Minggu, 16 November 2008

Pencekalan Nasr Hamid Abu Zayd Ancam kebebasan Berfikir

Pencekalan Nasr Hamid Abu Zayd
Ancam Kebebasan Berfikir


Moh. Shofan

Senin sore 26 November 2007 pukul 16.00 WIB di The Wahid Institute, saya berkesempatan hadir bersama Mas Dawam (Prof Dr Dawam Rahardjo) dalam acara konferensi pers terbuka bersama Prof Nasr Hamid Abu Zayd, Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid), dan sejumlah intelektual lainnya, seperti Moeslim Abdurrahman, Musda Mulia, dan Syafi’i Anwar.
Konferensi pers tersebut dimaksudkan untuk menyikapi pelarangan Abu Zayd menjadi pembicara atas perintah Menteri Agama (Menag) Maftuh Basyuni dalam acara International Conference di Malang, Jawa Timur. Pelarangan itu diterima Abu Zayd setelah dirinya tiba di Surabaya.
Abu Zayd juga batal memaparkan pemikirannya pada acara Konferensi Tahunan Studi Islam Ke-7 (Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII) yang tahun ini diselenggarakan di UIN Riau. MUI Riau mempersoalkan mengapa dalam acara tersebut akan diundang Nasr Hamid Abu Zayd, ilmuwan Mesir yang divonis murtad oleh mahkamah di Mesir karena pemikiran-pemikirannya dan juga berbagai karyanya dinilai melecehkan Alquran.

Ancaman kebebasan berpikir
Bisakah keyakinan atau pemikiran seseorang atau kelompok terhadap agamanya dihukumi sesat? Tentu saja, jawabannya “tidak bisa”. Keyakinan apa pun tidak bisa dihukum oleh manusia karena itu adalah hak prerogatif Tuhan. Yang bisa dihukumi oleh manusia adalah ketika orang melakukan pelanggaran terhadap hak orang lain yang bisa dilakukan oleh siapa saja dan atas dasar apa saja.
Dalam fatwanya, sangat terasa MUI melalui kriteria sesatnya masih menggunakan mental dogmatisme dengan menekankan tingkat keterkaitan mental dogmatisme dengan sistem ideologi tertentu. MUI memandang mental dogmatis berpusat pada dikotomi ekstrem antara—meminjam istilah Rokeach—sistem iman atau akidah (system de croyances) dengan sistem noniman atau nonakidah.
Dengan kata lain, mental dogmatis berkaitan dengan keketatannya yang kuat berpegang kepada seperangkat prinsip akidah dan menolak dengan keras perangkat lain yang di luarnya dan dianggap tidak berarti atau tidak berguna. Prinsip-prinsip akidah itu merupakan kawasan terlarang bagi pemikiran rasional atau bahkan mustahil dirasionalkan. Mental dogmatisme selalu diarahkan pada mercusuar masa lalu.
Melalui fatwa-fatwanya, MUI punya prinsip menginginkan kehidupan masa kini wajib dibentuk sesuai dengan kehidupan masa lalu yang ideal. Ajaran agama yang semula diserap langsung oleh pemeluknya melalui pengalaman praktis tiba-tiba berubah menjadi teks. Pembacaan seperti itulah yang dikritik Abu Zayd dalam Naqd al-Khitab al-Dini (dalam edisi bahasa Indonesia Kritik Wacana Keagamaan) sebagai pembacaan yang tendensius ideologis. Yakni pembacaan yang hanya berhenti pada level tafsir. Berhenti pada pen-talwin-an (pengideologian). Dan tentu saja jauh dari tahap ta’wil yang diharapkan mampu menguak makna terdalam yang terkandung dalam teks yang oleh Abu Zayd disebut al-magza (signifikansi).
Karena itu, dalam pandangan Abu Zayd, penafsiran terhadap teks yang hanya berhenti pada level talwin (ideologi) akan memasung kebebasan berpikir. Tidak sejalan dengan tabiat dan sifat dasar teks sehingga makna yang dihasilkannya tidak melalui mekanisme penafsiran.
Baginya, corak penafsiran itu lebih menonjolkan unsur ideologi daripada unsur keilmiahan dan biasanya dimonopoli oleh kalangan fundamentalis yang mengabaikan indikasi peran penguasa baik dalam isu-isu keadilan sosial, independensi ekonomi, maupun politik. Kalangan pemasung penafsiran itu senantiasa beranggapan bahwa Islam adalah satu-satunya solusi (al-Islam huwa al-hall) dan menganggapnya sebagai komponen substantif-orisinal (mukawwin jawhari ashil) dalam pembentukan umat.
Tak heran jika standar yang dipakai MUI melalui kriteria sesatnya akan menjadi ancaman serius bagi dunia intelektual dan kebebasan berpikir. MUI seharusnya merumuskan dan mengkaji ulang fatwa-fatwa yang menjerumuskan masyarakat pada pemahaman agama yang tidak mendewasakan. Karena itu, kesediaan MUI untuk menerima diri sebagai lembaga keagamaan yang tidak luput dari kesalahan dan kegagalan sehingga merasa perlu selalu membuka diri untuk dikritik dan dikoreksi merupakan suatu hal yang niscaya.

Peran negara
Hal lain yang perlu dipertanyakan ialah peran negara. Negara yang semestinya memberikan perlindungan kepada warga negara justru ikut-ikutan mengintervensi. Pelarangan menteri agama (Maftuh Basyni) terhadap Abu Zayd, bisa dibaca sebagai intervensi pemerintah yang seharusnya bersikap netral terhadap agama, memberikan kebebasan berpikir. Bukan menghalangi kebebasan dalam memilih dan menjalani keyakinan agamanya.
Agama atau keyakinan apa pun adalah persoalan individu, bukan persoalan negara. Negara cukup menjamin dan memfasilitasi warga negara agar dapat menjalankan agama dan peribadatannya dengan nyaman dan aman. Bukan menetapkan mana ajaran agama atau bentuk peribadatan yang harus dan tidak harus dilakukan oleh warga negara.
Biarlah masing-masing meyakini kebenaran yang diyakininya serta kendaraan yang digunakannya, dengan tetap menghargai keyakinan orang lain. Untuk hal seperti itu, kita mempunyai istilah yang menarik, yaitu Bhineka Tunggal Ika: berbeda tapi bersatu bersatu dalam perbedaan. Rumusan pluralisme ada dalam kebhinekaan itu, yang mengandaikan adanya keharusan toleransi pemahaman, keterbukaan, dan saling menghargai.

Dimuat di Jawa Pos, Nopember 2007

Tidak ada komentar: