Menakar Obyektifikasi Pluralisme[1]
Moh. Shofan
Tulisan ini diawali dengan sebuah pertanyaan filosofis, mengapa pluralisme selalu menjadi problem? Agaknya, tidak mudah menjawab pertanyaan semacam ini. Namun, saya punya keyakinan, bahwa sesulit apapun pertanyaan tersebut, tentu menjadi kewajiban setiap insan untuk mencari model dan pendekatan yang mampu memberikan jawaban solutif di tengah-tengah masyarakat yang sebagian besar masih belum memahami secara sungguh-sungguh arti pentingnya pluralisme. Sehingga dampak dari ketidakpahaman mengenai pluralisme tersebut, setidaknya dalam tataran sosiologis, telah memicu konflik yang tidak jarang mengatasnamakan agama atau Tuhan. Di Indonesia, boleh dikatakan, hampir setiap tahun terjadi ketegangan, kadang kerusuhan, akibat dari sentimen antarumat beragama. Oleh karena itu, isu pluralisme menjadi sangat penting sekali untuk diapresiasi lebih jauh guna merespons kehidupan keberagamaan dewasa ini.
Sejauh yang saya amati berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti Muhammadiyah, belum tampak jelas pembelaannya terhadap persoalan pluralisme. Bahkan, arah kecenderungannya semakin konservatif. Statemen seperti ini–setidaknya dalam pembacaan saya–tentu tidaklah mengada-ada. Ada banyak fakta bahwa Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu yang hampir mendekati satu abad telah mengalami orientasi paradigma dari yang semula bermazhab ‘kritis’ berganti menjadi mazhab ‘puritanis’. Karenanya, tidaklah berlebihan, kiranya jika cendekiawan muslim, seperti Moeslim Abdurrahman (2005) mengatakan, bahwa Muhammadiyah sudah cukup lama tenggelam dalam rasa kebenaran: bahwa Islam versi Muhammadiyah adalah Islam yang paling benar, ortodoks dan asli. Akibat ortodoksi dalam kultur Muhammadiyah inilah maka intellectual exercise menjadi tertutup. Di sisi lain, sikap doktrinal di Muhammadiyah telah menyebabkan terjadinya pembakuan dan formalisasi.
Dalam soal pluralisme, Muhammadiyah belum secara tegas menerima pluralisme. Padahal, pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan, sangat intens melakukan dialog dengan para pendeta, pastor dan ulama-ulama dari agama lain. Dahlan adalah seorang akomodasionis, yang terbuka terhadap berbagai aliran pemikiran. Bahkan, terhadap ajaran agama-agama lain pun, beliau tidak segan-segan untuk mengambilnya, sepanjang itu bermanfaat untuk kepentingan kemanusiaan universal.
Namun demikian, dalam perjalanan historisitasnya, Muhammadiyah, tidak lagi menjadi organisasi yang membawa spirit pembaharuan (tajdid) dan ikut andil dalam menjawab persoalan-persoalan masyarakat yang syarat dengan diskursus, misalnya pluralisme, liberalisme dan sekularisme. Sebaliknya, yang terjadi justru memperteguh dan melestarikan puritanisme dengan jargon al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-Sunnah tanpa adanya sikap kritis sama sekali. Sehingga, sulit mengatakan Muhammadiyah sebagai gerakan modern, sebagaimana yang sering diduga banyak orang.
Menyadari “kebekuan” berfikir di tubuh Muhammadiyah, maka sangatlah wajar, jika anak-anak muda progresif yang tergabung dalam komunitas Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah yang lazim disingkat JIMM telah melakukan pemberontakan terhadap pemikiran mapan yang terkristalisasi dalam HPT (Himpunan Putusan Tarjih). HPT dianggap sebagai kitab suci baru yang anti kritik. Sehingga, siapapun yang melanggar ketentuan HPT, dianggap telah keluar dari Mazhab Muhammadiyah. Namun, usaha-usaha intelektual yang dilakukan anak-anak JIMM ini sama sekali tidak mendapat respon positif dari Muhammadiyah. Bahkan, perkembangan terakhir menunjukkan perbedaan pandangan kelompok tua dan kelompok muda ini, tidak sekadar berputar-putar pada ranah discourse tetapi sudah mengalami perluasan dimensi dalam bentuk kekerasan. Seperti halnya yang terjadi pada kasus pemecatan saya dari Universitas Muhammadiyah Gresik yang dipicu oleh sebuah pemikiran yang membolehkan mengucapkan selamat hari raya Natal bagi saudara-saudara kita di Kristen.
Satu hal lagi yang perlu saya sebut di sini adalah M. Dawam Rahardjo, salah satu cendekiawan muslim yang tampil sebagai pembela kebebasan yang sangat gigih. Dawam bahkan tak segan-segan melakukan demonstrasi dan pembelaan terhadap pelbagai kasus yang menimpa kaum minoritas. Di antara kelompok-kelompok yang mendapat advokasi langsung dari Dawam Rahardjo akibat diskriminasi yang mereka terima adalah Jamaah Lia Eden, kalangan Syi’ah, Jaringan Islam Liberal, kalangan Kristen dan Katolik yang dihancurkan gerejanya, dan kelompok minoritas lainnya. Tak ayal pula, pembelaan Dawam ini menempatkannya sebagai tokoh yang banyak dimusuhi oleh kalangan mayoritas. Dengan pertimbangan itu pula, Dawam dicoret dari posisi pimpinan Muhammadiyah.
Dua contoh kasus di atas, saya kira sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bahwa Muhammadiyah telah mengalami krisis epistemologi yang cukup parah. Memang, pada masa Amin Abdullah, Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, banyak melakukan analisis terhadap persoalan sosial kemasyarakatan dan mengembangkan nalar bayani, burhani dan irfani. Perhatian Muhammadiyah terhadap epistemologi burhani (demonstratif) sebenarnya sudah dirintis oleh Amin Abdullah. Namun, upaya cerdas itu rupanya tidak mendapat respons sama sekali. Bahkan, Din Syamsuddin tidak punya modal intelektual. Alih-alih membawa Muhammadiyah bangkit dari krisis. Malah sebaliknya, semakin memperparah krisis. Muhammadiyah sudah merasa cukup dengan merujuk pada HPT yang dianggap sudah final, taken for granted, dengan tingkat kesakralan yang melebihi al-Qur’an.
Saya kira, fenomena seperti itu tidak hanya di Muhammadiyah saja, tetapi resistensi yang sama juga terjadi di organisasi Islam lain, seperti NU. Munculnya Jaringan Islam Liberal ( JIL ) yang dimotori para aktivis muda lintas agama, yang sebagian besar justru santri-santri muda berwajah baru yang sudah lelah dan pengap dengan indoktrinasi, konservatisme dan dogmatisme dalam studi Islam, untuk menghadirkan Islam yang ramah, toleran, inklusif, liberal, dan membebaskan. Kehadiran mereka juga memicu kontroversi di kalangan generasi tua NU. Nama Jaringan Islam Liberal atau yang sering disebut dengan komunitas Utan Kayu (KIUK) ini tidak bisa dilepaskan dari figur Ulil Abshar Abdalla.
Sebagai pendiri Jaringan Islam Liberal yang sering menyuarakan liberalisasi tafsir Islam, Ulil menuai banyak kritik. Gaya bahasanya dan pemikirannya tentang liberalisme Islam yang cenderung provokatif telah banyak mengundang reaksi sejumlah kalangan umat Islam. Namun represi serta ancaman dari umat Islam pun tak mengendorkan semangatnya untuk membela habis-habisan kemerdekaan berfikir dalam Islam. Kegigihannya dalam menawarkan Islam berwajah liberal inilah yang oleh Gus Dur (panggilan Abdurrahman Wahid) sebagaimana dikatakan dalam pengantar buku Ulil, ‘Menjadi Muslim Liberal’ bertindak seperti Ibnu Rusyd (Averros) yang membela habis-habisan kemerdekaan berfikir dalam Islam.
Siapa musuh kita ?
Dengan mengacu pada pemaparan di atas, maka sesungguhnya musuh utama kelompok progresif-liberal dalam memperjuangkan proyek pluralisme, liberalisme dan sekulerisme itu bukanlah Barat atau kelompok-kelompok agama di luar ‘Islam’, tetapi kelompok umat Islam sendiri. Ini harus diakui bahwa dalam Islam sendiri juga telah terjadi pergulatan yang tak henti-hentinya di antara mereka yang memperjuangkan ‘monolitas’ kebenaran Islam, dengan mereka yang meyakini ‘pluralitas’ Islam sebagai rahmat kehidupan bersama dengan orang-orang lain. Orang-orang Islam yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pluralisme sesungguhnya mendapatkan lawannya dalam kelompok umat Islam sendiri dan bukan–sekali lagi–dari luarnya, dan inilah yang ril terjadi dalam kehidupan politik sehari-hari, sebagaimana semangat yang ditunjukkan Islam ideologis.
Semangat yang dibawa oleh Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap, sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Paradigma ini bisa kita temukan pada kelompok-kelompok Islam, seperti MMI, FPI, HTI dan gerakan Islam Salafy. Pandangan ini jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Pembacaan seperti inilah yang pada akhirnya melahirkan ‘otoritarianisme moral’–atau meminjam istilah Khaled M. Abou El Fadl, mengubah teks dari ‘otoritatif’ menjadi ‘otoriter’. Model pembacaan semacam ini patutlah ditolak.
Obyektifikasi pluralisme
Nah, saya kira, untuk mewujudkan sistem kehidupan yang berkeadilan, berkesetaraan dan memelihara anugerah kebebasan tersebut diperlukan seperangkat rumusan yang tepat agar kita tidak terjebak pada pemahaman agama dalam pengertian yang partikular. Kuntowijoyo (1993) pernah menawarkan bagaimana mengubah Islam dari cara berfikir subyektif ke obyektif. Dalam kerangka berfikir obyektif ini menurut Kunto, tidak perlu pertimbangan-pertimbangan teologis tentang benar salahnya agama lain. Paradigma Kunto yang terkenal dengan pendekatan “obyektifikasi” mungkin menarik untuk dikembangkan lebih jauh. Obyektifikasi yang dimaksudkan adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan agama lain sebagai sesuatu yang natural.
Dengan kata lain, obyektifikasi selalu mengandaikan universalisasi. Dalam pandangan kaum universalis dan obyektifis, selalu ada kemungkinan untuk melakukan aplikasi umum dan di manapun (general application), di mana tidak ada lagi distingsi antara manusia dan tempat atau lokus tertentu. Dalam obyektifikasi ini, Arkoun maupun Edward Said menekankan pentingnya “local knowledge” yang membawa kita untuk kritis terhadap sebuah teks atau produk pengetahuan (yang diuniversalkan itu), lalu mengembalikannya kepada konteks, situasi atau lokalitasnya.
Berger dan Luckman (1966) menyebutkan ada tiga momen dalam proses membangun pengetahuan: eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Eksternalisasi pengetahuan adalah proses di mana terjadi pertukaran pengetahuan personal, sehingga pengetahuan itu dikomunikasikan. Obyektifikasi adalah proses dimana pengetahuan menjadi realitas obyektif, sehingga pengetahuan tersebut diakui oleh komunitas.
Dalam hal ini adalah eksternalisasi dari keyakinan agama yang tidak hanya dirasakan oleh orang yang bersangkutan dan kalangan komunitasnya, tetapi juga dirasakan komunitas agama lain sebagai sesuatu yang natural. Internalisasi pengetahuan adalah proses dimana pengetahuan yang terobyektifikasi tersebut digunakan oleh personal dalam rangka sosialisasi mereka. Internalisasi pengetahuan dilakukan melalui kegiatan pencarian terus menerus hingga menemukan kembali pengetahuan yang tersimpan dalam teks-teks normatif. Inovasi yang dihasilkan dari kombinasi dari eksternalisasi, obyektifikasi dan internalisasi. Ketiga proses tersebut juga menggambarkan tiga tipe sharing pengetahuan yang diusulkan Marleen Huysman dan Dirk de Wit (2003): knowledge exchange, knowledge retrieval, dan knowledge creation.
Usaha-usaha untuk menarik agama pada level moral ini jauh-jauh hari juga sudah diwartakan oleh Cak Nur, dengan konsep kalimat al-sawa’ (titik temu bersama), yakni prinsip tentang perlunya agama-agama bertemu pada suatu kesepakatan nilai bersama untuk berkhidmat pada Tuhan yang sama, demi kemaslahatan umat manusia. Belakangan, Jalaluddin Rakhmat, juga menawarkan istilah baru yang disebutnya sebagai agama madani, yaitu agama yang referensi subyektifnya didasarkan pada doktrin agama masing-masing kelompok agama, kemudian ditarik nilai-nilai obyektifnya sebagai seperangkat norma universal yang bisa di share bersama.
Dalam kerangka seperti ini, semua agama memiliki kedudukan yang sama untuk ikut menyumbangkan nilai-nilai yang harus dibangun untuk mewujudkan masyarakat yang toleran, menegakkan keadilan, menjunjung tinggi keseteraan dan persamaan hak yang merupakan ajaran semua agama. Pluralisme ingin agar nilai-nilai tersebut bisa diaplikasikan dalam konteks sosial untuk membangun kebersamaan dan kesepahaman.
[1] Dimuat di harian Media Indonesia, 22 Juli 2007
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar