Minggu, 16 November 2008

Beyond Pemikiran Islam Nurcholish Madjid

Beyond Pemikiran Islam Nurcholish Madjid
Moh. Shofan

“Cak Nur sudah menjadi ensiklopedis”, begitu kata Budhy Munawar-Rachman, dalam berbagai kesempatan. Ungkapan itu diulang-ulang dalam berbagai seminar ‘Nurcholis Madjid Memorial Lecter’, yang diselenggarakan di sejumlah kampus di Indonesia. Dan memang, pemikiran-pemikiran Cak Nur yang tercecer selama hidupnya dikumpulkan dan disunting oleh murid setianya, Budhy Munawar-Rachman itu diberi judul ‘Ensiklopedi Nurcholish Madjid’.
Ensiklopedia itu bukan hanya mengutip kembali pandangan Nurcholish, tetapi lebih jauh merupakan interpretasi Budhy sebagai pemikir muda terhadap “Nurcholisisme”. Sudah tentu interpretasi ini mengandung subyektivitas, tetapi landasan ontologisnya adalah obyektivitas. Budhy menyebut buku itu sebagai mimpi lama yang terwujud. Pasalnya, sejak 1996 dia merancang untuk merangkum pemikiran gurunya itu. Buku tersebut, menurut Budhy merupakan transkrip dari kuliah Cak Nur pada dua ratus kelas selama empat ratus jam. Atas jasanya yang luar biasa itu, Budhy—sebagaimana dikatakan oleh cendekiawan muslim, Dawam Rahardjo—berperan seperti filsuf muslim Ibn Rusyd terhadap pemikiran Aristoteles.
Cak Nur yang wafat di usianya yang tidak terlalu tua, 66 tahun, dikenal sebagai tokoh intelektual yang tajam, terbuka, dan pluralis. Tidak heran jika ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda. Cak Nur tidak hanya milik Bangsa, tetapi juga milik dunia. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ kelahiran Jombang, Jawa Timur ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis.
Tentu kita masih ingat sekitar tahun 70-an umat Islam Indonesia disuguhi debat menarik dan “menggairahkan” di dunia intelektual akademis keislaman. Pokok-pokok pandangan Cak Nur dalam makalah yang ditulis tahun 70-an itu adalah tentang perlunya cara pemahaman terhadap ajaran agama Islam yang lebih maju dengan jalan tidak terjebak dalam tradisionalisasi, yakni dengan konsep sekularisasi yang menurut penjelasannya bukan mengarah ke sekulerisme; perlunya kebebasan berpikir, dan idea of progress dan sikap terbuka. Cak Nur mengharapkan umat mampu ‘diliberalkan’ dari absolutisme dan munculnya otoritas keagamaan. Berangkat dari itu Cak Nur menyodorkan keislaman yang inklusif, semangat al-hanafiyah al-samhah.
Dalam konteks dunia Islam, Cak Nur layak disejajarkan dengan pemikir asal Maroko, M. Abid Al-Jabiri (yang dikenal dengan proyek Kritik Nalar Arab), Mohamed Arkoun pemikir asal Al-Jazair (yang dikenal dengan Kritik Nalar Islam), Hasan Hanafi pemikir asal Mesir (yang dikenal dengan Kiri Islam), dan Nasr Hamid Abu Zayd (yang dikenal dengan Kritik Wacana Keagamaan). Pemikiran mereka tidak hanya menjadi rujukan penting di dalam negara mereka sendiri, melainkan memberikan inspirasi bagi segenap dunia Islam. Mereka kritis terhadap Barat, tetapi upaya untuk mengambil sisi positif dari Barat merupakan sebuah keniscayaan yang tak terhindarkan.
Saya kira, figur seperti Cak Nur itulah yang dibutuhkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia di masa depan. Figur yang menginsyafi sepenuhnya realitas kemajemukan masyarakat, yang tercermin dalam pandangan-pandangan keagamaan dan politiknya yang sangat terbuka, toleran, dan demokratis. Bagi Cak Nur, di bumi Indonesia, setiap elemen masyarakat dan bangsa harus mendapat perlakuan yang setara tanpa membedakan latar belakang etnis, budaya, atau agama. Keinsyafannya akan realitas pluralisme masyarakat ini bahkan melampaui dasar-dasar keyakinannya sebagai pemeluk Islam. Meskipun demikian, hal itu tidak kemudian mengubah kesetiaannya kepada Islam. Cak Nur tetaplah seorang muslim yang taat.

Pemikiran Islam pasca-Cak Nur
Dari itulah, tak terbantahkan lagi, proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur. Gagasan-gagasannya tentang keislaman, kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.
Mewabahnya instansi keintelektualan seperti Paramadina, JIL, JIE, JIMM, P3M menurut asasinya adalah imbas emanasi peran intelektual Cak Nur. Cak Nur memiliki kredibilitas khazanah keislaman klasik yang menyatu erat bersama wawasan modernitas. Cak Nur mempunyai spesifikasi menarik untuk ditiru kalangan pembaharu muda abad ini. Cak Nur adalah reinkarnasi adagium: al-muhafadzah ‘ala al-qadimi al-shaleh wa al-akhdu bi al-jadidi al-aslah.
Meskipun demikian, menurut hemat saya, ide-ide yang dilontarkan oleh Cak Nur, walaupun pada masa itu cukup menggegerkan dunia akademik, namun Cak Nur masih membatasi diri pada istilah ‘sekularisasi’ dan ‘sekularisme’. Cak Nur menganjurkan sekularisasi dan menolak sekulerisme. Cak Nur masih tidak setuju dengan istilah itu (sekulerisme) dan menggantinya dengan istilah sekularisasi. Tetapi generasi sekarang seperti Ulil Abshar dan kawan-kawan jelas-jelas mendukung dan menghendaki, bahkan memperjuangkan sekularisme.
Demikian juga di dalam pemikiran liberal, Cak Nur masih tetap setia pada teks, masih merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadis. Tetapi, anak-anak muda progresif bersikap kritis kepada teks. Bahkan al-Qur’an pun dikritik. Artinya, mereka tidak selalu bertolak pada teks, tetapi lebih dari sekadar itu, mereka bertolak pada persoalan-persoalan kemasyarakatan. Dengan kata lain, anak-anak muda ini lebih empiris dibandingkan, misalnya pada masa generasi Cak Nur. Cak Nur masih berada pada taraf inklusif dan belum pada tahapan pluralis. Saya katakan demikian, karena Cak Nur belum pernah melakukan pandangan-pandangan yang positif mengenai agama-agama lain, bahkan sering kali melontarkan kritik terhadap agama-agama lain, khususnya agama Kristen.
Sementara anak-anak muda NU maupun Muhammadiyah telah melakukan upaya dekonstruksi terhadap teks-teks al-Qur’an yang oleh sebagian besar kalangan umat Islam dianggap sebagai ayat-ayat yang bersifat taken for granted, utamanya yang menyangkut persoalan hukum dan aspek-aspek sosial-kemasyarakatan. Hanya saja persoalan bahasa kadang-kadang menjadi persoalan tersendiri bagi kalangan masyarakat yang secara intelektual belum cukup memadai. Sehingga tidak jarang berbagai ide-ide progresif yang muncul di berbagai media massa, menuai kritik tajam dari berbagai lapisan masyarakat. Namun, apapun kritikan itu haruslah diapresiasi secara sehat dan santun. Indonesia, membutuhkan intelektual-intelektual yang genuine dengan ide-ide baru yang brilian serta mampu memberikan tawaran solutif atas berbagai persoalan bangsa.


Dimuat di harian Suara Pembaharuan, 2007

Tidak ada komentar: