Minggu, 16 November 2008

Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!

Jawa Pos, April 2007

Wawancara Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan dan Moh. Shofan, M. Ag.
Perguruan Tinggi Jangan Jadi Lembaga Penataran!

Salah satu esensi perguruan tinggi adalah bagaimana menyuburkan pola berpikir kritis. Dengan begitu, ilmu pengetahuan akan berkembang. Namum semua itu memerlukan iklim kebebasan akademis. Seperti apa kebebasan akademis di kampus perguruan tinggi Islam? Berikut perbincangan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan Moh. Shofan, mantan dosen Universitas Muhammadiyah Gresik dan Abdul Munir Mulkhan, guru besar di Universitas Islam Negeri Jogjakarta, Kamis lalu (15/3) di KBR 68H Jakarta.

Mas Shofan, bagaimana kisah pemecatan Anda dari status dosen tetap di Universitas Muhammadiyah Gresik?

MS: Ini bermula dari artikel saya tentang Islam yang dimuat di harian Surya dan beberapa media-media lain. Sebelum itu, sebetulnya saya sudah sangat konsen terhadap pemikiran-pemikiran keislaman yang progresif-liberal. Buktinya saya sudah menulis sejumlah buku yang dianggap oleh beberapa orang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran Islam yang murni. Misalnya, buku saya Jalan Ketiga Pemikiran Islam. Namun begitu, buku yang sudah diterbitkan penerbit Ircisod sejak tahun 2006 itu tidak membawa dampak apa-apa terhadap karir saya.
Puncaknya masalahnya barangkali baru saya rasakan pada bulan Desember 2006, ketika saya menulis artikel tentang Natal dan Pluralisme di harian Surya. Inti dari tulisan saya itu adalah pernyataan pentingnya makna mengucapkan selamat Natal bagi teman-teman kita yang Kristen. Di artikel itu saya juga sertakan bukti-bukti sejarah bahwa sesungguhnya di dalam tradisi Islam sendiri banyak juga pengalaman yang menunjukkan bahwa doktrin Islam mampu menjalin hubungan harmonis dengan agama-agama lain. Misalnya terhadap agama Yahudi, Kristen, dan Shabean.
Karena itu, bagi saya sekadar mengucapkan Natal terhadap umat Kristen ketika mereka bergembira merayakannya tidak ada persoalan. Hanya saja, artikel itu memicu polemik di kalangan Muhamadiyah sendiri, lebih spesifik di kalangan Muhamadiyah Gresik. Sebagian besar warga Muhamadiyah Gresik belum bisa menerima isi tulisan itu. Mereka menganggap artikel itu sebagai bentuk tulisan yang meresahkan keluarga besar Muhamadiyah.

Apa yang dimaksud dengan kalimat ”meresahkan warga Muhamadiyah” di situ?

MS: Menurut mereka, apa yang saya tuliskan itu sudah menyalahi akidah murni Muhamadiyah. Sebab mengucapkan selamat Natal sudah difatwa haram oleh Muhamadiyah. Mereka juga mengatakan bahwa itu juga sudah difatwa haram oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Diterangkan juga, di tubuh Muhamadiyah sendiri, tindakan mengucap selamat Natal juga masih kontroversial dan tabu.

Apakah Majelis Tarjih Muhamadiyah sendiri pernah mengeluarkan fatwa seperti itu?

MS: Maaf, saya kurang tahu persis. Tetapi yang perlu kita pahami dan itu yang membuat saya yakin dengan pendapat seperti itu, ada banyak contoh dari para petinggi Muhamadiyah sendiri tentang bagaimana cara menjalin hubungan baik dengan warga non-Muslim. Itu dapat kita lihat dari sikap tokoh-tokoh seperti Prof. Dr. Amien Rais, Prof. Dr. Syafi’i Maarif, bahkan Ketua PP Muhammadiyah sendiri, Prof. Dr. Din Syamsuddin. Saya ingat, satu tahun lalu, Pak Din bahkan berupaya meyediakan fasilitas amal usaha Muhamadiyah untuk dijadikan tempat ibadah Natal bagi umat Kristen karena adanya beberapa kesulitan yang mereka alami dalam beberapa tahun belakangan ini.

Bagaimana Anda merasakan iklim kebebasan akademik di perguruan tinggi Islam selama ini?

MS: Di beberapa tempat di IAIN atau UIN, saya tahu ada banyak sekali dosen yang berpikiran progesif dan sangat terbuka. Memang terkadang kasusnya sangat individual. Artinya, paradigma berpikir mereka yang dianggap progresif-liberal itu tak sampai menjadi gejala umum di tataran mahasiswa dan dosen. Indikasi itu misalnya bisa kita lihat dengan mudahnya kelompok-kelompok konservatif memasuki sejumlah perguruan tinggi Islam. Kalau para mahasiswa punya pandangan yang progresif dan kritis, orang-orang itu tidak akan gampang menyebar pengaruhnya di perguruan tinggi.

Pak Munir, bagaimana Anda menilai tingkat kebebasan akademis di pelbagai perguruan tinggi Islam selama ini?

AMM: pertama-tama perlu ditegaskan bahwa sesungguhnya sebuah perguruan tinggi dibangun dan dipelihara untuk mengembangkan tingkat intelektualitas. Salah satu bentuk intelektualitas itu adalah lewat berpikir kritis. Ketika membuat skripsi, tesis, apalagi disertasi, para mahasiswa diharuskan berpikir kritis. Kalau tidak kritis, karyanya tidak akan jadi. Karena itu, bagi saya, salah satu esensi dari perguruan tinggi adalah bagaimana pengembangan pola berpikir kritis.
Nah, salah satu hasil dari pola berpikir kritis itu adalah dihasilkannya teori baru atau pandangan baru. Pandangan dan teori baru itu seringkali tampak berbeda dengan apa yang sudah ada selama ini. Nah, seharusnya norma perguruan tinggi itu, ya seperti itu. Cuma memang, terkadang dalam beberapa kasus, ada saja persoalan komunikasi; soal bagaimana seharusnya sebuah institusi mengelola lembaga bernama perguruan tinggi. Bahwa sebuah organisasi punya ideologi tertentu, tentu saja iya. Perguruan tinggi juga punya tradisi, itu juga harus tetap dihormati.
Itulah yang selama ini barangkali kurang disadari banyak pihak. Akibatnya, pihak tertentu merasa boleh berbuat apa saja sesuai dengan kewenangan yang ia punya, seperti yang menimpa Mas Shofan saat ini.

Anda dikenal sebagai penulis buku-buku yang kritis dan tidak maintream, seperti soal Syekh Siti Jenar, pemikiran-pemikiran Islam pinggiran, dan lain-lain. Bagaimana Anda bisa bertahan dalam sebuah perguruan tinggi Islam dengan trade mark seperti itu?

Pertama, seorang intelektual, kalau boleh saya menyebut begitu, harus tetap sadar akan tanggung jawabnya dan sadar juga akan resiko yang akan dia hadapi. Kesadaran itulah nantinya yang akan membentuk sikapnya dalam merespons dan menjawab reaksi-reaksi yang muncul di masyarakat. Sayangnya, bukan hanya di Muhamadiyah, tapi di lingkungan perguruan tinggi Islam umumnya, apalagi yang negeri, sikap seperti itu tidak tumbuh dengan baik.
Untuk kasus saya, mungkin karena sudah dianggap super senior, sehingga tidak terlalu banyak yang mempersoalkan saya. Tapi kalau diingat-ingat lagi, pada awal-awalnya, saya dulu juga mengalami hal yang sama dengan Mas Shofan. Tapi saya selalu berprinsip, kalau dosen tak punya sikap kritis, ya, sesungguhnya wujûduhu ka`adamihi (wujudnya seperti tidak berwujud, Red), he-he... Sebab, seorang dosen kan harus melahirkan pemikiran-pemikiran baru.
Jadi, bagi saya, kasus Mas Shofan itu harus mendorong banyak pihak untuk merumuskan kembali bagaimana sesungguhnya hubungan antara perguruan tinggi Islam swasta dengan pihak pemilik perguruan tinggi. Kalau tidak, kasus-kasus seperti ini nanti akan semakin banyak. Kita tahu, teknologi informasi saat ini semakin terbuka, dan globalisasi membuat orang bisa memerkaya informasi untuk dirinya lebih banyak dari pemilik perguruan tinggi. Nah, kalau ini tidak diantisipasi, dosen akan berlari cepat, sementara pemilik perguruan tinggi jalan santai. Kan nggak nyambung?!

Bagaimana Anda melihat hubungan antara menguatnya kelompok puritan dengan tingkat kebebasan akademis di dunia kampus?

Saya agak berbeda dalam melihat persoalan ini. Menurut saya, kelompok yang puritan itu bukannya menguat. Hanya saja, sekarang media berekspresi semakin terbuka. Menguat? Menurut saya, tidak. Kalau di tahun 1970-an, orang seperti saya, M. Amin Abdullah, atau Ulil Abshar-Abdalla, itu bisa mati-kutu beneran. Sekarang kan tidak?! Untuk kasus Mas Shofan, mungkin itu terjadi karena dia masih kecil; jadi gampang dipecat. Karena itu, yang beda saat ini adalah semakin bebasnya media dan dengan begitu orang makin terbuka dalam mengekspresikan sikap dan pandangannya di alam demokrasi. Kini, orang lebih gampang menampakkan sikap-sikapnya yang dulu dipendam.
Karena itu, bagi saya harus dibuat aturan tentang bagaimana caranya mengatasi perbedaan pendapat. Kalau tidak, ya, kita akan terus bertempur setiap harinya. Akibatnya, kita lupa akan rakyat yang harus makan nasi aking dan segenap kesulitan lainnya. Jadi menurut saya, sekali lagi, ini adalah pelajaran berharga bagi kita untuk menghayati kode etik atau etika berperguruan tinggi.
Bagi saya, ketika ada orang menulis buku Ada Pemurtadan di IAIN itu bagus-bagus saja. Hanya sayangnya, si penulis tidak pernah bertanya ke orang-orang yang disudutkannya di bukunya itu. Nah, saya kira proses tabayun itu menjadi salah satu poin penting dari etika intelektual.

Menurut amatan Anda, apakah perguruan tinggi Islam bisa dikatakan bebas, setengah bebas, atau tidak bebas?

Saya belum sampai pada kesimpulan ke sana. Tapi saya meragukan perguruan-perguruan tinggi Islam benar-benar menyadari apa fungsi sebuah perguruan tinggi. Karena itu, saya sering mempertanyakan apakah UIN Jogja sini misalnya, atau UIN umumnya benar-benar sebuah perguruan tinggi. Jangan-jangan, ini hanya lembaga penataran. Karena itu, suasana berpikir kritis itu hanya milik satu dua orang, dan suasana akademik belum lagi tumbuh.
Jadi, memang perlu disadari bahwa sebuah perguruan tinggi itu harus mengembangkan ilmu pengetahuan dan menumbuh-kembangkan tradisi berpikir kritis. Itu memang kewajiban perguruan tinggi. Kalau bukan seperti itu, ya, jadi lembaga kursus saja! []

Tidak ada komentar: