Moh. Shofan
Belum lama ini saya hadir dalam sebuah acara pidato kebudayaan yang disampaikan oleh Abdul Moqsith Ghazali—intelektual muda yang sangat akrab dengan khazanah Islam klasik—di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Pidato kebudayaan kali ini mengambil tema “Menegaskan Kembali Pembaruan Islam”. Tema tersebut seakan memberikan afirmasi bahwa, setelah wafatnya Nurcholish Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), tidak ada lagi gagasan-gagasan besar atau pemikiran-pemikiran baru. Jika pun ada, sifatnya hanyalah semacam “Menyegarkan Kembali”, seperti yang ditulis oleh Ulil Abshar-Abdalla, atau “Menegaskan Kembali”, sebagaimana tertulis dalam judul pidato Moqsith.
Dari segi substansi pemikiran, gagasan Moqsith yang disampaikan di TIM tidak ada yang baru. Ia hanya mengeksplorasi kembali gagasan-gagasan besar Cak Nur tentang pokok-pokok Al-Quran, risalah kenabian, sikap terhadap karya ulama, dan bagaimana seharusnya memosisikan akal. Moqsith ataupun Ulil tentu berbeda dengan Cak Nur, yang gagasan-gagasannya pernah membuat geger umat Islam di seantero negeri ini. Polemik bermula ketika Cak Nur melontarkan gagasan tentang “sekularisasi”, atau “Islam Yes, Partai Islam No”, yang kemudian dibantah oleh H.M. Rasjidi, mantan Menteri Agama RI yang pertama. Sampai kini, 40 tahun pernyataan tersebut dikeluarkan, ia masih terasa aktual. Umat Islam tidak hanya ada dalam partai Islam, tapi telah menyebar ke semua partai: Golkar, PDIP, Demokrat, Hanura, maupun Partai Gerindra. Ini membuktikan bahwa mereka memahami benar makna “Islam Yes, Partai Islam No!”
Makna paling dalam dari pemikiran Cak Nur adalah menyatukan umat Islam dalam kerangka berpikir yang lebih modern. Kerangka berpikir yang bisa beradaptasi dengan kekinian. Begitu juga dekonstruksi makna Islam sebagai suatu nama agama dengan makna generik, yakni sikap pasrah dan kepatuhan terhadap hukum syariah. Melalui pernyataannya tersebut, Cak Nur membuka mata umat Islam bahwa setiap agama mempunyai ekspresi keimanan terhadap tuhan yang sama. Ibarat roda yang berputar, pusat roda tersebut adalah tuhan yang sama melalui jalan berbagai agama yang heterogen tapi satu makna.
Sepeninggal Cak Nur maupun Gus Dur, pemikiran Islam yang muncul tidak lebih sekadar menjadikan Islam sebagai obyek kajian semata, ketimbang sebagai gagasan dinamis yang mampu bergerak melintasi batas-batas keyakinan, kultural, ideologi, yang mampu mempengaruhi umat manusia dengan segala keunikannya. Dalam beberapa kesempatan berdiskusi dengan saya, M. Dawam Rahardjo mensinyalir bahwa munculnya gagasan-gagasan yang banyak dijumpai dalam sejumlah karya para intelektual muda belakangan ini baru diuraikan dalam tataran utopia dan belum beranjak kepada ide yang digarap dengan pendekatan ilmiah yang ketat. Pendekatannya masih lebih banyak bersifat spekulatif. Di sisi lain, belum adanya pengganti tokoh sekaliber Cak Nur dan Gus Dur saya kira menjadi faktor kedua penyebab kelesuan pemikiran Islam saat ini.
Tulisan ini sama sekali tak berpretensi mengecilkan karya-karya pemikiran Islam yang belakangan banyak bermunculan. Ada banyak karya yang patut kita apresiasi, misalnya Abdul Moqsith Ghazali yang menulis Argumen Pluralisme Agama (2009), yang diangkat dari disertasinya. Ia adalah sebuah karya tafsir Al-Quran non-konvensional yang menjelaskan akar-akar pluralisme dalam Islam, baik secara historis maupun doktriner (Al-Quran dan Hadis). Saya melihat karya ini adalah bentuk elaborasi baru—jika tak boleh dikatakan melanjutkan apa yang sudah pernah dirintis oleh Cak Nur.
Berbeda dengan Moqsith, karya Budhy Munawar-Rachman, Reorientasi Pembaharuan Islam, Sekularisme, Liberalisme, dan Pluralisme, Paradigma Baru Islam Indonesia (2010) adalah sebuah karya yang didasarkan pada pengamatan empiris dan argumentasi di sekitar isu sekuralisme, pluralisme, dan liberalisme yang diharamkan oleh MUI. Buku yang didasarkan bukan hanya pada bahan-bahan tertulis tetapi juga pada pertemuan dan wawancara dengan sejumlah tokoh muslim maupun non-muslim ini sedikit lebih maju dari sisi gagasan. Buku ini tak lagi mempersoalkan istilah sekularisme—seperti pernah ditentang oleh Cak Nur—tetapi justru menganjurkan sekularisme dengan alasan bahwa terjadinya perubahan-perubahan sosial, proses sekularisasi, akan berjalan terus sehingga, disadari atau tidak, sekularisasi memang merupakan proses sosiologis yang sudah dan akan terus menjadi kenyataan secara intensif, dan mengarah pada cita-cita sekularisme. Dengan sekularisme, berlaku kesetaraan di antara semua agama, sehingga tidak ada minoritas maupun mayoritas. Kesemuanya mempunyai hak-hak yang sama.
Hal lain yang menjadi catatan saya dalam tulisan ini adalah kehadiran intelektual liberal yang tidak berdaya mengatasi aksi-aksi kekerasan berdalih agama. Ini menjadi faktor ketiga, yakni gagalnya intelektual liberal mengusung gagasan pluralisme, liberalisme, demokrasi, yang tentu saja semakin menambah panjang daftar pesimisme akan masa depan pembaruan Islam.
Belum lagi dari perspektif negara yang masih mempertahankan peraturan Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Alih-alih dihapuskan, peraturan-peraturan daerah yang memformalisasi syariat Islam terus bermunculan di sejumlah wilayah di Indonesia. Upaya formalisasi ini pernah ditolak oleh Cak Nur dan juga gurunya, Fazlur Rahman. Formalisasi Islam bagi Rahman mengesankan sifat mekanisme karena, seakan-akan dalam menghadapi berbagai gempuran yang datang dari Barat, seseorang akan duduk begitu saja dan mengislamisasinya. Hal ini tidak mengarah pada penciptaan ilmu yang kreatif.
Respons Rahman tersebut membawa ke arah perdebatan teoretis yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana seharusnya seorang muslim menciptakan teori-teori dan sistem-sistem yang diturunkan dari Al-Quran secara absah. Kuntowijoyo pernah menawarkan gagasan perlunya “saintifikasi Islam”, yaitu sebuah upaya untuk bergerak dari kajian utopia ke ideologi dan kemudian ke ide. Dalam khazanah pemikiran Islam, Kuntowijoyo termasuk dalam pemikir neo-modernis yang memakai seperangkat ilmu Barat dengan sentuhan transendental Qurani dan kenabian sebagaimana yang sering dia sebut dalam banyak tulisannya sebagai “strukturalisme transendental”. Sementara Cak Nur banyak menggeluti bidang etika Al-Quran, Kuntowijoyo lebih pada bidang sosiologi atau perekayasaan masyarakat Islam—walaupun tidak tepat betul dengan tipologi itu. Keduanya menggeluti Islam peradaban dengan grand design untuk mengupayakan suatu social engineering masyarakat Islam Indonesia yang modern.
Konsep Rahman bahwa Al-Quran hanya sepersepuluhnya yang tampak ke permukaan, sedangkan sisanya masih tenggelam dalam permukaan sejarah—terkenal dengan konsep “teori puncak gunung es yang terapung”—mengingatkan perlunya segera diupayakan systematic reconstruction dalam pemikiran Islam, terutama dalam hal yang menyangkut bidang teologi, filsafat, dan ilmu-ilmu sosial. Intelektual muslim harus berusaha dengan sungguh-sungguh menyusun agenda metodologis, atau tepatnya paradigma untuk menafsirkan Al-Quran yang sesuai dengan semangat zaman. Jika tidak, pembaruan Islam hanya tinggal kenangan.
Dipublikasikan Koran Tempo, 22-07-2011
Kamis, 22 September 2011
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar