Minggu, 16 November 2008

Islam dan Paham Kemajuan Mengenang Seribu Hari Wafatnya Nurcholish Madjid

Islam dan Paham Kemajuan
Mengenang Seribu Hari Wafatnya Nurcholish Madjid


Moh. Shofan

Dalam dunia akademis, tak diragukan lagi bahwa Nurcholish Madjid (biasa dipanggil Cak Nur) adalah sosok pembaharu pemikiran Islam yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia. Cak Nur adalah sosok pemikir hebat yang pengetahuannya sangat luas, utamanya persoalan-persoalan keislaman di dunia modern. Setidaknya–kalau boleh dikatakan–ada 6 isu paling kontroversial dalam pemikiran Islam dewasa ini, yaitu isu melawan ide-ide teokrasi, keadilan gender, mempromosikan demokrasi, pluralisme, kebebasan berfikir dan mempercayai ide-ide progresif (kemajuan) sebagai cara terbaik perkembangan kemanusiaan. Dari keenam isu paling kontroversial tersebut Cak Nur boleh dikatakan telah mengembangkan seluruhnya. Karena itu tidak terlalu mengherankan jika dikatakan bahwa Cak Nur adalah seorang ensiklopedis.
Di dunia akademis, jika seorang profesor disebut ‘ensiklopedis,’ berarti ia seorang profesor yang pengetahuannya sangat luas. Keluasannya di bidang ilmu pengetahuan, membuat ia dicintai bukan hanya oleh murid-muridnya tapi juga oleh kalangan yang beragama lain maupun berlatar belakang etnis yang berbeda. Pemikiran dan karya intelektualnya memiliki pengaruh besar dalam pembentukan tradisi intelektualisme Islam di Indonesia.
Cak Nur tidak hanya milik Bangsa, tetapi juga milik dunia. Sejarah akan mencatat prestasi gemilang yang diukir oleh ‘Sang Pembaharu’ ini atas kegigihannya mencitrakan Islam dengan wajahnya yang humanis, inklusif, egaliter, pluralistik, dan demokratis. Bahkan dengan nada menyanjung dan penuh kekaguman, majalah Tempo pernah menjulukinya sebagai “lokomotif” gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Tentu saja banyak argumen mengapa Cak Nur ditempatkan pada kedudukan yang sangat terhormat dan istimewa dalam setting gerakan modernisme Islam itu.
Sebagai cendekiawan muslim yang paling berpengaruh, Cak Nur mampu mengolah isu-isu keislaman dan kemodernan dengan sangat apik dan bisa mengkaitkan keahliannya dengan berbagai disiplin keilmuan mutakhir. Pemikiran-pemikiran Cak Nur sepanjang hidupnya adalah bagaimana Islam menyambut modernitas tanpa harus kehilangan jati diri sebagai seorang muslim.
Cak Nur sangat piawai dalam mengelola doktrin Islam, analisisnya tajam dan sarat nuktah-nuktah progresif. Cak Nur mampu mempertemukan visi teosentris yang terselubung dibalik ritual-formal seluruh agama. Sehingga kajian keislaman tidak lagi terbatas pada persoalan normatif keagamaan, tetapi juga pemikiran yang mengaitkan ajaran Islam dengan berbagai persoalan sosial kontemporer dan kemanusiaan. Islam dihadirkan dengan wajahnya yang terbuka, toleran, dan penuh keramahan, sebagaimana yang ditegaskan oleh Nabi Muhammad saw. “Dan sesungguhnya sebaik-baik agama di sisi Allah ialah al-hanifiyyat al-samhah (semangat pencarian kebenaran yang lapang dan tidak membelenggu jiwa)”.
Sikap mencari kebenaran secara tulus dan murni, menurut Cak Nur, adalah sikap keagamaan yang benar, yang menjanjikan kebahagiaan sejati, dan yang tidak bersifat palliative seperti halnya kultus dan fundamentalisme. Harapan kepada agama yang bersemangat kebenaran yang lapang dan terbuka itu sungguh besar untuk menolong manusia mengatasi persoalan di zaman modern.
Sebagai seorang pembaharu Islam yang digolongkan ke dalam pemikiran neo-modernis (Barton: 1995), pemikiran Cak Nur secara mendalam didasarkan atas pandangan teologi yang oleh Kurzman (2000) ditempatkan pada klaster ‘teologi liberal’ yang salah satu cirinya adalah gerakannya bersifat progresif (menerima modernitas). Cak Nur selalu menegaskan bahwa kekuatan Islam itu justru ada pada kemodernannya. Karenanya, dengan tanpa halangan mental apa pun, Cak Nur mampu mengelaborasi al-Qur’an, sunnah dan tradisi Islam untuk menjelaskan segala isu Islam modern. Keyakinan ini membuat Cak Nur menganut suatu paham liberal syariah. Bahwa pada dasarnya agama Islam itu sangat mendukung ide-ide paling baik dari kemajuan zaman.
Seperti yang kita lihat dalam berbagai pemikiran dan karya-karyanya, Cak Nur berhasil mengelaborasi pandangan keagamaan liberal, terutama dalam rangka mengurai tafsir atas Islam yang mempunyai ciri khas keindonesiaan. Untuk itu, Cak Nur merasa perlu untuk mengkontekstualisasikan doktrin keislaman untuk masyarakat Indonesia yang plural. Inklusivisme dan pluralisme merupakan karakteristik yang paling menonjol dari gagasannya.
Menurut Cak Nur (1993), pluralisme tidak dapat dipahami hanya dengan mengatakan bahwa masyarakat kita majemuk, beraneka ragam, terdiri dari berbagai suku dan agama, yang justru hanya menggambarkan kesan fragmentasi, bukan pluralisme. Pluralisme juga tidak boleh dipahami sekadar sebagai “kebaikan negatif” (negative good), hanya ditilik dari kegunaannya untuk menyingkirkan fanatisisme (to keep fanaticism at bay). Pluralisme harus dipahami sebagai “pertalian sejati kebinekaan dalam ikatan-ikatan keadaban” (genuine engagement of diversities within the bonds of civility). Gagasannya tentang pluralisme ini telah menempatkannya sebagai intelektual Muslim terdepan, terlebih di saat Indonesia sedang terjerumus di dalam berbagai kemorosotan dan ancaman disintegrasi bangsa.
Sebagai penerus pemikiran gurunya, Fazlur Rahman, Cak Nur, seolah menyadari bahwa Islam yang tidak dapat memberi solusi kepada persoalan kemanusiaan tidak akan punya masa depan yang cerah. Apa yang telah dilakukannya tentang pemikiran Islam, semuanya ditegakkan di atas landasan akademik yang berkualitas tinggi. Cak Nur telah melakukan jihad intelektual dalam masa yang cukup panjang.
Kapasitas intelektual Cak Nur memang terbilang istimewa. Ia bukan saja menguasai secara sangat mendalam tradisi ilmu-ilmu keislaman klasik, sehingga dengan fasih berbicara mengenai banyak hal yang berkaitan dengan khazanah keilmuan Islam tradisional, melainkan juga mempunyai dasar-dasar yang kukuh di bidang tradisi ilmu-ilmu sosial modern (baca: Barat), sehingga mahir mengartikulasikan gagasan-gagasan yang berkaitan dengan dinamika sosial dan perkembangan masyarakat. Karenanya, dialektika keislaman, kemodernan dan keindonesiaan menjadi pangkal tolak teologi inklusif yang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam.
Akhirnya, di tengah karut-marut paham kebangsaan dan kenegaraan yang sudah sangat rapuh, karena tergilas dengan kuatnya dorongan untuk melanggengkan dan mengukuhkan ontologi agama, yang mengingkari otherness, diversity, dan pluralism, yang menjadi bagian dari Indonesia, saya kira pemikiran Cak Nur akan masih sangat relevan untuk kita teruskan. Dan terus terang, saya meyakini bahwa masa depan Islam ada pada Islam liberal.

Tidak ada komentar: