Kamis, 06 November 2008

Pendidikan Berbasis Pluralisme

Pendidikan Berbasis Pluralisme [1]
Moh. Shofan

Sampai hari ini pluralisme masih menjadi suatu momok yang menakutkan bagi kalangan masyarakat Indonesia pascakeluarnya fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI). Keragaman yang semestinya dapat mendorong kita pada kehidupan yang harmonis, justru dicederai oleh fatwa yang tidak bertanggungjawab tersebut. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa sebelum fatwa MUI tersebut, kehidupan masyarakat beragama yang relatif harmonis, tiba-tiba berubah menjadi ketegangan yang pada akhirnya berbuah konflik di mana-mana, seperti di Ambon, Poso, dan Maluku. Konflik tersebut juga tidak menutup kemungkinan di tahun-tahun mendatang akan terus menjadi ancaman sekaligus tantangan agama-agama.
Pluralisme adalah upaya untuk membangun tidak saja kesadaran normatif teologis tetapi juga kesadaran sosial, di mana kita hidup di tengah masyarakat yang plural dari segi agama, budaya, etnis dan berbagai keragaman sosial lainnya. Karenanya, pluralisme bukanlah konsep teologis semata, melainkan juga konsep sosiologis.
Franz Magnis Suseno, memberikan catatan yang patut dikaji oleh masyarakat agama-agama, bahwa tantangan agama-agama di masa mendatang adalah merebaknya konflik, baik antar umat agama maupun inter umat agama itu sendiri. Di sinilah, arti penting pluralisme sebagai jembatan untuk meminimalisir dan mengakhiri konflik tersebut.
Kita perlu mengubah mindset (kerangka berpikir) yang masih keliru. Kita mesti belajar untuk duduk bersama, saling mendengar dan bertukar pikiran, baik dengan sesama muslim maupun nonmuslim. Upaya untuk mencairkan kebekuan wacana pluralisme juga bisa dipercepat dengan jalan mengintensifkan pendidikan pluralisme dan multikulturalisme di sekolah-sekolah. Lembaga pendidikan adalah media yang paling tepat untuk mereparasi mindset seseorang.
Pendidikan agama yang seharusnya diarahkan menjadi media penyadaran umat, pada kenyataannya sampai saat ini masih memelihara kesan eksklusifitas. Sehinggga, dengan begitu, masyarakat akan tumbuh pemahaman yang tidak inklusif. Harmonisasi agama-agama di tengah kehidupan masyarakat tidak dapat terwujud. Tertanamnya kesadaran seperti itu niscaya akan menghasilkan corak paradigma beragama yang rigid dan tidak toleran.
Untuk itu diperlukan adanya upaya-upaya untuk merubah paradigma pendidikan yang eksklusif menuju paradigma pendidikan agama yang toleran dan inklusif. Model pengajaran agama yang hanya menekankan kebenaran agamanya sendiri mau tidak mau harus ’dibongkar ulang’. Sebab cara pemahaman teologi yang ekslusif dan intoleran pada gilirannya akan dapat merusak harmonisasi agama-agama dan menghilangkan sikap untuk saling menghargai kebenaran dari agama lain. Menganggap agama yang satu lebih baik dari agama lain adalah ofensif, berpandangan sempit.
Saat ini masih belum banyak dijumpai buku-buku agama mengenai pluralisme. Kita masih miskin dalam hal itu dan mesti belajar banyak dan menulis ulang. Penulisan ulang buku agama dan memasukkannya ke dalam kurikulum berbasis pluralisme harus dilakukan. Untuk selanjutnya dapat dipakai buku ajar dan menjadi panduan guru-guru.
Amin Abdullah dalam sebuah penelitiannya mengatakan bahwa guru-guru agama di sekolah yang berperan sebagai ujung tombak pendidikan agama dari tingkat yang paling bawah hingga yang paling tinggi nyaris kurang tersentuh oleh gelombang pergumulan pemikiran dan diskursus pemikiran keagamaan di seputar isu pluralisme dan dialog antar umat beragama. Padahal, guru-guru inilah yang menjadi mediator pertama untuk menterjemahkan nilai-nilai toleransi dan pluralisme kepada siswa, yang pada tahap selanjutnya juga ikut berperan aktif dalam mentransfomasikan kesadaran toleransi secara lebih intensif dan massif.
Karena itulah, tidak terlalu mengherankan jika berkecambahnya bentuk-bentuk radikalisme agama yang dipraktikkan oleh sebagian umat menjadi ancaman serius bagi berlangsungnya pendidikan pluralisme yang menekankan pada adanya saling keterbukaaan dan dialog. Saling menghargai dan berkomitmen untuk membangun bangsa yang modern, yang di dalamnya terdapat banyak agama dan etnis. Pluralisme adalah simbol bagi susksesnya kehidupan masyarakat majemuk. Kurikulum haruslah dirancang sebaik mungkin untuk memberikan pemahaman kepada siswa tentang arti pentingnya pluralisme dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat. Saya menyebutnya kurikulum berbasis pluralisme.
Salah satu persoalan yang sering muncul di kalangan tokoh agama adalah, mereka mendambakan terwujudnya agama tunggal di muka bumi ini. Ini adalah suatu kemustahilan dan bertentangan dengan cetak biru Tuhan. Pemahaman seperti di atas akan menjadi penghambat bagi pendidikan berbasis pluralisme.
Harold Coward, menyatakan bahwa dunia selalu memiliki pluralitas keagamaan. Untuk menghadapi realitas dunia yang plural ini, umat beragama pun dituntut untuk mampu menempatkan diri dan memahami konteks pluralisme yang dilandasi oleh semangat saling menghormati dan menghargai keberadaan umat beragama lain. Oleh karena itu, ada beberapa pengertian pluralisme yang perlu dipahami oleh masing-masing umat beragama.
Pertama, pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tesebut. Pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Kedua, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan suatu agama baru dengan memadukan unsur tertentu atau sebagian komponen ajaran dari beberapa agama untuk dijadikan bagian integral dari agama baru tersebut.
Senada dengan Harold Coward, Prof. Diana L. Eck, menekankan, pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk. Pluralisme lebih dari sekedar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Pluralisme lebih dari sekadar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjembatani jurang stereotipe dan kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks secara religius.
Sejatinya pluralisme harus berkembang melebihi toleransi untuk mencapai pemahaman yang konstruktif. Kita harus memiliki sekolah-sekolah yang giat mengajarkan agama-agama di dunia dalam konteks bidang studi sosial atau sejarah. Kita membutuhkan pemimpin agama yang terlatih yang tidak hanya mampu menanamkan keyakinan yang dalam pada komunitasnya, namun juga terpelajar secara agama, dan mampu mencegah para agamawan lainnya salah menafsirkan dan mencemarkan komunitas agama lain.
Karenanya, pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God) harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikulturalisme. Namun tidak sekadar berhenti pada wacana pentingnya pluralisme dan multikulturalisme, akan tetapi lebih diejawantahkan pada tataran praksis melalui jalur pendidikan dan pelatihan-pelatihan bersama dengan melibatkan berbagai komunitas lintas agama dan etnis untuk saling mengenal, memahami dan membangun sikap saling menghargai berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.

[1] Dimuat di harian, Seputar Indonesia, 31 Agustus 2007

Tidak ada komentar: