Pluralisme Yang Memihak [1]
Moh. Shofan
Pada suatu kesempatan, saya berbincang dengan Mas Dawam Rahardjo (panggilan akrab Prof Dr Dawam Rahardjo) di kantor LSAF, Kalibata Timur, Jakarta, tentang masalah pluralisme. Dalam perbincangan tersebut, Mas Dawam berpendapat, jika pluralisme itu dipahami bahwa semua agama itu benar, menurutnya, itu tidak menjadi masalah, tetapi juga tidak terlalu benar. Dikatakan tidak menjadi masalah, karena semua agama itu baik dan benar. Itulah prinsip pluralisme.
Keterangannya bagaimana? Kita sebagai orang Islam tentu saja mempunyai keyakinan bahwa inna al-dina ’inda alllahi al-islam, adalah hak kita untuk mengatakan itu. Dan kita pun termasuk menganut kepercayaan itu, namun hal ini hanya berlaku bagi kita sebagai muslim. Tetapi itu tidak berlaku bagi orang Kristen. Orang Kristen tidak bisa menerima pandangan semacam itu. Umat Islam tidak akan percaya bahwa Yesus Kristus itu disalib dan dibangkitkan dari kuburnya. Doktrin itu hanya berlaku bagi dan merupakan kepercayaan orang Kristen. Orang Budha punya kepercayaan lain. Orang Hindu juga demikian. Jadi, menurut Mas Dawam, suatu agama itu benar dan agama-agama yang lain salah, itu menurut kita, dan merupakan suatu pandangan yang subjektif.
Setiap orang mengakui kebenaran agama menurut kepercayaan masing-masing. Apa yang menjadi keyakinan Mas Dawam di atas, menurut saya, perlu ditindaklanjuti––untuk tidak mengatakan dijiplak begitu saja. Hanya, saya melihat upaya-upaya Mas Dawam dalam melakukan advokasi terhadap kelompok minoritas tersebut perlu dielaborasi lebih jauh dengan spektrum yang lebih luas. Artinya, memahami pluralisme tidak sekadar memberikan tafsir secara kontekstual-historikal terhadap teks-teks al-Qur’an yang sejak awal turunnya sudah membawa gagasan-gagasan liberal. Menafsirkan al-Qur’an secara kontekstual-liberal tidaklah cukup, manakala belum membawa implikasi pembebasan bagi kaum minoritas beragama maupun bagi sebagian besar warga masyarakat Indonesia yang sampai saat ini dihimpit oleh ketertindasan ekonomi, sosial, budaya, baik secara struktural maupun kultural.
Tulisan ini mencoba menawarkan pluralisme dengan menggunakan pendekatan normatif, historis, dan transformatif. Ketiga pendekatan tersebut, menurut keyakinan saya, akan mampu memberikan pemahaman komprehensif tentang pluralisme. Sehingga, pluralisme tidak sekadar berputar-putar pada ranah teks, tetapi diharapkan mampu membebaskan umat manusia dari keterbelakangan ekonomi (kemiskinan, kefakiran), keterbelakangan sosial (teralienasi dari komunitasnya karena arus modernisasi, globalisasi, teknologi informasi) keterbelakangan budaya (bahasa, pergaulan, sikap, dan mentalitas).
Normatif
Nurcholish Madjid (2000) mengatakan bahwa Allah AWT menciptakan mekanisme pengawasan dan pengimbangan antara sesama manusia guna memelihara keutuhan bumi dan merupakan salah satu wujud kemurahan Tuhan yang melimpah kepada umat manusia. ”Seandainya Allah tidak mengimbangi segolongan manusia dengan segolongan yang lain, maka pastilah bumi hancur; namun Allah mempunyai kemurahan yang melimpah kepada seluruh alam.” (Alquran, S. Al-Baqarah/2:251). Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral.
Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu secara jelas telah diserukan oleh Allah SWT dalam QS Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tecermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
Pandangan normatif ini jelas akan mendorong umat Islam untuk menghargai kemajemukan keagamaan lewat sikap-sikap toleransi, keterbukaan, dan fairness seperti dicerminkan dalam konsep tentang siapa yang digolongkan sebagai Ahli Kitab (Ahl Kitab).
Dengan demikian, pembacaan inklusif pluralis terhadap teks-teks al-Qur’an tentu saja menjadi sebuah kewajiban umat Islam untuk menghindari prasangka-prasangka teologis yang berakibat pada munculnya stigma teologis yang tidak jarang akan melahirkan konflik horizontal. Jika tidak, hubungan antarumat beragama tentu akan selalu menghantui peradaban yang dengan susah payah dibangun oleh para leluhur kita.
Historis
Fathi Osman, yang menulis buku Islam, Pluralisme dan Toleransi Keagamaan Pandangan Alquran, Kemanusiaan, Sejarah, dan Peradaban mampu menyajikan data-data historis bagaimana mesranya hubungan Islam dengan agama-agama lain yang memiliki sejarah panjang menjalankan pluralisme. Wawasan historis tentang pluralisme akan banyak memberikan pemahaman dan manfaat pada umat Islam.
Kemesraan hubungan Islam dan Kristen, yang dilakonkan oleh Nabi Muhammad bersama umat Kristiani di masanya akan menjadi modal berharga dan inspirasi bagi pembentukan kehidupan damai antara Islam dan Kristen. Dan hakikatnya juga pada agama-agama lain. Dalam sejarah, dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, dalam al-Syirah al-Nabawiyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang.
Menurut Muhammad Ibn Ja’far Ibn al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju Masjid. Saat itu, Nabi sedang salat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim dikenakan Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ketika waktu kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam masjid.
Kaum muslim juga punya sejarah panjang menjalankan pluralisme, yang tersedia dalam sumber-sumber dan khasanah Islam. Kaum Muslim dapat mengambil inspirasi dari sumber-sumber agama dan pengalaman sejarahnya, sembari mendorong tindakan-tindakan lebih jauh menuju pluralisme dewasa ini, dengan segala problematikanya yang sarat dengan diskursus.
Transformatif
Dari wawasan normatif-historis di atas, terasa belum lengkap jika belum diikutsertakan wawasan transformatif. Pandangan normatif al-Qur’an tentang pluralisme tersebut tidak boleh berhenti pada lembaran-lembaran teks dan pengalaman historis. Pluralisme menuntut suatu pendekatan yang serius terhadap upaya memahami pihak lain dan kerja sama yang membangun untuk kebaikan semua.
Moeslim Abdurrahman––saya biasa menyapa Kang Moeslim––pemikir Islam yang menggagas ‘teologi transformatif’, mengatakan, bahwa pluralisme yang tidak memihak kepada kaum tertindas hanya akan berhenti pada ranah wacana. Tidak mempuyai implikasi sosial. Dalam bahasa lain, gagasan pluralisme yang tidak mempunyai kaki tentu tidak banyak bermanfaat bagi masyarakat secara umum.
Karenanya, pluralisme harus mendahulukan kepentingan masyarakat yang tertindas. Kaum Muslim tidak akan mampu menangkap kehendak Tuhan tanpa memiliki kemampuan membaca sejarah dan pergulatan hidup yang dihadapi umat manusia, baik dalam perbedaan kurun dan lokus kebudayaannya. Inilah yang menjelaskan, sesungguhnya makna wahyu adalah empiris yang mampu mempersenjatai masyarakat untuk bisa bangkit dan keluar dari keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan.
Dengan begitu, kerja pemikiran Islam bukanlah memperbincangkan teks dalam alam kemerdekaan intelektual, namun pada dasarnya adalah bagaimana menemukan ide Tuhan kembali ikut secara partisipatoris dalam pergumulan umat manusia yang sekarang ini menghadapi proses dehumanisasi melalui refleksi yang bersumber dari sejarah perjuangan hidup sehari-hari.
[1] Dimuat di harian Seputar Indonesia, 31 Juli 2007
Kamis, 06 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar