Moh. Shofan
Belum lama ini, saya terlibat dalam sebuah acara diskusi yang digagas oleh M. Dawam Rahardjo, tentang perlunya merumuskan kembali pembaruan Islam, yang akhir-akhir ini dirasa mulai lesuh dan tidak lagi bertenaga. Pertemuan yang dihadiri oleh sejumlah pemikir senior, di antaranya: Djohan Effendi, Zainun Kamal, Kautsar Azhari Noor, Ulil Abshar Abdalla, Neng Dara Affiah dan masih banyak yang lain, memang terasa sangat istimewa. Dikatakan istimewa karena pertemuan itu tidak dirancang secara formal, tetapi diformat dalam bentuk sesantai mungkin.
Dalam diskusi itu, Dawam, mengatakan bahwa kunci pencerahan pemikiran terletak pada trilogi pembaruan: sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Dalam pandangan Dawam, di antara tiga isme tersebut, dua yang disebut pertama, masih belum kuat pengaruhnya di Indonesia. Sementara yang terakhir penyebarannya sudah dinilai cukup berhasil. Meskipun banyak bibit-bibit resistensi dari kaum islamis.
Saya akan lebih fokus pada ranah sekularisme saja. Menurut hemat saya, di tengah-tengah maraknya radikalisme Islam, yang tidak jarang melakukan kekerasan atas nama kebenaran agama, saya kira menjadi Muslim sekuler di zaman ini justru merupakan sebuah keharusan identitas. Syari’ah sebagai hukum sekular setelah melalui objektivikasi adalah keniscayaan masyarakat Islam yang ‘have difficulty accepting’ pilihan hidup dalam konstitusi negara sekular-liberal. Agama-agama, tak terkecuali Islam, genap mencapai identitas atas apa yang disebut sebagai ‘personal law’, yang merupakan hasil dari pergumulan personal dalam mendefiniskan ajaran agamanya.
Keniscayaan masyarakat Islam hidup di bawah negara berstatuskan sekular-liberal bukanlah fenomena baru. Dalam rentang sejarah Islam: dari periode Islam-awal masa Nabi Muhammad, masa ke-4 Khalifah Rashidin, Masa dinasti Umayyah, Masa dinasti Abbasiyyah sampai masa dinasti Utsmaniyah di penghujung abad ke-20 semuanya mengacu pada tatanan sekular. Sebuah sistem pemerintahan lahir dari usaha negosiasi, bagaimana seharusnya sistem pemerintahan dibentuk, sama-sekali jauh dari intervensi agama Islam (Islamic Law).
Realitas modern adalah sesuatu yang tidak bisa dihindarkan. Sementara itu, hukum Islam sesungguhnya tidak lain adalah pemikiran tentatif manusia yang terikat oleh ruang dan waktu. Karena itu, jika terjadi perubahan kondisi dan situasi, maka perubahan pemikiran termasuk paradigmanya adalah sesuatu yang niscaya. Jika muncul perdebatan di lingkungan masyarakat, biasanya hanya berupa salah pengertian yang disebabkan karena perbedaan persepsi atau sudut pandang. Tergantung dari sudut pandang mana orang melihatnya. Melihat dengan kaca mata Barat tentu saja akan berlainan dengan kacamata kita orang Indonesia, begitu pula kalau yang digunakan adalah kacamata orang lain, karena masing-masingnya dilatarbelakangi oleh kultur, politik, maupun sejarah yang berlainan.
Pemahaman tentang sekularisasi—yang dulu pernah digulirkan oleh Nurcholish Madjid—lambat laun bergerak ke arah pemahaman sekularisme. Sekularisme bukan lagi dipahami sebagai suatu paham yang memisahkan antara agama dan dunia, tetapi sekularisme dipahami dalam konteks sosiologis berarti suatu paham yang mendorong bahwa kehidupan bernegara dan ranah politik hendaknya didekati secara rasional dengan teori-teori politik modern, di mana agama berada pada tataran moral. Proses teknis politisnya melewati mekanisme demokrasi, kedaulatan di tangan rakyat, dan masalah-masalah social politik didekati dengan ilmu dan teknologi.
Dengan pemahaman demikian, manusia mempunyai otonomi, sehingga ia dapat berbuat bebas sesuai dengan apa yang ia kehendaki berdasarkan rasio. Atas dasar orientasi ilmiah, manusia berusaha untuk menemukan hal-hal yang baru, dan dengan metode-metode ilmiah empiris yang telah berkembang sejak abad ke-18, manusia menjadi mempunyai kreativitas untuk menangkap dan mengungkapkan relitas yang konkret. Hal ini menunjukkan proses historis yang terus menerus yang tidak dapat dibalikkan, di mana masyarakat semakin lama semakin terbebaskan dari nilai-nilai spiritual dan pandangan metafisis yang tertutup. Oleh karena itu proses sejarah juga sering dikatakan sebagai proses sekularisasi, yang menurut konsep seorang sosiolog Jerman Max Weber, dimaksudkan sebagai pembebasan alam dari noda-noda keagamaan.
Otonomi manusia menjadi ditekankan, dan bahwa segala sesuatu sudah bisa diselesaikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karena itu, jika kita ingin menegakkan hak asasi manusia dan kebebasan sipil sebagai landasan demokrasi, maka sekularisme adalah suatu kebutuhan dan keharusan. Sekularisme adalah spirit dalam pergulatan meraih kebenaran. Hukum sekular mampu mensinergikan antara agama dan negara sebagai cita-cita bersama.
Persoalan fundamental yang menjadi latar belakang ungkapan itu bahwa manusia selama ini telah tertipu dengan opium-opium ajaran agama, sementara tugas-tugas dunia terbengkalai hingga produktivitas kreasi akal dan nalar manusia diberangus dengan klaim-klaim keselamatan dan kedamaian agama. Dengan sekularisme pemahaman seorang muslim akan dapat membongkar nilai-nilai ajaran agama sehingga agama menjadi inklusif dan seorang muslim bebas menciptakan perubahan serta membenamkan dirinya ke dalam proses evolusi sejarah umat manusia sepanjang jaman (consecreation of values). Sekularisasi justru merupakan “ajaran kritis” untuk umat manusia ketika ajaran agama dianggap hanya sebagai hiasan penenang yang hanya meninabobokan manusia.
Nalar Argumentatif vs Wahyu
Sekedar menegaskan, betapa persoalan wahyu itu tidak sesederhana bentuk alif-ba literalnya yang biasa tertuang dalam teks-teks suci. Pelbagai persoalan pelik semacam otensitas wahyu, interpretasi wahyu, bahasa wahyu, dan beragam soalan lainnya. Merupakan sekian item kajian yang banyak berpengaruh terhadap pandangan kita atas masalah wahyu itu.
Wahyu terkadang memang bukan sembarang bacaan yang mudah dicerap oleh akal. Karenanya jangan aneh, jika seorang teolog kristen abad pertengahan semacam St. Anselm pun sempat berujar, “tidak terbersit olehku untuk berfikir, pertama aku harus paham lantas kemudian beriman. Tapi aku beriman hingga kupaham!”. Seharusnya fitrah rasional manusia tidak mudah bertekuk lutut begitu saja dihadapan wahyu. Terlebih ketika kita dihadapkan oleh dua pilihan antara agama dan akal yang saling berseberangan di mana masing-masing mendaku berasal dari pancaran wahyu ilahi. Apakah pada kondisi yang demikian itu iman tanpa akal akan mampu memilih salah satunya? Dus, tanpa akal, bagaimana mungkin kita bisa buktikan bahwa wahyu yang kita imani itu sejatinya dari Tuhan?
Abdul Karim Soroush, intelektual muslim dari Iran, mendeklarasikan dirinya menjadi tokoh sekuler. Ia mengungkapkan, bahwa menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Baginya, justru ketika umat Islam berada di alam dunia dan bergelut di dalamnya adalah muslim yang sekuler. Di dalam ajaran Islam hanya mengenal kebenaran mutlak itu hanya di tangan Tuhan. Ada kedaulatan Tuhan, kita tidak mengerti di mana wujud kedaulatan Tuhan, di mana kita tidak mengerti eksekusi Tuhan, dan bagaimana mekanisme Tuhan dalam hal ini. Sehingga tugas seorang muslim adalah menjadikan dirinya sekuler, atau muslim-sekuler yang meredefinisi ajaran dan dogma agama bagi kehidupan dunianya. Dari sinilah pembaruan pemikiran Islam seharusnya dimulai. Sekularisme, merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama-agama—termasuk Islam. Untuk apa lagi lentera akal dinyalakan, jika kebenaran wahyu tidak boleh dikritisi?
Kamis, 22 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar