan “memutuskan” diri dari budaya masa lalu yang negatif, yang kemampuan itu sendiri dihasilkan oleh sikap-sikap kritis yang bersifat membangun. [Madjid, 1997:188] Sikap kritis yang membangun merupakan hasil adanya pengertian menyeluruh terhadap eksistensi nilai-nilai budaya masa lalu tersebut—termasuk pengertian tentang dinamika interaksinya dengan tuntutan sejarah—dan keberhasilan menangkap tantangan zaman mutakhir.
Karenanya tidak ada jalan atau solusi terbaik kecuali penafsiran secara kreatif produktif dengan keterbukaan masa kini dan masa depan, yang mana dalam proses penafsiran tersebut bukan sekedar mereproduksi teks-teks, melainkan menafsirkannya secara kreatif. Sejarah, akan memiliki makna ketika dipertemukan dengan keprihatinan masa kini untuk membangun harapan di masa depan. Sikap seperti itulah yang akan melahirkan pencerahan. Pencerahan lebih kepada sikap nalar dibandingkan sebuah bagian di dalam ilmu pengetahuan dan filsafat. Ia adalah sebuah suasana hati yang kuat dalam berpikir bebas, bertanya kritis, sebuah suasana hati yang tersebar di dunia Barat sejak abad ketujuhbelas. Di dalam bidang ilmu pengetahuan ia adalah sebuah masa eksperimentasi dan penemuan melalui pencarian rasional bebas. Di dalam bidang filsafat dan agama, pencerahan adalah masa mempertanyakan sumber-sumber otoritas tradisional seperti gereja atau Bible. Di dalam politik ia adalah sebuah periode ketika tatanan yang mapan, status quo, ditolak di mana despotik dan irasional digantikan dengan toleransi, penelitian terbuka dan kebebasan, dan otoritas tradisi eksternal dibuang demi otoritas individual. Tidak ada lagi ide-ide yang dianggap suci atau melampaui bentangan kritisisme. Pencerahan selalu bertujuan untuk membebaskan manusia dari ketakutan dan membangun kedaulatannya.
Kita mesti berusaha mengatasi berbagai bentuk pernyataan dan kontradiksi dogmatis. Hal ini hanya bisa dilakukan dengan cara melatih diri dalam tata keilmuan baru dalam konteks cara pandang spiritual-intelektual yang juga baru atas berbagai kegiatan yang menyangkut cara kita berpikir, menulis, melakukan evaluasi, dan mengetahui. Dengan kata lain dalam mendekati pertanyaan tertinggi tentang makna, sehingga membentuk pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau pijakan suatu teori.
Sekali lagi, Islam sangat menghargai kebebasan berpikir. Berpikir merupakan fungsi akal yang sangat dimuliakan kedudukannya oleh Islam. Kalangan Mu’tazilah menyebut akal sebagai “organ yang paling adil dalam diri manusia” (a‘dal al-asyyâ’ qismat-an laday al-insân). Kebebasan berpikir mensyaratkan terciptanya iklim kebebasan berekspresi, baik secara lisan maupun tulisan. Kebebasan berekspresi juga menghendaki adanya kebebasan yang memadai untuk berpendapat dan mengungkapkan fakta-fakta kebenaran.
Semua bentuk pikiran dan ide, betapapun aneh kedengarannya di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Kacaunya hierarkhi antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, semuanya itu akibat tiadanya kebebasan berpikir karena sistem berpikir masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan a priori. Padahal, tidak jarang, dari pikiran-pikiran dan ide-ide yang umumnya semula dikira salah dan palsu itu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman setiap gerakan pembaruan, perseorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini.
Keyakinan diri dan kemampuan kita dalam menghadapi masa depan sangat tergantung pada bagaimana cara berpikir kita. Sebab cara berpikir merupakan salah satu yang paling substantif dalam diri kita [ingat, Descartes: cogito ergo sum]. Sepatutnya kita sekarang menghidupkan kembali kepercayaan yang lebih besar kepada manusia dan kemanusiaan. Sikap ini akan mempunyai dampak keterbukaan cara berpikir yang luas dan kreatif, tanpa kehilangan sikap kritis, yang sangat diperlukan dalam usaha menumbuhkan dan mengembangkan etos keilmuan di kalangan kaum Muslim. [Madjid, 1997:36] Kaum Muslim harus menentukan agenda perdebatan di masa yang akan datang dengan memberi penekanan khusus atas kebebasan sebagai ide tertinggi dalam hirarkhi nilai liberal; memberikan prioritas bagi budaya kompetisi; dan membumikan desentralisasi radikal dan memelihara pola keberagaman; serta menempatkan pengambilan kebijakan sedekat mungkin dengan publik. [Rachman: 2010]
Dan, kebebasan, pada akhirnya, memerlukan peranan negara juga. Kalau kebebasan tidak diimbangi dengan kekuasaan negara, ia menjadi anarki. Kebebasan berbeda dengan anarki. Anarki adalah individualisme yang ekstrem. Pengekangan yang kokoh atas tatanan publik dan keamanan adalah bertentangan dengan kebebasan, seperti yang dikatakan John Locke: “Berakhirnya fungsi hukum bukan dengan cara melenyapkan atau menahan orang-orang yang dinilai melanggar, tetapi dengan cara melestarikan dan memperluas kebebasan.” Demokrasi dan kebebasan merupakan dua konsep yang amat penting dalam politik. Kebebasan atau hak-hak sipil bisa dikatakan suatu pengandaian bahwa negara punya peran positif dalam menjamin perlindungan hukum dan kesempatan yang setara bagi semua warga Negara tanpa memandang ras, agama, serta jenis kelamin. Kebebasan sipil meliputi kebebasan berpikir, kebebasan berpendapat, kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan beragama serta kebebasan pers. Kalau semuanya tidak diakui dan tidak ditegakkan oleh hukum di suatu negara, maka negara itu tidak bisa disebut demokratis. [Basyaib: 145-146] Negara-negara di mana ada kebebasan berpendapat dan berserikat secara berarti, penghargaan hak-hak milik dan pribadi, pelarangan atas penyiksaan dan jaminan kesetaraan di mata hukum adalah negara-negara yang mempunyai sistem politik yang demokratis.
Merujuk Dawam, negara harus bertanggungjawab terhadap kebebasan melalui penetapan hak-hak sipil dan hak asasi manusia. Ajaran agama kalau diwujudkan dalam hukum positif akan menjadi pemaksaan, karena konsep hukum bersifat memaksa. Siapapun yang tidak melaksanakan hukum, dia dihukum. Oleh karena itu, penerapan syariat Islam akan cenderung bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak-hak sipil. Liberalisme adalah perihal konsep tentang kebebasan menuju nilai kemanusiaan yang hakiki, yaitu mendapatkan keadilan serta memerdekakan diri dari kegelapan dan penindasan serta kebodohan.
Keberhasilan bangsa Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam dalam membangun demokrasi, salah satunya adalah karena kita menerjemahkan Islam terutama sebagai budaya, bukan sebagai hukum seperti yang diinginkan oleh perda-perda syariah. Karenanya, liberalisme sebagai wujud dari keterbukaan dan kemampuan melakukan ”kritik diri”, yaitu sikap yang sangat penting dalam kehidupan yang majemuk, tanpa harus menghilangkan atau menghapus identitas keagamaan. Makna generik dari kata liberal sendiri, adalah pembebasan. Dan, Islam adalah pembebasan. Monotheisme sendiri sebenarnya tak lain dari liberalisasi atas kungkungan politeisme dan alam. Artinya, liberalisme sebenarnya sudah terjadi begitu lama di dalam Islam. Berdasarkan itu maka manusia perlu diberi ruang untuk mengekspresikan kebebasannya. Pencerahan dalam Islam tiada mungkin akan terjadi dengan mengabaikan liberalisme. Liberalisme adalah strategi untuk menghadapi suatu problem, yaitu absolutisme dan totalitarianisme agama.
Terakhir, saya ingin mengatakan bahwa kritik terhadap apapun, baik teks [al-Qur’an] maupun ilmu pengetahuan, tanpa disertai kerangka epistemologis yang jelas, kritik itu tidak akan bernilai guna. Landasan epistemologis dan metodologis memungkinkan kita untuk memperdalam pemikiran kritis dan pandangan kritis terhadap berbagai persoalan. Kita harus terus menerus memperbaiki paradigma berpikir kita dengan nalar sebagai panglimanya. Hilangnya semangat kritis akan memungkinkan kebohongan terhadap sejarah. Jika ini diabaikan, maka bukan mustahil kita telah turut merobohkan peradaban, meruntuhkan keadaban, dan membiarkan kejahatan meremukkan nilai-nilai kemanusiaan—sebagaimana ungkapan Max Horkheimer yang saya kutip diawal tulisan, “Masa depan kemanusiaan tergantung pada adanya sikap kritis dewasa ini.” Wallahu A’lam bi al-Shawab


Tulisan ini dibuat untuk acara WORKSHOP, PENERBITAN DAN PELUNCURAN BUKU “Menata Kembali Visi Pembaruan Islam Indonesia”, Megamendung, Cisarua- Bogor, 26 – 27 Januari 2011

Tidak ada komentar: