Mencari Format Baru Pluralisme:
Dari Moral Defensif ke Moral Ofensif
Moh. Shofan
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa pluralisme merupakan faham tentang kemajemukan. Pengertian ini ingin menegaskan bahwa pluralistik dapat dikondisikan ketika seseorang berkeyakinan tentang sesuatu ‘yang bercorak banyak’ sebagai anugerah. Pandangan ini juga ingin menunjukkan adanya ketulusan hati bagi setiap manusia dalam menerima keanekaragaman. Akan tetapi, menurut hemat saya, pluralisme bukan hal yang mudah begitu saja, karena dalam realitas empiriknya, pluralisme selalu menjadi problem dari zaman dahulu hingga sekarang—setidaknya dalam lima tahun terakhir ini—baik ketika menyangkut sistem ekonomi, ideologi politik maupun struktur sosial, apalagi masalah agama-agama.
Kenapa pluralisme selalu menjadi problem? Pengalaman akan hubungan antaragama yang pernah terjadi sekian tahun ke belakang, kiranya patut menjadi sebuah acuan. Di Indonesia, terjadinya perpecahan dan konflik yang berlatarbelakang keagamaan sangat mudah terjadi dan kadangkala hanya karena persoalan sepele. Bahkan, boleh dikatakan, hampir setiap tahun terjadi ketegangan, kadang kerusuhan, akibat dari sentimen antarumat beragama. Maka, perlu kiranya untuk merenungkan kembali konsep pluralisme agama guna mencari input positif bagi keberagamaan di Indonesia.
Untuk menanggapi konsep pluralisme agama, kiranya memang tidak semua orang sependapat, karena ada yang setuju dan menaruh harapan akan pluralisme, dan ada pula yang merasa khawatir dan curiga terhadap pluralisme itu sendiri. Oleh karena itu, isu pluralisme menjadi sangat penting sekali untuk diapresiasi lebih jauh guna merespons kehidupan keberagamaan dewasa ini.
Pemetaan Islam: ”kanan” versus ”kiri”
Nyatanya, cara kita berislam, dengan demikian, belum sepenuhnya mendapat apresiasi positif dari kalangan kelompok umat Islam lain yang berbeda pandangan dengan Islam yang kita yakini sepenuhnya. Dengan kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri. Monopoli kebenaran Islam seperti itu, menurut Gus Dur (2006) bertentangan dengan semangat demokrasi. Akibatnya, konsekuensi penafsiran mereka yang (sudah) terbiasa dengan formalisasi, akan terikat pada upaya-upaya untuk mewujudkan ‘sistem Islami’ secara fundamental dengan mengabaikan pluralitas masyarakat.
Hal demikian, tentu saja menjadikan Islam berwatak ideologis dari pada kultural. Semangat yang dibawa Islam kultural adalah semangat dinamisme-historis, termasuk di dalamnya adalah bagaimana menegakkan keadilan, kebebasan, kesetaraan, demokrasi, dan lain-lain. Sedangkan semangat yang dibawa oleh Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Atau bisa dibalik demikian: ideologi Islam adalah ideologi yang bersumber pada paham hidup yang berasaskan Islam. Paradigma ini mendorong umat Islam untuk memperkuat identitas dan ideologi mereka sebagai ‘alternatif’ terhadap sistem-sistem yang dipandang sebagai bertentangan dengan Islam.
Dalam diskursus pemikiran Islam pertentangan antara Islam ideologis dan Islam kultural atau Islam literal versus Islam liberal, kelihatannya menjadi catatan sejarah sepanjang zaman. Uniknya, baik yang literal maupun yang liberal sama-sama ada dalam tubuh Muhammadiyah dan NU. Jadi, ada Muhammadiyah literal yang identik dengan ‘kanan’ dan ada Muhammadiyah Liberal yang identik dengan ‘kiri’. Begitu juga di NU: Ada NU ‘kanan’ dan NU ‘kiri’. Walaupun pemetaan tersebut belum sepenuhnya bisa diterima, namun secara sosiologis kenyataan seperti itu sulit dihindari.
Hal ini berbeda, misalnya, dengan kelompok yang menamakan dirinya MMI, FPI, HTI, Ikhwanul Muslimin. Saya mengidentifikasikan beberapa kelompok yang saya sebut terakhir ini sebagai Islam ‘kanan’. Mereka memiliki kesadaran yang tinggi dan termotivasi kuat secara ideologis untuk meneguhkan dirinya sebagai pelurus terhadap praktik-praktik keagamaan yang dianggap ‘tidak Islami’, sehingga melahirkan ekslusivisme dan sektarianisme yang militan. Karena itu kelompok ini juga sangat sensitif terhadap pemikiran yang diindikasikan sebagai pembawa paham sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme.
Dalam memandang agama orang lain, kelompok ini seringkali menggunakan standar-standar penilaian yang dibuatnya sendiri untuk memberikan vonis dan menghakimi agama lain. Mereka memiliki kecenderungan membenarkan agamanya, sambil menyalahkan yang lain. Memuji agama diri sendiri seraya menjelekkan agama yang lain. Agama orang lain dipandang bukan sebagai jalan keselamatan paripurna. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter.
Ketegangan kreatif yang ditimbulkan pluralisme tersebut tentu saja merupakan tantangan tersendiri bagi kita. Tantangan ini merupakan suatu krisis sekaligus peluang untuk perkembangan rohani. Dikatakan krisis karena tidak menutup kemungkinan akan berimplikasi pada suasana chaos, karena minimnya pengetahuan dan pemahaman terhadap agamanya. Di sisi lain, ini justru menjadi peluang, karena menuntut tanggung jawab para agamawan, intelektual untuk merumuskan dan menafsirkan kembali secara tepat perihal pesan Tuhan dalam keseluruhan maknanya. Inilah yang juga menjadi kekhawatiran Fathi Osman (2007), akan masa depan agama-agama.
Menguatnya kelompok konservatisme di tubuh umat Islam tentu saja menjadi ancaman yang sangat serius bagi tegaknya pluralisme, liberalisme dan sekulerisme. Dalam kacamata Zuhairi Misrawi (2004), ketegangan tersebut kerapkali terjadi, karena dua hal. Pertama, problem diskursus pluralisme. Pada komunitas agamawan, pluralisme masih menjadi sesuatu yang diperdebatkan, bahkan pada titik itu diharamkan. Kenyataan ini disebabkan tidak adanya kehendak teologis (theological will) dari elite agamawan, pendeta, pastor, ulama, dan kiai untuk mensosialisasikan dan mendakwahkan diskursus pluralisme kepada jamaahnya.
Kedua, problem struktural atau lebih tepat disebut problem kebijakan publik. Dalam aroma demokratisasi dan civil society seperti sekarang, pemerintah sering menjadi ”faktor penyoal”, ”bukan faktor penjawab”. Artinya, tujuan untuk mewujudkan pluralisme tersandung kebijakan publik yang tidak pluralis.
Hal yang sama juga dikatakan oleh M. Dawam Rahardjo (2007), bahwa terjadinya krisis keberagamaan yang ditunjukkan oleh terjadinya konflik horizontal berlatar belakang kesukuan dan agama disebabkan ketidaktegasan pemerintah dalam menegakkan konstitusi yang mengakui hak-hak sipil. Menurut Dawam, kunci dari penegakan hak-hak sipil adalah pluralisme dan sekulerisme yang menghargai semua agama seutuhnya. Pemihakan terhadap satu agama saja merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan maupun kebebasan beragama. Dan dalam kenyataannya, hanya ada 5 dan kemudian 6 agama yang secara de facto ‘diakui’ oleh negara karena hanya mereka yang dilayani oleh Departemen Agama. Penganut di luar agama-agama itu tidak memiliki sejumlah hak-hak sipil.
Karenanya menarik mengikuti pendapat Swindler, bahwa agama menurutnya terdiri dari empat komponen atau 4-C, yaitu creed atau akidah, cult atau peribadahan, code atau kode etika dan community structure atau susunan masyarakat. Dawam menyempurnakan menjadi 5 yaitu culture atau civilization, membangun peradaban. Bahkan Kang Jalal (Jalaluddin Rahmat) menggeser titik tekan keberagamaan dari 2C yang pertama, yaitu creed atau akidah dan cult atau ibadah kepada akhlaq. Hanya saja, isi dan substansi dari setiap C itu berbeda-beda. Karena itulah dikatakan, agama-agama itu ide dasarnya sama, tetapi berbeda isi dan eksperasinya. (Rahmat, 2006)
Munculnya fanatisme dan eksklusifisme di kalangan umat Islam adalah keberagamaan yang menitikberatkan kepada 2C yang pertama, yaitu creed dan cult. Keberagamaan semacam ini perlu dicairkan dengan proses liberalisasi pemikiran. Dalam bahasa lain, jika ditempuh melalui pendekatan pluralis yang liberal, privatisasi hanya terjadi secara parsial, yaitu di bidang akidah dan ibadah. Di bidang moral, kebudayaan dan peradaban agama akan bangkit menjadi wacana publik berdasarkan penalaran moral (moral reasoning) dan penalaran publik (public reasoning).
Mengaplikasikan pluralisme
Kang Jalal, seraya mengutip Muthahhari, mendedahkan bahwa Islam yang dianut sebagai agama resmi lebih banyak pengertiannya sebagai ”Islam geografis”, Islam yang diperoleh karena lingkungan. Karenanya, atas dasar itu pula saya meyakini bahwa munculnya konflik yang mengatasnamakan agama maupun Tuhan, kiranya lebih banyak disebabkan kurangnya pemahaman mengenai agama. Mereka pada umumnya memahami agama sebatas yang mereka dengar dari para khotib-khotib—meminjam istilah Ulil—yang hanya hafal satu dua ayat dengan volume yang meledak-ledak, seraya memukul-mukulkan tangannya di atas mimbar.
Nah, umumnya, dari kelompok merekalah konflik itu muncul. Sehingga, untuk membangun kesadaran beragama dengan menerima ragam perbedaan dalam bingkai civil society, demokrasi dan peradaban, agaknya (masih) dibutuhkan waktu yang lama. Untuk mewujudkan pluralisme sebagai ikatan sejati di tengah ragam kemajemukan dalam tali keadaban, relativisme internal menjadi hal yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap warga harus saling memahami dan menyongsong yang lain, tanpa emosi ikatan primordial.
Pengakuan terhadap pluralisme budaya dan agama memerlukan pengembangan demokrasi lebih lanjut. Tidak mungkin ada demokrasi yang maju tanpa kebebasan seluruh kelompok. Muhammad Syahrur (2003) mengatakan, bahwa inti dasar kehidupan adalah kebebasan yang tidak bisa ditawar-tawar. Setiap orang adalah manusia bebas dalam menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Tidak ada satu otoritas pun yang boleh menghalangi realisasi dari kebebasan yang dimiliki seseorang.
Sistem kehidupan individu dan sosial harus dibangun untuk memelihara kebebasan setiap orang, menghindari retriksi (tekanan) atas manusia. Karena selama ini, masalah eksploitasi manusia oleh manusia menjadi tema yang diusung oleh setiap agama, ideologi, pemikiran dengan klaim bahwa mereka membawa misi keselamatan bagi manusia menuju kebebasan yang menjadi mitra manusia.
Tanggung jawab terbesar seseorang adalah mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan tersebut supaya tidak dicederai oleh manusia sendiri. Jadi, kebebasan bukanlah sebuah potensi ‘yang semaunya’, tetapi memiliki dasar-dasar yang dilekatkan pada tanggung jawab setiap orang untuk menciptakan kehidupan yang manusiawi.
Dari situlah, saya kira, untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan tersebut diperlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang partikular. Kuntowijoyo (1991) pernah menawarkan bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke obyektif. Dalam kerangka berfikir obyektif ini menurut Kunto, tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain.
Dengan demikian, seperti dikatakan Kunto, agama-agama lain tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin eksistensinya masing-masing di tengah-tengah masyarakat Islam. Bahwa agama lain ada secara obyektif, cukuplah bagi umat Islam. Umat tidak perlu repot-repot berfikir tentang kedudukan teologis agama lain dalam Islam. Perubahan cara berfikir subyektif ke obyektif di sini berarti pengakuan sepenuhnya bahwa agama yang ada di luar itu ada secara obyektif. Bagi Kunto, konstruksi pengetahuan itu (harus) dibangun oleh al-Qur’an, dengan tujuan agar kita memiliki hikmah, yang atas dasar itu bisa dibentuk perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai normatif al-Qur’an, baik pada level moral, maupun sosial.
Usaha-usaha semacam itu diperlukan usaha untuk mengangkat teks al-Qur’an ke tingkat penafsiran yang bebas dari beban-beban atau bias-bias historisnya. Kuntowijoyo biasa menyebutnya dengan mentransendensikan al-Qur’an (melepaskan diri dari bias-bias penafsiran yang terbatas pada situasi historis itu, atau mengembalikan makna teks) yang sering merupakan respons terhadap realitas historis kepada pesan universal dan makna transendentalnya. Sedemikian rupa, usaha-usaha untuk menafsirkan dan mentransformasikan realitas tidak terbelenggu oleh paradigma usang masa lalu yang mempunyai bias berbeda dengan kondisi sosio-historis masa kini. Dan inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi eksistensi bersama, dasar bagi pluralisme agama-agama.
Kecenderungan berfikir seperti Kunto di atas, agaknya belakangan ini diikuti oleh Kang Jalal. Kang Jalal menawarkan istilah baru yang disebutnya sebagai agama madani, sebagai agama warga negara yang referensi subyektifnya didasarkan pada doktrin agama masing-masing kelompok agama, tetapi kemudian ditarik nilai-nilai obyektifnya sebagai seperangkat norma universal yang bisa di share bersama. Dengan kata lain, agama sipil atau agama madani merupakan titik temu universal agama-agama, dari mana norma-norma etis yang bersifat general yang berasal dari ajaran masing-masing agama, dirumuskan bersama sebagai common denominator.
Dalam kerangka seperti ini, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai dan bersekutu untuk memperjuangkannya di tingkat publik–meminjam istilah Dawam–berdasarkan penalaran moral (moral reasoning) dan penalaran publik (public reasoning). Dengan demikian ruang agama dapat dipetakan menjadi dua, yaitu wilayah privat (bidang agama dan ibadah) dan wilayah publik (moral, kebudayaan dan peradaban).
Penting juga diingat, bahwa dalam melihat pluralisme seyogianya harus dibedakan dua tataran: deskriptif dan normatif-preskriptif. Deskriptif yang sekadar mengakui (acknowledging) keragaman. Ini yang saya sebut dengan pluralisme defensif. Yang kedua, dengan normatif-preskriptif yang tidak sekadar mengakui, tetapi juga mau memperjuangkan (advocating) keragaman. Ini yang saya sebut dengan pluralisme ofensif.
Pada tataran deskriptif, pluralisme adalah fakta sosial yang tidak terelakkan, baik karena kondisi awal masyarakatnya sudah majemuk maupun karena proses pluralisasi kehidupan yang dibawa oleh arus modernisasi. Namun, ketika kita berbicara pada tataran normatif-preskriptif, ketiga matra berikut perlu diperhatikan secara serius, yaitu keragaman pada matra konteks budaya (contextual pluralism), matra asosiasi-asosiasi kelembagaan (associational pluralism), dan matra sistem nilai yang memberi arahan pada kehidupan manusia (directional pluralism). Penjernihan dan distingsi-distingsi di atas sangat dibutuhkan dalam membaca pluralisme (Trisno Sutanto, 2006)
Karena itu, kita harus tetap menghargai agama dan kepercayaan orang lain dengan tidak perlu terjebak pada anggapan “menyamakan semua agama”. Orang yang menghormati jati diri masing-masing agama pasti tidak akan mengatakan, semua agama adalah sama. Setiap agama tentu memiliki perbedaan. Masing-masing agama mempunyai pemahaman dan konsepsi sendiri-sendiri mengenai siapa yang mereka sembah. Seperti dikatakan dalam kaidah ushul: al-ashl fi al-‘ibadah al-ittiba’. Tapi dalam hal yang berkaitan dengan etika dan moral, seperti kasih sayang, toleransi, perdamaian, keadilan, keseteraan dan persamaan hak merupakan ajaran yang diutamakan oleh semua agama.
Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman. Dari sini kita berharap semoga masa depan umat manusia bisa lebih menjanjikan bagi datangnya era-baru yang sejahtera, damai, dan tanpa prasangka, dengan berpijak pada nilai-nilai moral dan spiritual yang mengikat dalam etika global.
Makalah ini dipresentasikan di acara Workshop Pluralisme di Bogor, Juli 2007 kerjasama PSIK Univ. Paramadina dan LSAF Jakarta
Senin, 17 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
tetap ikuti kata hati kak shofan selalu ingat the proses of being seperti yang sering kaka katakan pada saya waktu kuliah di Unmuh Gresik Allah menyukai orang yang berusaha berkembang bukan orang yang suka mengolok-olok tanpa dasar ilmiah.
aku mau ajari lekto buat blog biar bisa menuangkan fikiranya.
Posting Komentar