Kamis, 22 September 2011

OBYEKTIFIKASI MAKNA PUASA

Moh. Shofan


Bulan Ramadlan menyapa kembali umat Islam. Umat Islam di seluruh dunia sekarang bersuka-cita menyambut bulan Ramadlan, yang kehadirannya selalu dinantikan setiap tahunnya. Bulan Ramadlan ini diyakini memiliki keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki bulan-bulan lainnya. Al-Qur’an memberi arahan, agar setiap pribadi, dalam bulan Ramadlan, mencari Laylat u ‘l Qadr (Malam Penentuan) yang dianugerahkan Tuhan khusus buat orang-orang yang beriman. Dalam al Qur’an disebutkan bahwa Allah menurunkan al Qur’an pada Laylat u ‘l Qadr yang nilainya lebih baik daripada seribu bulan.
Keistimewaan itulah yang membuat kaum Muslim menjadikan bulan Ramadlan sebagai wahana untuk beribadah kepada Tuhan. Setiap tahun, kegiatan religius di bulan Ramadlan sangatlah semarak. Tarawih dan buka bersama menjadi tradisi. Pengajian terdengar di mana-mana. Jamaah shalat tarawih membludak di masjid atau musalla, juga di kantor-kantor pemerintah maupun swasta. Pengajian dan tadarus al-Qur’an tak pernah sepi. Mereka saling bertarung memanfaatkan momentum bulan Ramadan sebagai bulan amal.
Namun, menjalankan amalan-amalan ritual-individual saja belumlah cukup. Dalam al-Qur’an, surah al-Ma’un, diterangkan bahwa orang yang menjalankan shalat tapi dikatakan shalatnya lalai, karena tidak menjalankan dan mengindahkan pesan-pesan kemanusiaan yang terdapat dalam shalat. Hal yang sama berlaku pada ibadah puasa yang hanya berhenti pada tataran normatif-ritual saja, seraya mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Mengutip Nurcholish Madjid (1997), kehidupan keagamaan yang semarak dengan sendirinya bernilai sangat positif, karena agama itu—sepanjang sejarah umat manusia—memang berfungsi sebagai “tempat simpanan makna” (repository of meaning). Tetapi, jika ia hanya (merupakan) suatu amalan keagamaan tidak disertai dengan usaha sungguh-sungguh sebagai wahana memahami makna hidup yang hakiki, maka agama menjadi hanya bersifat palliative, yaitu memberi hiburan palsu atau bersifat deceptive (menipu).
Masalah korupsi yang banyak menghiasi media, ketidaktegasan pemimpin Negara dalam menyelesaikan sejumlah masalah, melonjaknya angka kemiskinan dan jumlah pengangguran, seharusnya menjadi instropeksi kita bersama di bulan yang agung ini. Sungguh sangatlah ironis, jika Umat Islam hanya berpuas diri setelah melakukan puasa, namun masih juga melakukan kemungkaran sosial, seperti korupsi. Apalagi, yang dikorupsi adalah segala sesuatu yang menjadi hak-hak orang miskin. Mari kita dengungkan Ramadlan ini sebagai momen perang melawan korupsi, dan bertekad membersihkan diri dan negara ini dari penyakit-penyakit korupsi yang telah menyengsarakan rakyat.
Bukankah—secara normatif—al-Qur’an menjelaskan bahwa tujuan puasa adalah mencapai derajat ketakwaan (QS, 2:183) ? Semakin tinggi ketakwaan seseorang, semakin tinggi derajat kemanusiaannya (Q 49:13) ? Ketakwaan yang dimaksud oleh Tuhan dalam firman-Nya, tentu saja, bukan hanya kesalehan ritual, yang hanya bermanfaat bagi diri sendiri, tetapi juga melahirkan kesalehan sosial, yang bermanfaat bagi sesamanya. Kesalehan ritual ini seharusnya dijadikan sebagai penggerak kesalehan sosial. Sebab takwa dalam konteks kehidupan sosial adalah aksi nyata berbuat kebajikan dalam makna yang tidak terbatas. Tidak sekadar khusyuk berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga diikuti dengan berbuat baik terhadap sesama. Kesalehan sosial mengandung makna, memiliki kepedulian untuk berhubungan secara harmonis dengan lingkungan sosial dan alam sekitar.
Muhammad mengajarkan bahwa manusia yang paling baik adalah yang paling bermanfaat bagi orang banyak. Karenanya, puasa yang berhasil mencapai derajat ketakwaan, akan melahirkan sifat-sifat terpuji seperti kejujuran, kepedulian sosial, cinta kasih, dan toleransi. Sifat-sifat inilah yang membedakan sifat-sifat insani, dengan sifat-sifat hewani. Sifat-sifat insani seperti ini tak akan membiarkan orang-orang yang terpinggirkan menderita kelaparan. Sifat-sifat insani seperti ini tak membiarkan para koruptor bergentayangan dan menikmati fasilitas Negara, serta tak memedulikan rakyat kecil. Sifat-sifat insani seperti ini tak membolehkan orang/kelompok mencaci-maki agama/aliran lain. Sifat-sifat insani seperti ini tak akan melakukan kekerasan, meskipun atas nama agama dan Tuhan.
Dalam kerangka seperti ini, puasa mengajarkan bahwa semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai moral-kemanusiaan yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Kuntowijoyo (1993) pernah menawarkan bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke obyektif. Dalam kerangka berfikir obyektif ini menurut Kunto, tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain. Paradigma Kunto ini terkenal dengan pendekatan “obyektifikasi”. Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Memahami makna puasa dalam pengertian kontekstualnya sangatlah penting, apalagi kita hidup dalam suatu tatanan sosial yang penuh dehumanisasi: terorisme, korupsi, premanisme, kebodohan, penindasan, dan kemungkaran-kemungkaran sosial lainnya. Untuk menggapai cita-cita semacam itu memang tidak mudah dalam kehidupan keagamaan yang masih ritualistik-formalistik. Ibadah puasa yang bertujuan untuk meraih predikat takwa mesti dimaknai secara lebih mendalam, yakni takwa dalam makna spiritual dan sosial. Jika puasa dimaknai sekadar amalan keagamaan dan tidak disertai dengan usaha sungguh-sungguh sebagai wahana memahami makna hidup yang hakiki, maka—seperti dikatakan Nurcholish Madjid—agama menjadi hanya bersifat palliative, yaitu memberi hiburan palsu atau bersifat deceptive (menipu).

Tidak ada komentar: