Kamis, 06 November 2008

Natal dan Pluralisme Agama

Natal dan Pluralisme Agama[1]
Moh. Shofan

Sebagai seorang Muslim, saya ingin mengucapkan selamat Hari Raya Natal bagi umat Kristiani. Saya amat sangat sadar, bahwa konsekuensi dari ucapan saya di atas, oleh sebagian kalangan umat Islam akan dinilai sebagai bentuk ketidakkonsistenan dalam beragama. Tetapi biarlah, toh semua orang punya kebebasan untuk menafsirkan agama yang dipeluknya. Islam yang saya peluk bukan Islam yang skeptis-apriori terhadap eksistensi kelompok di luar dirinya.
Islam yang saya imani adalah Islam yang apresiatif dan akomodatif terhadap berbagai ragam etnis, budaya, ras, termasuk agama-agama di luar Islam: Kristen, Yahudi, Shabi’in, dan aliran-aliran lain, bahkan aliran yang tidak percaya terhadap agama maupun Tuhan sekalipun. Islam yang saya Imani adalah Islam yang penuh toleransi, terbuka dan sejalan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Ada banyak bukti historis bahwa Nabi Muhammad sangat proeksistensi terhadap pemeluk agama lain dan memberikan kebebasan kepada mereka untuk melakukan ritual di masjid milik umat Islam.
Dikisahkan oleh Ibnu Hisyam, dalam Al-Sirah Al-Nabawiyah, bahwa Nabi pernah menerima kunjungan para tokoh Kristen Najran yang berjumlah 60 orang. Menurut Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu al-Zubair, ketika rombongan itu sampai di Madinah, mereka langsung menuju Masjid. Saat itu, Nabi sedang melaksanakan shalat ashar bersama para sahabatnya. Mereka datang dengan memakai jubah dan surban, pakaian yang juga lazim digunakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Ketika waktu kebaktian tiba, mereka pun tak harus mencari gereja. Nabi memperkenankan mereka untuk melakukan sembahyang di dalam Masjid.
Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan Kristen. Ketika umat Islam dikejar-kejar oleh orang-orang kafir Quraisy Mekah, yang memberikan perlindungan adalah Najasyi, Raja Abesinia yang kristen. Ratusan sahabat Nabi, secara bergelombang Hijrah ke Abesinia untuk menghindari ancaman pembunuhan kafir Quraisy. Di saat orang-orang kafir Quraisy memaksa sang raja untuk mengembalikan umat Islam ke Mekah, ia tetap pada pendirian bahwa pengikut Muhammad haruslah dilindungi dan diberikan hak-haknya, termasuk hak memeluk agama.
Demikian pula sikap Umar bin Khatthab, sang khalifah kedua, yang diberi gelar Amirul Mukminin juga telah melakukan proliferasi ajaran Islam di luar batas-batas normativitas agama yang dipahami oleh kebanyakan orang pada masanya. Misalnya, ketika dia melakukan shalat di tangga gereja. Diceritakan dalam Tarikh Ibnu Khaldun, bahwa Umar Ibnu Khaththab datang ke Syam, dan mengikat perjanjian perdamaian dengan penduduk Ramalla atas syarat mereka membayar jizyah. Maka Umar pun datang kepada mereka dan ditulisnya perjanjian keamanan untuk mereka yang teksnya (sebagian) adalah: ”Dengan nama Allah yang Maha Pangasih Lagi Maha Penyayang, dari Umar Ibn Khatthab kepada penduduk Aelia (Bayt Al-Maqdis atau Yerusalem), bahwa mereka aman atas jiwa dan anak turun mereka, juga wanita-wanita mereka, dan semua gereja mereka tidak boleh diduduki atau dirusak”.
Umar ibn Khatthab masuk Bayt Al-Maqdis dan sampai ke gereja Qumamah (Qiyamah) lalu berhenti di plazanya. Waktu sembahyang pun datang maka ia katakan kepada Patriak: “Aku hendak sembahyang”. Jawab Patriak: “Sembahyanglah di tempat Anda”. Umar menolak, kemudian sembahyang pada anak tangga yang ada pada gerbang Gereja, sendirian.

Makna pluralisme
Kemesraan hubungan Islam dan Kristen, yang dilakonkan oleh Nabi Muhammad bersama umat Kristiani di masanya menjadi modal berharga dan inspirasi bagi pembentukan kehidupan damai antara Islam dan Kristen di Indonesia yang kini kerap dilanda konflik dan ketegangan. Karena itu, sangatlah aneh, jika di era kehidupan yang plural ini masih saja ada umat Islam yang melarang mengucapkan Natal kepada umat Kristiani. Padahal kitab suci Al-Qur’an secara lebih lengkap memberikan ucapan selamat. Jika hari Natal, hanya merayakan kelahiran Nabi Isa (Jesus Kristus), Al-Qur’an, memberi selamat pada tiga momen sekaligus: saat kelahiran, wafat, dan kebangkitan kembali. “Dan salam sejahtera semoga dilimpahkan kepadaku (Isa: Jesus), pada hari aku dilahirkan, pada hari aku akan meninggal dan pada hari aku dibangkitkan kembali“ (QS. Maryam: 33). Itulah, “meminjam bahasa Guntur Romli” perayaan Natal “plus” versi Al-Qur’an.
Lebih dari itu, mengucapkan Natal, merupakan pintu menuju ruangan lebih luas: pengakuan terhadap pluralisme agama. Pluralisme tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan tersebut. Seorang baru dapat dikatakan menyandang sifat tersebut apabila ia dapat berinteraksi secara positif dalam lingkungan kemajemukan tersebut. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja untuk mengakui keberadaan hak agama lain, tapi juga terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.
Menurut Prof Diana L Eck, Professor of Comparative Religion ang Indian Studies dan Director of Pluralism Project di Harvard University, ada tiga hal tentang pluralisme yang dapat menjelaskan arti proyek pluralisme.
Pertama, pluralisme bukan hanya beragam atau majemuk, pluralisme lebih dari sekedar majemuk atau beragam dengan ikatan aktif kepada kemajemukan tadi. Meski pluralisme dan keragaman terkadang diartikan sama, ada perbedaan yang harus ditekankan. Keragaman adalah fakta yang dapat dilihat tentang dunia dengan budaya yang beraneka ragam. Pluralisme membutuhkan keikutsertaan.
Kedua, pluralisme bukan sekedar toleransi. Pluralisme lebih dari sekedar toleransi dengan usaha yang aktif untuk memahami orang lain. Meskipun toleransi sudah pasti merupakan sebuah langkah ke depan dari ketidaktoleransian, toleransi tidak mengharuskan kita untuk mengetahui segala hal tentang orang lain. Toleransi dapat menciptakan iklim untuk menahan diri, namun tidak untuk memahami. Toleransi saja tidak banyak menjempatani jurang stereotipe dan kekhawatiran yang bisa jadi justru mendominasi gambaran bersama mengenai orang lain. Sebuah dasar yang terlalu rapuh untuk sebuah masyarakat yang kompleks secara religius.
Ketiga, bahwa pluralisme bukan sekedar relativisme. Pluralisme adalah pertautan komitmen antara komitmen religius yang nyata dan komitmen sekuler yang nyata. Pluralisme didasarkan pada perbedaan dan bukan kesamaan. Pluralisme adalah sebuah ikatan, bukan pelepasan-perbedaan dan kekhususan. Kita harus saling menghormati dan hidup bersama secara damai.
Namun, harus ditambahkan bahwa hidup bersama dalam sebuah masyarakat yang penuh semangat bukan hanya sekadar hidup berdampingan tanpa memedulikan orang lain. Hal itu membutuhkan ikatan, kerja sama, dan kerja yang nyata. Ikatan komitmen yang paling dalam, perbedaan yang paling mendasar dalam menciptakan masyarakat secara bersama-sama menjadi unsur utama dari pluralisme.
Karenanya, pluralisme sebagai desain Tuhan (design of God) harus diamalkan berupa sikap dan tindakan yang menjunjung tinggi multikurtularisme. Namun tidak sekadar berhenti pada acana pentingnya pluralisme dan tidak pula sekedar menjadi ”homo pluralis” yang menghargai keragaman hidup, melainkan juga sebagai ”homo multikulturalis” yang berkeyakinan bahwa relasi pluralitas yang di dalamnya terdapat problem minoritas versus mayoritas, harus dibangun dengan tindakan nyata berdasarkan pengakuan atas persamaan, kesetaraan, dan keadilan.



[1] Dimuat di harian Surya, 23 Desember 2006. Tulisan inilah yang menjadi pemicu keras bagi Muhammadiyah untuk mendiskreditkan Moh. Shofan, hingga berakibat pada pememecatan dirinya dari jabatannya sebagai staf pengajar di Uiniversitas Muhammadiyah Gresik.

Tidak ada komentar: