Kamis, 22 September 2011

Rhoma Irama Raja Dangdut dalam Sketsa Budaya Massa

Sebuah Pengantar dalam buku "Rhoma Irama Jejak Langkah Raja Dangdut"

Moh. Shofan


Ketika saya berniat menulis tentang perjalanan Rhoma Irama dan Soneta Groupnya, ada sejumlah pertanyaan muncul di benak saya. Apa yang mau saya tulis tentang Rhoma? Mengapa Rhoma penting untuk ditulis? Seberapa penting pengaruhnya dalam merevolusi dangdut? Apa yang membedakan musik dangdut dengan berbagai genre musik lainnya? Benarkah musik dangdut kampungan? Apakah mereka yang menyukai musik dangdut mesti berselera rendah atau kampungan? Sejumlah pertanyaan tersebut tentu akan memunculkan jawaban yang tidak (mungkin) sama. Tergantung dari sudut mana kita akan memandangnya. Yang jelas, sederetan pertanyaan-pertanyaan di atas, membawa saya untuk melakukan sebuah pencarian…

Alasan saya menulis buku ini lebih karena sisi dukungan ilmiah pada musik dangdut sangatlah minim. Entah mengapa para peneliti enggan mengkaji jenis musik yang satu ini. Sejak pertama muncul dan dikenal lewat pemunculan Ellya Khadam, bintang pada era 60-an, dengan hitnya ”Boneka dari India”, baru ada beberapa kajian akademis tentang dangdut, di antaranya dari disiplin sejarah (Frederick 1982; Lockard 1998), musik (Hatch 1985; Yampolsky 1991; Wallach 2008), antropologi (Simatupang 1996; David 2009), dan kajian Asia (Pioquinto 1995 dan 1998; Sen dan Hill 2000; Browne 2000).

Berbeda dari semua kajian tersebut, Dangdut Stories yang ditulis oleh Andrew N. Weintraub, merupakan kajian musikologis pertama yang menganalisis perkembangan stilistika musik dangdut. Dengan memanfaatkan gaya vokal, melodi, irama, harmoni, bentuk, dan teks lagu, seperti diyakini penulisnya, dangdut bisa mengartikulasikan pergulatan simbolis atas makna dalam realitas kebudayaan Indonesia.[i] Saya belum membacanya secara tuntas. Namun upaya serius penulisnya layak mendapat apresiasi yang besar, terlebih penulisnya bukanlah asli orang Indonesia, tetapi dari Amerika.

Itulah dangdut. Sebuah dunianya yang begitu semarak, tapi sepi dari perhatian publik ilmiah. Fachry Ali, seorang peneliti sosial, pernah mengkajinya dengan serius. Beberapa tulisannya mengenai dangdut sangat memikat. Namun, sayangnya hal itu sekarang tidak dilanjutkan. Endo Suanda atau Lono Simatupang, melalui penelitiannya mengenai musik Melayu atau Dangdut, mampu menghadirkan sosok musik ini secara lebih utuh. Dalam penelitiannya, Endo mengatakan bahwa lagu dangdut juga dapat berperan sebagai corong untuk mengungkapkan perasaan rakyat atas kesewenangan yang terjadi dalam masyarakat. Banyak contoh protes sosial dalam lagu dangdut, sebagaimana saya akan menjelaskannya pada pengantar ini.

Baiklah, mari kita lihat lebih jauh lagi. Jika dilihat dari sudut profesi sebagai seorang seniman atau musisi, Madonna maupun Michael Jackson, sebagai penyanyi, sebenarnya tak jauh berbeda dengan Rhoma Irama. Mereka mampu menyentuh emosi ribuan bahkan jutaan massa yang haus akan tontonan penggemarnya. Daya tarik pesona Rhoma, membuat penggemarnya rela berdesak-desakan, berjoget ria, sambil mengeluh-eluhkan Sang Idola. “Rhoma.. Rhoma… Rhoma…”, begitu, kata penggemarnya. Tak jarang show Rhoma dan Sonetanya memakan korban hingga tewas, karena terlindas yang lain. Dalam pentas-pentas Rhoma dan Sonetanya, ada kegairahan dan kegembiraan yang luar biasa hingga mencapai "keadaan di luar kesadaran diri", seolah tersihir dalam suatu kondisi psikologis yang telanjang.

Kegairahan dan ketakjuban akan kebahagiaan di luar batas, dan kerinduan untuk terus hidup dalam gaya memang merupakan ciri dari modernitas. Rhoma dengan Sonetanya adalah bagian dari tontonan sekaligus tuntunan dari para penggemarnya. Rhoma tak sekadar menawarkan musik sebagai sekadar struktur bunyi-bunyian atau iringan tari-tarian, yang hanya mementingkan sisi permukaan, penampakan, penampilan, hiburan, dan permainan tanda-tanda yang tanpa kedalaman.

Rhoma memasukkan unsur agama dalam musiknya dengan tujuan melakukan dakwah, amar ma’ruf nahi munkar ketika mengamati perilaku subkultur kelas bawah dan kelas menengah yang haus seks, minum-minuman keras dan berbagai perilaku amoral lainnya. Dengan dan melalui musik, Rhoma tak canggung menjadikan Soneta sebagai senjata untuk melakukan kritik sosial, nasehat yang sarat dengan seruan moral agama. Keberanian serta ijtihad Rhoma yang sering berujung adanya tuduhan “mengkomersialkan agama” tak menyurutkan langkahnya, justru Ia semakin menguatkan eksistensinya sebagai seorang musisi dengan julukan “Sang Raja Dangdut”.

Di tengah ”semesta simbolisme modernitas” sebuah masyarakat di mana gaya hidup begitu dikultuskan dan dipuja, manusia sebagai pelaku kesadaran, mulai "kehilangan rumah secara metafisik." Karena "rumah-rumah" itu telah direnggutkan dari sesuatu yang asali yakni kepekaan akan moralitas yang tertanam dalam ruang batin manusia modern. Budaya tradisional dihancurkan. Tak terkecuali di sini agama.

Rhoma tampaknya sadar, bahwa era modernitas dengan segala pengaruhnya lambat laun menggeser peran agama sebagai sumber moral dan digantikan dengan nilai-nilai baru seperti komputer, media cetak, televisi, yang berpotensi besar memalingkan manusia dari Tuhannya, Sang Pencipta. Keprihatinan Rhoma dapat ditemui dalam syair lagunya, “Qur’an dan Koran”:

Sejalan dengan roda pembangunan
Manusia makin penuh kesibukan
Sehingga yang wajib pun terabaikan
Sujud lima waktu menyembah Tuhan
Karena dimabuk oleh kemajuan
Sampai komputer dijadikan Tuhan

Petuah moral Rhoma melalui lagu-lagunya terus bermunculan. Dalam lagu “Modern”, misalnya, menggambarkan bahwa menjadi modern memang membawa impian dan janji-janji. Simbol-simbol kemodernan yang serba wah dan gemerlap setiap saat menjejal bawah sadar masyarakat. Mereka merayakan kemodernan dengan kehidupan yang serba bebas, serba boleh, kumpul kebo, seks bebas, aborsi. Berikut petuah Rhoma melalui lagu “Modern”:

Modernisasi yang kini melanda dunia
Menjadi masalah
Ternyata masih banyak yang salah menafsirkannya
Di dalam berkiprah
Modern dicerna sebagai kebebasan
Bebas lepas tanpa adanya batasan

Berkemajuan dan juga berpendidikan
di dalam segala bidang, ini modern
Kemanusiaan, tinggi nilai peradaban
Di segala pergaulan, ini modern

Lantas, apalagi hal yang paling telanjang dari yang Telanjang, yang paling real dari yang Real, dan yang paling absurd dari yang Absurd, kalau bukan gaya hidup yang tengah dipertontonkan oleh berbagai kekuatan dan subkultur dalam masyarakat? Inilah yang menjadi keprihatinan Rhoma. Nalurinya sebagai seorang musisi membuatnya peka terhadap fenomena ketidakadilan. Melalui lagu “Indonesia”, Rhoma melakukan perlawanan dan berharap mampu menembus dinding tebal telinga para koruptor yang seolah tak mampu mendengar jeritan derita rakyat jelata.

Negara bukan milik golongan
Dan juga bukan milik perorangan
Dari itu jangan seenaknya
Memperkaya diri membabi buta
Seluruh harta kekayaan Negara
Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya
Namun hatiku selalu bertanya-tanya
Mengapa kehidupan tidak merata
Yang kaya makin kaya
Yang miskin makin miskin…

Musik dangdut dan figur sentralnya Rhoma Irama secara detail menerobos jauh ke berbagai kontroversi yang mencuat ke permukaan. Musik dangdut di tangan Rhoma menjelma sebagai oposisi menyuarakan kegelisahan masyarakat bawah membuat pemerintah kebakaran jenggot. Tak heran jika, seorang William H. Frederick menulis tentang sosok Rhoma dan musik dangdutnya. Ia melihat realitas sukses "superstar" Rhoma yang fenomenal sebagai keberhasilan seorang pemusik memadukan bakat, lingkungan, dan terutama intuisi musiknya. Hal ini telah memperkuat citra Rhoma di mata publik. Rhoma bagi sebagian besar masyarakat bawah adalah sosok musisi hebat dan karenanya masyarakat menjadikannya sebagai medium dakwah dan saluran kritik sosial. Lewat alunan lirik-liriknya, “musik rock Islam pertama di dunia” ini selain bisa menarik orang untuk bergoyang, juga mendidik sensibilitas kerakyatan elite, dan sekaligus menghibur rakyat. Di bawah payung modernitas, “kehilangan rumah secara metafisik” bukan berarti membuat Rhoma lalu berputus asa. Rhoma terus menyerukan amar ma’ruf nahi munkar melalui syair-syair lagunya.

Dalam kehilangan rumah itu, Rhoma seakan mengingatkan kita kepada Michel Foucault, yang mengajak kita untuk tetap optimis: “Jangan membuang moralitas, lebih baik Anda menguasainya, tetapi semata-semata sebagai salah satu kaidah, sebagai salah satu dari konvensi-konvensi yang sepenuhnya menantang, tetapi meskipun begitu ia tetap diperlukan agar permainan bisa berlangsung”. Dengan cara ini, Rhoma telah menghadirkan genre musik dangdut yang khas.

Sebagai identitas sosio-kultural, dangdut, secara sosiologis telah bergerak secara lintas sektor, lintas etnik, lintas agama dan bahkan lintas partai. Maka, dengan perkembangannya yang semacam itu, dangdut dapat dipandang sebagai salah satu indikator modernitas yang dicapai bangsa ini. Terutama saat kita menyadari sepenuhnya kompleksitas modernisasi. Dangdut, setidaknya, memenuhi sejumlah prasyarat terjadinya modernitas di dalam suatu masyarakat yang plural. Terutama bila modernisasi hendak diasumsikan sebagai cara mengusahakan kemampuan menerjemahkan perubahan dan sistem secara berkelanjutan. Interaksinya dengan perkembangan politik dan ekonomi, tak memengaruhi banyak harmonitas produk budaya tradisional dengan teknologi modern. Bahkan, dangdut, kemudian memberi warna terhadap kehidupan bangsa.[ii]

Hingga kini tak pernah ada “kudeta” dangdut yang menerjang Rhoma sebagai Raja-nya. Tak pernah pula saingan yang serius mengancam untuk merebut posisinya. Ia seperti hendak membuktikan bahwa seorang raja bisa bertahan seumur hidup. Sudah lebih 40 tahun ia menjadi “raja” Dangdut. Fenomena Rhoma adalah suatu yang sangat menarik ditelusuri. Ia tak sekadar pimpinan sebuah perkumpulan musik sekaliber Soneta, tetapi telah memunculkan cita rasa yang khas dan unik hingga paling banyak diterima siapa saja. Di kalangan umat, Rhoma bahkan tampil sebagai dai yang brilian meski kadang kontroversial.[iii]

Mengenal Dangdut Rhoma

Saya mengenal nama Rhoma Irama sejak di bangku Sekolah Dasar (SD). Persisnya kapan, saya lupa, tapi kira-kira kelas empat. Di rumah saya, banyak koleksi kaset dangdut, mulai dari A. Kadir, A. Rafiq, Ida Laila, Elvy Sukaesih, tak ketinggalan pula Rhoma Irama. Sebagian besar koleksi kaset Bapak saya, memang Rhoma Irama. Berbagai macam penyanyi dangdut hidup di rumah saya. Seingat saya, lagu Rhoma yang pertama kali saya dengar adalah “Yatim Piatu”. Saya seperti terhipnotis oleh suaranya. Tak perlu berpikir lagi, lagu itu mudah sampai di hati semua orang, walaupun saat itu saya belum paham liriknya. Saya nyanyikan lagu itu, baik di sekolah, maupun pada saat bermain bersama teman-teman. Bahkan, jika ada salah satu teman yang sudah lama ditinggal mati oleh Bapak-Ibunya, lagu ini saya nyanyikan, bukan untuk menghibur, tapi ngeledek.

Saya mengapresiasi sendiri semua yang saya dengar. Setelah itu, mudah di tebak, saya semakin mengikuti terus perjalanan karya-karya Rhoma, termasuk film-filmnya yang terus saya tonton. Salah satu momen paling mengasyikkan adalah ketika saya menyaksikan film di layar tancap, “Badai Diawal Bahagia”, “Menggapai Matahari” atau “Kemilau Cinta di Langit Jingga”. Masyarakat datang dari sejumlah desa demi menonton film Rhoma Irama. Salah satu yang wajib di jelaskan di sini ketika berbicara tentang Rhoma adalah kualitas vokalnya. Gaya vokal Rhoma, menurut saya sangatlah istimewa. Hampir tidak saya temukan di film-film Indonesia, aktor utamanya bersuara khas seperti Rhoma. Ya, saya menyebut suara bertipikal Rhoma. Dia memiliki suara yang berat bervibrasi, karakter yang khas dan memiliki aspek khusus. Sejak kecil, saya sudah familiar dengan suara Rhoma. Saya pun sering menirukan suaranya yang khas itu. Di mana-mana suaranya jadi pujaan, di mana-mana cintanya selalu dikejar. Itulah Rhoma…

Dalam sebuah filmnya, “Gitar Tua”, Rhoma dengan suara khasnya, “Jadi… merana dia…, gila dia…, tersiksa dia…, nah, sekarang kamu harus membawakan lagu ini, sesuai dengan perasaan-perasaan seperti itu… !” Komedian di televisi suka menyaru suaranya, dan dijadikan lelucon. Saya pernah menjumpai penyanyi pria dengan suara bertipikal suara Rhoma. Tak peduli tampang mereka, yang pasti mereka punya kesamaan: suara mereka harus seperti suara berjenis kelamin Rhoma Irama. Mengeluarkan suara komersialnya seperti suara Rhoma merupakan kebanggaan tersendiri bagi mereka. Terlalu…. !

Rhoma tak tergantikan. Ia makhluk langka yang dilahirkan ke dunia membawa perubahan besar di bidang musik. Rhoma Revolusioner besar di bidang musik. Tidak ada yang dapat menyamai Rhoma! Bahkan, anaknya sekali pun, Ridho maupun Rommy juga tidak! Rhoma itu manusia langka dan hebat. Yang paling sederhana, bayangkan betapa hebatnya ia mengantarkan kenangan personal melalui lagu-lagunya.

Rhoma, sosok yang pantas menyandang gelar “Raja Dangdut”. Karya-karyanya, seperti oase, membangun spirit dan mampu mengubah hidup seseorang. Seperti dalam lagu “Lagu Buat Kawan” :

Jangan suka mencela
Apalagi menghina, wahai kawan
Kesalahan berbicara bisa membawa celaka

Jangan menyebar fitnah
Di antara sesama, wahai kawan
Jujurlah dalam bicara, janganlah suka berdusta

Berdosa... (o ya, ya)
Berdosa...

Bersihkanlah hati jangan saling membenci
Atau berprasangka yang tak pasti
Saling menghormati itu lebih terpuji
Tanamkanlah rasa cinta-kasih

Perangilah rasa iri dan serakah
Yang menimbulkan kehancuran semata
Milikilah budi-pekerti mulia
Capailah damai sejahtera...

Rhoma, memang sungguh luar biasa. Ia ibarat raja atau "dewa" dari dunia lain. Apalagi kalau sudah tampil di panggung dengan jubah kebesarannya, dengan tekanan kata yang khas. Saya beberapa kali menyaksikan secara langsung konser maupun ceramah Rhoma, misalnya di Surabaya, Gresik, maupun di Malang. Di televisi tak terbilang lagilah. Tapi saya baru satu kali bertemu Rhoma secara langsung, di rumahnya, Mampang, Jakarta Timur. Itu pun tak berlangsung lama, karena ia harus pergi mengisi sebuah acara di Matraman, Jakarta Pusat. Sebagai seorang penggemar dangdut Rhoma, saya pun senang, meskipun belum sempat bincang-bincang.

Sepanjang sejarah Indonesia, menurut saya, belum pernah ada musik yang membius begitu banyak orang Indonesia, kecuali dangdut. Album Rhoma, pertama yang bikin geger persada musik Indonesia tentulah begadang. Diterbitkan Yukawi pada 1974, album ini menampilkan lagu Begadang, Sengaja, Sampai Pagi, Tung Kripit, Cinta Pertama, Kampungan, Ya Le Le, Tak Tega, Sedingin Salju. Musik Melayu di tangan Rhoma—yang lebih popular dengan istilah dangdut—lebih dinamis, modern, dengan sentuhan rock rasa Deep Purple. Rhoma sukses melakukan revolusi musik Melayu yang tadinya biasa-biasa saja dan tak bertenaga.

Di film-film yang dibintanginya, Rhoma menjadi sosok yang sempurna. Jika Anda bertanya kepada saya tentang apa saja film yang dibintangi Rhoma, maka saya langsung dengan cepat menyebut sejumlah film. Mulai dari Penasaran, Gitar Tua, Berkelana, Darah Muda, Satria Bergitar, Pengorbanan, Jaka Swara, Menggapai Matahari, Nada-Nada Rindu, hingga Tabir Biru. Saya juga ingat apa kisahnya dan dengan siapa Rhoma berpasangan. Begitu pun dengan lagu-lagunya.

Awal masa kuliah, di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), saat pembukaan Ospek di Fakultas Agama Islam, tahun 1995, saya melakukan pelanggaran, entah pelanggaran apa, saya tak begitu mengingatnya. Saya dihukum oleh kakak panitia Ospek, namanya Jaiz Kumkelo—sekarang dosen di UIN Malang. Dengan wajah cengar-cengir saya menunggu hukuman apa yang mau diberikan kepada saya. “Kamu bisa menyanyi?”, tanya Kak Jaiz. “Bisa, tapi lagu dangdut Rhoma Irama”, jawab saya. “Boleh, sekarang kamu nyanyikan”, katanya. Saya pun dengan spontan menyanyikan lagu “Kehilangan” karya Rhoma. Kak Jaiz dan kakak panitia lainnya, mendengarkan saya menyanyi, sambil senyum-senyum. Liriknya begini:

Kalau sudah tiada baru terasa
Bahwa kehadirannya sungguh berharga
Sungguh berat aku rasa
Kehilangan dia
Sungguh berat aku rasa
Hidup tanpa dia

Kutahu rumus dunia
Semua harus berpisah
Tetapi kumohon
Kuatkan, kuatkanlah

Bukan aku mengingkari
Apa yang harus terjadi
Tetapi kumohon
Tangguhkan, tangguhkanlah

Terus terang, saya memang penggemar Rhoma. Mohon maaf atas pengakuan ini. Mungkin Anda menganggap saya kampungan, norak, berselera rendah, atau apapunlah namanya. Terserah saja. Sudah lama saya memendam pengakuan ini. Bagi saya, Rhoma adalah kepingan-kepingan kecil dari episode masa silam saya yang tinggal di kampung. Rhoma adalah raja, dan kamilah rakyatnya. Mereka yang sinis dan mengatakan dangdut musik kampungan, Rhoma dengan hati dingin menanggapi para pembenci dangdut hanyalah “bagi pemusik—termasuk penikmat musik—yang anti melayu / boleh benci jangan mengganggu / biarkan kami mendendangkan lagu / lagu kami lagu melayu.....

Hampir semua film-filmnya, tak ada satu pun yang terlewat. Semua sudah pernah saya tonton. Saya tak peduli, film itu bermutu atau tidak, saat itu kalau ada film Rhoma, saya pasti menontonnya, entah di layar tancap yang diputar di lapangan desa, maupun yang dijual. Belakangan, saya menyaksikan film yang dibintangi Rhoma bersama anaknya, Ridho Rhoma, Chaty saron dan Delon. Di film itu, ia tidak lagi menjadi satria bergitar. Ia hanya membimbing Ridho putranya. Dan sepanjang film, saya tersenyum membayangkan masa silam, masa yang penuh lagu-lagu Rhoma. Rhoma adalah magnet yang menarik kami dan semua warga lain untuk merapat dan mendengarkannya dengan penuh penghayatan.

Saat ini, jika saya menyaksikan poster film Rhoma, saya sering senyum-senyum sendiri. Bukan tersenyum melihat suasana jadul. Tapi saya senyum membayangkan banyaknya kejadian masa silam yang masih membekas di masa kini. Mendengar lagu Rhoma, ibarat memutar waktu dan menyaksikan diri sendiri di masa silam, sekaligus jalan untuk merefleksi diri di masa kini. Rhoma memang artis yang saya gandrungi. Lagu-lagunya yang syahdu, romantik, dan menggetarkan. Tapi saat dewasa, saya mulai benci karena saat menyebut diri penggemar Rhoma, maka saat itu juga dicap kampungan.

Saat kuliah di Malang, ada teman yang sering memproklamirkan diri sebagai penggemar The Beatles. Mungkin dia melakukannya karena ingin dianggap memiliki cita rasa tinggi karena menyukai band-band berkualitas. Sementara, tak bisa saya pungkiri bahwa musik yang mengalir di tubuh saya, adalah musik dangdut Rhoma. Ia mengalir sebagai darah daging di situ. Saya yakin, saya tidak sendirian. Jangan-jangan, anda juga suka Rhoma tapi malu-malu mengakuinya.

Kita jarang jujur dengan diri sendiri sehingga mengabaikan diri kita yang sesungguhnya. Kita tidak sedang menjadi diri kita sendiri. Kita menjadi apa yang dicitrakan oleh media sebagai lapis atas. Kita merekayasa segala yang ada pada diri kita demi sebuah kata berkelas, keren, atau kata papan atas. Namun, untuk apakah semua pencitraan itu? Emangnya kenapa kalau saya ndeso? Memang itu faktanya kok. Jika ndeso yang dimaksudkan adalah sebuah geografi yang terletak di udik sana tempat kita berasal, maka saya memang seorang ndeso. Terus, apa pentingnya mempersoalkan ndeso dan tidaknya seseorang?

Justru kosa kata ndeso atau kampungan adalah gambaran tentang subkultur dari mana kita berasal. Kita berangkat dari satuan teritori yang masih memelihara kekerabatan, jaringan sosial, dan masih menganggap diri satu tubuh dengan masyarakat sekitar. Kampungan adalah konsep di mana seluruh warga yang berdiam di satu tempat memiliki solidaritas yang tinggi serta saling memiliki. Kampungan adalah konsep masyarakat yang sehat di mana masing-masing saling mngenal serta mengidentifikasi diri sebagai satu kesatuan. Hajatan pada satu keluarga adalah hajatan seluruh warga.

Anda tak menemukan konsep saling mengenal dan saling membantu seperti ini pada masyarakat kota yang [sok] modern. Simak lagu Rhoma ini:

Setahun sekali belum tentu
Dengan tetangga bisa bertemu
Di Ibu Kota 3x

Pagar rumahnya pun tinggi-tinggi
Hidupnya pun sudah nafsi-nafsi
Di Ibu Kota 3x

Berbagai macam kesibukan
Meliputi warganya
Hingga sedikit kesempatan
Untuk berbagi rasa…
Menipis sudah tali jiwa
Yang mengikat warganya
Berkurang sudah tenggang rasa
Di antara sesama
Rasa perseorangan
Sikap warga ibu kota
Rasa kebersamaan
Sudah memprihatinkan
Hidup selalu terburu-buru
Seakan-akan dikejar waktu
Di ibu kota 3x

Jangan malu disebut kampungan. Jangan pula malu menyebut diri sebagai penggemar Rhoma. Setidaknya kita sedang berdamai dengan diri kita sendiri. Lagu-lagu Rhoma mewakili semua suasana: ada nuansa agama, cinta remaja, cinta kepada orang tua, kepada bangsa, kritik sosial, dan lain-lain. Sebagai sebuah musik hiburan, dangdut mampu menjadi penghibur dalam kesedihan dan kesusahan. Apakah itu persoalan percintaan, kegelisahan, kesedihan, atau masalah kehidupan lainnya yang dialami manusia.

Karena itu, mengatakan dangdut sebagai musik kampungan, menurut saya hal ini agak aneh kedengarannya, dan rumit menjelaskannya. Bukankah ketika kita berbicara mengenai musik, kita bukan sekadar berbicara mengenai alunan musiknya ataupun liriknya, tetapi lebih dari sekadar itu adalah selera individu. Nah, ketika membicarakan selera, tentu saja bersifat universal dan relatif. Dengan kata lain, selama tujuan mendengarkan musik itu tercapai, lalu apa dasarnya menjustifikasi bahwa jenis musik dangdut itu kampungan? Sekarang, Anda berhak menilai, apakah musik dangdut itu kampungan atau tidak? Saya sendiri ketika mendengar lagu Rhoma, seolah mampu meringankan kesedihan itu dan membangkitkan nilai semangat yang positif. Seperti itulah yang saya alami, dan mungkin juga dialami oleh banyak orang.

Menurut saya, penggemar dangdut tidak usah malu-malu lagi, karena kini orang bule pun tergila-gila dengan dangdut. Dangdut menjadi fenomena di Mancanegara, terutama Amerika dan Jepang. Andrew N. Weintraub, seorang Professor of Music dari University of Pittsburgh, America, di samping menulis buku Dangdut Stories, juga seorang Pendiri sekaligus Pimpinan Group Band Cowboys Dangdut. Kalau Anda melihat video live musik ”Dangdut Cowboys”, band dengan musik berirama dangdut—meskipun dengan menggunakan instrumen yang sangat terbatas—saya menilai mereka mampu menghadirkan ”cita rasa dangdut” yang khas kepada penonton. Lihatlah ketika mereka membawakan lagu-lagu Rhoma, misalnya Kegagalan Cinta atau Terajana.

Pergerakan musik dangdut yang begitu dahsyat memang tak mudah untuk dilawan. Dangdut tidak lagi menjadi ikon musik kaum pinggiran melainkan ikon musik populer yang digemari oleh seluruh kalangan. (Bungin, 2005: 97) Seni musik, tak terkecuali dangdut, merupakan jiwa dari manusia karena pada dasarnya setiap manusia mempunyai rasa keindahan. Oleh sebab itu manusia selalu ingin tahu tentang seni dan selalu ingin menikmatinya. Seni musik bisa mengubah identitas manusia dan membuat perubahan-perubahan yang sangat besar dalam suatu peradaban manusia. Suatu kesenian merupakan bagian dari kebudayaan oleh karena itu manusia yang berkesenian tentu saja manusia yang berbudaya. Coba kita simak bagaimana Rhoma berpesan melalui lagu Seni:

Seni adalah bahasa
Pemersatu antarbangsa
Seni indah dan mulia
Suci murni tiada dosa
Hayo gunakan seni ‘tuk kebaikan
Hayo gunakan seni ‘tuk keindahan
Hayo gunakan seni untuk agama
Hayo gunakan seni untuk negara
Mari bernyanyi dan bergembiralah
Tapi tetap dalam kesopanan dan iman

“Seni memang bagai sebersit kabut yang bisa ditata menjadi suatu gambaran”, begitu kata Khalil Gibran. Seni itu indah, putih, bersih, dan takkan berubah warna tak dinodai oleh manusia. Untuk itu kita harus menjaganya, karena—seperti dikatakan Aristoteles—seni musik mempunyai kemampuan mendamaikan hati yang gundah, mempunyai terapi rekreatif dan menumbuhkan jiwa patriotisme. Musik adalah karya seni yang baik dan tinggi nilai estetikanya, karena syairnya dapat berisi pesan, perintah dan isyarat tertentu. Seni musik adalah bahasa ekspresi manusia yang masih harus diterjemahkan, emosi saja tidak cukup untuk menerangkan musik; oleh sebab itu diperlukan kaidah-kaidah logis untuk mendasari kesenian. Musik dikatakan indah bila memiliki bentuk saling mempengaruhi nan harmonis antara imajinasi dan pengertian. Seni yang indah—menurut Wagner—adalah seni dari seorang jenius.

Dan, Rhoma adalah salah satu musisi dunia yang jenius itu. Sepak terjangnya di dunia musik sudah mencatat banyak sejarah. Rhoma adalah “Wali” yang berdakwah lewat seni. Beliau selalu menyerukan kepada umat (penggemar) agar senantiasa punya iman yang kokoh demi untuk membela agama. Tidak cuma itu, kiprahnya di dunia film pun sudah terbukti dari jumlah film-film yang diperaninya. Sukses Rhoma bukanlah hal yang kebetulan saja. Pemusik ini, yang pada 1970-an telah merenungkan dengan saksama gayanya sendiri, dan mempraktikkan kemahirannya dengan cermat. “Ia termasuk bintang Indonesia paling cerdas dan bekerja keras”,[iv] begitu kata William H. Frederick, yang pada 1985 menulis; Rhoma Irama and The Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular Culture.

Rhoma telah melahirkan musik yang menembus segala lapisan masyarakat. Menyandang pesan dalam bahasa yang semua orang paham dan benar-benar Indonesia. William sangat menyayangkan para kritikus yang sama sekali mengabaikan kedisiplinan dan kesungguhan Rhoma dalam proses kreatifnya. Jelaslah, empat puluh tahun lebih, Rhoma membuktikan bahwa popularitasnya adalah hasil kerjanya yang sesuai dengan, dan sanggup mencerminkan, masyarakat Indonesia sekarang. Bukan masyarakat gedongan, tapi golongan mayoritas yang tersebar dari kota besar sampai pelosok kampung.

Sayangnya, tak banyak yang mengapresiasi karya seni musik Rhoma. Keengganan para pemikir Indonesia untuk berbuat dan peduli pada kreatifitas Rhoma, sungguh membingungkan saya. Rhoma, meski nampaknya mengalami berbagai kisah pro dan kontra, namun terlepas dari semuanya, karena setiap manusia di dunia ini tak ada yang sempurna, sesempurna malaikat, tapi tak bisa dinafikan bahwa ia adalah seorang musikus hebat dan berbakat. Bukan hanya itu, ia mampu membius jutaan manusia Indonesia dengan lagu-lagunya, pertunjukan musiknya paling banyak dibanjiri penonton, petuah moralnya didengar, bahkan suara dan gaya pentasnya pun jadi rujukan para penyanyi dangdut.

Akhirnya, kepada para pembaca dan penggemar dangdut, fans berat Rhoma, khususnya, buku ini saya persembahkan. Saya sangat menyadari, bahwa masih banyak kekurangan dalam buku ini. Atas kekurangan tersebut saya haturkan permohonan maaf yang sebesar-besarnya, baik kepada Bang Rhoma Irama, kru Soneta, fans Rhoma, penggemar dangdut dan para pembaca.


Daftar Bacaan:
[i] Idi Subandy Ibrahim, Kisah Indonesia Lewat "Goyang Dangdut" Kompas, 30 Januari 2011

[ii] Demokrasi Dangdut, http://www.akarpadi.com/?p=1153

[iii] M Syarbani Haira, Rhoma Irama, di Kubu Baru Parpol, Banjarmasin Post, 21 September 1996

[iv]Mengapa dangdut Rhoma jadi penting, Tempointeractive Edisi. 18/XIV/ 30 Juni-06 Juli 1984

1 komentar:

Anonim mengatakan...

kalau boleh tau kapan yah buku iniditerbitkan??? sudah bisa d cari d gramed tidak yah???