Kamis, 06 November 2008

Dari Iman Filosofis Ke Iman Liberatif

Dari Iman Filosofis Ke Iman Liberatif
Moh. Shofan

Dalam buku Ayub (dalam Good News Bible) dikisahkan, tentang seorang yang baik budi, ia mengalami musibah hebat; ia kehilangan semua anaknya dan segala harta bendanya, lalu dihinggapi penyakit kulit yang menjijikkan. Kitab Ayub dimulai dengan pernyataan tentang adanya seorang bernama Ayub (dalam tradisi Islam, Ayub adalah salah satu 25 nabi dan rasul), yang berasal dari tanah Us (suatu daerah yang tidak diketahui di mana letaknya). Diceritakan, Ia mempunyai tujuh anak laki-laki, dan 3 anak perempuan. Ia juga dikenal sebagai orang yang terkaya di sebelah Timur (Palestina, yaitu daerah Edom dan Arabia). Dalam tradisi Ibrani, kekayaan atau kemakmuran merupakan simbol berkah Tuhan: berkah yang diberikan kepada orang-orang yang taat.
Ayub adalah seorang yang, saleh dan jujur; ia menyembah Allah dan setia kepada-Nya. Ia juga takut akan Allah dan menjauhi kejahatan. Ia mempunyai rasa hormat yang mendalam kepada Allah. Ia juga rajin beramal kepada masyarakat. Karenanya ia dikenal di antara bangsa-bangsa lain. Kisah ketaatan Ayub ini ternyata dibicarakan dalam suatu “Dewan Surgawi” yang terdiri dari para malaikat, termasuk di dalamnya iblis. Dalam pertemuan “Dewan Surgawi” itu, Tuhan bertanya kepada Iblis, “Dari mana iblis?” Iblis menjawab, kalau ia baru datang dari berkeliling menjelajahi dunia, melihat keadaan makhluk termasuk manusia. Tuhan pun bertanya kepada iblis, apakah ia memperhatikan Ayub, yang menurut Tuhan, tidak ada seorang pun yang seperti Ayub yang sedemikian saleh dan jujur, yang takut akan Allah dan menjauhi kejahatan”. Mendengar pujian Tuhan kepada Ayub, iblis pun rupanya menyangkal.
Iblis menuduh bahwa kesalehan Ayub, bukan disebabkan imannya kepada Allah yang mantap, tetapi karena Allah telah memberi kemakmuran hidup kepada Ayub, sehingga dengan pamrih ia menjaga kemakmuran itu dengan kesalehan. Dus, Iblis menantang Allah untuk menarik semua harta dan kesehatan yang dimiliki Ayub, pasti ia akan mengutuk Allah. Menjawab tantangan itu, Allah memperkenankan iblis untuk mengambil semua harta dan kesehatan Ayub. Maka, setelah itu pun Ayub kehilangan semua hartanya dan menderita penyakit kulit yang membuatnya sangat menderita. Namun Ayub pun tak kehilangan imannya kepada Allah, walaupun hari-harinya ia lalui dengan penderitaan yang mendalam. Penderitaan yang mendorong hidupnya penuh dengan pemberontakan.
Dari sepenggal cerita di atas, setidaknya ada empat situasi batas yang secara blak-blakan menantang manusia untuk mewujudkan dirinya: kematian (tod), penderitaan (leiden), perjuangan (kampf) dan kesalahan (schuld). Semua situasi batas itu mendua: kepada eksistensi diberikan kemungkinan untuk berkembang maju atau mundur, tergantung dari keputusan manusia sendiri dalam berkonfrontasi dengan situasi-situasi itu. Ada situasi di mana Tuhan dicitrakan sebagai “Yang-tidak-terkatakan”. Oleh karena itu, Tuhan dipahami secara negatif (dalam arti logis: Allah sebagai “Yang-tidak-terkatakan”). Di sisi lain, sebagaimana dikatakan Jaspers, Tuhan dicitrakan sebagai “Yang-melingkupi-segala-sesuatu-yang-melingkupi”. Tegasnya, dalam bahasa religius: transendensi dalam arti ini adalah Allah. Berhadapan dengan transendensi ini, manusia sebagai pribadi terbatas merasa berdiri di hadapan seorang pribadi dengan adidaya mutlak (absolute ubermacht) yang menyapa, memberi perintah dan menuntutnya.
Mengikuti pandangan Jaspers, apa pun yang kita katakan mengenai Allah, Ia tetap tidak bisa dikenali dan dicirikan. Baginya, cukup diketahui bahwa Allah itu ada, bukan bagaimana Allah itu. Jaspers bilang: Adanya Allah tidak bisa dijelaskan dengan definisi rasional, melainkan bisa dibaca melalui kesaksian dan tindakan orang-orang yang percaya pada-Nya. Mereka itulah chiffer-chiffer Allah. „Di seberang semua chiffer, pemikiran akan mencapai kebisuan yang dipenuhi dasar tak terselami“. Jaspers menyebut pandangan ini sebagai iman filosofis. Inilah sebenarnya yang membedakannya dengan Immanuel Kant yang sangat agnostis.
Oleh karenanya, penderitaan yang dialami manusia dalam hidup ini sesungguhnya, meminjam istilah Prof. Leahy, “tidak lain dari pada sesuatu krisis pertumbuhan”. Artinya, pengorbanan yang dilakukan generasi sekarang memungkinkan berlanjutnya eksistensi masyarakat di masa mendatang. Dengan kata lain, di sini penderitaan dan kejahatan dinilai sebagai yang baik, karena ditempatkan dalam keseluruhan ada. Pengetahuan manusia mengenai yang absolut selalu berlangsung melalui medium tertentu, yakni yang tidak absolut, yang tidak lain dari hasil negasi diri dari yang absolut itu. Yang tidak absolut dengan demikian menjadi pintu melalui mana kita bisa mengetahui yang absolut. Dengan bertolak dari yang terbatas, rasio akhirnya mengetahui bahwa yang terbatas itu adalah hasil determinasi diri dari yang tidak terbatas (absolut).
Dalam kitab-kitab tafsir al-Qur’an, dikenal istilah qath’i dan dzhanni. Wilayah qath’i adalah wilayah yang lebih bersifat transendental spiritual—saya menyebutnya qath’iya al-iman, yakni iman yang transhistoris; rasa pasrah yang tanpa syarat kepada Sang Pencipta, pengakuan adanya yang “suci”, rasa ketergantungan kepada yang “maha” segalanya, permohonan dan do’a untuk memperoleh bimbingan jalan yang selamat dan seterusnya adalah termasuk wilayah yang bersifat fundamental spiritual-filosofis. Hal-hal fundamental filosofis yang bersifat transhistoris dan transteologis adalah dimensi ontologis dari agama-agama, termasuk di dalamnya adalah agama Islam.
Dengan lain ungkapan, dimensi “ontologis”, sebenarnya, menunjukkan adanya “makna” yang sangat mendalam, mendasar, transendental dan sekaligus spiritual. Nilai-nilai spiritualitas seperti itu tidak hanya dimiliki oleh budaya dan agama tertentu, tetapi dimiliki oleh berbagai tradisi dan agama yang dimiliki oleh umat manusia. Dari sini, kiranya tidak terlalu penting, mempertanyakan identitas agama seseorang, karena agama adalah sesuatu yang ‘inner’ dalam diri manusia. Pemahaman tentang iman tidak boleh ditentukan oleh kelompok manapun, karena iman adalah proses negosiasi antara diri sebagai subyek-obyek dengan realitas transendental di luar dirinya yang melampaui segala yang ada.
Iman dalam pengertian yang demikian, saya sebut iman yang filosofis, tetapi di sisi lain, iman harus mampu mendorong pemiliknya (baca: umat beragama) untuk melakukan transformasi sosial berdasarkan panggilan kemanusiaan. Iman yang demikian adalah iman yang kreatif, liberatif, humanis—saya menyebutnya dzhanniya al-iman, yakni iman yang menghistoris atau iman yang diterangi akal—namun tetap ada dalam lingkaran transendensi.
Kisah tentang penderitaan Ayub di atas, mengajarkan kepada kita bahwa “kesabaran” bukanlah terminal akhir dalam penderitaan. Kitab Ayub berisi tentang misteri penderitaan. Isi pokok dalam kitab ini adalah rahasia penderitaan orang beriman. Iman dan penderitaan, adalah dua entitas yang berbeda, tetapi tidak saling menafikan. Pada akhirnya, semua manusia akan mengalami peziarahan iman yang panjang. Kematian, penderitaan, perjuangan, dan kesalahan selalu “gelisah“ dan “misterius“ dalam diri manusia beriman.

Tidak ada komentar: