Kamis, 06 November 2008

Menimbang Masa Depan Pluralisme

Menimbang Masa Depan Pluralisme [1]
Moh. Shofan

Membincang pluralisme, masih menjadi isu yang cukup menarik. Setidaknya untuk kasus di Indonesia. Di Indonesia, sejauh pengamatan saya, pluralisme masih menjadi ancaman serius bagi kalangan konservatisme. Pluralisme juga dianggap sebagai ancaman bagi sebagian besar umat Islam, karena diyakini bahwa pluralisme menganggap semua agama sama. Mengapa masih ada yang berpendapat seperti itu?
Menurut hemat saya, munculnya pendapat seperti itu dikarenakan sikap terlalu berlebihan (baca: fanatik) terhadap agama yang dipeluknya dan diyakininya. Meyakini bahwa agama yang dipeluknya adalah benar, tentu tidak salah, tetapi jika keyakinan itu menafikan adanya kebenaran di luar agamanya dan menganggapnya sebagai ajaran yang sesat tentu hal itu tidak bisa dibenarkan. Seperti yang ditunjukkan dengan bagus oleh David Lochhead (1988) dalam karya klasiknya mengenai imperatif dialogis yang lahir dari perjumpaan antariman, akar-akar kecurigaan ini tertanam sangat dalam, malah menjadi bagian melekat dalam pembentukan identitas keagamaan.
Menurut Lochhead, dalam setiap tradisi keagamaan, selalu terkandung benih-benih ideologi atau teologi yang bersifat isolasionis (tiap agama hidup dan berkembang dalam “ghetto-nya” sendiri-sendiri), konfrontasionis (yang lain dan yang berbeda adalah pesaing yang perlu dicurigai), dan bahkan kebencian (yang lain dan yang berbeda adalah musuh yang harus ditaklukkan).
Para tokoh agama memainkan peran penting dalam menyemai ketakutan akan kebebasan di kalangan umat beragama. Ortodoksi agama, baik dalam Islam, Kristen maupun Yahudi, pada dasarnya dibangun untuk mempertahankan ajaran-ajaran yang mapan dari pengaruh heretisme, yakni pemikiran-pemikiran yang dianggap menyimpang. Sehingga, tidak berlebihan, jika Yudi Latif, mengatakan, bahwa fanatisisme lahir dari ketidakpercayaan diri untuk menghadapi perbedaan pemikiran, ekspresi kehidupan, kemudian menetapkan segala hal ihwal yang suci dianggap steril, tak pernah terkontaminasi, murni, bahkan ajeg. Fanatisisme pada akhirnya merendahkan kemuliaan anak cucu Adam: berupa pencapaian kebenaran dan martabat manusia. Menyebut segenap umat manusia dengan “anak cucu Adam” adalah penting dan penuh makna, menjadikan segenap umat manusia keturunan dari nenek moyang yang asli yang sama. Kebebasan berekspresi (al-hurriyah al-ra’y wa al-ta’bir) merupakan unsur konstitutif kemuliaan itu.
Martabat seseorang akan rendah jika menolak dan mengingkari hak untuk memberikan dan memperoleh informasi. Menarik mengutip ‘tafsir’ Shari’ati atas QS. Al-Ahzab: 72. Dalam ayat tersebut dipaparkan bahwa Allah memanggil semua ciptaan-Nya. Ia menawarkan amanah pada mereka. Tapi, tak satu pun yang sanggup memikul amanah itu. Akhirnya, manusialah yang bersedia mengemban amanah tersebut. Shari’ati menafsirkan amanah tersebut sebagai kehendak bebas manusia (man’s free will). Dengan kehendak bebas itu manusia unggul atas semua makhluk.
Oleh karenanya, fatwa MUI yang mengharamkan pluralisme, tentu saja adalah fatwa yang mengabaikan tanggungjawabnya sebagai lembaga agama yang seharusnya secara otoritatif mampu menjadi mediator atas terjadinya ketegangan teologis antar pemeluk agama. Tetapi kenyataannya, MUI bukan sebagai lembaga otoritatif tetapi menjelma menjadi ‘drakula’ yang siap memangsa berbagai pendapat yang dinilainya tidak sejalan dengan keyakinan MUI. Terang saja, fatwa MUI tersebut, secara tidak langsung, memberi andil dan sumbangan yang sangat besar terhadap terjadinya kekerasan atas nama agama. Lebih parah lagi, fatwa tersebut mendapat legitimasi dari pemerintah, yang cenderung membiarkan tindak kekerasan.
Pemerintah (terkesan) hanya berpihak kepada lima agama besar yang mendapatkan pengakuan sebagai agama resmi. Bahkan, lebih jauh, pemerintah juga mengabaikan hak-hak sipil para penganut di luar agama ini, serta berpihak hanya kepada kelompok mainstream (mayoritas) dalam lima agama dimaksud. Kelompok Ahmadiyah, misalnya, meskipun tetap mengklaim diri mereka sebagai Islam, tetapi karena berada di luar kelompok mainstream, mendapat perlakuan diskriminatif dari aparat negara.
Satu hal lagi yang perlu saya sebut di sini adalah para alumni Timur Tengah yang mula menawarkan alternatif baru model dakwah dan gerakan Islam di Indonesia, yang agak berbeda dari pola lama mainstream NU dan Muhammadiyah. Di antara gerakan-gerakan Islam global yang berasal dari Timur Tengah, ada empat arus kelompok besar yang berpengaruh di Indonesia. Gerakan-gerakan itu ialah: Ikhwanul Muslimin (IM), Salafi, Hizbut Tahrir, (HT), dan Jamaah Tabligh (JT). Gerakan tarbiyah sendiri yang mendapatkan pengaruh dari IM mulai mengokohkan eksistensinya di Indonesia dengan mendirikan partai Islam yang diberi nama Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sejumlah gerakan yang saya sebut di atas, tentu punya andil yang cukup besar dalam mengampanyekan gerakan ‘islamisme’ yang sering mengasumsikan bahwa kedatangan agama Islam mengungguli atau menghapus (naskh) agama-agama sebelumnya dan dianggap sebagai instrumen yang penting bagi self-identification suatu kelompok untuk membedakannya dari kelompok lain. Klaim ini juga berfungsi sebagai alat legitimasi dan integrasi bagi sesamanya dalam kelompok, dan sebagai basis yang efektif untuk melakukan agresi dan perlawanan terhadap kelompok lain.
Agama seharusnya tidak menimbulkan kekerasan dalam bentuk apapun. Akan tetapi, fakta menunjukkan bahwa agama dapat menimbulkan kekerasan apabila berhubungan dengan faktor lain, seperti kepentingan kelompok/nasional atau penindasan politik. Agama dapat disalahgunakan dan disalah-arahkan, baik dari sisi eksternal (luar) maupun internal (dalam). Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian) seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan kekerasan, segera setelah identitasnya terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena itu, pemahaman agama atau interpretasi agama merupakan salah satu alasan yang mendasari kekerasan politik agama.
Ayat-ayat jihad dan qital seperti: “Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah (Q. 8:39), “Telah diizinkan berperang bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungghnya mereka telah dianiaya” (Q. 22:39) jika ditafsirkan secara kontekstual dan relasional (dengan memperhatikan munasabah al-ayat) akan melahirkan pemahaman bahwa perang hanya bisa dilakukan sebagai upaya defensif menjaga keselamatan dan ketertiban. Menurut Abu Zahrah misalnya, berperang hanya boleh untuk membela kebebasan beragama dan mencegah penindasan agama. Muhammad Rasyid Ridha, dalam Tafsir al-Manar, lebih jauh berpendapat, ayat diizinkannya perang dalam kondisi teraniaya justru menguatkan ayat tidak ada paksaan dalam agama.
Islam selalu mengedepankan sikap keterbukaan (inklusif) dari pada kebencian dan permusuhan. Ajaran Islam secara jelas melarang sikap menghujat atau mendiskreditkan agama atau kelompok lain, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hujurat:11. Sikap kaum Muslim kepada penganut agama lain jelas ditegaskan dalam al-Qur’an, yaitu berbuat baik kepada mereka dan tidak menjadikan perbedaan agama sebagai alasan untuk tidak menjalani hubungan kerjasama dengan mereka, lebih-lebih mengambil sikap tidak toleran dengan mereka.
Kaum muslim juga diwajibkan oleh al-Qur’an melindungi rumah ibadah yang telah dibangun oleh orang-orang non muslim sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Hajj: 40. Kerjasama yang baik antara Muslim dan non Muslim itu telah dibuktikan dan ditulis dalam sejarah denagn sangat jelas. Nabi Muhammad SAW. dan para sahabat melakukan hubungan sosial (muamalah) dengan non muslim seperti Waraqah bin Naufal yang beragama Nasrani. Abdullah bin Salam yang sebelumnya beragama Yahudi, bahkan Nabi sendiri pernah meminta suaka politik (perlindungan politik) dengan menyuruh para sahabat beliau untuk berhijrah meminta perlindungan kepada Raja Najasyi (Nigos) dari Habsyah (sekarang Ethiopia) yang beragama Nasrani
Dengan mengabaikan aspek historisitas pengalaman hubungan baik yang pernah dilakonkan umat Islam dengan pemeluk agama-agama lain sembari menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara tekstual-skriptural yang cenderung melahirkan despotisme-otoritarianisme pemahaman Islam, tentu masa depan pluralisme di Indonesia akan menuai ancaman. Dengan kata lain, jika pluralisme dianggap sebagai ancaman maka perangkat-perangkat yang menjadi modal civil society lainnya, seperti demokrasi, liberalisme, sekularisme juga akan terhambat. Padahal, untuk menjadi negara yang berperadaban, maka tidak bisa tidak, nilai-nilai yang terkandung dalam pluralisme, liberalisme, dan sekularisme menjadi sebuah keniscayaan.

[1] Dimuat di harian Seputar Indonesia, 6 Oktober 2007

1 komentar:

Anonim mengatakan...

pluralisme harus terus diperjuangkan. Kita mendambakan kerukunan dalam ruang kebhinekaan.