Kamis, 06 November 2008

Masa Depan Sekularisme

Masa Depan Sekularisme [1]
Moh. Shofan

Diskursus mengenai sekularisasi atau sekularisme tak pernah berhenti dibicarakan. Sebagai wacana, sekularisasi sudah terlanjur dipahami salah dan kaprah oleh masyarakat, bahwa kehidupan dunia harus dipisahkan dari agama. Perdebatan tentang sekularisasi sendiri di Indonesia, dimulai pada dasawarsa 1970-an antara Rasjidi dan Nurcholish Madjid yang dianggap sebagai tokoh kontroversial.
Mengapa terjadi perdebatan? Suatu perdebatan biasanya hanya berupa salah pengertian yang disebabkan karena perbedaan persepsi atau sudut pandang. Begitu pula dengan istilah ‘sekularisasi’ tersebut, harus diketahui dari sudut pandang mana orang melihatnya. Melihat dengan kaca mata Barat tentu saja akan berlainan dengan kacamata kita orang Indonesia, begitu pula kalau yang digunakan adalah kacamata orang lain, karena masing-masing dilatarbelakangi oleh kultur, politik, maupun sejarah yang berlainan.
Sepanjang sejarahnya pertentangan antara akal dan wahyu selalu saja terjadi pergumulan hebat yang berpungkas pada dua kutub ekstrim. Antara fideisme (iman-sentris) di satu sisi dan evidensialisme (rasio-sentris) di sisi lain. Padahal, kalau kita mau jujur, yang terjadi bukanlah antara akal dan wahyu, melainkan antara mereka yang rasionalis, dengan para pembela wahyu. Para pembela wahyu beranggapan bahwa kebenaran hanya ada dalam kitab suci karena kebenaran wahyu merepresentasikan kebenaran kalam Tuhan. Sementara kalangan rasionalis beranggapan bahwa kebenaran tidak mesti datang dari wahyu karena kebenaran juga bisa didapat dari realitas empirik melalui berbagai kajian-kajian ilmiah. Dalam pandangan rasionalis, mencari sebuah kebenaran dibutuhkan sebuah kritisisme, meskipun kebenaran itu bersumber dari wahyu. Kritisisme inilah yang melahirkan sebuah metode ataupun pendekatan yang diperoleh dari ilmu pengetahuan untuk menggali kebenaran.
Sekularisasi, sebagaimana yang telah dikembangkan sejak abad pertengahan, menunjukkan arah perubahan dan penggantian hal-hal yang bersifat adi-kodrati dan teologis menjadi hal-hal yang bersifat alamiah, dalam dunia ilmu pengetahuan yang menjadi serba ilmiah dan argumentatif. Atas dasar pengertian ini, sekularisasi dapat didefinisikan sebagai pembebasan dunia dari pengertian religius atau pembebasan dari legitimasi sakral.
Dalam menyederhanakan ajaranya, protestanisme sejauh mungkin melepaskan diri dari tiga unsur pokok ajaran, yaitu tentang misteri, mukjizat dan hal-hal yang magis. Proses inilah yang dikenal sebagai pembebasan dunia dari sihirnya, yang oleh Peter L. Berger disebut sebagai disenchantment of the world, yang berarti demitologisasi dunia. Benyamin F Intan, seorang pendeta teolog yang mempelajari public religion di Boston College, Amerika Serikat, dalam kajiannya mengambil tiga bentuk sekularisasi: pertama, privatisasi agama; kedua, decline of religion (kemerosotan agama); dan ketiga, diferensiasi. Ia dan kalangan Kristen pada umumnya menolak dua bentuk yang pertama dan mengartikan sekularisasi sekadar sebagai diferensiasi antara akal dan iman, antara yang private dan public, serta antara agama dan negara.

Sekularisme, menyelamatkan agama
Sekularisasi adalah ketegangan yang terus-menerus untuk terlibat di dalam dunia realitas dan yang membantu kita menyebarluaskan apa yang kita yakini sebagai kebenaran di ranah sosial. Pandangan generik mengenai sekularisasi ini harus dikembalikan pada substansinya, yaitu sekularisasi seperti yang didefinisikan Robert Bellah (1999) yaitu “ajaran” rasionalisasi agama dan mengaktualisasikan pemahaman keagamaan pada perkara-perkara realitas. Dengan demikian problem sekularisasi menjadi terbuka bagi semua orang tanpa melihat latar belakang agamanya.
Karenanya Abdul Karim Soroush berpendapat bahwa menjadi sekuler asal tidak taklid adalah baik, malah kritisismenya justru tumbuh subur. Menurutnya, menjadi sekuler tidak selamanya berpretensi negatif. Dalam salah satu wawancaranya Soroush bahkan menyatakan diri demikian: “saya menjadi bagian dari sekularisasi justru karena ingin menyelamatkan agama dari sekularisasi itu sendiri”.
Dengan demikian, sekularisasi merupakan perangkat yang dapat menyelamatkan ajaran agama untuk kesejahteraan umat manusia sendiri. Jika tidak ada sekularisasi, maka eksistensi agama akan menjadi hambatan yang besar terhadap kemerdekaan berpikir, keterbukaan wacana dan ilmu pengetahuan yang merupakan spirit sekularisme. Dari sinilah kemudian timbul pemikiran tentang perlunya sekularisasi dalam pengertian “pemisahan”. Yakni upaya pemisahan antara wilayah agama atau keyakinan dengan politik (negara), antara dimensi transenden (sakral) dengan yang imanen (profan).
Public religion tumbuh dari pemahaman dan kesadaran terhadap pentingnya sekularisasi atau sekularisme diinterpretasi sebagai diferensiasi. Sebab pemberian otoritas keagamaan yang berlebihan akan menimbulkan kecenderungan-kecenderungan yang anti-humanis, pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hak-hak dan kebebasan sipil. Karenanya, agama harus diserahkan pengelolaan dan pembangunannya kepada civil society yang bebas dari intervensi negara. Akhirnya, mari kita songsong masa depan sekularisme dengan penuh optimisme.

[1] Dimuat di harian Seputar Indonesia, 13 Oktober 2007

Tidak ada komentar: