Menuju Keberagamaan Inklusif-Pluralis [1]
Moh. Shofan
Dewasa ini persepsi mengenai agama (Islam) tidak lagi sesuai dengan semangat zaman. Hal tersebut dikarenakan banyaknya kelompok Islam yang sering diidentifikasi sebagai kelompok fundamentalis atau islamis yang mengacu kepada otentisitas. Otentisitas itu didapati pada kemurnian atau keaslian sejarah, sedangkan keaslian dipercaya berada pada keyakinan dan cara berpikir generasi awal hingga dua generasi sesudah masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidin. Karena itu, tidaklah berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa paradigma berpikir kelompok fundamentalis yang lebih menekankan pada otentisitas Islam pada dasarnya telah menempatkan doktrin Islam tidak pada tempat yang sewajarnya.
Dikatakan tidak wajar karena penempatan seperti itu pada akhirnya melahirkan absolutisme yang tidak jarang memandang kelompok yang tidak sesuai dengan pemahamannya sebagai tertuduh dengan beragam stigma (kafir-murtad). Stigma seperti itu lazim disematkan kepada kelompok Islam liberal atau Islam rasional. Dan, sesungguhnya krisis peradaban Islam, justru bermula pada cara bertafsir yang cenderung eksklusif seperti itu.
Model bertafsir yang menekankan pada eksklusivitas biasanya juga tidak toleran terhadap agama-agama lain yang dianggap tidak sesuai dengan doktrin Islam sebagai agama yang paling benar. Tentu saja, keniscayaan kebebasan beragama sebagai yang sudah digariskan ajaran Tuhan (al-Qur’an) sekadar ujaran tanpa makna. Dalam kenyataan di lapangan masih sering kita jumpai kebebasan beragama mengalami persoalan serius.
Kasus di Indonesia adalah salah satu contoh bagaimana kebebasan beragama belum dapat dijalankan dengan baik. Hal ini ditandai dengan masih adanya kelompok agama tertentu yang melakukan pemaksaan dalam menyiarkan ajaran agamanya. Bahkan, dijumpai adanya agama tertentu yang menyiarkan ajarannya dengan memberikan sejumlah materi, makanan, dan lain-lain kepada pihak yang sudah mempunyai keyakinan agama tertentu. Tidak jarang cara yang demikian membuat pihak agama lain merasa tersinggung yang pada akhirnya menyulut konflik berkepanjangan antarumat beragama.
Lebih parah lagi, kekerasan yang implikasinya tidak kondusif bagi kebebasan beragama dilakukan oleh kelompok radikal yang gemar melakukan pengrusakan terhadap aset-aset milik aliran agama tertentu, seperti yang pernah menimpa kelompok aliran Ahmadiyah. Kekerasan demi kekerasan itu bukan saja dapat mengganggu kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya, tetapi juga dapat mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Keadaan ini pada gilirannya akan menghancurkan hak-hak heteroginitas (keragaman) dan memporak-porandakan kesatuan bangsa.
Agama disalahgunakan dan disalaharahkan, baik dari sisi eksternal maupun internal. Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian) seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan, segera setelah identitasnya terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman agama atau interpretasi agama merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik agama.
Abdul Karim Soroush mengatakan, ”Orang-orang yang menghindari kebebasan sesungguhnya akan menjadi musuh kebenaran dan tempat pembiakan ide-ide yang salah. Mereka tidak memahami bahwa kebebasan itu sendiri adalah kebenaran (haq). Orang-orang ini seolah tidak menganggap kebebasan sebagai suatu berkah, kebenaran, atau kebaikan. Mereka bertindak seakan kebebasan adalah udara yang sangat panas, suatu ilusi atau mitos. Mereka gagal memahami bahwa realisasi kebebasan akan memperkuat kebenaran dan memperlemah kesalahan”.
Kebebasan berkeyakinan semestinya memberikan implikasi positif bagi para pemeluk agama untuk saling berlomba melakukan yang terbaik sesuai dengan doktrin ajarannya masing-masing. Tidak ada agama yang tidak mengajarkan kebaikan di dunia ini. Al-Qur’an sendiri mengakui keragaman agama dan kesatuan iman. Titik persinggungan agama-agama adalah keimanan yang benar kepada Tuhan dan hari akhir serta menjalankan amal saleh. Intinya, keimanan merupakan nilai yang paling umum bagi sikap keberagamaan yang benar.
Keragaman adalah sebuah kenyataan hidup di mana setiap orang harus berusaha sampai kepada sikap saling memahami satu sama lain. Dasar pluralitas agama adalah kesatuan tujuan dan dialog yang terbuka. Kesadaran terhadap pluralitas agama akan melahirkan kesadaran terhadap adanya kesatuan iman. Kesatuan iman bekerja dalam menjaga sejarah keberlangsungan wahyu Tuhan, yang dimulai sejak zaman Adam sampai Muhammad SAW. Pada dasarnya, al-Qur’an telah menetapkan aturan tentang masyarakat plural (majemuk) yang di dalamnya hidup berbagai agama secara berdampingan dan dapat menerima satu sama lain dengan dasar etika.
Di balik perbedaan pada masing-masing agama, tulis Frithjof Schuon, tetap ada peluang dipertemukan mengingat kesamaan pada dimensi transendentalnya. Semua agama, apa pun bentuk eksoteriknya (tata cara beribadah, tempat ibadah, ungkapan-ungkapan bahasa agama, dan perbedaan yang bersifat simbolik lainnya), akan berjumpa pada ranah transendental, yaitu Tuhan. Inilah dimensi esoterik agama, sekaligus jantung semua agama (the heart of religions).
Cak Nur, yang dikenal sebagai tokoh pembaharu, memimpikan umat dapat dimerdekakan dari sikap-sikap kurang dewasa dalam beragama, keberagamaan yang penuh claim of truth, kavling-kavling kebenaran hanya bagi diri dan kelompoknya, kesombongan intelektual, otoritas dan institusi keagamaan bak penjaga iman dan akidah, beragama yang serba formalistik-normatif. Berangkat dari itu, Cak Nur menyodorkan pemikiran keislaman yang inklusif, semangat al-hanafiyah al-samhah, egaliter, pluralistik, dan demokratis.
Dalam pandangan Cak Nur, sikap-sikap universalistik, kosmopolit, relativisme-internal, terbuka, dan menerima paham pluralisme dalam kehidupan sosial justru menjadi kenyataan dalam sejarah Islam klasik. Islam klasik, di bidang konsep sosial-politiknya, menurut ukuran tempat dan zamannya waktu itu, adalah sangat modern, bahkan luar biasa modernnya.
Kaum muslim harus melewati kegemilangan masa lalu dan ide statis yang tidak realistis dan mustahil untuk dihidupkan kembali, serta melewati kepedihan akibat trauma masa lalu (serangan Barat) menuju suatu pandangan yang membangun dan dinamis tentang hari ini dan kebutuhan merawat nilai-nilai abadi yang akan tumbuh dari kemajuan dewasa ini. Bagi saya, beragama yang baik adalah manakala kita telah melewati tembok fanatisisme-eksklusivisme, yang berujung pada absolutisme menuju keberagamaan yang inklusif-pluralis.
[1] Dimuat di harian Jawa Pos, 28 Oktober 2007
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar