Kamis, 06 November 2008

Tiga Model Paradigma Islam

Tiga Model Paradigma Pemikiran Islam [1]
Moh. Shofan

Belum lama ini saya berbincang dengan Mas Budhy (Budhy Munawar-Rachman)—seorang cendekiawan muda Muslim yang sangat berjasa menyunting buku besar ‘Ensiklopedi Nurcholish Madjid’ terdiri dari empat jilid yang merekam secara komprehensif pikiran-pikiran Cak Nur—di sebuah rumah di Bintaro, Jakarta. Dalam perbincangan itu, Mas Budhy mengatakan kepada saya, bahwa sudah saatnya kita (harus) menafsir al-Qur’an (baca: Islam) dengan wajahnya yang plural, egaliter, terbuka, inklusif tanpa harus menggali (kembali) kekayaan khazanah Islam klasik. Mengapa? Menurutnya, hal itu hanya akan cenderung mengulang-ulang sejarah. Secara puitis, bertafsir seperti itu dia ibaratkan seperti mencari mutiara dalam lumpur.
Pada kesempatan lain, Mas Moqsith (Abd. Moqsith Ghazali)—seorang intelektual muda NU yang ahli fiqh—di sela-sela acara diskusi di LSAF (Lembaga Studi Agama dan Filsafat), sebuah lembaga yang dipimpin Mas Dawam (Prof. Dr. M. Dawam Rahardjo), di mana saya menjadi moderatornya, mengatakan pada saya, bahwa persoalan-persoalan krusial yang menyangkut urusan negara dan agama tidak cukup diselesaikan dengan cara memberi tafsir baru terhadap syariah, seliberal apapun penafsiran itu.
Karenanya, Moqsith termasuk orang yang sangat skeptis-apriori terhadap pemikiran-pemikiran Abdullahi Ahmed an-Na’im—pemikir liberal terkemuka kelahiran Sudan—yang karya-karyanya banyak diminati kalangan luas pemikir Islam di Indonesia, karena perhatiannya yang besar terhadap isu-isu tentang Islam dan politik serta apresiasi positif mengenai syariah yang menurutnya memiliki masa depan cerah dalam kehidupan publik masyarakat Islam. Walaupun secara tegas, An-Naim menolak penerapan syariah yang dipaksakan oleh tangan-tangan negara.
Saya kira, apa yang menjadi pemikiran—saya menyebutnya ‘kegelisahan intelektual’—Budhy dan Moqsith di atas cukup beralasan, mengingat selama ini diskursus pemikiran Islam yang sudah berjalan selama empat belas abad lamanya, tidak banyak mengalami perkembangan yang signifikan. Alih-alih mengalami perkembangan, malah seringkali berputar-putar pada ranah teks dan tradisi—kalau tidak mau dibilang monoton. Banyak intelektual Muslim dalam karya-karyanya sulit melepaskan kajian ilmiahnya dari dua hal (teks dan tradisi) tersebut. Untuk menyebut beberapa nama dimaksud, misalnya, Nasr Hamid Abu Zayd (yang dikenal dengan ‘Kritik Wacana Keagamaan’), Abid al-Jabiri (yang dikenal denagn proyek ‘Kritik Nalar Arab’), Hasan Hanafi (yang dikenal dengan ‘Kiri Islam’nya), Abdullahi Ahmed An-Naim (yang dikenal dengan ‘Dekonstruksi Syari’ah’nya) atau Adonis (yang dikenal dengan ‘Yang Tetap dan Yang Berubah’) dan masih banyak yang lainnya.
Menurut saya, di antara pemikir-pemikir tersebut, yang disebut belakangan (Adonis) yang agak sedikit lebih maju gagasan-gagasannya di banding yang lain. Adonis yang punya nama asli Ali Ahmad Said ini mampu menghadirkan keseluruhan arkeologi pemikiran Islam Arab dengan cukup memukau—edisi terjemahan Indonesia sudah diterbitkan. Namun demikian, dalam keseluruhan pembahasannya masih terpaku pada kekuatan tradisi.
Karena itu, saya kira diperlukan alternatif model pembacaan atau penafsiran terhadap teks-teks al-Qur’an. Pertanyaan yang harus dijawab adalah, dari mana kita mesti memulai kerja intelektual untuk menghadirkan Islam yang plural, kontekstual, dan inklusif di masa depan? Langsung dari al-Qur’an dengan tanpa menggali tradisi Islam klasik sebagaimana pendapat Budhy atau seperti yang dikumandangkan Moqsith, yakni berpaling dari syariah yang dinilainya tidak memberikan tawaran solutif itu?

Tiga model paradigma
Melalui tulisan yang terbatas ini, saya hendak ingin menawarkan sebuah model paradigma—setidaknya untuk meramaikan discourse pemikiran Islam—sedikitnya tiga model. Pertama, dalam mengkaji persoalan-persoalan kontemporer, kekinian dan kedisinian, sejatinya kita harus membatasi diri mulai dari sekarang. Artinya, kita harus berani melampaui tradisi masa lalu. Tradisi kita tinggalkan untuk memperoleh pemahaman baru mengenai Islam. Kita harus berani mengatakan the end of tradition sembari menyongsong realitas dan (mulai) merajut kembali tradisi dengan semangat baru.
Semangat baru tersebut akan kita peroleh dengan cara menganggap dan memperlakukan al-Qur’an, seolah-olah ia baru saja diwahyukan kepada nurani setiap mukmin. Dengan demikian, proses penafsiran melibatkan masa kini dan masa yang akan datang tanpa ada ikatan sama sekali dengan tradisi lama.
Kedua, kita perlu menggali secara optimal pesan-pesan moral dalam al-Qur’an. Karena elan dasar al-Qur’an adalah moral. Kegiatan bertafsir merupakan kerja pencarian untuk menemukan pesan-pesan moral universal dengan cara memperlihatkan kondisi obyektif masa kini sebagai lokus di mana teks itu lahir atau diturunkan. Pesan-pesan moral universal al-Qur’an tersebut dapat dijadikan sebagai landasan obyektif semua umat manusia tanpa terkecuali.
Dalam al-Qur’an, misalnya, dijumpai banyak doktrin yang berkaitan dengan persoalan keragaman (baca: pluralisme) dan etika sosial yang perlu dikembangkan lebih jauh. Dalam surat al-Hujurat ayat 11-13, al-Qur’an memberikan kritik keras terhadap etnosentrisme, stereotip, prejudice, dan konflik, karena alasan perbedaan. Pada surat al-Mumtahanah, ayat 7-9, al-Qur’an bahkan memberikan penyadaran tentang arti pentingnya sikap kasih sayang dan bekerja sama dengan pihak lain meskipun berbeda agama. Misi tersebut akan dapat mengarahkan orientasi keberagamaan pada tujuan yang lebih universal.
Ketiga, kita harus menempatkan al-Qur’an sebagai teks yang profan (baca: sekuler) bersejajar dengan karya-karya lain. Hal itu dimaksudkan agar kita tidak terjebak pada sakralisasi al-Qur’an yang sebenarnya tidak sakral—karena sejatinya al-Qur’an adalah wahyu sekuler. Dengan menempatkan al-Qur’an pada posisi yang tidak sakral tersebut, maka dengan sendirinya kita tidak punya beban psikologis untuk melakukan kritik dan dekonstruksi (baca: liberasi) terhadap makna aslinya. Bahkan jika perlu dilenyapkan eksistensinya untuk memperoleh makna baru atau signifikansi (al-magza)—meminjam istlah Nasr Hamid Abu Zayd. Saya sadar, untuk melakukan itu, diperlukan keberanian dan semangat intelektual. Al-Qur’an harus dilihat dan ditafsir sebagai teks yang hidup dan dikaji secara terus menerus sampai teruji oleh perjalanan sejarah.
Dengan tiga model di atas, tulisan ini diharapkan dapat menambah kekayaan wacana pemikiran Islam yang mensyaratkan kajian secara kritis-akademis-metodologis-ilmiah. Bagaimanapun sebuah metodologi keilmuan yang bertugas mengkaji fenomena keberagamaan manusia merupakan syarat yang sangat penting bagi setiap komunitas manusia, apalagi masyarakat kita yang plural, baik dari segi agama, ras, etnis, suku maupun budaya. Karenanya—tidak bisa tidak— seperangkat alat-alat keilmuan yang canggih, di sini wajib kita gunakan. Alat-alat yang saya maksud adalah: pluralisme, liberalisme dan sekulerisme.

[1] Dimuat di harian Seputar Indonesia, 9 November 2007

Tidak ada komentar: