Islam, Negara dan Kebebasan Beragama
(Kasus Ahmadiyah)
Moh. Shofan
Keniscayaan kebebasan beragama sebagai yang sudah digariskan ajaran Tuhan (al-Qur’an) dalam kenyataan di lapangan masih mengalami persoalan serius. Bagaimana tidak, peristiwa yang menimpa Ahmadiyah oleh pemerintah adalah salah satu contoh bagaimana kebebasan beragama belum dapat dijalankan dengan baik. Di beberapa daerah, hak-hak sipil mereka sebagai warga negara dibatasi, mulai dari hak kebebasan berkeyakinan, hak membangun tempat ibadah hingga ke persoalan ibadah haji. Pemerintah hanya berpihak kepada kelompok mainstream (mayoritas) di antara lima agama yang ada. Kelompok Ahmadiyah, meskipun tetap mengklaim diri mereka sebagai Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, mendapat perlakukan diskriminatif dari aparat negara. Demikian pula nasib kelompok-kelompok minoritas dalam keempat agama lainnya.
Cita-cita terdepan agama untuk membangun kedamaian dan kesejahteraan, dengan demikian, menjadi angan-angan absurd karena hati nurani manusia telah dihalangi kebebasannya dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya. Sungguh, tiada bencana yang lebih besar kecuali pemasungan terhadap kelompok tertentu dalam menjalankan keyakinan agamanya.
Padahal, secara normatif, pemerintah sudah membuat aturan berupa Undang-undang lengkap dengan pasal-pasalnya yang mengatur tentang kebebasan beragama maupun berkeyakinan. Untuk menyebut beberapa, misalnya, kehadiran UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM seharusnya dapat dijadikan sebagai jaminan terhadap kemerdekaan beragama dan berkeyakinan. Sebagaimana ditegaskan dalam pasal 22 yang menyatakan: (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan kebijakan baru mendukung kebebasan berkeyakinan melalui TAP MPR Tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia sebagai tertera pada pasal 13: Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hak berkeyakinan ini masih diperkuat lagi dengan pasal 17 yang menegaskan bahwa hak ini termasuk dalam kategori hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Menurut C. De. Rover (2000), hak asasi manusia adalah hak hukum yang dimiliki oleh setiap orang sebagai manusia. Hak-hak tersebut bersifat universal dan dimiliki setiap orang, kaya maupun miskin, laki-laki ataupun perempuan. Hak-hak tersebut mungkin saja dilanggar, tetapi tidak pernah dapat dihapuskan. Hak-hak asasi manusia adalah hak hukum dan ini berarti bahwa hak-hak tersebut merupakan hukum. Hak asasi manusia dilindungi oleh konstitusi dan hukum nasional banyak negara di dunia”.
Sejumlah aturan normatif di atas, membuktikan bahwa jaminan negara terhadap kebebasan berkeyakinan di Indonesia sudah memadai. Namun, persoalan mulai muncul, ketika pemerintah tidak mampu untuk mengimplementasikannya di level praksis. Konstitusi negara tampaknya hanya menjadi retorika kenegaraan yang tidak mampu memperkuat identitas kebangsaan pada warga negaranya, karena masih ada hak-hak kehidupan religius warga negara yang tidak mampu dilindungi oleh negara dengan konstitusi yang telah diakui dan disahkan oleh pendiri dan pelaksana pemerintahan ini. Paham kebangsaan dan kenegaraan sudah sangat rapuh, tergilas dengan kuatnya dorongan untuk melanggengkan dan mengukuhkan ontologi agama, yang mengingkari otherness, diversity, dan pluralism sebagai bagian dari bangsa.
Peristiwa Ahmadiyah menandai bahwa kebebasan beragama belum berlaku penuh di Indonesia hingga kini. Jika kebebasan beragama sebagai hak-hak asasi manusia dan di berbagai negara sudah merupakan hak sipil atau kebebasan sipil (civil liberty), maka aliran kepercayaan seharusnya diakui sebagai agama. Negara tidak menetapkan agama-agama resmi yang diakui. Negara atau otoritas keagamaan apa pun juga tidak boleh membuat fatwa atau keputusan hukum lainnya yang menyatakan suatu aliran keagamaan atau kepercayaan yang baru tersebut sebagai “sesat dan menyesatkan.”
Peristiwa desakan pembubaran Ahmadiyah, di samping menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelolah warga negara juga merepresentasikan gambaran Islam sebagai momok yang mengancam kerukunan antar-komunitas masyarakat dengan dilingkupi oleh kaidah-kaidah sosial dan budaya lokal setempat. Islam seolah bukan lagi agama, melainkan tirani ideologis baru yang datang tiba-tiba dan dengan mudahnya menghancurkan “tradisi” kerukunan umat yang telah melembaga.
Edward W. Said (1981) dalam bukunya Covering Islam, menuliskan bahwa “Islam” adalah sosok atau figur yang menakutkan baik dalam budaya di masyarakat ataupun di media massa. Islam tidak hanya ditakuti tetapi juga dianggap menjadi musuh penganut di luar Islam, termasuk kaum Barat (westerners). Tentu saja, penjelasan Said tersebut terjadi tak hanya dalam konteks relasi Islam dan the west (negara Barat), melainkan juga dalam relasi Islam dan kesatuan nasional dalam konteks peristiwa di atas. Akankah lonceng kematian kebebasan beragama di Indonesia akan menjadi kenyataan?
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
kebebasan beragama masih belum terwujud dengan baik di bumi Indonesia Raya. Kita perlu sungguh-sungguh belajar tentang arti kebebasan beragama demi terwujudnya pluralisme yang sehat.
Posting Komentar